• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

Petugas kesehatan diharapkan melakukan pendampingan dengan memberikan penyuluhan bagi ibu anak bekebutuhan khusus tentang pemberian makan bagi anak. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan ibu tentang pola pemberian makan yang baik serta dapat menyediakan makanan yang beragam dan sesuai dengan kebutuhan gizi anak. Serta menggerakkan dan meningkatkan kembali pemantauan status gizi anak usia sekolah di wilayah kerjanya. Orang tua juga diharapkan lebih melibatkan anak dalam aktivitas olahraga di sekolah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak normal pada umumnya. Menurut Efendi yang dikutip oleh Abdullah (2013), istilah berkebutuhan khusus secara eksplisit ditujukan kepada anak yang dianggap mempunyai kelainan atau penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya yaitu dalam hal fisik, mental maupun karakteristik perilaku sosialnya.

2.1.1 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Menurut klasifikasi dan jenis kelainan, anak berkebutuhan khusus dikelompokkan ke dalam kelainan fisik, kelainan mental, dan kelainan karakteristik sosial.

1. Kelainan Fisik

Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbul suatu keadaan pada fungsi fisik tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak berfungsinya anggota fisik terjadi pada; alat fisik indra, misalnya kelainan pada indra pendengaran (tunarungu), kelainan pada indra penglihatan (tunanetra), kelainan pada fungsi organ bicara (tunawicara); alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada sistem saraf di otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik (cerebral palsy), kelainan anggota badan akibat pertumbuhan yang tidak sempurna, misalnya lahir tanpa tangan atau kaki,

amputasi dan lain-lain. Kelainan pada alat motorik tubuh ini dikenal dalam kelompok tunadaksa.

2. Kelainan Mental

Anak dalam aspek kelainan mental adalah anak yang memiliki penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya. Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan mental dalam arti kurang (subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih atau anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi: a) anak mampu belajar dengan cepat (rapid learner), b) anak berbakat (gifted), dan c) anak genius (extremely gifted). Anak yang berkelainan mental dalam arti kurang atau tunagrahita, yaitu anak yang diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal) sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara khusus.

Kecerdasan yang sedemikian rendah menyebabkan anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial pada setiap fase perkembangannya. Anak tunagrahita tidak bisa menentukan bagaimana mereka harus menjaga kesehatan, mengatur pola makan, dan mencegah mereka dari penyakit yang mengancam kesehatannya. Anak tunagrahita sedang sampai berat bahkan tidak bisa mengurus dirinya sendiri dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya, sehingga harus selalu dibimbing dan diawasi.

3. Kelainan Perilaku Sosial

kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib, norma sosial, dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial ini, misalnya kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran hukum atau norma maupun kesopanan (Amin & Dwidjosumarto, 1979). Menurut Mackie yang dikutip oleh Abdullah (2013), anak yang termasuk dalam kategori kelainan perilaku sosial adalah anak yang mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku di rumah, di sekolah, dan di masyarakat lingkungannya.

2.2 Anak Usia Sekolah

Anak sekolah menurut definisi WHO (World Health Organization) yaitu golongan anak yang berumur antara 7-15 tahun, sedangkan di Indonesia anak sekolah adalah anak yang berusia 7-12 tahun, memiliki fisik lebih kuat mempunyai sifat individual serta aktif dan tidak bergantung dengan orang tua. Kebutuhan gizi anak sebagian besar digunakan untuk aktivitas pembentukan dan pemeliharaan jaringan. Karakteristik anak usia sekolah meliputi:

1. Pertumbuhan tidak secepat bayi

2. Gigi merupakan gigi susu yang tidak permanen (tanggal) 3. Lebih aktif memilih makanan yang disukai

4. Kebutuhan energi tinggi karena aktivitas meningkat 5. Pertumbuhan lambat

Anak usia sekolah pada umumnya banyak memiliki aktivitas bermain yang menguras banyak tenaga, dengan terjadi ketidakseimbangan antara energi yang masuk dan keluar, akibatnya tubuh anak menjadi kurus. Untuk mengatasinya harus mengontrol waktu bermain anak sehingga anak memiliki waktu istirahat cukup.

