• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

Karena nyeri kepala merupakan kasus yang sering ditemukan sehari-hari, ada baiknya ketika akan mengonsumsi obat, label pada kemasan obat sebaiknya dibaca dengan baik terlebih dahulu untuk mengetahui kontraindikasi obat dan efek samping yang mungkin timbul.

Kepada pengguna parasetamol, hindari konsumsi parasetamol yang berlebihan karena dapat menyebabkan kerusakan hati. Perlu diingat bahwa salah satu fungsi parasetamol adalah untuk mengatasi nyeri, sementara nyeri itu sendiri adalah manifestasi dari suatu penyakit. Artinya, obat ini hanya meringankan gejala suatu penyakit tanpa mengatasi penyebab penyakit tersebut. Selain itu, penting juga adanya edukasi mengenai penggunaan parasetamol.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nyeri

2.1.1. Definisi Nyeri

Menurut International Association for Study of Pain (1994), nyeri adalah suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan yang sebenarnya atau potensial, atau yang digambarkan dalam hal kerusakan tersebut.

Ketidakmampuan individu untuk berkomunikasi secara verbal tidak menghapuskan kemungkinan seorang individu mengalami nyeri dan memerlukan tatalaksana yang sesuai untuk meredakan nyeri. Nyeri selalu subjektif. Setiap individu mempelajari aplikasi istilah tersebut melalui pengalaman yang berhubungan dengan luka pada awal kehidupan. Para ahli biologi mengenal bahwa stimulus yang menyebabkan nyeri berhubungan dengan jaringan yang rusak. Dengan demikian, nyeri adalah pengalaman yang kita hubungkan dengan kerusakan jaringan yang sebenarnya atau potensial. Nyeri adalah sensasi dari suatu bagian tubuh, tetapi juga selalu tidak menyenangkan dan oleh sebab itu, nyeri juga merupakan pengalaman emosional. (International Association for Study of Pain, 1994)

2.1.2 Fisiologi Nyeri

Beberapa reseptor sensoris kutaneus merupakan ujung saraf bebas (free nerve ending). Sensasi nyeri dan temperatur timbul dari dendrit yang tidak bermielin yang terletak pada kulit dan jaringan dalam. (Ganong, 2012)

Nosiseptor dapat dibagi menjadi beberapa tipe. Nosiseptor mekanis memberi respon terhadap tekanan kuat, misalnya dari benda tajam. Nosiseptor termal diaktivasi oleh kulit pada suhu di atas 42°C atau dingin yang berlebihan. Nosiseptor

yang sensitif terhadap zat kimia memberi respon terhadap zat seperti bradikinin, histamin, asam, dan berbagai iritan lingkungan. Nosiseptor polimodal memberi respon terhadap kombinasi stimulus – stimulus ini. (Ganong, 2012)

Impuls dari nosiseptor ditransmisikan melalui dua tipe serat, yaitu serat Aδ bermielin tipis (diameter 2 – 5 μm) dengan laju konduksi sekitar 12 – 35 m/s dan serat C tanpa mielin (diameter 0.4 –1.2 μm) dengan laju konduksi sekitar 0.5 – 2 m/s. Aktivasi serat Aδ mencetuskan pelepasan glutamat dan menyebabkan fast pain atau epicritic pain yang merupakan respon cepat. Fast pain memediasi kemampuan untuk melokalisir dan menentukan intensitas nyeri. Aktivasi serat C mencetuskan pelepasan glutamat dan substansi P dan menyebabkan slow pain atau protopathic pain. Slow pain merupakan nyeri yang tumpul dan tersebar. (Ganong, 2012)

