• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Prevalensi Faktor Risiko Penyebaran HIV/AIDS di RSUP H Adam Malik Medan Tahun 2012-2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Prevalensi Faktor Risiko Penyebaran HIV/AIDS di RSUP H Adam Malik Medan Tahun 2012-2013"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

64

Lampiran 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : M Luthfi Hsb

NIM : 110100288

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 30 Mei 1994

Agama : Islam

Alamat : Jalan Merica Raya No. 42 P. Simalingkar Medan Alamat Email : muhammad.luthfi13@yahoo.com

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri 122350 Pematang Siantar (1999-2005) 2. MTs Swasta Amal Shaleh Medan (2005-2008) 3. SMA Swasta Harapan Mandiri (2008-2011) 4. Fakultas Kedokteran USU (2011-sekarang)

(2)

65

(3)

66

(4)

67

(5)

68

(6)

69

(7)

70

(8)

71

(9)

72

(10)

73

(11)

74

(12)

75

(13)

76

(14)

77

(15)

78

(16)

79

(17)

80

(18)

81

(19)

82

(20)

83

(21)

84

(22)

85

(23)

86

(24)

87

(25)

88

(26)

89

(27)

90

(28)

91

(29)

92

(30)

93

(31)

94

(32)

95

(33)

96

(34)

97

(35)

98

(36)

99

(37)

100

(38)

101

(39)

102

(40)

103

(41)

104

(42)

105

(43)

60

DAFTAR PUSTAKA

Cardoso,S.,et.all, 2012. Factors associated with Imune Status in the Diagnosis of

HIV Infection. Avaible from :

[Accesed 27 November 2014]

Centers for Disease Control and Prevention, 2014. HIV and Its Transmission.Division of HIV/AIDS Prevention. Available at http://www.cdc.gov/hiv/prevention/research/index.html [Diakses 28 Maret 2014]

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006.Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2006.Jakarta: Depkes RI

Departemen Kesehatan Republik Indonesia I, 2007.Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007.Jakarta: Depkes RI

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008.Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008.Jakarta: Depkes RI

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009.Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009.Jakarta: Depkes RI

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010.Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010.Jakarta: Depkes RI

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011.Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011.Jakarta: Depkes RI

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012.Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012.Jakarta: Depkes RI

Dinas Kesehatan Sumatera Utara,2012.Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2012. Medan : Dinkes Sumatera Utara

(44)

61

Ditjen PP&PL, Kemenkes,2012. laporan perkembangan HIV/AIDS Triwulan II tahun 2012. Jakarta : Ditjen PP&PL, Kemenkes RI

Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2013.laporan perkembangan HIV/AIDS Triwulan I tahun 2013. Jakarta : Ditjen Pp;[P&PL, Kemenkes RI]

Hartanto, Huriawati, 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC

Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS),2013. Global report: UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2013.WHO dan UNAIDS.

Availablefrom

[Diakses 28 Maret 2014]

Kasper et al, 2005. 16th Edition Harrison’s Principles of Internal Medicine. In : Fauci A.S. & Lane H.C., 2005. Human Immunodeficiency Virus Disease : AIDS and Related Disorders, 1076 – 1139

Kumar, Abbas & Fausto, 7th Edition Robbins and Contran Pathologic Basic of Disease. In : Chapter 6, Disease of Immunity ~ Acquired Immunodeficiency Syndrome ; 245 – 258

Mayo Foundation for Medical Education and Research, 1998-2014.Symptoms Of

HIV/AIDS. Diakses dari

[Diakses pada 29

Maret 2014]

Notoatmodjo, S . 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Soanes, C., 2001. Oxford Dictionary of Current English, 3rd ed. Oxford: Oxford

University Press

Ritonga,Parlaungan dkk.,2011.Bahasa Indonesia Praktis. Medan : Bartong Jaya

(45)

62

Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik, 2014. Data Rekam Medis Pasien HIV/AIDS RSUP H Adam Malik pada Januari 2012 sampai bulan Desember 2014

Sastroasmoro,Sudigdo,2011.Dasar-dasar Metodologi Penelitian klinis. Jakarta : Sagung Seto

Sgaier, Sema K. et. all, 2014. Achieving the HIV Prevention Impact of Voluntary Medical Male Circumcision: Lessons and Challenges for Managing

Programs. Available from :

[Accessed 1April 2014]

Simon, Viviana, et.all, 2010. HIV/AIDS Epidemiologi, Pathogenesis, Prevention,

and Treatment. Available from :

April 2014]

Sudoyo,A.W.dkk.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Suesen N., Saewono AW, Brotowasisto SP,Djoerban Z, Judonarso J, Suharini N, et al, Editors., 1990. Buku Pedomen Penyakit AIDS. Jakarta. Jakarta : IDI Suryawansi, Dipak., et.all, 2014. Degree of Male Mobility as a Risk Factor for

HIV in High in-Migration Districts of Maharashta, India. Avaible from :

Tran,M.A.,2008.HIV/AIDS.Availablefrom:http://www.emedicinehealth.com/hivai ds/page11_em.htm. [Accessed 28 Maret 2014]

World Health Organization (WHO) dan Joint United Nations Programme On HIV/AIDS (UNAID), 2013. Global Summary of the HIV/AIDS epidemic, November 2013. WHO dan UNAIDS. Available from :http

(46)

63

http://www.unaids.org/en/dataanalysis/knowyourepidemic/epidemiologyp ublications/ [Accessed 31 Maret 2014]

(47)

45

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Defenisi Operasional

3.2.1 Defenisi

Faktor risiko adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan ataupun berhubungan langsung terhadap suatu keadaan tertentu.

Sex bebas merupakan perilaku sex diluar ikatan pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.

Penasun (Pengguna Narkoba Suntik) adalah seseorang yang terbukti menggunakan narkoba melalui injeksi ke dalam pembuluh darah.

Homosexual merupakan tindakan penyimpangan orientasi sexual yang dilakukan oleh kaum lelaki.

Tranfusi darah merupakan suatu kegiatan pemberian darah pada pasien yang mengalami kehilangan darah akut yang didapat dari darah seorang pendonor. Ibu ke anak juga merupakan salah satu faktor risiko penyebaran HIV/AIDS.

Faktor Risiko penyebaran HIV/AIDS

(48)

46

Bisexual merupakan suatu kelainan orientasi sex yang mana seseorang individu menyukai laki-laki dan perempuan.

HIV seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya yaitu virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia yang menyebabkan penurunan kondisi kekebalan tubuh manusia sehingga dapat jatuh dalam keadaan AIDS bila tidak dideteksi atau diobati lebih dini. AIDS adalah kondisi gampangnya seseorang untuk terserang penyakit yang disebabkan infeksi HIV yang menurunkan kekebalan tubuh manusia sehingga lebih mudah untuk terserang penyakit yang lain (infeksi opportunistik).

3.2.2 Cara Pengukuran

Pada penelitian ini pengukuran dilakukan melalui pengamatan secara langsung terhadap hasil anamnesa dokter pasien yang tertulis pada catatan pasien di pusyansus (Pusat Pelayanan Khusus) HIV/AIDS di RSUP H Adam Malik Medan.

3.2.3 Alat pengukuran

Untuk melihat faktor risiko HIV/AIDS tidak ada alat khusus yang dapat mendeteksinya. Faktor risiko ini hanya dapat didapat dari hasil tanya jawab dokter pasien. Oleh karena itulah penelitian ini menggunakan catatan pasien di pusyansus (Pusat Pelayanan Khusus) HIV/AIDS di RSUP H Adam Malik Medan.

3.2.4 Hasil Pengukuran

Adapun hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah bagaimana gambaran prevalensi masing masing faktor risiko penyebaran HIV/AIDS yang dituliskan dalam bentuk persentase.

3.2.5 Skala Ukur

Skala ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah skala nominal.

(49)

47

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif retrospektif.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

4.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli 2014 sampai dengan bulan Desember 2014.

