• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

c. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi, antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika;

d. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2009).

D. Obat Tradisional 1. Definisi

Menurut Peraturan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 246/Menkes/Per/V/1990, obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1990).

Menurut Undang-Undang No.36 tahun 2009, obat tradisional merupakan bahan atau ramuan bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan-bahan

tersebut yang secara turun temurun digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2009).

Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No: HK.00.05.4.2411, obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan RI, 2004).

Menurut WHO Traditional Medicine Strategy 2002-2005, obat

tradisional adalah istilah yang komprehensif yang digunakan untuk merujuk baik

untuk bentuk obat tradisional seperti obat tradisional Cina (Traditional Chinese

Medicine), Ayurveda India, obat-obatan Unani Arab, dan berbagai bentuk pengobatan tradisional. Terapi obat tradisional termasuk terapi obat jika melibatkan penggunaan obat herbal, bagian hewan, dan mineral. Termasuk terapi non medication jika dilakukan tanpa menggunakan obat, seperti akupunktur, terapi manual dan terapi spiritual. Obat tradisional dapat dikodifikasikan, diatur, diajarkan secara terbuka dan dipraktekkan secara luas dan sistematis dan manfaatnya didapatkan dari ribuan tahun pengalaman (WHO, 2002).

2. Sediaan obat tradisional

a. Rajangan, yaitu sediaan obat tradisional berupa potongan simplisia, campuran simplisia, atau campuran simplisia dengan sediaan galenik yang penggunannya dilakukan dengan pendidihan atau penyeduhan dengan air panas (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994).

b. Serbuk, yaitu sediaan obat tradisional berupa butiran homogen dengan derajat halus yang cocok; bahan bakunya berupa simplisia sediaan galenik, atau campurannya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994). c. Pil, yaitu sediaan padat obat tradisional berupa massa bulat; bahan

bakunya berupa serbuk simplisia, sediaan galenik, atau campurannya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994).

d. Dodol atau jenang, yaitu sediaan padat obat tradisional; bahan bakunya berupa serbuk simplisia, sediaan galenik atau campurannya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994).

e. Pastiles, yaitu sediaan padat obat tradisional berupa lempengan pipih umumnya berbentuk segi empat; bahan bakunya berupa serbuk simplisia, sediaan galenik, atau campurannya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994).

f. Kapsul, yaitu sediaan obat tradisional yang terbungkus cangkang keras

atau lunak; bahan bakunya berupa serbuk simplisia, sediaan galenik, atau campurannya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994).

g. Tablet, yaitu sediaan obat tradisional pada kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk pipih, silindris, atau bentuk lain, kedua permukaannya

rata atau cembung, terbuat dari sediaan galenik dengan atau tanpa bahan tambahan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994).

h. Cairan obat dalam, yaitu sediaan obat tradisional berupa larutan emulsi atau suspense dalam air; bahan bakunya berasal dari serbuk simplisia atau sediaan galenik dan digunakan sebagai obat dalam (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994).

i. Sari jamu, yaitu cairan obat dalam, dengan tujuan tertentu diperbolehkan

mengandung etanol. Kadar etanol tidak lebih dari 1% v/v pada suhu 20°C

dan kadar methanol tidak lebih dari 0,1% jika dihitung terhadap kadar etanol (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994).

j. Parem, pilis dan tapel, yaitu sediaan padat obat tradisional; bahan bakunya

berupa serbuk simplisia, sediaan galenik, atau campurannya dan digunakan sebagai obat luar (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994).

k. Koyok, yaitu sediaan obat tradisional berupa pita kain yang cocok dan tahan air yang dilapisi dengan serbuk simplisia dan atau sediaan galenik, digunakan sebagai obat obat luar dan pemakaiannya ditempelkan pada kulit (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994).

l. Cairan obat luar, yaitu sediaan obat tradisional berupa larutan suspense

atau emulsi; bahan bakunya berupa simplisia, sediaan galenik dan digunakan sebagai obat luar (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994).

