• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

6.2.1 Petugas kesehatan sebaiknya menguatkan kegiatan penyuluhan tentang cara penularan HIV/AIDS, tujuan dan sasaran tes HIV kepada orang yang mendapatkan layanan VCT ataupun kepada masyarakat umum agar memiliki pengetahuan dan sikap yang baik dalam memahami tentang HIV/AIDS sebagai dasar alasan melakukan tes HIV.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian HIV/AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang

sistem kekebalan tubuh. Infeksi tersebut menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi penyakit lain (Profil Kesehatan Indonesia, 2014).

Menurut Dwi (2007), Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi virus HIV.

2.2 Etiologi HIV/AIDS

Etiologi AIDS ialah penyakit yang disebabkan oleh Human

Immunodeficiency Virus (HIV). Pada infeksi HIV, sel yang diserang oleh HIV

antara lain limfosit T4 yang membuat sel tersebut rusak. Limfosit T memainkan peranan dalam kekebalan tubuh seluler. Sel limfosit T-helper memiliki peranan sentral di dalam kekebalan tubuh seluler. Sel T-Helper dan limfosit T4 berperan dalam pengaturan respon imun, merangsang pembentukan antibodi dan pematangan beberapa jenis sel sistem imun, dengan penurunan jumlah sel T-

Helper menimbulkan defisiensi imun (Ucke, 2008).

HIV adalah retrovirus yang mampu memberi kode kepada enzim khusus,

reverse transcriptase, yang memungkinkan DNA ditranskripsi dari RNA sehingga

HIV dapat menggandakan gennya sendiri sebagai DNA di dalam sel inang (hospes= host). DNA virus bergabung dengan gen limfosit dan hal ini adalah dasar dari infeksi kronis HIV. Penggabungan gen virus HIV pada sel inang ini

8

merupakan rintangan berat untuk pengembangan antivirus terhadap HIV. Bervariasinya gen HIV dan kegagalan manusia (sebagai hospes) untuk mengeluarkan antibodi terhadap virus menyebabkan sulitnya pengembangan vaksinasi yang efektif terhadap HIV (Dwi, 2007).

2.3 Riwayat Alamiah Penyakit HIV/AIDS 2.3.1 Tahap Pragejala (Sub-Klinis) HIV/AIDS

Sasaran utama virus HIV adalah sekumpulan limfosit yang berasal dari

thymus yaitu sel helper. Pada permukaan sel ini terdapat molekul glikoprotein

disebut CD4. HIV yang sudah masuk ke dalam sel limfosit CD4 tersebut akan mengadakan multiplikasi dengan cara menumpang dalam proses pertumbuhan sel inangnya. Di dalam sel limfosit CD4, virus HIV mengadakan replikasi dan merusak sel tersebut dan apabila sudah matang virus-virus baru keluar dan selanjutnya masuk ke dalam sel limfosit CD4 yang lainnya, berkembang biak, dan selanjutnya merusak sel tersebut. Sel limfosit CD4 berperan sebagai pengatur utama respon imun. Ketika sel ini diaktifkan oleh kontak dengan antigen, maka sel limfosit CD4 akan merespon melalui pembelahan sel dan menghasilkan limfokin. Limfokin ini berfungsi sebagai hormon lokal yang mengendalikan pertumbuhan dan maturasi sel limfosit tipe lainnya, terutama sel T sitotoksik / supresor (CD8) dan limfosit B penghasil antibodi (Dwi, 2007).

Pada awal infeksi, dalam beberapa hari atau minggu, seperti pada infeksi virus lainnya, akan terdapat peningkatan jumlah sel sitotoksik / supresor CD8. Akan tetapi, meski penderita masih berada dalam kondisi seropositif sehat, pada paparan ulang antigen tidak terjadi peningkatan CD8 lagi. Hal ini mungkin

9

disebabkan berkurangnya limfokin yang dikeluarkan sel limfosit CD4 untuk memicu sel CD8. Seseorang akan tetap seropositif dan sehat untuk jangka waktu yang lama. Pertanda progresivitas dari penyakit ini ditunjukkan dengan cepatnya penurunan jumlah sel limfosit CD4. Sel limfosit CD8 juga bisa ikut berkurang. Infeksi progresif HIV akhirnya akan menyebabkan penurunan imunitas yang progresif (Dwi, 2007).