4.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada pusyansus (Pusat Pelayanan Khusus) HIV/AIDS di RSUP H Adam Malik Medan.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien HIV/AIDS yang tercatat pada catatan pasien di pusyansus (Pusat Pelayanan Khusus) HIV/AIDS di RSUP H Adam Malik Medan. Pasien-pasien yang diambil adalah seluruh pasien yang tercatat berobat dari tahun bulan Januari 2012 sampai dengan bulan Desember 2013 baik berobat jalan, rawat inap di klinik VCT ataupun pasien-pasien yang meninggal pada rentan tahun tersebut.

Adapun populasi yang tercatat melalui survei pada bagian pusyansus RSUP H Adam Malik Medan adalah 1243 orang.

4.3.2 Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah seluruh dari populasi yang didapat melalui tinjauan langsung pada rekam medis pasien HIV/AIDS dari bulan Januari 2012 sampai dengan bulan Desember 2013.

(50)

48

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini yaitu tinjauan langsung terhadap catatan pasien di pusyansus (Pusat Pelayanan Khusus) HIV/AIDS di RSUP H Adam Malik Medan.

4.5 Pengolahan dan analisa Data

Pada penelitian ini, pertama sekali peneliti akan mengumpulkan seluruh rekam medis pasien-pasien yang menderita HIV/AIDS pada bulan Januari 2012 sampai dengan bulan Desember 2013. Tahap selanjutnya peneliti akan melihat masing-masing rekam medis dan mengelompokkan masing-masing data pasien berdasarkan faktor risiko masing-masing pasien HIV/AIDS. Hasil pengelompokan ini nantinya akan dianalisa secara statistik deskriptif dan akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

(51)

49

BAB 5

HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada RSUP Haji Adam Malik Medan, yang mana rumah sakit ini merupakan rumah sakit kelas A dan merupakan Pusat Rujukan wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan Riau. Rumah Sakit ini dibangun di atas tanah seluas ± 10 Ha dan terletak di Jalan Bunga Lau No.17 Km 12 Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/ Menkes/ IX/ 1991 tanggal 6 September 1991, RSUP H. Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

RSUP H. Adam Malik mulai berfungsi sejak tanggal 17 Juni 1991 dengan pelayanan rawat jalan dan untuk pelayanan rawat inap mulai berfungsi tepatnya pada tanggal 2 Mei 1992. Rumah Sakit ini mulai beroperasi secara total pada tanggal 21 Juli 1993 yang diresmikan oleh mantan Presiden RI, H. Soeharto.

Data-data pada penelitian ini diambil pada bagian pusyansus ( Pusat Pelayanan Khusus) RSUP H Adam Malik Medan. Pusyansus RSUP H Adam malik medan berada pada gedung induk RSUP H Adam Malik Medan. Data yang diambil merupakan data rekam medis pasien HIV/AIDS pada Bulan Januari 2012 sampai dengan Bulan Desember 2013 yang terdapat pada pusyansus RSUP H Adam Malik Medan.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh data pasien HIV/AIDS yang terdaftar pada pusyansus ( Pusat Pelayanan Khusus ) RSUP H Adam Malik Medan pada Januari 2012 sampai dengan Desember 2013. Pada rekam medis pusyansus diperoleh sebanyak 610 pasien HIV/AIDS pada tahun 2012 terhitung dari bulan Januari 2012 sampai bulan Desember 2012 dan 633

(52)

50

pasien HIV/AIDS pada tahun 2013 yang terhitung dari bulan Januari 2013 sampai bulan Desember 2013.

5.1.2.1. Karakteristik Individu

Seperti penjelasan sebelumnya, pada penelitian pengambilan sampel diambil secara menyeluruh. Pada penelitian ini jumlah pasien yang diambil sebagai sampel penelitian adalah sebanyak 1243 pasien HIV/AIDS yang terdaftar dalam rekam medis pusyansus RSUP H Adam Malik Medan pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2013. Dari keseluruhan sampel pada penelitian ini, karakteristik individu yang dapat diamati adalah kelompok usia dan jenis kelamin.

Berdasarkan data-data yang didapatkan pada saat penelitian, dapat dibuat karakteristik subjek penelitian sebagai berikut :

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi karakteristik sampel berdasarkan usia

Kelompok Usia Frekuensi Persentase

Usia <11 55 4.4

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 1243 sampel diperoleh kelompok umur yang paling banyak menderita HIV/AIDS adalah pada kelompok usia 31-40 tahun dengan jumlah 477 orang (38.4%). Pada urutan kedua yaitu kelompok usia 21-30 tahun dengan jumlah 463 orang (37.8%), diikuti dengan kelompok usia 41-50 tahun dengan jumlah 166 orang (13.4%). Pada peringkat selanjutnya diduduki oleh kelompok usia diatas usia 50 tahun dengan jumlah orang yaitu 58 orang (4.7%) dan selanjutnya usia dibawah 11 tahun dengan jumlah 55 orang (4.4%). Pada penelitian yang dilakukan terhadap 1243 orang ini

(53)

51

kelompok usia yang terkecil adalah pada kelompok usia 11-20 tahun dengan jumlah 24 orang (1.9%).

5.1.2.2. Jenis Kelamin

Pada penelitian ini dapat dilihat juga karakteristik sampel melalui jenis kelamin pada masing-masing sampel yang didata pada saat pelaksanaan penelitian di pusyansus RSUP H Adam Malik Medan. Jenis kelamin pada sampel dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok jenis kelamin laki-laki dan kelompok jenis kelamin perempuan. Pada tabel 5.2 dapat dilihat secara jelas distribusi frekuensi karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

Laki-Laki 820 66.0

Perempuan 423 34.0

Total 1243 100.0

Dari tabel 5.2 diatas dapat diketahui bahwa kebanyakan penderita HIV/AIDS yang terdaftar pada rekam medis pusyansus RSUP H Adam Malik Medan adalah laki-laki sebanyak 820 orang (66%), sedangkan jumlah sampel perempuan yang terdaftar pada rekam medis pusyansus sebanyak 423 orang (34%). Bila dibuat perbandingan antara penderita HIV/AIDS laki-laki dan perempuan, maka didapatkan perbandingannya yaitu 2 : 1.

5.1.3. Hasil Analisis Data

Pada penelitian ini dilakukan analisis secara deskriptif mengenai faktor risiko HIV/AIDS pada seluruh sampel yang berjumlah 1243 sampel yang dikumpulkan dari data rekam medis pasien pada pusyansus RSUP H Adam Malik Medan. Hasil analisis data sampel yang dibuat dalam bentuk persentase yang dapat secara jelas dilihat dalam tabel 5.3.

(54)

52

Berikut ini adalah hasil data secara keseluruhan mengenai faktor risiko penyebaran HIV/AIDS di RSUP H Adam Malik medan pada tahun 2012 sampai dengan 2013 :

Tabel 5.3.1. Gambaran Prevalensi Faktor Risiko penyebaran HIV/AIDS

pada 1243 pasien HIV/AIDS tahun 2012 sampai dengan 2013

Faktor Risiko Frekuensi Persentase

Bisexual 19 1.5

Pada 1243 pasien HIV/AIDS yang terdaftar pada pusyansus RSUP H Adam Malik Medan didapati 10 faktor risiko penyebaran HIV/AIDS. Adapun faktor risiko yang terbanyak yang menyebabkan HIV/AIDS pada sampel yaitu heterosexual 1006 orang (80.9%), diikuti dengan faktor risiko penularan melalui IDU ( Injection Drug User) atau sering disebut penasun (Pengguna Narkoba Suntik) dengan jumlah orang 67 orang (5.4%). Pada urutan ketiga adalah transmisi dari ibu kepada anak dengan jumlah 50 orang (4%).