Variasi reseptor ditemukan pada ujung saraf sensoris nosiseptif yang memberi respon terhadap stimulus termal, mekanis, dan kimiawi. Kebanyakan reseptor ini merupakan bagian dari sekelompok kanal kation nonselektif yang disebut kanal transient receptor potential (TRP). Ini termasuk reseptor TRPV1 (V merujuk ke kelompok zat kimia yang disebut vanilloid) yang diaktivasi oleh panas, asam, dan bahan kimia seperti kapsaisin. Reseptor TRPV1 juga dapat diaktivasi secara tidak langsung oleh aktivasi awal reseptor TRPV3 pada keratinosit di kulit. Stimulus mekanis, dingin, dan kimiawi dapat mengaktivasi reseptor TRPA1 (A merupakan ankyrin) pada ujung saraf sensoris. Ujung saraf sensoris juga memiliki reseptor acid sensing ion channel (ASIC) yang diaktivasi oleh perubahan pH dan kemungkinan merupakan reseptor dominan dalam memediasi nyeri akibat asam. (Ganong, 2012)

Beberapa stimulus nosiseptif melepaskan molekul intermediat yang kemudian mengaktivasi reseptor pada ujung saraf. Misalnya, stimulus nosiseptif mekanis menyebabkan pelepasan ATP yang bekerja pada reseptor purinergik (misalnya reseptor ionotropik P2X dan G protein-coupled receptor P2Y). Tyrosine

receptor kinase A (TrkA) diaktivasi oleh nerve growth factor (NGF) yang dilepaskan akibat kerusakan jaringan. (Ganong, 2012)

2.2. Nyeri Kepala 2.2.1 Definisi

Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada seluruh daerah kepala dari dagu sampai ke daerah belakang kepala. Berdasarkan kausanya, nyeri kepala dapat digolongkan menjadi nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala tanpa adanya kelainan anatomi atau struktur yang jelas, sedangkan nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala dengan adanya kelainan anatomi atau struktur yang jelas. (Prabawani, 2011)

2.2.2 Epidemiologi

Nyeri kepala merupakan gangguan neurologis yang paling sering ditemukan dalam praktik sehari-hari. 50% dari populasi umum mengalami nyeri kepala setiap tahun, dan lebih dari 90% melaporkan riwayat nyeri kepala dalam hidup. Prevalensi rata-rata migrain dalam hidup adalah 18%, dan diperkirakan prevalensi rata-rata tahun lalu adalah 13%. Prevalensi tension-type headache (TTH) adalah sekitar 52% dalam hidup, sedangkan 3% dari populasi umum mengalami chronic headache. (International Association for the Study of Pain, 2011)

Berdasarkan hasil penelitian multicentre berbasis rumah sakit pada lima rumah sakit di Indonesia, didapatkan prevalensi penderita nyeri kepala sebagai berikut : migrain tanpa aura 10%, migrain dengan aura 1,8%, episodic tension-type headache 31%, chronic tension-type headache 24%, cluster headache 0.5%, dan mixed headache 14%. (Surya, 2012)

Perbandingan jumlah penderita migrain pada wanita dan pria adalah dua sampai tiga wanita per satu pria. Pada saat pubertas, risiko remaja perempuan menderita nyeri kepala dan migrain adalah 1,5 dan 1,7 kali lebih besar daripada

remaja laki-laki. Pada prevalensi tension-type headache, perbandingan jumlah penderita pria dan wanita adalah 1:1. (International Association for the Study of Pain, 2011)

2.2.3 Faktor Risiko

Kurangnya upaya menjaga kesehatan diri sendiri, ketidakmampuan rileks setelah bekerja, gangguan tidur, usia muda, kelaparan, dehidrasi, pekerjaan atau beban yang terlalu berat, caffeine withdrawal, dan fluktuasi hormonal pada wanita merupakan faktor risiko tension-type headache (TTH). Stress dan konflik emosional merupakan pemicu tersering TTH. (Anurogo, 2014)

Terdapat peningkatan risiko pada cluster headache yang menunjukkan adanya hubungan dengan faktor genetik. Terdapat pula penigkatan insidensi trauma kepala lama pada cluster headache dengan range antara 5% hingga 37%, meskipun sering terdapat interval yang lama antara trauma kepala dengan onset nyeri kepala. (Matharu, 2010)