2.2.1 Kebutuhan Gizi pada Anak Usia Sekolah

Awal umur 6-7 tahun anak mulai masuk sekolah, dimana anak mulai banyak berhubungan dengan orang-orang di luar keluarganya, dan mulai mengenal suasana dan lingkungan baru dalam kehidupannya. Hal ini tentu saja banyak memengaruhi kebiasaan makan mereka. Pengalaman-pengalaman baru, kegembiraan di sekolah, rasa takut terlambat tiba di sekolah, menyebabkan anak-anak ini sering menyimpang dari kebiasaan waktu makan yang sudah diberikan kepada mereka (Moehji, 2003).

Zat gizi makro maupun zat gizi mikro sangat dibutuhkan anak usia sekolah untuk proses pertumbuhan dan perkembangan, mempertahankan tubuh terhadap serangan infeksi, dan meningkatkan kemampuan belajar serta membantu konsentrasi. Menurut Ingtyas yang dikutip oleh Rahmawati (2013), anak dengan disabilitas intelektual (tunagrahita) mengalami defisit asupan gizi yaitu diantaranya energi, protein, zat besi (fe), vitamin A, vitamin B, dan vitamin C. Marthur (2007) menambahan anak tunagrahita juga mengalami defisit kalsium.

Menurut Rao yang dikutip oleh Rahmawati (2013), pada anak tunagrahita, rendahnya asupan karbohidrat dapat berpengaruh pada neurotransmiter (pengantar saraf) otak, produksi serotonin dan triptofan. Asam

amino yang terdapat dalam makanan berprotein tinggi dapat memengaruhi fungsi otak dan kesehatan mental. Hal ini berkaitan dengan dengan neurotransmiter otak. Asam amino merupakan bahan pembentuk dari beberapa neurotransmiter dopamin yang tebentuk dari asam amino tirosin. Asupan asam amino yang kurang dapat menyebabkan terganggunya sintesis dari masing-masing neurotransmiter, yang mana berhubungan dengan suasana hati (mood) dan sifat agresif anak. Akan tetapi, penambahan asam amino yang berlebih dapat menyebabkan kerusakan otak dan disabilitas intelektual.

Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Kekurangan zat besi dapat mengakibatkan penurunan kemampuan belajar karena fungsi neurotransmiter tidak bekerja dengan optimal, anemia gizi besi, dan menurunkan appetite. Vitamin B6 (piridoksin) berfungsi mencerna protein, sintesis antibodi, dan berperan pembentukan sel darah merah. Kekurangan vitamin B6 dapat menyebabkan gangguan protein seperti lemah, mudah tersinggu, perubahan hati (mood), dan sukar tidur. Kekurangan vitamin C akan menyebabkan perbaikan jaringan menjadi lambat. Dampak lainnya adalah gangguan saraf yang diikuti oleh gangguan psikomotor. Kalsium merupakan mineral yang paling banyak di dalam tubuh dan jumlah paling banyak tersimpan pada tulang dan gigi. Kekurangan kalsium dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan.

Aktivitas yang tinggi mulai waktu untuk sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah (PR), dan bermain membuat stamina anak cepat menurun jika tidak ditunjang dengan intake pangan dan gizi yang cukup dan berkualitas.

