• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Patogenesis

3. Pembuatan tatto yang dilakukan tidak dengan alat-alat yang steril, penggunaan pisau cukur yang tidak diganti pada saat bercukur di salon. 4. Transmisi secara vertikal dari ibu pengidap HIV kepada bayinya, (selama

proses kelahiran dan melalui ASI). (Sudoyo AW et al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

2.5 Etiologi

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya HIV merupakan suatu virus golongan lentivirus subklas retrovirus yang menyerang sisitem kekebalan tubuh manusia yang dapat menyebabkan turunnya daya tahan tubuh penderita sampai muncul gejala-gejala maupun sindrom yang dapat memungkinkan infeksi penyakit lain (infeksi oppurtinistik) yang disebut dalam keadaan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom). Luc Montagnier dkk. tahun 1983 telah menemukan LAV ( Lymphadenopathy Associated Virus). Pada tahun 1984 sejenis virus yang disebut HTVL 3 (Human T cell Lymphotropic Virus Type 3) ditemukan dari pasien AIDS di Amerika Serikat oleh Robert Gallo dkk. Kemudian didapati bahwa kedua virus ini sama, dan oleh committee taxonomy international pada tahun 1985 disebut sebagai HIV (Human Imuno-deficiency Virus). Pada tahun 1994 dikenal terdapat 2 jenis virus HIV yaitu HIV 1 dan HIV 2 (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

HIV1 dan HIV2 merupakan suatu virus RNA yang termasuk kedalam retrovirus. HIV1 penebarannya lebih luas dibandingkan dengan HIV 2. HIV1 penyebarannya hampir diseluruh dunia , sedangkan HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien Portugal dan Afrika Barat. HIV2 lebih mirip dengan monkey virus yang disebut SIV (Simian Imunodeficiency Virus). Kedua jenis virus HIV ini sebenarnya memiliki banyak kemiripan. Kedua virus ini memiliki inti yang mirip, tetapi kedua virus ini memiliki selubung luar yang berbeda.

2.6 Patogenesis

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah golongan lentivirus yang merupakan subgroup dari retrovirus. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, terdapat dua jenis virus HIV yang ditemukan yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV1 merupakan jenis yang paling banyak menginfeksi manusia.

29

HIV menginfeksi tubuh manusia dengan menempel pada sel-sel yang mempunyai molekul CD4 sebagai reseptor utama yaitu limfosit T4. Adapun sel lain yang memiliki reseptor CD4 yaitu sel monosit, sel makrofag dan sel – sel dendritik, sel retina, sel leher rahim serta sel langerhans. Gp120 yang merupakan reseptor permukaan virus yang akan berikatan dengan CD4. Kemudian GP120 akan berinteraksi dengan koreseptor yang tertanam dalam membran sel dan terpapar dengan peptide dari Gp41 dan mulailah terjadi fusi antara virus dan

membrane sel. Setelah fusi, internal virion core akan dilepaskan ke sitoplasma sebagai suatu kompleks ribonukleoprotein (Pathologic Basic of Disease).

Gambar 2.5. Ilustrasi skematik struktur HIV-1 (Pathologic Basic of Disease )

HIV memiliki partikel ikosahedral bertutup (envelope) yang berukuran sangat kecil dengan ukuran 100-140 nanometer. Inti virus terdapat untaian RNA serta enzim reverse transcriptase, integrase, dan protease yang dibutuhkan untuk

30

replikasi virus. Selubung virus tersusun oleh lapisan bilayer yang mempunyai tonjolan - tonjolan yang tertanam pada permukaan selubung lipid dan terdiri dari glikoprotein Gp120 dan Gp41. Gp120 berperan pada pengikatan HIV dengan reseptor CD4 dari sel. GP41 mengadakan fusi antara virus dengan membran sel host pada saat virus masuk ke sel host. Struktur genom RNA yaitu struktur pasang basanya terdiri dari 3 gen utama yang mengkode pembentukan struktur – struktur virus yaitu gen gag, pol, dan env. Selain itu, terdapat gen tambahan yaitu tat, rev, dan nef. Struktur polipeptida utama dari inti virus adalah p24. Polipeptida lain adalah p17 yang ada di sekeliling inti dan p15 yang membentuk kompleks dengan RNA virus.

Gambar 2.6. Mekanisme HIV Menginfeksi Sel (Pathologic Basic Of Disease )

HIV pada sitoplasma selnya memiliki enzim reverse transcriptase. Enzim inilah yang nantinya akan mengubah RNA virus menjadi DNA. DNA yang terbentuk ini akan masuk kedalam inti sel inangnya dan dengan bantuan enzim integrase akan berintegrasi dengan DNA sel host dan akan membentuk provirus. Integrasi materi genetik ini biasanya akan terjadi dalam kurun waktu 2-10 jam setelah infeksi. Setelah terjadi integrasi, DNA provirus mengadakan transkripsi dengan memanfaatkan bantuan enzim polymerase yang dimiliki sel host yang diinfeksinya menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan translasi dengan protein – protein struktural sampai terbentuk protein mRNA. Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus, yang nantinya akan menempel

31

pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel host dalam keadaan matang (Pathologic Basic of Disease).