(55)

53

Berikut ini merupakan diagram yang menggambarkan faktor risiko pada pasien-pasien HIV/AIDS di pusyansus RSUP H Adam Malik Medan tahun 2012-2013

Gambar 5.1 Diagram prevalensi faktor risiko HIV/AIDS tahun 2012-2013 RSUP H Adam Malik Medan

5.2 Pembahasan

Pada bab sebelumnya dikatakan pada survei awal penelitian pada bagian rekam medis didapati jumlah kunjungan pasien HIV/AIDS di RSUP H Adam Malik Tahun 2012 sampai dengan tahun 2013 dari bulan januari 2012 sampai dengan bulan desember 2013 didapati 406 kunjungan pasien. Bila dibandingkan dengan prevalensi pasien yang diteliti sebagai sampel penelitian yang diambil dari pusyansus RSUP H Adam Malik Medan dengan rentang waktu yang sama dengan jumlah 1243 pasien HIV/AIDS, kita dapat melihat adanya perbedaan data yang cukup terlihat antara data pasien HIV/AIDS pada bagian rekam medis dan data di pusyansus RSUP H Adam Malik Medan. Hal ini tentunya menjadi suatu dilemma

(56)

54

yang cukup membingungkan peneliti dalam melakukan penelitian di RSUP H Adam Malik Medan. Hal ini mungkin saja tejadi dikarenakan proses input data pasien yang melalui komputerisasi pada bagian rekam medis RSUP H Adam Malik Medan yang belum menginput data ke dalam komputer pada rekam medis.

Adapun data yang terkumpul sejumlah 1243 pasien HIV/AIDS bukanlah merupakan data kunjungan pasien HIV/AIDS namun data tersebut merupakan total pasien yang berobat baik rawat inap maupun rawat jalan yang terdaftar pada pusyansus HIV/AIDS RSUP H Adam Malik Medan. Data tersebut diambil dengan melihat rekam medis pasien HIV/AIDS yang terdaftar pada pusyansus secara langsung.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan, berdasarkan karakteristik individu yang dilihat dari usia pasien yang tertera pada tabel 5.1 dijumpai frekuensi pasien HIV/AIDS yang terbesar yaitu pada kelompok usia 31 tahun sampai dengan 40 tahun dengan jumlah 477 orang (38.4%) dan pada kelompok usia 21 tahun sampai dengan usia 30 tahun dengan jumlah 463 orang (37.2%). Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Linkungan (Ditjen PP&PL) Depkes RI tahun 2012, yang mana kelompok usia yang terbanyak yang dilaporkan menderita HIV/AIDS adalah pada kelompok usia 25 tahun sampai dengan usia 45 tahun dengan jumlah 15113 orang. Sedangkan pada kelompok usia kedua terbanyak yaitu pada kelompok usia 20 tahun sampai 24 tahun dengan jumlah 2964 orang. (Ditjen PP dan PL, 2012)

Berdasarkan hasil penelitian bila dilihat dari karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin pasien-pasien yang terdaftar pada rekam medis pusyansus HIV/AIDS RSUP H Adam Malik Medan tahun 2012-2013 yang dapat dilihat pada tabel 5.2 tercatat terdapat 1243 pasien penderita HIV/AIDS dengan jumlah laki-laki sebanyak 820 orang (66%) dan perempuan sebanyak 423 orang (33%). Menurut laporan dari Ditjen PP dan PL Depkes RI tahun 2012 jumlah pasien HIV/AIDS yang berjenis kelamin laki-laki lebih besar dibandingkan

(57)

55

dengan perempuan dengan jumlah pasien laki-laki sebesar 12193 orang dan pasien perempuan sebesar 9138 orang. Berdasarkan data tersebut maka dapat dilihat bahwa hasil penelitian yang dilakukan pada 1243 pasien HIV/AIDS di RSUP H Adam Malik Medan sesuai dengan laporan Ditjen PP dan PL Depkes RI pada tahun 2012 yang mana didapati jumlah penderita lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini mungkin saja terjadi dikarenakan oleh beberapa sebab.

Alasan mengapa kelompok jenis kelamin laki-laki lebih tinggi terjangkit HIV/AIDS juga berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryawanshi, Dipak dkk. Tahun 2014 menyatakan bahwa tingginya risiko penularan terhadap kaum laki-laki khususnya pada kaum yang sering bepergian ke tempat-tempat tertentu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

a. Khususnya pada pria dewasa yang sudah menikah, mereka merasa jauh dari istri dan mencari kepuasan sexual di tempat ia berada.

b. Konsumsi alkohol pada kaum laki-laki mendoron para laki-laki untuk melakukan hubungan sexual bebas.

c. Perilaku kebiasaan sexual pria yang suka berganti-ganti pasangan baik dengan pekerja sex maupun yang lainnya.

d. Kesadaran akan penggunaan kondom yang kurang pada laki-laki yang melakukan hubungan sexual bebas.

Berdasarkan hasil tabulasi data faktor risiko penyebaran HIV/AIDS yang dapat dilihat pada tabel 5.3 faktor risiko terbesar yang ditemukan pada sampel penelitian ini yaitu pada faktor risiko sex bebas / heterosex dengan jumlah 1006 orang (80.9%), disusul oleh faktor risiko penasun dengan jumlah 67 orang (5.4%). Faktor risiko terkecil dapat dilihat seperti pada tabel 5.3. yaitu penggunaan pisau cukur sebanyak 1 orang (0.1%) melalui pemasangan tindik sebanyak 1 orang (0.1%). Menurut data Ditjen PP dan PL Dinkes RI tahun 2012 faktor risiko yang terbesar yang menjadi penyebab terjangkitnya pasien-pasien oleh virus HIV adalah heterosexual dengan jumlah orang 4421 orang dan pada peringkat kedua

(58)

56

ditempati oleh faktor risiko penasun (Pengguna Narkoba Suntik) dengan jumlah 521 orang. Faktor risiko yang terkecil menurut laporan Ditjen PP dan PL Dinkes tahun 2012 adalah transfusi darah dengan jumlah 1 orang. Kedua data yang dilaporkan antara hasil penelitian ini dan data laporan Ditjen PP dan PL Dinkes tahun 2012 terlihat tidak terlalu jauh berbeda, yang mana faktor risiko yang terbanyak menyebabkan infeksi HIV/AIDS adalah heterosex. (Ditjen PP dan PL, 2012)

Data hasil penelitian ini juga tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Cardoso,s, et. all. tahun 2012 yang meneliti pasien-pasien HIV/AIDS pada tahun 2006 sampai tahun 2011. Pada penelitiannya dikatakan bahwa faktor risiko yang paling tinggi menyebabkan penularan HIV/AIDS adalah melalui hubungan sexual yang bebas dengan jumlah 548 pasien (91.3%) dari total 600 pasien yang merupakan infeksi baru yang dianalisa pada penelitiannya.

Dari hasil penelitian ini juga didapati adanya faktor risiko baru yang tidak tertulis dalam kerangka konsep penelitian pada bab sebelumnya. Adapun faktor risiko tersebut adalah pisau cukur, tattoo dan tindik. Faktor risiko pisau cukur adalah yang mana pada penggunaan pisau cukur yang secara bergantian dengan menggunakan alat cukur yang menggunakan pisau silet. Tatto adalah tindakan pemasukan tinta dibawah kulit yang memiliki nilai seni. Terjangkitnya pasien dari tattoo yaitu dengan melakukan proses penatoan yang tidak higienis dan penggunaan jarum tatto yang tidak diganti dengan kata lain secara bergantian. Tindik merupakan penusukan pada organ tubuh manusia seperti telinga, hidung, alis mata, bibir, lidah ,dan lain sebagainya, yang digunakan untuk memasukkan benda-benda yang dianggap bernilai seni seperti emas, perak dan sebagainya. Tertularnya pasien melalui tindik dikarenakan penggunaan alat tindik yang secara bergantian dan kurang higienis. Adapun hal yang mendasari terjangkitnya melalui ketiga faktor risiko ini yaitu dikarenakan kontak dengan mukosa tubuh dan juga kontak dengan darah yang terjadi akibat proses pelaksanaan dari masing-masing faktor risiko ini.

(59)

57

Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa telah terjadi pergeseran faktor risiko yang tercatat. Sebelumnya penasun (pengguna narkoba suntik) pada tahun 2006 merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh dalam penyebaran HIV/AIDS. Tercatat faktor risiko yang tertinggi menyebabkan HIV/AIDS adalah pengguna narkoba suntik (Penasun) (50,3%), diikuti oleh sex bebas (40,3%), homosex (4,2%), dan perinatal (1,5%) (Depkes, 2006).