Secara keseluruhan, faktor risiko yang berhubungan dengan perkembangan chronic daily headache (CDH) meliputi jenis kelamin wanita, pendidikan rendah, status sosioekonomi rendah, riwayat trauma kepala, obesitas (indeks massa tubuh lebih besar dari 30), sleep apnea, stress, konsumsi kafein yang berlebihan, penggunaan obat yang berlebihan, dan depresi. Pada suatu penelitian di Cina, Wang et al melakukan community-based survey pada penduduk yang berusia 65 tahun atau lebih. Ditemukan bahwa faltor risiko CDH meliputi penggunaan analgesik yang berlebihan, riwayat migrain, dan depresi. (Silberstein, 2006)

2.2.4 Klasifikasi

Klasifikasi nyeri kepala menurut The Intemational Classification of Headache Disorders, 2nd Edition (2004) dalam Ravishankar (2012) adalah:

1.1. Migrain

1.2. Tension-type headache

1.3. Cluster headache and sefalgia trigeminal otonom lain 1.4. Nyeri kepala primer lain

2. Nyeri kepala sekunder

2.1. Nyeri kepala akibat trauma kepala atau leher 2.2. Nyeri kepala akibat kelainan kranial atau servikal 2.3. Nyeri kepala akibat kelainan intrakranial nonvaskuler 2.4. Nyeri kepala akibat obat atau withdrawal

2.5. Nyeri kepala akibat infeksi

2.6. Nyeri kepala akibat kelainan homeostasis

2.7. Nyeri kepala atau fasial akibat kelainan cranium, leher, mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut, atau struktur fasial atau kranial lainnya

2.8. Nyeri kepala akibat kelainan psikiatrik 3. Neuralgia kranial dan nyeri fasial

3.1. Neuralgia kranial dan penyebab utama nyeri fasial

3.2. Nyeri kepala lain, neuralgia kranial sentral, atau nyeri fasial primer

2.2.5 Patofisiologi

Beberapa teori yang menyebabkan timbulnya nyeri kepala terus berkembang hingga sekarang, seperti teori vasodilatasi cranial, aktivasi saraf trigerminal perifer, lokalisasi dan fisiologi second order trigerminovascular neurons, cortical spreading depression, dan rostral brainstem activation. (Akbar, 2010)

Variabilitas tinggi pada gambaran klinis migrain, faktor pemicu yang banyak, serta berbagai abnormalitas fungsional dan biologis berujung pada perkembangan teori mengenai patofisiologi migrain. Ide patofisiologis telah berkembang dalam pola pikir yang terbatas, seperti keterlibatan vaskuler, neurogenik, neurotransmitter, dan faktor genetik dan molekuler. (Kojić, 2013)

Karena ciri nyeri kepala yang berdenyut, migrain awalnya dianggap sebagai kelainan vaskuler pada abad ke-20. Sekarang, banyak fakta yang menyanggah teori vaskuler sebagai penyebab serangan migrain, seperti: vasodilator intracranial kuat, yaitu vasoactive intestinal polypeptide (VIP), tidak menyebabkan migrain; vasodilatasi intrakranial terjadi secara sekunder terhadap stimulasi nyeri kepala; zat-zat yang tidak menyebabkan vasokonstriksi seperti aspirin dapat menghentikan serangan migrain. (Kojić, 2013)

Pendukung teori neurogenik dan neurotransmitter menyatakan bahwa disfungsi batang otak adalah penyebab utama nyeri kepala migrain. Struktur neuromodulator, seperti periaqueductal gray matter (PAG), locus coeruleus, dan nucleus raphe, memodulasi transmisi sinyal nyeri asenden. (Kojić, 2013)

Salah satu teori yang paling sering digunakan mengenai penyebab tension-type headache (TTH) adalah kontraksi otot wajah, leher, dan bahu. Otot-otot yang biasanya terlibat antara lain m. splenius capitis, m. temporalis, m. masseter, m. sternocleidomastoideus, m. trapezius, m. cervicalis posterior, dan m. levator scapulae. Penelitian mengatakan bahwa para penderita TTH mungkin mempunyai ketegangan otot wajah dan kepala yang lebih besar daripada orang lain. Kontraksi ini dapat dipicu oleh posisi tubuh yang dipertahankan secara lama sehingga menyebabkan ketegangan pada otot. (Akbar, 2010)