2.3.2 Tahap Klinis HIV/AIDS

Menurut Soedarto (2009), penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan, yaitu:

1. Infeksi HIV akut yaitu infeksi HIV memberikan keluhan dalam waktu 2 – 4

minggu setelah paparan virus. Keluhan yang timbul antara lain demam, keluar ruam merah pada kulit, arthralgia, nyeri otot, sakit kepala, nyeri telan, badan lesu, dan limfadenopati. Keluhan berat, seperti meningitis, aseptis, neuropati perifer, ensefalitis, dan myelitis, merupakan pertanda buruk untuk penyakit pada masa selanjutnya. Pada masa ini diagnosis jarang dapat ditegakkan. Hal ini disebabkan pertama, dokter belum mempertimbangkan adanya infeksi HIV. Kedua, keluhan menyerupai banyak penyakit lainnya. Ketiga, tes serologi standar untuk antibodi terhadap HIV masih memberikan hasil negatif (windows

period). Periode jendela (window period) adalah masa saat pemeriksaan tes

serologi untuk antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif sementara virus sudah ada dalam darah penderita. Periode jendela menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena pada masa itu orang dengan HIV sudah mampu menularkan kepada orang lain.

10

2. Penderita asimtomatik yaitu tidak adanya gejala yang terjadi pada masa

inkubasi yang berlangsung 7 bulan sampai 7 tahun lamanya. Pada anak-anak masa infeksi asimtomatik ini lebih pendek daripada orang dewasa. Beberapa bayi menjadi sakit dalam beberapa minggu pertama. Kebanyakan anak-anak menjadi sakit sebelum usia 2 tahun. Meskipun penderita tidak menunjukkan keluhan, pemeriksaan darah penderita akan menunjukkan seropositif. Hal ini sangat berbahaya dan berpotensi tinggi menularkan infeksi HIV pada orang lain.

3. Persisten Generalized Lymphadenopathy (PGL)

Jaringan limfe berfungsi sebagai tempat penampungan HIV. Pembesaran limfonodi menetap, menyeluruh, simetri, dan tidak nyeri tekan.

Menurut Dwi (2007), gejala-gejala yang berkaitan dengan HIV/AIDS

terdapat pada penderita dalam 4 sub-grup stadium yang disebut “full blown

AIDS”, yaitu:

1. Gejala Konstitusi

Kelompok ini sering disebut sebagai AIDS related complex. Penderita mengalami paling sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan atau lebih. Gejala tersebut berupa:

a. Demam terus-menerus lebih dari 37o C

b. Kehilangan berat badan 10% atau lebih

c. Radang kelenjar getah bening yang meliputi dua atau lebih kelenjar getah

11

d. Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

e. Berkeringat banyak pada malam hari yang terus-menerus

2. Gejala Neurologis

Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beraneka ragam seperti kelemahan otot, kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi, halusinasi, mudah lupa, psikosis, dan radang otak yang menyebabkan koma. 3. Gejala infeksi

Infeksi oportunistik merupakan kondisi daya tahan tubuh penderita sudah sangat lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi bahkan terhadap patogen yang normal di dalam tubuh manusia. Infeksi yang paling sering ditemukan antara lain:

a. Pneumocystic Carinii Pneumonia (PCP)

Pada penderita AIDS, penyakit ini disebabkan oleh protozoa yang menyerang paru-paru dan menyebabkan terjadinya pneumonia.

b. Tuberkulosis

Infeksi Mycobacterium Tuberculosis pada penderita AIDS sering mengalami penyebaran luas sampai keluar dari paru-paru. Penyakit ini sangat resisten terhadap obat anti-TBC dan gambaran klinis TBC pada penderita AIDS tidak khas karena tubuh tidak mampu bereaksi dengan kuman.