m. Salep/krim, yaitu sediaan setengah padat yang mudah dioleskan, bahan bakunya berupa sediaan galenik yang larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep/krim yang cocok dan digunakan sebagai obat luar (Menteri Kesehatan, 1994).

n. Teh, yaitu sediaan obat tradisional dapat dibuat secara produk tunggal dan campuran dengan bahan lain. Produk tunggal dibuat dari tanaman obat yang telah dikeringkan, kemudian dikemas dalam kantong kertas. Sementara jenis sediaan obat tradisional berupa teh dapat dibuat secara campuran dari beberapa serbuk tanaman yang telah dikeringkan. Penggunaannya dilakukan dengan cara diseduh air mendidih (Rukmana,

2003).

E. Klasifikasi Obat Tradisional

Obat tradisional dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam

berdasarkan Keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No:

HK.00.05.4.2411, berdasarkan cara pembuatannya serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, obat bahan alam di Indonesia dikelompokkan menjadi:

a. Jamu

b. Obat herbal terstandar

1. Jamu

Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan dan diterapkan berdasarkan pengalaman (Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan RI, 2004). Berdasarkan Keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No: HK.00.05.4.2411 pasal 2, yaitu jamu harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku; jenis klaim penggunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan tingkat pembuktiannya, yaitu tingkat pembuktian umum dan medium dan jenis klaim penggunaan harus diawali dengan kata-kata “secara tradisional digunakan untuk …”, atau sesuai dengan yang disetujui pada pendaftaran (Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan RI, 2004).

2. Obat herbal terstandar

Obat herbal terstandar merupakan sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji pra klinik dan bahan bakunya telah distandarisasi. Obat herbal terstandar harus memenuhi kriteria sebagai berikut.

(a.) Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, (b.) klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah atau pra klinik.

(c.) telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi, dan

(d.) memenuhi persyaratan yang berlaku (Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan RI, 2004).

Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian, yaitu tingkat pembuktian umum dan medium (Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan RI, 2004).

3. Fitofarmaka

Fitofarmaka merupakan sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji pra klinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi. Fitofarmaka harus memenuhi kriteria sebagai berikut.

(a.) Aman sesuai dengan persayaratan yang ditetapkan, (b.) klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik,

(c.) telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi, dan

(d.) memenuhi persyaratan mutu yang berlaku (Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan RI, 2004).

Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian, yaitu tingkat pembuktian medium dan tinggi. Kode ijin edar digit 1 dan 2 adalah FF (Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan RI, 2004).

F. Logo Kelompok Obat Tradisional

Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang ketentuan pokok pengelompokan dan penandaan obat bahan alam Indonesia, pada pasal 5 menyatakan bahwa kelompok jamu untuk pendaftaran

baru harus mencantumkan logo dan tulisan “JAMU”. Logo berupa “RANTING

DAUN TERLETAK DALAM LINGKARAN” yang dicetak dengan warna hijau di atas warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna

logo, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari

wadah/pembungkus/brosur. Tulisan “JAMU” harus jelas dan mudah dibaca,

dicetak dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang

menyolok kontras dengan tulisan “JAMU”.

Gambar 1. Logo Jamu

(Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan RI, 2004).

Pada pasal 7 disebutkan bahwa obat herbal terstandar harus

mencantumkan logo dan tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR”. Logo

berupa “JARI-JARI DAUN (3 PASANG) TERLETAK DALAM

LINGKARAN” yang dicetak dengan warna hjau di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo dan ditempatkan pada

bagian atas sebelah kiri dari wadah/pembungkus/brosur. Tulisan “OBAT

warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras

dengan tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR”.