Patofisiologi cluster headache tidak sepenuhnya dipahami. Teori sekarang termasuk dilatasi vaskuler, stimulasi saraf trigerminal, dan efek sirkadian. Pelepasan histamin, peningkatan jumlah mast cells, faktor genetik, dan aktivasi sistem saraf otonom juga bisa berkontribusi. (Weaver-Agostoni, 2013)

Acute cluster headache telah ditunjukkan melibatkan aktivasi posterior hypothalamic gray matter, dan diturunkan secara autosomal dominant dalam sekitar 5% pasien. Hubungan first-degree relative meningkatkan risiko dari 14 hingga 39 kali lipat. Sebuah penelitian menunjukkan adanya hubungan antara cluster headache

dengan gen HCRTR2. Gangguan irama sirkadian juga mungkin merupakan penyebab karena onset nyeri kepala sering pada saat tidur. (Weaver-Agostoni, 2013)

2.2.6 Diagnosis

Klasifikasi IHS menyusun apa yang telah dipikirkan klinisi dari prinsip utama, yaitu migrain merupakan kumpulan dari gejala. Beberapa gejala lebih menonjol dari yang lain, tetapi tidak ada yang dominan. Meskipun sifat unilateral, berdenyut, dan nyeri hebat dengan rasa mual merupakan migrain, nyeri berdenyut bilateral yang hebat juga bisa merupakan spektrum migrain. (Goadsby, 2003)

Kriteria diagnostik migrain menurut IHS dalam Goadsby (2003) adalah episode serangan yang berlangsung selama 4-72 jam dengan dua dari ciri-ciri berikut: unilateral, berdenyut, diperparah oleh gerakan, dan nyeri sedang hingga berat. Mual dan muntah serta fotofobia dan fonofobia dapat ditemukan.

Pemeriksaan neuroimaging pada pasien migrain dilakukan hanya jika ditemukan pemeriksaan neurologis abnormal, pasien datang dengan ciri-ciri atipikal, serangan migrain yang terjadi pertama kali pada usia lebih dari 40 tahun, atau frekuensi dan intensitas serangan migrain meningkat. (Ravishankar, 2011)

Diagnosis tension-type headache (TTH) hanya bergantung pada tanda dan gejala. TTH merupakan episode nyeri kepala rekuren yang berlangsung dari menit hingga minggu. Nyeri TTH umumnya dalam bentuk tekanan dengan intensitas ringan hingga sedang, bersifat bilateral, dan tidak diperberat oleh aktivitas fisik. Keluhan mual dan muntah umumnya tidak ada, tetapi keluhan fotofobia dan fonofobia dapat ditemukan. (Ravishankar, 2011)

Ciri-ciri penting dari cluster headache (CH) adalah periodisitas sirkadian serangan yang terjadi dalam bentuk klaster setiap hari pada waktu yang sama selama beberapa haridengan periode remisi yang bervariasi. Nyeri kepala bersifat unilateral, lokasi sering pada orbital, supraorbital atau temporal, dan berlangsung selama

15-180 menit jika tidak ditatalaksana. Nyeri kepala dapat berhubungan dengan salah satu gejala berikut: ipsilateral conjunctival injection atau lakrimasi, ipsilateral nasal congestion atau rinorea, miosis ipsilateral, ptosis, edema kelopak mata ipsilateral, keringat fasial dan dahi ipsilateral, kegelisahan, atau agitasi selama nyeri kepala. Frekuensi serangan dapat terjadi antara satu hingga delapan kali sehari. (Ravishankar, 2011)

Meskipun CH sering merupakan nyeri kepala primer, CH dapat merupakan manifestasi yang langka dari lesi pokok seperti tumor kelenjar pituitari. Pemeriksaan neuroimaging direkomendasikan untuk CH. (Ravishankar, 2011)

2.2.7 Penatalaksanaan

2.2.7.1 Penatalaksanaan Farmakologis

Dalam migrain episodik, amitriptyline telah dipakai untuk terapi profilaktik selama 45 tahun terakhir, dan umumnya merupakan obat yang efektif. Selain menurunkan frekuensi, durasi, dan intensitas serangan nyeri kepala, terapi amitriptyline dapat meningkatkan respons terhadap tatalaksana akut, menurunkan gangguan aktivitas, dan menurunkan biaya. (Santiago, 2014)