c. Toksoplasmosis

Penyebab ensefalitis lokal pada penderita AIDS adalah reaktivasi

Toxoplasma Gondii. Gejala dapat berupa sakit kepala dan panas sampai

12

d. Infeksi Mukokutan

Infeksi mukokutan ini terdiri dari herpes simpleks, herpes zoster, kandidiasis. Infeksi mukokutan timbul bisa satu jenis atau beberapa jenis secara bersama. Sifat kelainan mukokutan ini persisten dan respon terhadap pengobatan lambat sehingga sulit dalam melakukan penatalaksanaannya. 4. Gejala Tumor

Tumor yang sering menyertai penderita AIDS adalah sarkoma Kaposi dan limfoma maligna non-Hodkin. Gambaran klinis sarkoma Kaposi adalah bercak merah coklat, ungu atau kebiruan pada kulit yang disertai rasa nyeri.yang akan meluas ke seluruh tubuh dan meluas ke selaput lendir mulut, faring, esofagus, dan paru-paru. Gambaran klinis limfoma maligna non-Hodkins adalah pembesaran massa limfa dan menyebar yang disertai dengan demam dan penurunan berat badan.

Penderita yang terdapat dalam fase “Full Blown AIDS” akhirnya

13

Infeksi primer Kematian

1200 107 1100 Infeksi oportunistik 1000 106 900 800 105 700 600 Gejala klinis 500 104 400 300 103 200 100 Periode Jendela 0 102 0 3 6 9 12 ≈ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Minggu Tahun

Gambar 2.1. Perjalanan Alamiah HIV/AIDS (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010)

Sindrom retroviral akut Penyebaran luas virus

Pembenihan pada organ limfoid Secara klinis tidak

menampakkan gejala (periode laten / asimtomatik) Ju m lah CD 4+ L im fosit ( se l/ m m 3 ) V iral Load = B eb an vir u s = Ju m lah k op i H IV R N A pad a se tiap m L P lasm a

14

2.4 Epidemiologi HIV/AIDS

2.4.1 Distribusi dan Frekuensi HIV/AIDS

a. Berdasarkan Orang

Jumlah infeksi HIV yang dilaporkan menurut kelompok umur tahun 2010 sampai dengan September 2014 dengan jumlah tertinggi adalah pada kelompok

umur 25 – 49 tahun dengan jumlah kasus pada Tahun 2010 sebanyak 15.648

orang, pada Tahun 2011 sebanyak 15.490 orang, pada Tahun 2012 sebanyak 15.133, pada Tahun 2013 sebanyak 20.976 orang, dan pada Tahun 2014 sebanyak 16.421 orang (Ditjen P.P. & P.L., Kemenkes R.I., 2014).

Persentase kumulatif AIDS yang dilaporkan menurut kelompok umur tahun 1987 sampai dengan September 2014 adalah dengan persentase tertinggi

pada kelompok umur 20 – 29 yaitu 32,9%. Jumlah kumulatif kasus AIDS menurut

jenis kelamin adalah dengan jumlah tertinggi pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 30.001 orang. Pada jenis kelamin perempuan, jumlah kasus kumulatif AIDS adalah sebanyak 16.149 orang dan jumlah kasus yang tidak dilaporkan adalah sebanyak 9.649 orang (Ditjen P.P. & P.L., Kemenkes R.I., 2014).

Jumlah infeksi HIV yang dilaporkan menurut jenis kelamin Tahun 2008 sampai dengan September 2014 dengan jumlah tertinggi adalah pada jenis kelamin laki-laki dengan jumlah kasus pada Tahun 2008 sebanyak 6.797 orang, pada Tahun 2009 sebanyak 6.334 orang, pada Tahun 2010 sebanyak 13.231 orang, pada Tahun 2011 sebanyak 11.766 orang, pada Tahun 2012 sebanyak 12.193 orang, pada Tahun 2013 sebanyak 16.758 orang, dan pada Tahun 2014 sebanyak 13.280 orang (Ditjen P.P. & P.L., Kemenkes R.I., 2014).