Gambar 2. Logo Obat Herbal Terstandar

(Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan RI, 2004). Pada pasal 8, kelompok Fitofarmaka sebagaimana dimaksud harus

mencantumkan logo dan tulisan “FITOFARMAKA”. Logo berupa “JARI-JARI

DAUN (YANG KEMUDIAN MEMBENTUK BINTANG) TERLETAK DALAM LINGKARAN” yang dicetak dengan warna hijau di atas warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo dan ditempatkan pada

bagian atas sebelah kiri dari wadah/pembungkus/brosur. Tulisan

“FITOFARMAKA” harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam diatas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan “FITOFARMAKA”.

Gambar 3. Logo fitofarmaka

(Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan RI, 2004).

G. Standar Dan Peraturan yang Terkait Penandaan Obat Tradisional Informasi yang tepat sangat diperlukan dalam penggunaan obat tradisional. Setiap kemasan dan pelabelan produk obat tradisional harus

memberikan informasi yang konsisten sesuai dengan peraturan masing-masing Negara (Prilianti, 2008).

1. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

a. Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan HK.00.05.23.0279 tahun 2002 tentang pencantuman asal bahan tertentu, kandungan alkohol, dan tanggal kadaluwarsa pada penandaan atau label obat, obat tradisional, suplemen makanan, dan pangan :

Pasal 3 menjelaskan bahwa obat, obat tradisional, dan suplemen makanan, dan pangan yang mengandung bahan tertentu harus mencantumkan asal dan keterangan bahan tertentu tersebut pada komposisi penandaan atau label dan mencantumkan tulisan “Bersumber Babi” dalam kontak dengan warna putih pada pada penandaan label (Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan RI, 2002). Pasal 6 menjelaskan tentang penulisan tanggal kadaluwarsa, yaitu tanggal ditulis dengan angka, bulan ditulis dengan huruf, dan tahun ditulis dengan angka (Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan RI, 2002).

b. Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan HK.00.05.41.1384 tahun 2005 tentang kriteria dan tata laksana pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka :

Pasal 17 menjelaskan tentang berkas pendaftaran harus dilengkapi dengan rancangan kemasan yang meliputi etiket, dus, pembungkus, strip, blister, catch over, dan kemasan lain sesuai ketentuan tentang pembungkus dan penanda yang berlaku, yang merupakan rancangan kemasan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang akan diedarkan dan harus dilengkapi rancangan

warna; Brosur yang mencantumkan informasi mengenai obat tradisional, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka (Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan RI, 2005).

Tabel I. Informasi yang Harus Dicantumkan pada Kemasan Obat Tradisional Berdasarkan Standar BPOM

No.

Informasi yang harus dicantumkan Pembungkus/bungkus luar

1. Nama obat tradisional/obat herbal

terstandar/fitofarmaka √

2. Bentuk sediaan √

3. Besar kemasan √

4. Komposisi √

5. Logo obat tradisional/obat herbal

terstandar/fitofarmaka √

6. Nama pendaftar √

7. Alamat pendaftar √

Nama industri negara asal/pemberi

lisensi/penerima kontrak √

Alamat industri negara asal/pemberi

lisensi/penerima kontrak √

8. Nomor ijin edar √

9. Nomor batch √ 10. Batas kadaluwarsa √ 11. Klaim penggunaan √ 12. Kontraindikasi ± 13. Efek samping ± 14. Interaksi obat ± 15. Cara penyimpanan √ 16.

Informasi khusus sesuai ketentuan yang berlaku, misalnya :

- Bersumber babi - Kandungan alkohol - Pemanis buatan √ √ √ Keterangan

√ = informasi harus dicantumkan

± = informasi dapat dicantumkan dengan menyebutkan “Lihat Brosur” Sumber: Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan RI, 2005.