Penggunaan amitriptyline untuk terapi migrain menurunkan frekuensi nyeri kepala sebesar 50%. Penelitian menunjukkan adanya penurunan intensitas dan frekuensi nyeri kepala ketika dibandingkan dengan kelompok venlafaxine dan penurunan frekuensi dan durasi nyeri kepala ketika dibandingkan dengan plasebo. (Santiago, 2014)

Dewasa dengan migrain harus mendapatkan pengobatan akut. Pengobatan teratur yang terlalu sering (lebih dari dua kali seminggu) dapat menyebabkan medication-overuse headache. (Steiner, 2007)

Setiap pasien migrain harus mengikuti treatment ladder (stepped management), biasanya mengobati tiga serangan pada setiap langkah sebelum

melanjutkan ke langkah berikutnya. Jika strategi ini diikuti dengan tepat, maka penatalaksanaan yang efektif dapat tercapai. (Steiner, 2007)

Langkah pertama adalah terapi simptomatik yang terdiri atas pemberian analgesik sederhana dan antiemetik (jika diperlukan). Analgesik yang sering dipakai adalah asam asetilsalisilat 900 – 1000 mg (hanya pada dewasa), ibuprofen 400 – 800 mg, diclofenac 50 – 100 mg, ketoprofen 100 mg, dan naproxen 500 – 1000 mg. Jika obat tersebut dikontraindikasikan, maka pasien diberikan parasetamol. Pasien disarankan untuk menggunakan lebih dari satu jenis analgesik pada langkah pertama sebelum lanjut ke langkah kedua. (Steiner, 2007)

Jika administrasi per oral tidak memungkinkan akibat adanya gejala muntah, administrasi rektal dapat dilakukan. Analgesik supersitori yang digunakan adalah

diclofenac 100 mg, ibuprofen 400 mg, ketoprofen 100 – 200 mg, dan naproxen 500 –

1000 mg. (Steiner, 2007)

Langkah kedua adalah terapi spesifik. Obat yang umumnya digunakan adalah almotriptan, eletriptan, frovatriptan, naratriptan, rizatriptan, sumatriptan, zolmitriptan, dan ergotamin taltrat, tergantung availabilitas pada setiap negara. (Steiner, 2007)

Penderita migrain diberi terapi profilaktik jika terjadi serangan yang menyebabkan gangguan berat selama dua hari atau lebih dalam sebulan, terapi akut optimal tidak meredakan migrain, dan pasien setuju untuk medikasi harian. Indikasi lain untuk terapi profilaktik adalah risiko penggunaan obat yang terlalu sering meskipun efektif (tetapi obat profilaktik tidak cocok untuk medication-overuse headache) dan untuk anak-anak yang sering absen dari sekolah. (Steiner, 2007)

Terapi farmakologis terbatas pada tension-type headache (TTH), tetapi efektif pada kebanyakan pasien. Pengobatan akut harus dilakukan dengan hati-hati ketika nyeri kepala sering karena adanya risiko penggunaan obat yang berlebihan. (Steiner, 2007)

Tatalaksana simptomatik dengan analgesik over-the-counter cocok untuk TTH episodik yang terjadi dalam kurang dari dua kali seminggu. Obat yang

digunakan adalah asam asetilsalisilat 600 – 1000 mg (dewasa), ibuprofen 400 – 800 mg, dan parasetamol 1000 mg. Opioid harus dihindari, terutama kodein, dihidrokodein, dekstropropoksifen, ataupun kombinasi dari analgesik yang terdiri atas opioid. Barbiturat juga tidak digunakan untuk tatalaksana farmakologis TTH. (Steiner, 2007)

Prinsip profilaksis pada penderita tension-type headache (TTH) adalah intoleransi diturunkan dengan pemberian dosis awal obat yang rendah (10 mg) dan ditingkatkan sebesar 10 – 25 mg setiap 1 – 2 minggu dan menjaga jadwal untuk menilai efektivitas. Profilaksis yang tidak efektif tidak boleh dihentikan terlalu cepat; 2 – 3 bulan merupakan minimum untuk mencapai dan mengobservasi efektivitas. (Steiner, 2007)