(60)

58

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan terhadap 1243 sampel pasien di pusyansus RSUP H Adam Malik Medan mengenai gambaran prevalensi faktor risiko penyebaran HIV/AIDS di RSUP H Adam Malik Medan tahun 2012 sampai dengan 2013, dapat ditarik kesimpulan berupa :

1. Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan pada penelitian ini prevalensi HIV/AIDS pada RSUP H Adam Malik sebagai rumahsakit rujukan di Kota Medan adalah sebanyak 1243 orang.

2. Proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan demografi adalah :

a. Kelompok usia yang menderita HIV/AIDS terbesar adalah kelompok usia 31-40 tahun sebanyak 477 orang (38.4%) dan kelompok usia 21-30 tahun dengan jumlah 463 orang (37.2%)

b. Jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita HIV/AIDS sejumlah 820 orang (66%) dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan sejumlah 423 orang (33%). Perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan yaitu 2:1.

3. Faktor risiko yang paling banyak menyebabkan HIV/AIDS adalah faktor risiko heterosexual dengan jumlah 1006 orang (80.9%).

4. Faktor risiko penasun merupakan faktor risiko kedua yang menyebabkan penularan HIV/AIDS dengan jumlah 67 orang (5.4%).

(61)

59

6.2. Saran

1. Masukan kepada pihak rekam medis RSUP H Adam Malik Medan agar meningkatkan kualitas dalam pencatatan rekam medis pasien sehingga baik dalam penelitian yang menggunakan rekam medis juga dalam follow up pasien menjadi lebih baik lagi.

2. Penelitian ini diharapkan nantinya dapat diteliti lebih lanjut sebagai pendukung kemajuan dalam bidang keilmuan.

(62)

18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menginvasi tubuh yang menyerang kekebalan tubuh manusia yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh sehingga bila dibiarkan dalam jangka lama penderita yang terserang HIV akan jatuh kedalam keadaan AIDS. HIV termasuk kedalam golongan lentivirus atau retrovirus. Virus ini termasuk virus RNA. Dalam penyebarannya virus ini membutuhkan enzim reverse transkriptase agar dapat berplikasi dan menginfeksi tubuh manusia. HIV yang menginvasi tubuh manusia akan terus bereplikasi dan akan terus menyerang sel kekebalan tubuh manusia. Virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia melalui reseptor CD4 yang terdapat pada sel-sel kekebalan tubuh. Virus HIV terdiri dari 2 subtipe yaitu HIV1 dan HIV2. HIV1 merupakan jenis yang paling banyak menginfeksi manusia (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

2.2 Pengertian AIDS

AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). Bila ditinjau dari segi bahasa Acquired berarti didapat bukan penyakit turunan. Immuno berarti sistem kekebalan tubuh. Deficiency artinya kekurangan dan syndrome adalah kumpulan gejala. Dari pengertian tersebut maka dapat ditarik pengertian bahwa AIDS adalah kumpulan gejala maupun penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tubuh mudah diserang penyakit lain yang dapat berakibat fatal (Soanes, C., 2001).

Berdasarkan Kamus Kedokteran Dorland (2006), AIDS adalah suatu penyakit retrovirus epidemik, menular yang disebabkan oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus), yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas selular, dan mengenai kelompok risiko tertentu yang terinfeksi virus tersebut. Dari pengertian tersebut jelaslah dapat kita ambil suatu kesimpulan berupa AIDS adalah suatu kumpulan gejala maupun penyakit yang dihasilkan dari

(63)

19

manifestasi infeksi virus HIV yang menyebabkan depresi berat kekebalan tubuh manusia.

2.3 Epidemiologi

Saat ini HIV/AIDS merupakan penyakit pandemi dimasyarakat dunia. HIV/AIDS merupakan masalah yang sangat mendunia dan sangat kompleks. Lebih dari jutaan orang yang terkena HIV/AIDS dan hal ini sangat berpotensi untuk menyebarkan kepada orang lain. HIV/AIDS pertama kali dilaporkan oleh Center For Disease Control (CDC) di Amerika Serikat pada sekelompok kaum homoseks di California dan New York City pada tahun 1981. Sampai saat ini kasus HIV/AIDS ini masih terus berkembang dan penyebarannya juga masih terus terjadi sehingga tingginya kasus HIV/AIDS yang dijumpai pada saat ini (CDC, 2014).

2.3.1 HIV/AIDS di Dunia

HIV/AIDS dimata dunia sudah dianggap sebagai penyakit yang sangat pandemik. Setiap tahunnya kasus HIV/AIDS semakin bertambah. Hal ini sangat meresahkan dunia kesehatan internasional karena penyakit yang berstatus pandemi ini sudah menginfeksi lebih dari jutaan orang. Menurut laporan terbaru setiap tahunnya jumlah kasus HIV/AIDS diseluruh dunia terus meningkat. Hal ini tentunya sangat mengejutkan masyarakat dunia akan cepatnya infeksi penyakit ini. Menurut perkiraan WHO sekitar 6300 kasus baru infeksi HIV perhari pada tahun 2012. Tercatat 35,3 juta orang yang hidup dengan HIV, 2,3 juta orang dengan infeksi baru, dan 1,6 juta orang mati pada tahun. Sub-Saharan Afrika adalah negara yang menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan jumlah penderita HIV/AIDS tertinggi. Sub-Saharan Afrika tercatat memiliki 25 juta orang hidup dengan HIV/AIDS pada tahun 2012. Tingginya prevalensi HIV/AIDS di dunia yang telah dikemukakan oleh WHO/UNAIDS sangat mengkhawatirkan, walaupun telah dilakukan upaya pencegahan namun penyebarannya masih tetap terjadi dan bertambah setiap tahunnya (WHO/UNAIDS, 2012).

(64)

20

Tabel 2.1 Epidemiologi HIV/AIDS (WHO/UNAIDS, 2012)

Dari tabel diatas didapati bahwa Sub-Saharan Afrika merupakan negara

yang paling tinggi yang diprediksi oleh WHO/UNAIDS pada tahun 2012. Sub-Saharan Afrika merupakan suatu negara bagian yang terdapat di Benua Afrika. Hal ini tentunya tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja. Kebudayaan masyarakat, faktor geografis, faktor sosial, faktor kurangnya pengetahuan masyarakat akan HIV/AIDS, kurangnya kesadaran akan infeksi HIV/AIDS, serta kemajuan teknologi merupakan faktor – faktor yang diduga sebagai penyebab masih tingginya penyebaran HIV/AIDS. Asia Tenggara dan Asia Selatan pada tabel diatas dapat kita lihat menduduki peringkat kedua dalam jumlah infeksi HIV/AIDS. Asia Tenggara sendiri memiliki negara-negara anggota yang terdiri dari 11 negara. Hal ini dapat kita lebih cermati pada Indonesia yang merupakan salah satu anggota Negara Asia Tenggara. Indonesia juga merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat banyak, bahkan Indonesia merupakan negara ketiga penduduk terbanyak di dunia. Nantinya pada bagian yang selanjutnya akan dibahas mengenai epidemiologi HIV/AIDS di Indonesia (WHO/UNAIDS, 2012).

2.3.2 HIV/AIDS di Indonesia

Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat.

Adults And Children

Sub-Saharan Africa 25.0 Million 1.6 Million 4.7% 1.2 Million

(65)

21

Human Immunodeficiency Virus (HIV) sudah ada di Indonesia sejak kasus pertama ditemukan tahun 1987. Sampai saat ini kasus HIV/AIDS telah dilaporkan oleh 341 dari 497 kabupaten/kota di 33 provinsi di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu Negara Asia dengan penyebaran HIV/AIDS yang berkembang paling cepat (UNAIDS, 2012), dan merupakan negara dengan tingkat epidemi HIV terkonsentrasi, karena terdapat beberapa daerah dengan prevalensi HIV lebih dari 5% pada subpopulasi tertentu, dan prevalensi HIV tinggi pada populasi umum 15-49 tahun terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat (2,4%).

Gambar 2.1 Jumlah Kasus HIV/AIDS Serta Kematian Karena HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2005-September 2012 (Direktorat PP&PL, Kemenkes,

2012)

574 760 825 937 960 1185 825 514

0

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Jumlah Kasus HIV Jumlah Kasus AIDS Jumlah Kematian Akibat AIDS

(66)

22

Jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia terus mengalami peningkatan. Penghitungan kembali terhadap data-data mengenai infeksi HIV/AIDS pun terus dilakukan. Pada tahun 2013 didapati peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS. Hal ini jelas terlihat pada gambar 2.2 berikut ini.