15

Persentase kumulatif AIDS yang dilaporkan menurut jenis kelamin Tahun 1987 sampai dengan September 2014 adalah dengan persentase tertinggi pada jenis kelamin laki-laki yaitu 54%. Persentase pada jenis kelamin perempuan adalah 29% dan persentase yang tidak melaporkan jenis kelamin yaitu 17% (Ditjen P.P. & P.L., Kemenkes R.I., 2014).

b. Berdasarkan Tempat

Jumlah infeksi HIV tertinggi yang dilaporkan menurut provinsi di Indonesia Tahun 1987 sampai dengan September 2014 adalah terdapat pada tujuh provinsi yaitu Provinsi DKI Jakarta sebanyak 32.782 kasus, Provinsi Jawa Timur sebanyak 19.249 kasus, Provinsi Papua sebanyak 16.051 kasus, Provinsi Jawa Barat sebanyak 13.507 kasus, Provinsi Bali sebanyak 9.637 kasus, Provinsi Sumatera Utara sebanyak 9.219 kasus, dan Provinsi Jawa Tengah sebanyak 9.032 kasus (Ditjen P.P. & P.L., Kemenkes R.I., 2014).

Di Indonesia terdapat sepuluh provinsi yang melaporkan jumlah kumulatif AIDS terbanyak Tahun 1987 sampai dengan September 2014 adalah Provinsi Papua dengan jumlah kasus sebanyak 10.184 kasus, Provinsi Jawa Timur sebanyak 8.976 kasus, Provinsi DKI Jakarta sebanyak 7.477 kasus, Provinsi Bali sebanyak 4.261 kasus, Provinsi Jawa Barat sebanyak 4.191 kasus, Provinsi Jawa Tengah sebanyak 3.767 kasus, Provinsi Papua Barat sebanyak 1.734 kasus, Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 1.703 kasus, Provinsi Kalimantan Barat sebanyak 1.699 kasus, dan Provinsi Sumatera Utara sebanyak 1.573 kasus (Ditjen P.P. & P.L., Kemenkes R.I., 2014).

16

Berdasarkan data Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, tiga daerah tertinggi penderita baru HIV/AIDS Tahun 2013 di Sumatera Utara terdapat di Kota Medan yang memiliki jumlah kasus penderita baru HIV/AIDS sebanyak 421 kasus atau 37,79%, Kabupaten Deli Serdang sebanyak 189 kasus (16,96%), dan Kota Pematangsiantar sebanyak 100 kasus (8,97%) dari 29 kabupaten/kota yang melaporkan ditemukannya kasus baru HIV/AIDS.

c. Berdasarkan Waktu

Di Indonesia, selama tiga tahun berturut-turut jumlah kasus HIV positif mengalami perkembangan yang cukup stabil, yaitu jumlah kasus HIV positif Tahun 2010 adalah 21.591 kasus. Pada Tahun 2011 dan Tahun 2012 jumlah kasus HIV positif adalah 21.031 kasus dan 21.511 kasus. Akan tetapi, pada Tahun 2013 dan Tahun 2014 mengalami peningkatan jumlah kasus HIV positif di Indonesia, yakni 29.037 kasus dan 32.711 kasus (Profil Kesehatan Indonesia, 2014).

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014, penemuan kasus AIDS di Indonesia mengalami kecenderungan peningkatan kasus baru AIDS selama empat tahun berturut-turut, yaitu pada Tahun 2010 sebanyak 7.179 kasus, pada Tahun 2011 sebanyak 8.015 kasus, pada Tahun 2012 sebanyak 9.649 kasus, dan pada Tahun 2013 sebanyak 10.163 kasus. Akan tetapi, pada Tahun 2014 jumlah kasus baru AIDS mengalami penurunan jumlah kasus yaitu sebanyak 5.494 kasus.

