• Tidak ada hasil yang ditemukan

ENCANA PEMULANGAN Tanggal Pemulangan

2.3.4 Dampak Rawat Inap

Pemahaman pada kelompok usia yang lebih muda, penyakit terjadi akibat

kontak fisik atau karena anak tersebut terlibat dalam tindakan yang

membahayakan dan menjadi terkontaminasi. Akibatnya perasaan menyalahkan

diri sendiri dan rasa bersalah dapat berkaitan dengan alasan menjadi sakit (Wong,

2008).

Perawatan dirumah sakit merupakan masalah besar dan menimbulkan

ketakutan, kecemasan, bagi anak. Dampak rawat inap yang dialami bagi anak dan

orangtua akan menimbulkan stress dan tidak merasa aman. Efek dan jumlah stres

tergantung pada persepsi anak dan orangtua terhadap diagnosa penyakit dan

Dampak negatif yang paling sering terjadi karena hospitalisasi adalah

kecemasan. Pada anak usia 6 sampai 10 tahun, kecemasan akan lebih mudah

terlihat. Kecemasan dapat membuat anak terganggu dan teralihkan tanpa adanya

penyebab tertentu. Sampai beberapa tahun terakhir, para pakar psikologi biasanya

menghubungkan reaksi negatif pada hospitalisasi sepenuhnya dengan kecemasan

karena perpisahan (Taylor, 2009).

Anak sering menganggap sakit adalah hukuman untuk perilaku buruk, hal ini

terjadi karena anak masih mempunyai keterbatasan koping. Anak juga

mempunyai kesulitan dalam pemahaman mengapa mereka sakit, tidak bisa

bermain dengan teman sebayanya, mengapa mereka terluka dan nyeri sehingga

mereka harus ke rumah sakit dan harus mengalami rawat inap. Reaksi anak

tentang hukuman yang harus diterimanya dapat bersifat tidak kooperatif,

menyebabkan anak menjadi marah. Sehingga anak kehilangan kontrol sehubungan

terganggunya fungsi motorik yang mengakibatkan berkurangnya percaya diri pada

anak, sehingga tugas perkembangan yang sudah dicapai akan terhambat (Wong,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Rumah sakit juga merupakan salah satu sistem pemberian pelayanan

kesehatan, dimana dalam memberikan pelayanan menggunakan konsep

multidisiplin. Kolaborasi multidisiplin yang baik antara medis, perawat, gizi,

fisioterapi, farmasi, dan penunjang diharapkan mampu memberikan pelayanan

terbaik kepada masyarakat (Hariyati, Afifah, & Handiyani, 2008). Pemberian

pelayanan kesehatan paripurna yang meliputi pelayanan promotif, preventif,

kuratif dan rehabilitatif bagi pasien merupakan salah satu tugas rumah sakit.

Rumah sakit berkewajiban untuk memberi pelayanan kesehatan yang aman,

efektif dan bermutu dengan mengutamakan kepentingan pasien (Undang-undang

No.44 Th. 2009).

Evaluasi terhadap mutu pelayanan kesehatan, terutama kesehatan anak di

Indonesia telah diteliti oleh Sidik et al., (2013) yang menunjukkan bahwa

pelayanan kesehatan anak di Indonesia masih membutuhkan peningkatan kualitas

termasuk dalam kegiatan perencanaan pulang dan perawatan lanjutan (discharge

and follow up care). Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa dari enam

provinsi yang dilibatkan dalam penelitian, lima diantaranya berada pada penilaian

”sangat perlu peningkatan”. Mutu pelayanan kesehatan dipengaruhi juga oleh

peningkatan pelayanan perawatan pulang dan lanjutan menjadi masalah yang

membutuhkan tindakan, terutama pada masalah-masalah kesehatan anak yang

prevalensi dan angka mortalitasnya tinggi.

Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang mempunyai kontribusi

besar dalam meningkatkan pelayanan kesehatan maupun pelayanan keperawatan

dan merupakan ujung tombak pelayanan di rumah sakit. Perawat mempunyai

waktu terlama dalam berinteraksi dengan pasien dan keluarga.Orem (1985 dalam

Alligood & Tomey, 2006) mengatakan bahwa intervensi keperawatan dibutuhkan

karena adanya ketidakmampuan melakukan perawatan diri akibat keterbatasan

fisik.

Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa salah satu aspek yang dapat

mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan adalah pendidikan kesehatan,

komunikasi efektif dan pemberian informasi yang jelas kepada pasien.Program

perencanaan pulang (discharge planning) pada dasarnya merupakan program

pemberian pendidikan kesehatan kepada pasien yang meliputi nutrisi,

aktifitas/latihan, obat-obatan dan instruksi x khusus yaitu tanda dan gejala

penyakit pasien (Potter & Perry, 2005).