Gambar 2.2 Jumlah HIV/AIDS Yang Dilaporkan Pertahun Sampai Dengan Maret 2013 (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2013)

Dari gambar diatas kita dapat membandingkan dengan tahun sebelumnya dimana terjadi perubahan jumlah pasien yang didapati menderita HIV/AIDS. Pada grafik 2.1 pada tahun 2012 didapati jumlah pasien yang terkena HIV berjumlah 9.883 orang sedangkan menurut data kemenkes tahun 2013, jumlah pasien yang menderita HIV pada tahun 2012 berjumlah 21.511 orang. Hal ini terjadi karena diadakannya validasi data oleh pihak pengumpul untuk mendapatkan hasil yang akurat.

Pada tahun 2013 sampai bulan Maret, sudah ditemukan sekitar 5.369 orang yang terkena HIV dan 460 orang yang menderita AIDS. Hal ini dapat menjadi gambaran perkiraan kita akan potensi semakin bertambahnya kasus HIV/AIDS sampai akhir tahun 2013 dan sampai tahun 2014.

(67)

23

Tabel 2.2 Jumlah Infeksi HIV Sampai Maret 2013 (Ditjen PP&PL,Kemenkes RI, 2013)

(68)

24

(69)

25

2.3.3 HIV/AIDS di Sumatera Utara

Sumatera merupakan suatu pulau di sebelah barat dari Indonesia yang terdiri atas beberapa provinsi. Pada bagian ini akan lebih dibahas pada Provinsi Sumatera Utara. Sumatera Utara memang belum memasuki provinsi yang penyebarannya tinggi. Pada tahun 2010 jumlah kasus baru untuk HIV (+) yaitu 171 kasus dan AIDS sebanyak 468 kasus (Dinkes Provsu). Penambahan kasus baru pada tahun 2011 menyebabkan peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS secara keseluruhan menjadi 3.237 kasus. Pada tahun 2012, jumlah kasus HIV/AIDS meningkat tajam menjadi 6.430 kasus dengan rincian, 2.189 kasus HIV dan 4.241 kasus AIDS(Dinkes Provsu, 2012). Penderita baru HIV/AIDS 3 tertinggi tahun 2012 secara berturut-turut adalah Kota Medan yaitu 506 kasus atau sekitar 34,56%, Kabupaten Karo 347 kasus (23,70%), dan Kabupaten Deli Serdang sebanyak 172 kasus (11,75%) dari total seluruh penderita baru (Dinkes Provsu, 2012).

Gambar 2.3 Jumlah Kasus HIV/AIDS Provinsi Sumatera Utara Pada Tahun 1994-2012 (Dinkes Provsu, 2012)

(70)

26

Gambar 2.3 menunjukkan jumlah kumulatif pasien HIV/AIDS dari tahun 1994 sampai tahun 2012. Dari gambar tersebut jelas dapat kita lihat bahwasannya terdapat 4241 total pasien AIDS yang ditemukan sampai tahun 2013. Total pasien HIV pada gambar juga dapat kita lihat sebanya 2189 orang dari tahun 1994 sampai 2013. Jumlah tersebut termasuk pasien dengan infeksi baru, orang dengan HIV/AIDS (ODHA), dan kematian akibat penyakit ini.

Gambar 2.4 Jumlah Infeksi Baru HIV/AIDS Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012 (Dinkes Provsu, 2012)

(71)

27

Dari gambar 2.4 dapat kita lihat bahwa Medan merupakan kota yang menduduki peringkat pertama sebagai kota yang jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi di Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 506 orang yang dideteksi telah terjangkit penyakit HIV/AIDS. Medan merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Utara. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk menurunkan tingkat penyebaran virus ini agar jumlah pasien yang terjangkit tidak akan terus bertambah di kemudian hari.

2.4 Transmisi

Setiap benda asing yang merusak tubuh manusia memiliki jalan masuk tertentu agar dapat menginvasi tubuh dan berinteraksi dengan tubuh. Seperti halnya HIV, virus ini tentunya memiliki jalan masuk untuk menginfeksi tubuh manusia. HIV dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui kontak langsung dengan darah ataupun cairan tubuh seperti cairan semen, secret vagina, cairan serviks, dan cairan otak. Namun virus ini juga dapat masuk melalui air mata, urin, keringat, dan ASI, tetapi hanya dalam jumlah yang sangat sedikit (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

Sebelumnya telah berkembang dimasyarakat bahwasannya transmisi penyebaran HIV/AIDS melalui gigitan nyamuk dapat terjadi. Belum ada literatur maupun jurnal yang dapat membuktikan hal tersebut, namun hal tersebut sudah dapat dibantah. Belum ada pasien yang tercatat menderita HIV/AIDS melalui gigitan nyamuk baik di Indonesia maupun di dunia. Berikut ini terdapat beberapa cara penularan HIV yaitu :

1. Melalui hubungan seksual baik secara vaginal, oral maupun anal dengan pengidap HIV. Ini adalah cara yang paling umum terjadi yaitu meliputi 80 – 90% total kasus didunia.

2. Kontak langsung dengan darah, produk darah atau jarum suntik. Hal ini meliputi transfusi darah yang tercemar, pemakaian jarum suntik yang tidak steril dan penyalahgunaann narkoba dengan jarum suntik yang dipakai secara bersamaan. Kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan juga salah satu cara penularan melalui kontak langsung dengan darah.

(72)

28

3. Pembuatan tatto yang dilakukan tidak dengan alat-alat yang steril, penggunaan pisau cukur yang tidak diganti pada saat bercukur di salon. 4. Transmisi secara vertikal dari ibu pengidap HIV kepada bayinya, (selama

proses kelahiran dan melalui ASI). (Sudoyo AW et al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

2.5 Etiologi

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya HIV merupakan suatu virus golongan lentivirus subklas retrovirus yang menyerang sisitem kekebalan tubuh manusia yang dapat menyebabkan turunnya daya tahan tubuh penderita sampai muncul gejala-gejala maupun sindrom yang dapat memungkinkan infeksi penyakit lain (infeksi oppurtinistik) yang disebut dalam keadaan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom). Luc Montagnier dkk. tahun 1983 telah menemukan LAV ( Lymphadenopathy Associated Virus). Pada tahun 1984 sejenis virus yang disebut HTVL 3 (Human T cell Lymphotropic Virus Type 3) ditemukan dari pasien AIDS di Amerika Serikat oleh Robert Gallo dkk. Kemudian didapati bahwa kedua virus ini sama, dan oleh committee taxonomy international pada tahun 1985 disebut sebagai HIV (Human Imuno-deficiency Virus). Pada tahun 1994 dikenal terdapat 2 jenis virus HIV yaitu HIV 1 dan HIV 2 (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

HIV1 dan HIV2 merupakan suatu virus RNA yang termasuk kedalam retrovirus. HIV1 penebarannya lebih luas dibandingkan dengan HIV 2. HIV1 penyebarannya hampir diseluruh dunia , sedangkan HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien Portugal dan Afrika Barat. HIV2 lebih mirip dengan monkey virus yang disebut SIV (Simian Imunodeficiency Virus). Kedua jenis virus HIV ini sebenarnya memiliki banyak kemiripan. Kedua virus ini memiliki inti yang mirip, tetapi kedua virus ini memiliki selubung luar yang berbeda.

2.6 Patogenesis

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah golongan lentivirus yang merupakan subgroup dari retrovirus. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, terdapat dua jenis virus HIV yang ditemukan yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV1 merupakan jenis yang paling banyak menginfeksi manusia.

(73)

29

HIV menginfeksi tubuh manusia dengan menempel pada sel-sel yang mempunyai molekul CD4 sebagai reseptor utama yaitu limfosit T4. Adapun sel lain yang memiliki reseptor CD4 yaitu sel monosit, sel makrofag dan sel – sel dendritik, sel retina, sel leher rahim serta sel langerhans. Gp120 yang merupakan reseptor permukaan virus yang akan berikatan dengan CD4. Kemudian GP120 akan berinteraksi dengan koreseptor yang tertanam dalam membran sel dan terpapar dengan peptide dari Gp41 dan mulailah terjadi fusi antara virus dan

membrane sel. Setelah fusi, internal virion core akan dilepaskan ke sitoplasma sebagai suatu kompleks ribonukleoprotein (Pathologic Basic of Disease).