2. Peraturan Menteri Kesehatan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor:

246/Menkes/Per/V/1990 tentang ijin usaha obat tradisional dan pendaftaran obat tradisional informasi yang harus dicantumkan pada kemasan adalah sebagai berikut:

Tabel II. Informasi yang Harus Dicantumkan pada Kemasan Obat Tradisional Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan

No Informasi yang harus dicantumkan

1. Nama obat tradisional atau nama dagang

2. Logo

3. Komposisi (ditulis dengan tata nama latin)

4. Bobot, isi atau jumlah obat tiap wadah

5. Dosis pemakaian

6. Khasiat atau kegunaan

7. Kontra indikasi (bila ada)

8. Kadaluwarsa

9. Nomor pendaftaran (nomor ijin edar)

10. Nomor kode produksi

11. Nama industri atau alamat sekurang-kurangaya nama kota dan kata

“INDONESIA"

12. Untuk obat tradisional lisensi harus dicantumkan juga nama dan alamat

industri pemberi lisensi; sesuai dengan yang disetujui pada pendaftaran.

13. Ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin.

Sumber: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1990.

3. ASEAN

Berdasarkan ASEAN- The final list of the harmonized labeling

requirements for TMHS (Traditional Medicines and Health Supplements), informasi yang harus dicantumkan pada kemasan adalah sebagai berikut:

Tabel III. Informasi yang Harus Dicantumkan pada Kemasan Obat Tradisional Berdasarkan Standar ASEAN

No Informasi yang harus dicantumkan

1. Nama produk

2. Logo

3. Bentuk sediaan

4. Komposisi bahan aktif dengan tata nama latin dan kekuatan bahan aktif

5. Nomor batch

6. Manufaktur dan tanggal kadaluwarsa atau hanya tanggal kadaluwarsa 7. Rute administrasi

8. Penggunaan dan indikasi penggunaan 9. Kondisi penyimpanan

10. Negara registrasi / properti / nomor pemberitahuan (jika berlaku) 11. Nama dan alamat produsen

12. Nama dan alamat pemegang otorisasi pemasaran 13. Peringatan (jika ada)

14. Besar kemasan

15.

Pernyataan khusus: - Kandungan alkohol

- Untuk penggunaan eksternal (untuk obat tradisional) 16. Bahasa nasional dan / atau bahasa Inggris

Sumber: ASEAN, 2011.

4. WHO (World Health Organization)

Berdasarkan WHO-Regulatory Situation of Herbal Medicines A

worldwide Review (1998), informasi yang harus dicantumkan pada kemasan adalah sebagai berikut:

Tabel IV. Informasi yang Harus Dicantumkan pada Kemasan Obat Tradisional Berdasarkan Standar WHO

No Informasi yang harus dicantumkan

1. Label jelas dan mudah dibaca

2. Ditulis dalam bahasa Indonesia / latin utuk senyawa aktif

3. Ditandai dengan emblem khusus misal daun

4. Nomor pendaftaran (nomor ijin edar)

5. Nama dan alamat perusahaan

6. Komposisi

7. Indikasi

8. Petunjuk penggunaan dan dosis

9. Lama pemberian

10. Peringatan

11. Kontraindikasi

12. Penyimpanan

13. Tanggal kadaluwarsa

14. Kode produksi (nomor batch)

Sumber: WHO, 1998.

H. Landasan Teori

Apotek merupakan sarana pelayanan kesehatan dan penyaluran sediaan farmasi, salah satunya adalah obat tradisional. Obat tradisional dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Setiap produk obat tradisional yang beredar di Indonesia harus memenuhi kriteria standar BPOM dan mendapatkan ijin edar. Regulasi BPOM meliputi mutu, khasiat, keamanan, dan termasuk penandaannya. Obat tradisional dalam negeri harus menerapkan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) meliputi seluruh aspek yang menyangkut pembuatan obat tradisional, yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Mutu produk tergantung dari bahan awal, proses produksi dan pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan

personalia yang menangani. Penerapan CPOTB merupakan persyaratan kelayakan dasar untuk menerapkan sistem jaminan mutu yang diakui dunia internasional. Selain itu, obat tradisional juga harus memenuhi Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka.

Semua produk obat tradisional yang beredar di Apotek Kota Yogyakarta merupakan produk yang terjamin mutu dan kualitasnya karena di bawah pengawasan BPOM sehingga informasi yang terdapat pada kemasan obat tradisional minimal memenuhi persyaratan kriteria dari BPOM.