Sumatriptan 6 mg yang diberikan secara subkutan adalah tatalaksana akut cluster headache yang terbukti efektif, tetapi tidak direkomendasikan untuk penggunaan lebih dari dua kali sehari. Analgesik, termasuk opioid, tidak digunakan untuk tatalaksana cluster headache. (Steiner, 2007)

Profilaksis episodic cluster headache harus dimulai secepat mungkin setelah awal serangan klaster (kecuali penggunaan prednisolon, yang hanya digunakan untuk jangka pendek) dan dihentikan dengan tapering-off dua minggu setelah remisi penuh. Pada chronic cluster headache, terapi dapat dilanjutkan secara long-term. Obat yang sering dipakai adalah verapamil 240 – 960 mg setiap hari, prednisolon 60 – 80 mg selama 2 – 4 hari (dihentikan dengan penurunan dosis selama 2 – 3 minggu), litium karbonat 600 – 1600 mg setiap hari, ergotamine tartrate 2 – 4 mg setiap hari per rectum (biasanya diabaikan setiap hari ketujuh), dan methysergide 1 – 2 mg tiga kali sehari (penggunaan diinterupsi minimal sebulan setiap enam bulan). Kombinasi obat dapat dicoba, tetapi risiko toksisitas tinggi. (Steiner, 2007)

Menurut Wilmana (1995) dalam Antono (2013), asam asetilsalisilat, atau yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi yang banyak digunakan sebagai golongan obat bebas.

Aspirin sekarang sudah jarang digunakan untuk pengobatan antiinflamasi dan lebih sering digunakan untuk efek anti-platelet. (Katzung, 2012)

Menurut Mycek (2001) dalam Antono (2013), dosis oral aspirin untuk memperoleh efek analgesik dan antipiretik pada manusia adalah 325 – 650 mg empat kali sehari, sedangkan dosis untuk memperoleh efek antiinflamasi adalah 4 – 6 gram secara oral per hari. Aspirin berfungsi sebagai analgesik dengan menghambat sintesa prostaglandin E2.

Ibuprofen adalah derivat sederhana asam fenilpropionat. Pada dosis sekitar 2400 mg per hari, ibuprofen setara dengan efek antiinflamasi aspirin 4 g. Ibuprofen oral sering diberikan dalam dosis rendah (kurang dari 2400 mg per hari), dimana terdapat efek analgesik tetapi tidak efektif sebagai antiinflamasi. (Katzung, 2012)

Ketoprofen adalah derivat asam propionate yang menginhibisi COX secara nonselektif dan lipoksigenase. Efektivitas ketoprofen pada dosis 100-300 mg per hari setara dengan NSAID lain. Meskipun ketoprofen berpengaruh terhadap prostaglandin dan leukotrien, ketoprofen tidak lebih efektif secara klinis jika dibandingkan dengan NSAID lain. (Katzung, 2012)

Naproxen adalah derivat asam naftilpropionat. Insiden perdarahan saluran cerna bagian atas akibat penggunaan over-the-counter rendah, tetapi masih dua kali lebih tinggi dari over-the-counter ibuprofen. (Katzung, 2012)

Asetaminofen adalah metabolit aktif fenasetin yang memiliki efek analgesik. Asetaminofen merupakan inhibitor COX-1 dan COX-2 yang lemah pada jaringan perifer. Meskipun dikatakan setara terhadap aspirin sebagai analgesik dan antipiretik, asetaminofen tidak memiliki sifat antiinflamasi. Obat ini efektif untuk tatalaksana nyeri ringan hingga sedang seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri postpartum, dan keadaan dimana aspirin merupakan analgesik yang efektif. Asetaminofen lebih digunakan pada pasien yang alergi terhadap aspirin atau tidak dapat mentoleransi salisilat. (Katzung, 2012)

Diclofenac adalah derivat asam fenilasetat yang merupakan inhibitor COX nonselektif. Ulserasi gastrointestinal lebih jarang terjadi pada penggunaan diclofenac dibandingkan dengan NSAID lain. (Katzung, 2012)