Gambar 2.5. Ilustrasi skematik struktur HIV-1 (Pathologic Basic of Disease )

HIV memiliki partikel ikosahedral bertutup (envelope) yang berukuran sangat kecil dengan ukuran 100-140 nanometer. Inti virus terdapat untaian RNA serta enzim reverse transcriptase, integrase, dan protease yang dibutuhkan untuk

(74)

30

replikasi virus. Selubung virus tersusun oleh lapisan bilayer yang mempunyai tonjolan - tonjolan yang tertanam pada permukaan selubung lipid dan terdiri dari glikoprotein Gp120 dan Gp41. Gp120 berperan pada pengikatan HIV dengan reseptor CD4 dari sel. GP41 mengadakan fusi antara virus dengan membran sel host pada saat virus masuk ke sel host. Struktur genom RNA yaitu struktur pasang basanya terdiri dari 3 gen utama yang mengkode pembentukan struktur – struktur virus yaitu gen gag, pol, dan env. Selain itu, terdapat gen tambahan yaitu tat, rev, dan nef. Struktur polipeptida utama dari inti virus adalah p24. Polipeptida lain adalah p17 yang ada di sekeliling inti dan p15 yang membentuk kompleks dengan RNA virus.

Gambar 2.6. Mekanisme HIV Menginfeksi Sel (Pathologic Basic Of Disease )

HIV pada sitoplasma selnya memiliki enzim reverse transcriptase. Enzim inilah yang nantinya akan mengubah RNA virus menjadi DNA. DNA yang terbentuk ini akan masuk kedalam inti sel inangnya dan dengan bantuan enzim integrase akan berintegrasi dengan DNA sel host dan akan membentuk provirus. Integrasi materi genetik ini biasanya akan terjadi dalam kurun waktu 2-10 jam setelah infeksi. Setelah terjadi integrasi, DNA provirus mengadakan transkripsi dengan memanfaatkan bantuan enzim polymerase yang dimiliki sel host yang diinfeksinya menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan translasi dengan protein – protein struktural sampai terbentuk protein mRNA. Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus, yang nantinya akan menempel

(75)

31

pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel host dalam keadaan matang (Pathologic Basic of Disease).

Segera setelah infeksi HIV, sebagian virus yang bebas maupun yang berada dalam sel – sel CD4 T yang terinfeksi akan mencapai kelenjar limfe regional dan akan merangsang imunitas seluler dan humoral dengan cara antara lain merekrut limfosi – limfosit. Pengumpulan sel limfosit ini justru akan menyebabkan sel – sel CD4 yang terinfeksi akan semakin banyak. Pada akhinya monosit dan limfosit yang terinfeksi akan beredar ke seluruh tubuh dan menyebarkan virus ke seluruh tubuh. HIV juga dapat memasuki otak melalui monosit Yang terdapat dan beredar di otak ataupun melalui infeksi sel endotel pada otak (Pathologic Basic of Disease).

Gambar 2.7 Mekanisme Kehilangan sel CD4 Pada Infeksi HIV/AIDS (Pathologic Basic Of Disease )

Pada beberapa hari setelah manusia terinfeksi HIV, akan terjadi penurunan kadar CD4 di dalam darah. Akibat berkurangnya CD4 di dalam darah dapat dijumpai keadaan limfopenia. Selama periode awal ini, virus – virus bebas dan protein virus p24 dapat dideteksi dalam kadar yang tinggi dalam darah dan jumlah sel – sel CD4 yang terinfeksi HIV meningkat. Pada fase ini, virus berkembang

(76)

32

biak dengan cepat. Cepatnya replikasi sel virus tidak dapat diimbangi dengan respon tubuh terhadap perkembangan virus. Setelah 2-4 minggu akan terjadi peningkatan jumlah limfosit total yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah sel CD8 T (sel sitotoksik) yang merupakan bagian dari respon imun terhadap virus (Harison, 2005).

Adanya sel T sitotoksik merupakan tanda rangsang neutralising antibodi. Antibodi akan terbentuk setelah minggu kedua atau ketiga namun kadang – kadang terjadi sampai beberapa bulan. Penurunan virus bebas dan sel yang terinfeksi disebabkan oleh lisis sel yang terinfeksi HIV oleh CD8 T. Sel CD8 yang teraktivasi pada individu yang terinfeksi HIV juga memproduksi sejumlah sitokin terlarut yang dapat menghambat replikasi virus dalam sel – sel CD4 T tanpa menyebabkan lisis sel. Setelah itu, jumlah sel CD4 akan kembali ke kadar semula seperti sebelum terinfeksi HIV. Selama fase akut, kebanyakan kasus menunjukkan gejala infeksi virus akut pada umumnya yaitu berupa demam, letargi, mialgia dan sakit kepala serta gejala lain berupa faringitis, limfadenopati dan ruam (Pathologic Basic of Disease).

Setelah terserang fase akut, selanjutnya akan memasuki fase asimtomatik yang nantinya akan terjadi penurunan kadar CD4 secara perlahan – lahan. Hal ini dapat terjadi selama berbulan-bulan maupun bertahun-tahun tergantung dari kondisi kekebalan tubuh orang yang terinfeksi. Menurunnya imunitas seseorang dapat dilihat dari kadar CD4 dalam darah. Oleh karena itu pada fase asimptomatik ini jumlah virus dalam darah dan sel – sel perifer yang dapat dideteksi dalam kondisi yang rendah. Penurunan jumlah CD4 dalam darah rata – rata 65 sel/ul setiap tahun. Didapatkan kerusakan pada sistem imun tapi tidak bersifat laten dan masih dapat mengalami perbaikan terutama dalam limfonoduli. Penurunan jumlah sel CD4 T selama infeksi HIV secara langsung dapat mempengaruhi beberapa reaksi imunologik yang diperankan oleh sel CD4 T seperti hipersensitivitas tipe lambat, transformasi sel muda limfosit dan aktivitas sel limfosit T sitotoksik. Munculnya strain HIV yang lebih pathogen dan lebih cepat bereplikasi pada host merupakan faktor utama dalam mengontrol kemampuan sistem imun. Dikatakan juga bahwa jumlah dan fungsi sel T sitotoksik akan menurun bila jumlah sel CD4

(77)

33

menurun sampai < 200 sel/ul. Karena sel – sel ini berperan dalam mengontrol sel yang terinfeksi virus dan membersihkan virus pada tahap awal infeksi sehingga dikemukakan hilangnya aktivitas sel ini mempunyai dampak dalam peningkatan jumlah virus. Kemungkinan lain disebabkan karena terjadi mutasi dari virus sehingga tidak dikenal oleh sel T sitotoksik (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

2.7 Manifestasi klinis

Gejala klinis terdiri dari 2 gejala menurut Sudoyo et. Al.,Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (2009) yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):

Gejala mayor:

a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan. b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan. c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan. d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis. e. Demensia/ HIV ensefalopati.

Gejala minor:

a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan. b. Dermatitis generalisata.

c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang. d. Kandidias orofaringeal.

e. Herpes simpleks kronis progresif. f. Limfadenopati generalisata. g. Retinitis virus Sitomegalo.

Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.

(78)

34

a. Fase awal

Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.

b. Fase lanjut

Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk, dan pernafasan pendek. Gejala yang dapat ditimbulkan seperti demam, sakit tenggorokan, letargi, batuk, mialgia, keringat malam, keluhan GIT (Gastrointestinal Tract) berupa mual, muntah, sakit menelan, dan diare.

c. Fase akhir

Selama fase akhir dari HIV yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.