Segera setelah infeksi HIV, sebagian virus yang bebas maupun yang berada dalam sel – sel CD4 T yang terinfeksi akan mencapai kelenjar limfe regional dan akan merangsang imunitas seluler dan humoral dengan cara antara lain merekrut limfosi – limfosit. Pengumpulan sel limfosit ini justru akan menyebabkan sel – sel CD4 yang terinfeksi akan semakin banyak. Pada akhinya monosit dan limfosit yang terinfeksi akan beredar ke seluruh tubuh dan menyebarkan virus ke seluruh tubuh. HIV juga dapat memasuki otak melalui monosit Yang terdapat dan beredar di otak ataupun melalui infeksi sel endotel pada otak (Pathologic Basic of Disease).

Gambar 2.7 Mekanisme Kehilangan sel CD4 Pada Infeksi HIV/AIDS (Pathologic Basic Of Disease )

Pada beberapa hari setelah manusia terinfeksi HIV, akan terjadi penurunan kadar CD4 di dalam darah. Akibat berkurangnya CD4 di dalam darah dapat dijumpai keadaan limfopenia. Selama periode awal ini, virus – virus bebas dan protein virus p24 dapat dideteksi dalam kadar yang tinggi dalam darah dan jumlah sel – sel CD4 yang terinfeksi HIV meningkat. Pada fase ini, virus berkembang

32

biak dengan cepat. Cepatnya replikasi sel virus tidak dapat diimbangi dengan respon tubuh terhadap perkembangan virus. Setelah 2-4 minggu akan terjadi peningkatan jumlah limfosit total yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah sel CD8 T (sel sitotoksik) yang merupakan bagian dari respon imun terhadap virus (Harison, 2005).

Adanya sel T sitotoksik merupakan tanda rangsang neutralising antibodi. Antibodi akan terbentuk setelah minggu kedua atau ketiga namun kadang – kadang terjadi sampai beberapa bulan. Penurunan virus bebas dan sel yang terinfeksi disebabkan oleh lisis sel yang terinfeksi HIV oleh CD8 T. Sel CD8 yang teraktivasi pada individu yang terinfeksi HIV juga memproduksi sejumlah sitokin terlarut yang dapat menghambat replikasi virus dalam sel – sel CD4 T tanpa menyebabkan lisis sel. Setelah itu, jumlah sel CD4 akan kembali ke kadar semula seperti sebelum terinfeksi HIV. Selama fase akut, kebanyakan kasus menunjukkan gejala infeksi virus akut pada umumnya yaitu berupa demam, letargi, mialgia dan sakit kepala serta gejala lain berupa faringitis, limfadenopati dan ruam (Pathologic Basic of Disease).

Setelah terserang fase akut, selanjutnya akan memasuki fase asimtomatik yang nantinya akan terjadi penurunan kadar CD4 secara perlahan – lahan. Hal ini dapat terjadi selama berbulan-bulan maupun bertahun-tahun tergantung dari kondisi kekebalan tubuh orang yang terinfeksi. Menurunnya imunitas seseorang dapat dilihat dari kadar CD4 dalam darah. Oleh karena itu pada fase asimptomatik ini jumlah virus dalam darah dan sel – sel perifer yang dapat dideteksi dalam kondisi yang rendah. Penurunan jumlah CD4 dalam darah rata – rata 65 sel/ul setiap tahun. Didapatkan kerusakan pada sistem imun tapi tidak bersifat laten dan masih dapat mengalami perbaikan terutama dalam limfonoduli. Penurunan jumlah sel CD4 T selama infeksi HIV secara langsung dapat mempengaruhi beberapa reaksi imunologik yang diperankan oleh sel CD4 T seperti hipersensitivitas tipe lambat, transformasi sel muda limfosit dan aktivitas sel limfosit T sitotoksik. Munculnya strain HIV yang lebih pathogen dan lebih cepat bereplikasi pada host merupakan faktor utama dalam mengontrol kemampuan sistem imun. Dikatakan juga bahwa jumlah dan fungsi sel T sitotoksik akan menurun bila jumlah sel CD4

33

menurun sampai < 200 sel/ul. Karena sel – sel ini berperan dalam mengontrol sel yang terinfeksi virus dan membersihkan virus pada tahap awal infeksi sehingga dikemukakan hilangnya aktivitas sel ini mempunyai dampak dalam peningkatan jumlah virus. Kemungkinan lain disebabkan karena terjadi mutasi dari virus sehingga tidak dikenal oleh sel T sitotoksik (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

Dokumen terkait