17

2.5 Faktor Risiko HIV/AIDS

a. Heteroseksual

Perempuan lebih rentan dibanding laki-laki terhadap infeksi HIV melalui hubungan heteroseksual. Perempuan lebih banyak terpajan oleh penyakit IMS yang menyebabkan peningkatan risiko infeksi HIV/ AIDS (Widihastuti, 2013). Penelitian Rokhmah (2014) menunjukkan data penderita HIV/AIDS di Kabupaten Jember mencapai 982 orang. Berdasarkan faktor risiko, terdapat 84,11% yang ditularkan secara heteroseksual dan ibu rumah tangga (IRT) menempati urutan pertama tertular HIV/AIDS yaitu 23,42% dan terendah adalah 15,58% pada wanita penjaja seks.

b. Penggunaan Narkoba Suntik Bergantian

Penggunaan narkoba suntik secara bergantian menimbulkan risiko penularan HIV/AIDS (Naparudin, 2013). Penggunaan narkoba suntik merupakan gangguan mental dan perilaku yang kronis, sering kambuh, dan mudah terinfeksi serta menularkan infeksi HIV (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010). Hal ini ditunjukkan dengan penelitian Naparudin (2013) pada 47 responden yang terdiagnosis HIV/AIDS yang menunjukkan pengguna jarum suntik yang didominasi oleh NAPZA jenis heroin 42 responden (89,4%) secara bergantian adalah sebanyak 20 responden (42,6%).

18

2.6 Pencegahan HIV/AIDS

2.6.1 Pencegahan Primer HIV/AIDS

a. Promosi Kesehatan Umum (General Health Promotion)

Menurut Kunoli (2012) dan Najmah (2016), upaya promosi kesehatan pada pencegahan primer HIV/AIDS adalah pemberian pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja, khususnya di lingkungan sekolah dan bagi masyarakat yang harus ditekankan agar tidak mempunyai pasangan seks yang berganti-ganti.

b. Perlindungan Umum dan Spesifik (Specific and General Protection)

Upaya perlindungan umum dan spesifik pada pencegahan primer HIV/AIDS menurut Kunoli (2012) adalah tidak melakukan hubungan seks atau hanya berhubungan seks dengan satu orang yang diketahui tidak mengidap infeksi HIV. Upaya perlindungan umum dan spesifik lainnya menurut Najmah (2016) adalah penggunaan jarum suntik steril bagi pengguna narkoba suntik dan tes darah bagi donor darah.

2.6.2 Pencegahan Sekunder HIV/AIDS

a. Diagnosis Awal (Early Diagnosis)

Upaya diagnosis awal pada pencegahan sekunder HIV/AIDS menurut

Centers for Disease and Control and Prevention (2015) yang merekomendasikan

bahwa tes HIV/AIDS rutin secara sukarela dapat dilakukan sebagai bagian normal dari praktik medis, seperti skrining untuk kondisi penyakit yang perlu diobati lainnya.

Tes HIV adalah alat kesehatan publik yang digunakan untuk mengidentifikasi kondisi kesehatan yang belum dikenal sebagai langkah awal

19

untuk diagnosis selanjutnya sehingga pengobatan dapat ditawarkan sebelum timbulnya gejala sehingga intervensi dapat diterapkan untuk mengurangi kemungkinan penularan lanjutan (Centers for Disease and Control and

Prevention, 2015).

b. Pengobatan Segera (Prompt Treatment)

Upaya pengobatan segera pada pencegahan sekunder HIV/AIDS bagi seseorang dengan HIV negatif yang memiliki faktor risiko tinggi menurut Centers

for Disease and Control and Prevention (2016) adalah memberikan obat yaitu Pre-exposure Prophylaxis (PrEP) dan Post-Exposure Prophylaxis (PEP).

Pre-Exposure Prophylaxis (PrEP) adalah sebuah obat yang dikonsumsi

setiap hari yang dapat digunakan untuk mencegah terinfeksi HIV. PrEP adalah untuk orang tanpa HIV yang memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi HIV dari hubungan seksual atau penggunaan narkoba suntik. Pre-exposure prophylaxis (PrEP) diperuntukkan bagi orang yang berisiko sangat tinggi terinfeksi HIV untuk mengonsumsi obat setiap hari dalam upaya menurunkan peluang terinfeksi.