2.8 Masa Inkubasi

Masa inkubasi merupakan suatu waktu yang dihitung mulai dari seseorang terinfeksi HIV sampai kepada memberikan gejala. Gejala yang dapat ditimbulkan seperti demam, sakit tenggorokan, letargi, batuk, mialgia, keringat malam, keluhan GIT (Gastrointestinal Tract) berupa mual, muntah, sakit menelan, dan diare. Berdasarkan penelitian didapati bahwa masa inkubasi virus HIV ini sangat bervariasi yaitu antara 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, namun dikatakan bahwa masa inkubasi rata-rata adalah 5-10 tahun (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

Selama masa inkubasi, orang yang terinfeksi HIV disebut penderita HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang

(79)

35

dikenal dengan “masa window periode”. Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai pola transmisi virus HIV. Mengingat masa inkubasi yang relatif lama, dan penderita HIV tidak menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan penularan terjadi pada fase inkubasi ini (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

Menurut Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam UI ( Universitas Indonesia) membagi lagi manifestasi klinis penyakit HIV/AIDS yaitu :

1. Infeksi Akut

Pasien yang terinfeksi HIV sekitar 30-50% pasien akan memberikan gejala infeksi akut yang mirip dengan gejala infeksi mononucleosis. Gejala yang dapat ditimbulkan seperti demam, sakit tenggorokan, letargi, batuk, mialgia, keringat malam, keluhan GIT (Gastrointestinal Tract) berupa mual, muntah, sakit menelan, dan diare. 2. Infeksi Kronik Asimptomatik

Fase akut akan diikuti fase kronik asimptomatik yang lamanya dapat bertahun-tahun. Walaupun tidak ada gejala, kita tetap dapat mengisolasi virus dari darah psien dan selama fase ini pasien juga infeksius. Selama fase ini tetap jelas bahwa aktivitas HIV tetap terjadi dan ini dibuktikan dengan menurunnya imunitas tubuh penderita dari waktu ke waktu. Kemungkinan sampai jumlah virus tertentu, tubuh masih dapat mengompensasi sistem imun.

3. PGL (Pembengkakan Kelenjar Getah Bening)

Pada kebanyakan kasus, gejala pertama yang muncul adalah PGL. Hal ini menunjukkan adanya hiperaktivitas sel limfosit B dalam kelenjar limfe. Hal ini dapat persisten selama bertahun-tahun, dan pasien tetap merasa sehat. Terjadi progresivitas yang bertahap dari adanya hyperplasia folikel dalam kelenjar limfe saat timbulnya involusi dengan adanya invasi sel limfosit T. Hal ini merupakan suatu reaksi tubuh untuk menghancurkan sel dendritik folikuler yang terinfeksi HIV.

(80)

36

4. Gejala-gejala Akibat Penyakit Lain

a) Gejala yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan HIV, seperti : diare, demam lebih dari satu bulan, keringat malam, rasa lelah berlebihan, batuk kronik lebih dari satu bulan, dan penurunan berat badan 10% atau lebih. Apabila yang mencolok adalah penurunan berat badan, maka ini merupakan salah satu indikator penyakit AIDS, dan disebut sebagai slim disease, gejala ini paling banyak di Afrika.

b) Gejala yang langsung akibat HIV, misalnya : mielopati, neuropati perifer dan penyakit susunan saraf otak. Hampir 30% pasien dalam stadium akhir akan menderita AIDS dementia kompleks, yaitu menurun sampai menghilangnya daya ingat, gangguan fuingsi motorik dan fungsi kognitif, sehingga pasien sulit untuk berkomunikasi dan keterbatasan pergerakan.

c) Infeksi opportunistik dan neoplasma. Pada stadium kronik simptomatik ini sangat sedikit keluhan dan gejala yang benar-benar sebagai akibat langsung dari HIV. Akibat menurunnya daya tahan tubuh maka infeksi opportunistik masuk dan menambah berat penyakit yang diderita orang yang terinfeksi HIV (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

Karena masa inkubasi yang memiliki waktu yang relatif lama ini biasanya para penderita tidak menyadari bahwa dirinya telah terinfeksi HIV. Seperti yang telah dijelaskan sebelummnya, pada masa inkubasi ini penderita sangat berpotensi untuk meyebarkan ataupun sebagai reservoir pengakit ini. Hal inilah yang dapat menyebabkan tingginya penyebaran virus ini baik dari sektor manapun.

2.9 Diagnosis

(81)

37

Setiap penyakit pada umumnya menggunakan anamnesa sebagai langkah awal untuk mengetahui dan sebagai media pendekatan kepada pasien mengenai penyakit yang dideritanya sehingga kita dapat menggali lebih dalam masalah yang dikemukakan pasien agar dapat menjadi bahan acuan dalam penegakan diagnosa. Anamnesa berperan kurang lebih 80% dalam penegakan diagnosa. Begitu pula dengan kasus HIV/AIDS. kebanyakan pasien HIV/AIDS di diagnosa sementara oleh dokter setelah melakukan anamnesis. Adapun hal yang akan ditanyakan dalam anamnesa seperti kapan melakukan hubungan sexual terakhir, kebiasaan memakai alat pengaman seperti kondom, sesering apa pasien melakukan sex tanpa menggunakan pengaman, melakukan hubungan sex dengan sesama jenis atau heterosex, bagaimana pasien melakukan hubungan sex yaitu kelamin-kelamin, kelamin – anus, maupun secara oral. Pada anamnesa juga tidak dapat dilupakan mengenai penyakit maupun keluhan tambahan yang dirasakan pasien. Setelah pemeriksa selesai melakukan tanya jawab kepada pasien , maka untuk diagnosa yang lebih pasti akan dilakukan pemeriksaan fisik (CDC, 2014).

Pemeriksaan fisik untuk mendiagnosa infeksi HIV adalah tidak terlalu signifikan. Hal ini karena tiada penemuan yang spesifik untuk infeksi HIV. Secara umum, hal yang mungkin didapati pada infeksi HIV akan menyebabkan limfadenopati di seluruh tubuh dan berat badan yang menurun. Infeksi minor yang oppurtunistik seperti oral candidiasis yang luas juga merupakan petunjuk awal untuk infeksi HIV. Pemeriksaan fisik pada pasien HIV/AIDS menjadi kurang spesifik seperti yang telah dikemukakan diatas dikarenakan adanya fase-fase asimptomatik pada pasien HIV/AIDS. Pemeriksaan fisik hanya dapat membantu bilamana pasien dalam kondisi infeksi akut dan AIDS. Dalam pemeriksaan fisik, akan dilakukan inspeksi pada seluruh tubuh mulai dari bagian tubuh paling atas sampai bagian tubuh yang paling bawah, selanjutnya dilakukan palpasi pada daerah yang didapati kelainan, selanjutnya akan dilakukan perkusi dan yang terakhir auskultasi. Bila telah selesai melakukan pemeriksaan fisik maka untuk diagnosa yang lebih pasti maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang pada pasien-pasien HIV/AIDS (Tran,M.A, 2008).

(82)

38

Pemeriksaan penunjang pada pasien HIV/AIDS yang sering dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium. Salah satu tes yang dijalankan adalah tes antibodi HIV yaitu dengan menggunakan test enzyme-linked immunoabsorbent assay ( ELISA ). Hasil tes yang positif berarti pernah terinfeksi, bukan adanya kekebalan terhadap virus. Sensitivitas ELISA sebesar 98 – 100%. Hasil positif ELISA harus dinkonfirmasi dengan Western Blot. Western Blot lebih spesifik mendeteksi antibodi terhadap komponen antigen permukaan virus. Spesifisitas Western Blot sebesar 99.6 – 100%. Hasilnya dinyatakan positif, negative atau indeterminate. CDC merekomendasikan reaksi dengan dua dari band berikut sebagai kriteria untuk hasil positif; p24, Gp41, Gp 120. Hasil indeterminate dihasilkan dari reaksi nonspesifik sera HIV negatif dengan beberapa protein HIV. Hasil indeterminate harus dievaluasi dan diperiksa secara serial selama 6 bulan sebelum menyatakan negatif. Untuk mendeteksi antigen virus digunakan pemeriksaan PCR (Harison, 2005).