I. Hipotesis

Semua produk obat tradisional yang beredar di Apotek Kota Yogyakarta memenuhi standar penandaan kemasan BPOM.

26 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai evaluasi penandaan kemasan obat tradisional yang beredar di Apotek Kota Yogyakarta berdasarkan standar BPOM, Peraturan Menteri Kesehatan, ASEAN, dan WHO merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan observasional deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif.

Disebut penelitian non eksperimental karena pada penelitian ini dilakukan observasi terhadap variabel subjek menurut keadaan apa adanya, tanpa manipulasi atau intervensi peneliti (Pratiknya, 2001), dan disebut penelitian observasional karena menggunakan teknik pendekatan guna mendapatkan data primer dengan cara langsung mengamati objek datanya (Jogiyanto, 2008). Rancangan penelitian disebut deskriptif evaluatif karena tujuan penelitian, yaitu memberikan gambaran informasi dan evaluasi mengenai obat tradisional yang telah memenuhi standar BPOM, Peraturan Menteri Kesehatan, ASEAN, dan WHO (Notoatmodjo, 2002). Penelitian ini bersifat retrospektif karena data yang digunakan dalam penelitian ini berupa informasi yang sudah melekat pada produk obat tradisional yang beredar.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu dalam penentuan Apotek sebagai subjek penelitian, dimana tidak semua Apotek memberikan ijin penelitian. Subjek penelitian terbatas hanya untuk produk obat tradisional dalam negeri.

B. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas (independent)

Adalah tingkat pengetahuan produsen.

2. Variabel tergantung (dependent)

Adalah jumlah kriteria yang memenuhi standar BPOM, Peraturan Menteri Kesehatan, ASEAN dan WHO.

C. Definisi Operasional

Berikut ini adalah batasan mengenai penelitian yang akan dilakukan. 1. Evaluasi yang dimaksud adalah menilai adanya informasi yang tercantum pada kemasan produk obat tradisional kemudian dibandingkan dengan informasi menurut BPOM HK.00.05.41.1384 tahun 2005, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 246/Menkes/Per/V/1990, ASEAN, dan WHO.

2. Penandaan merupakan tulisan atau gambar yang dicantumkan pada kemasan yang disertakan pada obat tradisional, yang memberikan informasi tentang obat tradisional tersebut. Standar penandaan yang digunakan untuk mengevaluasi

adalah berdasarkan BPOM, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor:

246/Menkes/Per/V/1990, ASEAN, dan WHO.

a) Menurut BPOM HK.00.05.41.1384 tahun 2005 kriteria yang harus tercantum

dalam penandaan meliputi nama obat tradisional/obat herbal

terstandar/fitofarmaka, bentuk sediaan, besar kemasan, komposisi, logo obat tradisional/obat herbal terstandar/fitofarmaka, nama pendaftar, alamat pendaftar,

nomor ijin edar, nomor batch, batas kadaluwarsa, klaim penggunaan, kontraindikasi, efek samping, interaksi obat, cara penyimpanan, dan informasi sesuai ketentuan yang belaku.

b) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 246/Menkes/Per/V/1990 tentang izin usaha obat tradisional dan pendaftaran obat tradisional, yang harus tercantum dalam penandaan meliputi nama obat tradisional atau nama dagang, komposisi, bobot, isi atau jumlah obat tiap wadah, dosis pemakaian, khasiat atau kegunaan, kontraindikasi (bila ada), kadaluwarsa, nomor pendaftaran, nomor kode produksi, nama industri atau alamat sekurang-kurangaya nama kota dan kata “Indonesia", dan ditulis dalam bahasa indonesia dengan huruf latin.