Hariyati, Afifah, & Handiyani(2008) menyatakan bahwa masih banyak

waktu 30 hari. Selain itu, Setyowati (2011) dalam penelitiannya juga

mengungkapkan bahwa dari jumlah seluruh perawat yang telah melakukan

discharge planning, sebanyak 89,47% perawat melaksanakannya pada hari

kepulangan pasien.

Wulandari (2011 dalam hadinuansa, 2013) dalam penelitiannya juga

mengemukakan hal serupa, bahwa pelaksanaan discharge planning di ruang rawat

inap kelas III RSUP Sanglah masih belum optimal. Hal itu terjadi karena

pelaksanaannya bersamaan dengan health education dan dokumentasi berupa

resume keperawatan belum diinformasikan secara eksplisit oleh petugas kesehatan

kepada pasien serta keluarganya. Selain itu salinan dokumentasi discharge

planning juga tidak diserahkan kepada pasien dan keluarga pasien, dimana hal ini

dapat digunakan sebagai pedoman dalam membantu proses pemulihan pasien.

Salah satu ruang rawat inap kelas III yang diteliti oleh peneliti adalah ruang

Angsoka I, dimana penelitian dilakukan pada 27 orang responden. Hasil yang

diperoleh adalah masih terdapat pasien yang menyatakan pelaksanaan discharge

planning berada dalam kategori cukup yaitu sebesar 11,11%.

Hakikatnya perencanaan pulang adalah untuk meminimalkan dampak dari suatu

keadaan kesehatan misalnya penyakit kronis ataupun penyakit lainnya dan juga

untuk meningkatkan kepuasan pasien dan keluarga terhadap sistem pelayanan

kesehatan. Hasil penelitian keperawatan menunjukkan bahwa pemberian

perencanaan pulang dapat mengurangi komplikasi dan kemungkinan pasien

Untuk membuat perencanaan pulang yang baik diperlukan adanya keterlibatan

atau partisipasi pasien terkait kebutuhan atau harapan yang mereka inginkan,

kompetensi dari praktisi, dalam hal ini termasuk dokter, perawat dan anggota tim

kesehatan lainnya serta didukung oleh adanya kebijakan institusional yang

meliputi waktu, kontinuitas dan hubungan serta tanggung jawab. Ketiganya

merupakan sistem yang mengakui bahwa kegiatan perencanaan pulang adalah

kegiatan yang penting.(Peterson et al., 2009; Birjandi, 2009).

Perencanaan pulang merupakan proses yang digunakan untuk memutuskan apa

yang menjadi kebutuhan – kebutuhan pasien untuk berpindah dari satu unit

pelayanan kesehatan menuju unit lain termasuk perawatan di rumah. Proses ini

dimulai sejak pertama kali pasien masuk rumah sakit dan tidak berhenti sampai

dengan pasien siap untuk ditempatkan pada tingkat pelayanan berikutnya.

(Birjandi & Bragg, 2009)

Tempat pelayanan kesehatan di Indonesia, pada umumnya telah merancang

berbagai format perencanaan pulang, akan tetapi kebanyakan format ini

digunakan untuk pendokumentasian ringkasan pasien pulang yang berupa pesan

untuk kontrol, pemberian obat di rumah, pendidikan kesehatan dan tidak ada

jaminan pasien dan keluarga mampu melakukan edukasi yang telah disampaikan,

yang baik dan terarah sehingga apa yang disampaikan dapat dimengerti dan

berguna untuk proses perawatan dirumah (Nursalam, 2009). Pelaksanaan

perencanaan pulang tersebut mencakup perencanaan pulang, persiapan sebelum

hari pemulangan klien, dan pada hari pemulangan klien (Potter & Perry, 2005).

Hasil studi pendahuluan di RSUD Tugurejo Semarang pada bulan Desember

terhadap enam perawat dengan cara wawancara didapatkan data bahwa seluruh

perawat tersebut melaksanakan perencanaan pulang pada saat pasien akan

meninggalkan rumah sakit. Perawat-perawat tersebut berasumsi bahwa

perencanaan pulang yang dilakukan dari awal pasien masuk atau saat pasien akan

pulang hasilnya sama saja sehingga mereka beranggapan akan lebih efisien jika

perencanaan pulang dilakukan saat pasien akan pulang (Purnamasari, 2012)

Berdasarkan penelitian (Siahaan, Marthalena,2009) tentang pengaruh discharge

planning yang di lakukan oleh perawat terhadap kesiapan pasien paca bedah akut

menghadapi pemulangan di RSUP H. Adam Malik, hasilnya menunjukan bahwa

sebelum di lakukan discharge planning tingkat kesiapan pasien dalam

menghadapi pemulangan adalah mampu tapi ragu atau mampu tetapi tidak ingin

melakukan kegiatan yang diajarkan setelah berada di rumah. Namun, setelah

discharge planning di berikan tingkat kesiapan pasien meningkat menjadi mampu

dan yakin melakukan kegiatan yang diajarkan setelah berada di rumah.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang gambaran pelaksanaan discharge planning oleh perawatdi

Dokumen terkait