Kebutuhan energi golongan umur 10-15 tahun relatif lebih besar dari pada golongan umur 7-9 tahun, karena aktivitas dan pertumbuhan yang meningkat, terutama penambahan tinggi badan. Mulai umur 10-15 tahun, kebutuhan gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Adapun jumlah energi dan protein yang dianjurkan bagi anak umur 7-15 tahun tertera pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan (Per Orang Per Hari) Anak Umur 7 –15 Tahun

Golongan Umur Berat (kg) Tinggi (cm) Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) 7-9 tahun 27 130 1850 49 72 254 10 –12 tahun (laki-laki) 34 142 2100 56 70 289 10 –12 tahun (perempuan) 36 145 2000 60 67 275 13 -15 tahun (laki-laki) 46 158 2475 72 88 340 13-15 tahun (perempuan) 46 155 2125 69 71 292

Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.75 Tahun 2013 Konsumsi zat gizi seseorang dapat dibandingkan dengan angka kecukupan gizi rata - rata dengan mencari tingkat konsumsi setiap kategori. Tingkat konsumsi ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

Konsumsi zat gizi

Tingkat konsumsi = x 100%

Angka kecukupan gizi (AKG)

Klasifikasi tingkat konsumsi energi dan protein (TKE dan TKP) adalah sebagai berikut (WNPG, 2004):

1. Lebih : > 110% AKG 2. Baik : 80 – 110 % AKG 3. Kurang : < 80% AKG

2.3 Pola Makan

Pola makan (food pattern) adalah kebiasaan memilih dan mengonsumsi bahan makanan oleh sekelompok individu. Pola makan dapat memberi gambaran mengenai kualitas makanan masyarakat. Menurut Lie Goan Hong dalam Sri Kardjati (2009) yang dikutip oleh Aidina (2015), pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu.

Pola makan yang baik mengandung makanan pokok, lauk-pauk, buah-buahan dan sayur-sayuran serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan. Pola makan yang baik dan jenis hidangan makanan yang beraneka ragam dapat menjamin terpenuhinya kecukupan sumber tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang. Asupan gizi diperoleh dari mengonsumsi berbagai makanan yang mengandung zat gizi berupa karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Beberapa zat gizi tersebut akan diubah menjadi energi dalam tubuh yang nantinya akan digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Menurut Hanum yang dikutip oleh Pohan (2015), permulaaan growth spurt (pertumbuhan yang cepat) pada anak tidak selalu sama pada umur yang sama melainkan terdapat perbedaan secara individual. Pertumbuhan yang cepat biasanya diiringi oleh bertumbuhnya aktivitas fisik sehingga kebutuhan zat gizi akan naik pula. Pengalaman baru, kegembiraan di sekolah, rasa takut kalau terlambat sekolah menyebabkan anak menyimpang dari kebiasaan makan yang

sudah menyimpang dari kebiasaan waktu makan yang sudah diberikan pada mereka. Sementara kebutuhan energi akan meningkat karena mereka lebih banyak melakukan aktivitas fisik, misalnya olahraga, bermain dan lain-lain.

2.3.1 Kaitan Pola Makan dengan Status Gizi

Ketidakseimbangan antara asupan makanan dan kebutuhan atau kecukupan akan menimbulkan masalah gizi, baik itu berupa masalah gizi lebih maupun gizi kurang. Menurut Istiani (2013), konsumsi makanan seseorang berpengaruh terhadap status gizi orang tersebut. Status gizi baik terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efesien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara optimal. Sedangkan status gizi kurang terjadi apabila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terja- di bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah yang berlebihan sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan.

2.3.2 Pemberian Makan pada Anak Umur 7-15 Tahun

Anak umur 7-15 tahun sudah mempunyai daya tahan tubuh yang cukup. Tetapi kebutuhan nutrien justru bertambah, karena mereka sering melakukan berbagai aktivitas, seperti bermain di luar rumah, olahraga, pramuka, dan kegiatan sekolah lainnya. Kebutuhan energi pada golongan umur 10-15 tahun lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan yang lebih pesat dan aktivitas yang lebih banyak.

Pemberian makan pada anak bertujuan: 1) memberikan nutrien yang cukup sesuai dengan kebutuhan, yang dimanfaatkan untuk tumbuh kembang yang

optimal, penunjang berbagai aktivitas, dan pemulihan kesehatan setelah sakit; dan 2) mendidik kebiasan makan yang baik, mencakup penjadwalan makan, belajar menyukai, memilih, dan menentukan jenis makanan yang bermutu (Markum, dkk, 2002).