c) Berdasarkan ASEAN-The final list of the harmonized labeling requirements

for TMHS yang harus tercantum dalam penandaan meliputi nama produk, bentuk

sediaan, komposisi bahan aktif dan kekuatan bahan aktif, nomor batch,

manufaktur dan tanggal kadaluwarsa atau hanya tanggal kadaluwarsa , rute administrasi, penggunaan dan indikasi penggunaan, kondisi penyimpanan , negara registrasi/properti/nomor pemberitahuan (jika berlaku), nama dan alamat produsen, nama dan alamat pemegang otorisasi pemasaran, peringatan (jika ada), ukuran pengemas, pernyataan khusus, yaitu untuk penggunaan eksternal dan kandungan alkohol, bahasa nasional dan/atau bahasa inggris dan latin untuk nama-nama bahan aktif (tanama-naman atau hewan).

d) Berdasarkan WHO-Regulatory Situation of Herbal Medicines A worldwide Review (1998), informasi yang harus dicantumkan dalam suatu kemasan produk obat tradisional meliputi label jelas dan mudah dibaca, ditulis dalam bahasa

Indonesia/latin, ditandai dengan emblem khusus misal daun, nomor pendaftaran, nama dan alamat perusahaan ,komposisi, indikasi, metode penggunaan dan dosis, lama pemberian, peringatan, kontraindikasi, penyimpanan, tanggal kadaluwarsa, dan kode produksi.

3. Dalam penelitian ini obat tradisional adalah obat yang termasuk golongan jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.

4. Apotek yang digunakan dalam pengambilan sampel untuk penelitian adalah Apotek di Kota Yogyakarta yang memberikan ijin penelitian.

5. Nama pendaftar yang dimaksud adalah nama produsen yang mendaftar.

D. Subjek Penelitian dan Teknik Sampling

Subjek pada penelitian ini, yaitu Apotek di Kota Yogyakarta yang memberikan ijin penelitian. Objek pada penelitian ini adalah obat tradisional yang meliputi jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Yang termasuk kriteria inklusi, yaitu Apotek di Kota Yogyakarta yang memberikan ijin penelitian dan obat tradisional dalam negeri yang tergolong jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Yang termasuk kriteria eksklusi, yaitu Apotek di Kota Yogyakarta yang tidak memberikan ijin penelitian, obat tradisional import, obat tradisional lisensi, obat yang tidak tergolong jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.

Besar sampel obat tradisional untuk kelompok fitofarmaka ada 5 produk dan obat herbal terstandar ada 19 produk (ITB, 2011). Pada kelompok jamu jumlahnya belum diketahui secara pasti sehingga pengambilan sampel dilakukan secara sampling di mana setiap Apotek diambil 7 produk dengan merk yang berbeda, sehingga total produk jamu yang digunakan sebagai sampel adalah 175

produk. Pada kelompok fitofarmaka dan obat herbal terstandar jumlahnya hanya sedikit, maka sampel yang ada akan diambil semua, yaitu fitofarmaka sebanyak 5 produk dan obat herbal terstandar sebanyak 19 produk.

Menurut Gay (1976) dan kemudian dikutip oleh Sevilla, pengambilan sampel untuk bahan penelitian deskriptif adalah 10% dari populasi. Untuk populasi yang sangat kecil diperlukan minimal 20% (Sevilla, 1993).

Jumlah Apotek di kota Yogyakarta berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta tahun 2011 sebanyak 126 Apotek. Jumlah Apotek yang digunakan untuk pengambilan sampel sebanyak 20% x 126 Apotek = 25,2 Apotek. Hasil tersebut dapat dibulatkan menjadi 25 Apotek. Dalam menentukan

lokasi penelitian dan pengambilan sampel digunakan teknik non random (non

probability sampling). Sampling dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu pengambilan sampel didasarkan atas pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau sifat populasi. Dalam menentukan ciri atau sifat populasi pada penelitian ini dengan cara menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel yang termasuk dalam kriteria inklusi yang selanjutnya digunakan sebagai objek penelitian.

E. Alat atau Instrumen Penelitian

Instrument penelitian yang digunakan adalah lembar pengambilan data

Dokumen terkait