PrEP adalah sebuah kombinasi dari dua obat HIV (tenofovir dan

emtricitabine), dijual dengan nama dagang Truvada®, digunakan sehari-hari

untuk membantu mencegah orang HIV negatif dari tertular HIV dari penggunaan narkoba suntik atau melakukan hubungan seksual dengan mitra yang positif. Orang dengan risiko tinggi harus ditawarkan PrEP termasuk 1 dari 4 kelompok risiko lelaki seks lelaki dan biseksual, 1 dari 5 orang yang menggunakan narkoba suntik, dan 1 dari 200 orang dewasa yang aktif melakukan hubungan seksual (heteroseksual).

20

Konsumsi PrEP setiap hari dapat mengurangi risiko tertular HIV dari hubungan seksual dengan persentase lebih dari 90% sedangkan konsumsi PrEP setiap hari dapat mengurangi risiko tertular HIV di antara pengguna narkoba suntik dengan persentase 70%. Penelitian telah menunjukkan bahwa PrEP sangat efektif untuk mencegah HIV jika digunakan seperti yang ditentukan. PrEP jauh kurang efektif jika tidak dikonsumsi secara konsisten. Orang yang menggunakan PrEP diperiksa setiap 3 bulan untuk tindak lanjut, termasuk tes HIV dan isi ulang resep (Centers for Disease Control and Prevention, 2016).

Post-exposure prophylaxis (PEP) adalah mengonsumsi obat-obatan

antiretroviral (ART) setelah berpotensi terkena HIV untuk mencegah terinfeksi. PEP harus digunakan hanya dalam situasi darurat dan harus dimulai dalam waktu 72 jam setelah paparan HIV terjadi. PEP diperuntukkan bagi orang yang baru saja terkena HIV selama melakukan hubungan seks atau melalui berbagi jarum dan bekerja untuk mempersiapkan obat-obatan atau jika seseorang mengalami kekerasan secara seksual.

Semakin cepat seseorang yang berpotensi terpapar HIV memulai untuk mengonsumsi PEP merupakan hal yang baik karena setiap jam dihitung. Penelitian telah menunjukkan bahwa PEP memiliki sedikit atau tidak berpengaruh dalam mencegah infeksi HIV jika dimulai paling lambat 72 jam setelah paparan HIV. Jika seseorang diresepkan PEP, maka orang perlu mengonsumsi PEP sekali atau dua kali sehari selama 28 hari (Centers for Disease and Control and

21

2.6.3 Pencegahan Tersier HIV/AIDS

a. Pembatasan Ketidakmampuan (Disability Limitation)

Upaya pembatasan ketidakmampuan pada pencegahan tersier HIV/AIDS adalah memberikan terapi dan pengobatan Anti-Retroviral Virus (ARV) bagi seseorang yang sudah dinyatakan positif HIV dan pengobatan pencegahan dan penanggulangan infeksi opurtunistik (Najmah, 2016).

b. Rehabilitasi (Rehabilitation)

Upaya rehabilitasi pada pencegahan tersier HIV/AIDS adalah memberikan dukungan secara psikologis melalui memberikan motivasi pada ODHA, merangkul ODHA dengan tidak menimbulkan stigma dan tidak melakukan tindakan diskriminasi (Najmah, 2016).

2.7 Pengukuran Perilaku Tes HIV

Menurut Lawrence Green (1991) dalam Notoatmodjo (2010), Perilaku manusia terkait tes HIV dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat.

1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)

Faktor predisposisi terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. Perilaku seseorang atau masyarakat dalam operasionalnya ditentukan oleh pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan tindakan atau praktik (practice).

a. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan dalam penelitian ini adalah hal apa yang

22

diketahui oleh orang terkait HIV/AIDS sebelum melakukan tes HIV. Misalnya, sebelum seseorang melakukan tes HIV seseorang tersebut sebaiknya mengetahui tentang HIV/AIDS yaitu penyebab, cara penularan, cara pencegahan sehingga seseorang tersebut dapat menentukan tindakan yang akan dilakukannya yaitu melakukan tes HIV atau tidak melakukan tes HIV.