2.3.3 Pengaturan Makan pada Anak Umur 7-15 Tahun

Jadwal pemberian makan merupakan kelanjutan dari jadwal masa bayi dengan sedikit penyesuaian, menjadi sebagai berikut: 3 kali makan utama (pagi, siang, dan malam/sore), diantaranya diberikan makanan kecil atau jajanan, dan bila mungkin tambahan susu (Markum, dkk, 2002). Secara lebih terinci jadwal makan yang dianjurkan adalah sebagai berikut.

Tabel 2.2 Contoh Pola Makanan Anak Umur 7-12 Tahun

Umur 7-9 tahun BB 23kg (1900 kkal) 10-12 tahun BB 30 kg (2100 kkal)

Jam pemberian makan g urt g urt 06.00 : susu + gula 07.00 : nasi 1) telur 10.00 : kue 12.00 : nasi 1) hewani 2) nabati 3) sayuran buah 16.00 : bubur kacang hijau 4) 18.00 : nasi hewani nabati sayuran buah 21.00 : susu + gula biskuit 5) 200 100 50 50 150 50 25 50 50 200 150 50 25 50 50 200 20 1 gelas ¾gelas 1 butir 1 potong 1 gelas 1 potong 1 potong ½ gelas 1 potong 1 gelas 1 gelas 1 potong 1 potong ½ gelas 1 potong 1 gelas 2 buah 200 1 gelas 150 1 gelas 50 1 butir 50 1 potong 200 1 ½ gelas 50 1 potong 25 1 potong 75 ¾ gelas 50 1 potong 200 1 gelas 150 1 gelas 50 1 potong 25 1 potong 75 ¾ gelas 50 1 potong 200 1 gelas 20 2 buah Sumber : Subbagian Gizi anak FKUI/RSCM

Keterangan :

1) Dapat diganti dengan makanan penukarnya seperti roti, jagung, kentang, sagu. 2) Diartikan sumber protein hewani : daging, telur, hati, ikan laut, ikan tawar. 3) Diartikan sumber protein nabati : tahu, tempe, kacang-kacangan.

4) Dapat diganti dengan makanan penukar sebanyak 25 gram. 5) Berat biskuit “Regal” : 8-10 gr/buah

Berat biskuit “ Farley” : 15-16 gr/buah urt : ukuran rumah tangga

g : gram

2.4 Metode Food Recall 24 jam

Prinsip dari metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini responden menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Menurut Sanjur yang dikutip oleh Supariasa, dkk (2001). Langkah-langkah pelaksanaan recall 24 jam adalah sebagai berikut: 1. Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan

atau minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT) selama kurun waktu 24 jam yang lalu, kemudian petugas melakukan konversi dari URT ke dalam ukuran berat (gram).

2. Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM).

3. Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (DKGA) atau Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia.

Metode recall 24 jam ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya adalah sebagai berikut:

1. Mudah melaksanakannya serta tidak membebani responden. Biaya relatif murah karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas. 2. Cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden.

3. Dapat digunakan untuk responden yang buta huruf.

4. Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari.

Kekurangan metode recall 24 jam antara lain:

1. Tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari bila hanya dilakukan recall satu hari.

2. Ketepatan sangat tergantung pada daya ingat responden. The flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden yang gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit (under estimate).

4. Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih atau terampil dalam menggunakan alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai menurut kebiasaan masyarakat.

5. Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan dari penelitian. Keberhasilan metode recall 24 jam sangat ditentukan oleh daya ingat responden dan kesungguhan serta kesabaran dari pewawancara, maka untuk dapat

meningkatkan mutu data recall 24 jam dilakukan selama beberapa kali pada hari yang berbeda (tidak berturut-turut). Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif menggambarkan kebiasaan makanan individu (Supariasa, dkk, 2001).

2.5 Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency)

Menurut Supriasa, dkk (2001), secara umum survey konsumsi makanan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut. Metode frekuensi makan adalah untuk memperoleh data tetang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama waktu periode tertentu setiap hari, minggu, bulan atau tahun.