Sumatriptan digunakan secara subkutan atau intranasal. Efektivitas sumatriptan oral tidak diketahui. Pada pasien dengan cluster headache episodik atau kronis, sumatriptan subkutan lebih efektif dalam menurunkan keparahan dan durasi nyeri kepala pada menit kelima belas, sedangkan sumatriptan intranasal lebih efektif untuk meredakan nyeri, durasi serangan, dan jumlah serangan pada menit ketiga puluh. (Matharu, 2010)

2.2.7.2 Penatalaksanaan Nonfarmakologis

Selain terapi farmakologis profilaktik, beberapa penelitian menunjukkan manfaat intervensi nonfarmakologis seperti senam aerobik. Olahraga dengan intensitas sedang yang dilakukan secara teratur dapat meningkatkan relaksasi otot, meningkatkan kesehatan kardiovaskuler, dan juga menurunkan frekuensi, intensitas dan durasi serangan nyeri kepala. (Santiago, 2014)

Terapi relaksasi dan biofeedback secara potensial merupakan pilihan efektif ketika tatalaksana farmakologis harus dihindari. Manfaat fisioterapi juga telah terbukti pada pasien dengan tension-type headache (TTH). Diperlukan dokter yang terampil untuk memberikan terapi tersebut. (Steiner, 2007)

Akupunktur memberi manfaat kepada penderita migrain atau tension-type headache (TTH), meskipun uji klinis luas gagal membedakan akupunktur dengan prosedur palsu. (Steiner, 2007)

Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) dapat meredakan nyeri kronis, tetapi tidak terbukti dalam tatalaksana nyeri kepala. Beberapa pasien menemukan bahwa kompres es yang diaplikasikan di kepala atau leher dapat meredakan nyeri. Prosedur operasi pada wajah atau leher tidak memberikan keuntungan dan secara potensial berbahaya. (Steiner, 2007)

2.2.7.3 Edukasi dan Pencegahan

Pada pasien migrain, latihan secara teratur serta hindari faktor predisposisi akan memberi keuntungan. (Steiner, 2007)

Pada pasien tension-type headache (TTH), bersantai seperti pemijatan atau mandi air hangat dapat bermanfaat. Menyesuaikan diri terhadap stress dengan latihan pernapasan dan relaksasi dapat mencegah nyeri kepala. (Steiner, 2007)

Pada pasien cluster headache, analgesik umumnya tidak efektif karena analgesik memerlukan waktu yang lama. Penatalaksanaan pada awal episode klaster lebih efektif, sehingga pasien disarankan untuk segera mencari bantuan medis secepatnya. (Steiner, 2007)

2.2.8 Prognosis

Tidak ada obat yang pasti untuk migrain, tetapi serangan pada penderita migrain lebih jarang di kemudian hari. (Steiner, 2007)

Tension-type headache (TTH) pada kondisi tertentu dapat menyebabkan nyeri hebat, tetapi tidak membahayakan. Nyeri ini dapat sembuh dengan perawatan ataupun dengan menyelesaikan masalah yang menjadi latar belakangnya jika merupakan TTH yang timbul akibat pengaruh psikis. Nyeri kepala ini dapat sembuh dengan terapi obat berupa analgesik. TTH biasanya mudah diobati sendiri. Dengan pengobatan, relaksasi, perubahan pola hidup, dan terapi lain, lebih dari 90% pasien TTH dapat sembuh dengan baik. (Akbar, 2010)

Cluster headache dapat mengalami rekurensi setelah beberapa tahun. (Steiner, 2007)

2.3. Penggolongan Obat

Penggolongan obat dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusinya. (Muchid, 2006)

2.3.2. Golongan Obat

Menurut Permenkes No. 917/1993, obat digolongkan menjadi obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras dan psikotropika, dan obat narkotika. (Muchid, 2006)

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contohnya adalah parasetamol. (Muchid, 2006)

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contohnya adalah chlorpheniramin maleat. (Muchid, 2006)

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contohnya adalah asam mefenamat. (Muchid, 2006)

Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Dokumen terkait