Pengetahuan terkait HIV/AIDS dapat diukur dengan cara menanyakan secara langsung (wawancara, yaitu wawancara tertutup atau wawancara terbuka) dengan menggunakan kuesioner, atau menanyakan secara tertulis (angket, yaitu angket tertutup atau angket terbuka).

b. Sikap

Sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu sehingga sikap merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual, artinya proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri setiap individu. Sikap dalam penelitian ini adalah bagaimana pendapat atau penilaian orang terkait HIV/AIDS sebelum melakukan tes HIV.

Sikap terkait HIV/AIDS dapat diukur menggunakan metode wawancara yaitu menggali pendapat atau penilaian responden melalui pernyataan-pernyataan terkait HIV/AIDS dan menggunakan angket untuk menggali pendapat atau penilaian responden melalui pernyataan-pernyataan terkait HIV/AIDS dan jawaban-jawaban secara tertulis.

c. Tindakan (Praktik)

Tindakan (praktik) adalah hal apa yang dilakukan oleh seseorang terkait dengan pencegahan penyakit, cara peningkatan kesehatan, cara memperoleh

23

pengobatan yang tepat, dan sebagainya. Tindakan (praktik) dalam penelitian ini adalah perilaku tes HIV.

Pengukuran perilaku tes HIV dapat dilakukan dengan dua metode yaitu mengukur perilaku tes HIV secara langsung berarti peneliti langsung mengamati atau mengobservasi perilaku subjek yang diteliti dan secara tidak langsung yakni dengan cara mengingat kembali (recall) yaitu subjek penelitian diminta untuk mengingat kembali (recall) terhadap perilaku atau tindakan beberapa waktu yang lalu, melalui orang ketiga atau orang lain yang dekat dengan subjek yang diteliti, dan melalui indikator (hasil perilaku) subjek yang diamati.

2. Faktor Pemungkin (Enabling Factors)

Faktor pemungkin terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan. Ketersediaan fasilitas juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku tes HIV.

3. Faktor Pendorong atau Penguat (Reinforcing Factors)

Faktor pendorong terwujud dalam sikap dan perilaku dukungan petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat, khususnya dalam perilaku tes HIV.

2.8 Perilaku Tes HIV Orang yang Mendapatkan Layanan VCT

Tes HIV atau juga dapat disebut dengan Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan tes HIV yang didahului oleh kegiatan konseling bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah untuk HIV di laboratorium (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010).

24

Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2010), perilaku tes HIV seseorang dapat dilihat melalui tahapan layanan VCT yaitu :

1. Konseling Pra-Tes

Tujuan konseling pra-tes adalah membuat klien atau orang yang mengikuti layanan VCT mampu memutuskan apakah dirinya perlu melakukan tes HIV atau tidak melakukan tes HIV untuk memeriksakan status HIV, dengan segala konsekuensinya. Hal yang dilakukan pada tahap konseling pra-tes dalam VCT adalah informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa nama (anonimus) sehingga nama tidak ditanyakan, buat catatan rekam medik klien dan memiliki kartu dengan nomor kode, membantu klien mengetahui faktor risiko dan menyiapkan diri untuk pemeriksaan darah, memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV, dan klien memberikan persetujuan tertulisnya (informed consent) sebelum dilakukan testing HIV (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2010).

2. Tes HIV

Tes HIV adalah uji adanya HIV atau tidak yang diperuntukkan bagi semua orang dalam populasi tertentu yang memiliki faktor risiko seperti melakukan heteroseksual, penggunaan narkoba suntik, donor darah, dan penularan dari ibu kepada bayi (Centers for Disease and Control and Prevention, 2015).

Tes HIV yang dimaksud adalah untuk menegakkan diagnosis. Tes yang digunakan adalah tes serologis untuk mendeteksi antibodi HIV dalam serum atau plasma. Spesimen adalah darah klien yang diambil secara intravena, plasma atau

Dokumen terkait