Formulir frekuensi makanan memuat tentang daftar bahan makanan atau makanan dan frekuensi pengguanaan makanan tersebut pada periode waktu tertentu. Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden.

Kelebihan metode food frequency : 1. Relatif murah dan sederhana

2. Dapat dilakukan sendiri oleh responden 3. Tidak membutuhkan latihan khusus

Kekurangan metode food frequency:

1. Tidak dapat menghitung intake zat gizi sehari-hari 2. Sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data 3. Cukup menjemukan bagi pewawancara

4. Perlu membuat pencobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk ke dalam daftar kuesioner

5. Responden harus jujur dan mempuyai motivasi yang tinggi.

2.6 Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh akibat aktivitas otot-otot skelet yang mengakibatkan pengeluaran energi. Latihan fisik adalah aktivitas fisik yang terencana, terstruktur dilakukan berulang-ulang dan bertujuan untuk memperbaiki dan mempertahankan kebugaran. Menurut Fatmah yang dikutip oleh Pohan (2015), latihan fisik merupakan bagian dari aktivitas fisik, sedangkan olahraga adalah aktivitas fisik yang mempergunakan otot-otot besar yang bersifat kompetitif maupun non kompetitif.

Kenaikan aktivitas fisik biasanya akan menaikkan nafsu makan. Latihan-latihan olahraga menambah nafsu makan pada orang-orang yang aktif secara normal. Keadaan ini merupakan mekanisme perlindungan tubuh, karena jika tidak, bila kita berjalan satu jam sehari maka dalam waktu 4-5 tahun, berat tubuh kita akan habis. Jadi, meningkatnya nafsu makan ini memungkinkan kita menjalankan latihan-latihan olahraga tanpa merusak kesehatan. Dalam hal ini tidak berlaku hukum kebalikannya, yaitu jika kita mengurangi aktivitas badan,

nafsu makan kita akan menurun. Pada kenyataannya, nafsu makan kita juga akan bertambah jika kita tidak aktif bergerak. Makan bisa merupakan kebiasaan yang mungkin disebabkan oleh nervous, misalnya ingin ada kesibukan tangan. Pada orang yang memiliki sifat yang demikian, melihat televisi sambil duduk saja tanpa makan, akan merasa tidak enak. Atau misalnya jika sedang berkumpul dengan teman-teman dan tidak mengerjakan sesuatu maka orang cenderung makan dalam jumlah banyak (Sumosardjuno, 1986).

Aktivitas fisik rutin dapat memberikan dampak positif bagi kebugaran seseorang, diantaranya yaitu:

1. Peningkatan kemampuan pemakaian oksigen dan curah jantung

2. Penurunan detak jantung, penurunan tekanan darah, peningkatan efisiensi kerja otot jantung

3. Mencegah mortalitas dan morbiditas akibat gangguan jantung 4. Peningkatan ketahanan saat melakukan latihan fisik

5. Peningkatan metabolisme tubuh (berkaitan dengan gizi tubuh) 6. Meningkatkan kemampuan otot, dan

7. Mencegah obesitas.

Jenis aktivitas fisik dibagi ke dalam 2 kategori yaitu aktivitas fisik terstruktur dan aktivitas fisik tidak terstruktur. Jenis aktivitas fisik terstruktur se- perti olahraga. Menurut Suryadi yang dikutip oleh Pohan (2015) aktivitas fisik dapat diukur dengan metode faktorial, yaitu merinci semua jenis dan lamanya kegiatan yang dilakukan selama 24 jam (dalam menit) pada lembar kuesioner, selanjutnya dicocokkan dengan Daftar Nilai Perkiraan Keluaran Energi pada

kegiatan tertentu. Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam dinyatakan dalam Physical Activity Level (PAL) atau tingkat aktivitas fisik. PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam 24 jam.

PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut : (���×�)

PAL = 24 ��� Keterangan :

PAL : Physical activity level (tingkat aktivitas fisik)

PAR : Physical activity ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis kegiatan per satuan waktu tertentu)

w : Alokasi waktu tiap aktivitas (jam)

Selanjutnya tingkat aktivitas fisik dikategorikan sebagai berikut (FAO/WHO/ UNU, 2001) :

1. Ringan dengan nilai PAL 1,40-1,69 2. Sedang dengan nilai PAL 1,70-1,99 3. Berat dengan nilai PAL 2,00-2,40.

Cara menentukan tingkat aktivitas fisik dengan menghitung seluruh kegiatan yang dilakukan selama satu hari dengan menggunakan nilai pada tabel di bawah ini. Tabel 2.3 Menaksir Pengeluaran Energi Untuk Suatu Aktivitas Fisik No Jenis Kegiatan Perkiraan Pengeluaran Energi

Laki-laki Perempuan 1 Tidur 1,0 1,0 2 Kegiatan Ringan 1,7 1,7 Sedang 2,7 2,2 Berat 3,8 2,8 3 Kegiatan Olahraga 6,0 6,0 4 Saat-saat Santai 1,4 1,4 Sumber : Suryadi (2013)

Kegiatan ringan hanya memerlukan sedikit tenaga dan biasanya tidak menyebabkan perubahan dalam pernapasan atau ketahanan, contoh : berjalan kaki, menyapu lantai, mencuci baju/piring, belajar, les di sekolah, les di luar sekolah, mengasuh adik, menonton TV, main playstation dan komputer. Kegiatan sedang membutuhkan tenaga intens atau terus menerus, gerakan otot yang berirama atau kelenturan, contohnya berlari kecil, tenis meja, berenang, bermain dengan hewan peliharaan, bersepeda, bermain musik, jalan cepat. Kegiatan berat biasanya membutuhkan kekuatan (strength), membuat berkeringat, contohnya berlari, bermain sepak bola, karate, taekwondo, pencak silat dan outbond.

2.6.1 Kaitan Aktifitas Fisik dengan Status Gizi

Berdasarkan hasil penelitian Sorongan (2012) terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan status gizi, semakin ringan intensitas aktivitas fisik yang dilakukan maka berpengaruh terhadap status gizi (IMT/U) lebih bahkan obesitas. Siswa yang aktivitas fisiknya rendah berpeluang 3,043 kali mengalami obesitas jika dibandingkan dengan siswa yang memiliki aktivitas fisik tinggi (Utami, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Mayer yang dikutip oleh Sumosardjuno (1986), mengenai hubungan antara jumlah makanan yang masuk ke dalam tubuh, latihan olahraga, dan berat badan adalah sebagai berikut:

1. Orang yang tidak banyak aktivitas, makan lebih banyak daripada orang-orang yang aktivitasnya sedang. dan orang seperti ini beratnya selalu bertambah. 2. Orang-orang yang banyak aktivitas, juga makan lebih banyak daripada orang

yang akivitasnya sedang, tetapi berat badannya lebih ringan daripada orang yang aktivitasnya sedang.

3. Orang yang aktivitasnya sedang, makannya lebih sedikit daripada orang yang tidak banyak aktivitas dan juga lebih sedikit dari pada orang yang banyak aktivitas, tetapi berat badannya berada di antara yang tidak banyak aktivitas dan yang banyak aktivitas.

Penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak yang sangat gemuk memperlihatkan bahwa mereka makan lebih sedikit atau sama dengan teman-temannya yang lain yang tidak gemuk. Anak-anak yang sangat gemuk ini gerakannya memang sangat kurang. Aktivitas sehari-harinya biasanya dikerjakan sambil duduk. Dari penelitian di atas, ternyata anak-anak yang gemuk duduk 4 kali lebih lama daripada teman-temannya yang tidak gemuk. Hal ini berlaku baik untuk pria maupun wanita. Dari penelitian ini disumpulkan bahwa kegemukan (obesitas) merupakan problema aktivitas fisik, bukan problema makan. Menurut

Dokumen terkait