Gambar 2.8 Algoritma diagnosis HIV/AIDS (Kasper et al, 2005)

Staging HIV adalah berdasarkan kepada manifestasi klinisnya, tetapi pemeriksaan lab lain bisa membantu untuk memulakan pengobatan. Antaranya adalah menghitung CD4 T sebagai indikator terhadap risiko untuk infeksi oppurtunistik. Biasanya selepas serokonversi, jumlah CD4 akan menurun secara

(83)

39

perlahahan – lahan dan apabila CD4 menurun sehingga kurang dari 200/ul, ini didefiniskan sebagai AIDS. Tes alternatif yang lain adalah menghitung virus bebas pada pembuluh darah perifer. Tes ini disebut tes alternative karena tidak terlalu tepat. Hal ini karena replikasi virus berlaku di kelenjar limfa dan bukannya di pembuluh darah perifer (Harison, 2005).

Selain pemeriksaan penunjang yang telah dikemukakan diatas terdapat juga tes – tes laboratorium yang lain yang jarang digunakan dalam praktek kesehatan saat ini. Hal ini dikarenakan biaya untuk melakukan pemeriksaan yang terlalu mahal. Biopsi kelenjar limfa juga bisa dilakukan. HIV DNA, RNA dan proteinnya bisa dideteksi dengan teknik molekular dan dengan menggunakan mikroskop elektron untuk melihat virions. ( e-medicine, 2008).

2.10. Pengobatan

Pengobatan terhadap HIV/AIDS mencakup preventive dan kuratif. Namun pada bagian ini akan dibahas pengobatan terhadap HIV/AIDS secara kuratif. Pada prinsipnya pengobatan infeksi HIV terdiri dari pengobatan terhadap virus dan pencegahan agar tidak terjadinya infeksi oportunistik. Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi viral load sebanyak mungkin dengan target <20-50 kopi/ml sehingga dapat menghentikan atau memperlambat progresivitas selama mungkin, memperbaiki status imun dalam segi kuantitas dan kualitas CD4, serta memperpanjang usia hidup dan memperbaiki kualitas hidup (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

Pengobatan yang sekarang ini banyak dipergunakan adalah pengobatan dengan kombinasi tiga obat, yaitu terdiri dari dua nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) dan satu protease inhibitor (PI) atau satu non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Hal ini dimaksudkan untuk mengontrol replikasi virus dalam jaringan dan plasma serta memperbaiki sistem imun. Saat memulai pengobatan anti retroviral adalah pada keadaan simptomatik AIDS dan pada keadaan CD4 <200/mm3 dengan atau tanpa gejala klinis (Harrison, 2005).

(84)

40

Obat golongan NRTI yaitu Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC), Didanosine (ddL), Zalcitabine (ddC) dan lain – lain bekerja melalui fosforilasi interselluler menjadi bentuk trifosfat dan bergabung ke DNA selanjutnya dapat menghambat pemanjangan rantai RNA virus. Obat golongan NNRTI seperti Nevirapine (NVP), Delavirdine (DLV), dan Efavirenz (EFV) bekerja dengan menghambat enzim reverse transcriptase melalui ikatan dengan tempat aktivitas enzim. Obat ini dapat menghambat atau menginduksi aktivitas sitokrom p450 sehingga dapat berinteraksi dengan obat –obatan yang lain. Obat golongan PI seperti Saquinavir (SQV), Indinavir (IDV), Ritonavir (RTV), dan lain – lain bekerja dengan mencegah pelepasan polipeptida pasca translasi menjadi protein virus fungsional. PI dapat menghambat sitokrom p450, dan ini akan meningkatkan potensi interaksi dengan banyak obat (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

2.11. Pencegahan

Selain upaya pengobatan terhadap penyakit (kuratif) para pihak petugas kesehatan seharusnya tidak dapat melupakan hal yang lebih penting untuk di lakukan yaitu pencegahan terhadap penyakit HIV/AIDS ini. Pencegahan menjadi lebih penting dikarenakan dengan melakukan pencegahan maka kita meminimalkan kemungkinan terinfeksi HIV. Upaya pencegahan dapat berupa :

a) Melakukan sex yang aman.

b) Menghindari kontak darah ataupun sexual dengan penderita HIV.

c) Melakukan penyuluhan kepada masyarakat awam mengenai penyakit HIV/AIDS dan bahayanya.

d) Meningkatkan pelayanan di sektor penanggulangan khusus HIV/AIDS (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

Adapun pencegahan yang lebih rinci terhadap HIV/AIDS : a. Transmisi melalui sexual

Upaya pencegahan melalui sexual baik secara heterosex maupun homosexual dapat dilakukan melalui penurunan kebiasaan sex yang salah dan juga menurunkan kemungkinan transmisi virus melalui aktivitas sexual. Penurunan kebiasaan sex yang salah dapat berupa: tidak melakukan hubungan

(85)

41

sexual dengan berganti-ganti pasangan, melakukan hubungan sex dengan satu orang saja. Pencegahan yang kedua yaitu melakukan penurunan kemungkinan transmisi virus dengan aktivitas sexual yaitu dengan menggunakan alat pengaman sex berupa kondom baik untuk pria maupun wanita ataupun keduanya (Simon,v et all, 2010).

b. Transmisi melalui injeksi jarum dan peralatan lainnya

Penggunaan melalui injeksi jarum dapat berupa pemakaian narkoba suntik, tertusuk jarum suntik pada pihak yang berisiko, pembuatan tattoo. Sedangkan maksud transmisi melalui alat lainnya adalah transmisi yang tidak disengaja melalui pisau cukur yang tidak diganti dan sebagainya. Transmisi melalui jalur ini tentunya perlu pencegahan melalui penjagaan higeanitas alat. Pemakaian alat dengan metode sekali pakai juga dapat mengurangi risiko tertular HIV/AIDS (Kesthkaran, Ali, et. all, 2014).

Adapun berdasarkan penelitian dikatakan bahwa penggunaan MMT (Methadone Maintenance Treatment) dapat menurunkan risiko penularan melalui narkoba suntik. Methadone dapat menurunkan risiko penyebaran dengan cara menurunkan pemakaian narkoba suntik (Kesthkaran, Ali, et. all, 2014).

c. Transmisi melalui Ibu terhadap anak

Pencegahan melalui ibu dan anak yang pertama yaitu melalui pemberian ART (Anti Retroviral Therapy) dengan nevirapine kepada ibu yang melahirkan dan anak yang baru dilahirkan tersebut. Pencegahan melalui jalan lahir juga harus dilakukan untuk mencegah transmisinya. Ibu-ibu hamil yang terdeteksi HIV dianjurkan untuk dilakukan operasi secio caesarean. Hal ini dilakukan untuk mencegah transmisi virus melalui luka bila dilahirkan secara normal (Simon,v et all, 2010).

Jenis virus HIV-1 dapat ditularkan melalui proses menyusui. Oleh sebab itu ibu-ibu yang terdeteksi HIV/AIDS sebaiknya tidak melakukan penyusuan terhadap anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan gizi anak walaupun tanpa ASI tetapi dapat digantikan dengan susu formula yang sesuai dengan bayi (Simon,v et all, 2010).

(86)

42

Adapun pencegahan lainnya yaitu berupa pemberian PrEP (Pre Exposure Prophilaxis). PrEP diberikan kepada orang-orang yang tidak terinfeksi HIV/AIDs. PrEP merupakan kombinasi dari 2 golongan obat ARV yaitu tenofovir disoproxil fumarate (disebut juga TDF, atau tenofovir) dan emtricitabine (disebut juga FTC). Penggunaan PrEP ini yaitu dengan cara 1 pil setiap hari.hal ini dimaksudkan untuk mencegah dengan menguatkan tubuh dari serangan virus (CDC, 2014)

Pencegahan lainnya juga yaitu melalui sirkumsisi pada lelaki. Alasan sirkumsisi dilakukan sebagai langkah pencegahan yaitu karena pada foreskin terdapat kelenjar apokrin yang mensekresikan lisozim dan juga sel-sel langerhans yang memiliki reseptor CD4. Oleh karena itulah langkah pencegahan dengan cara sirkumsisi diambil sebagai upaya untuk menurunkan penyebaran HIV/AIDS (Simon,v et all, 2010).

2.12. Prevalensi Faktor Risiko Penyebaran HIV/AIDS

Saat ini sudah banyak ditemukan faktor risiko penyebaran HIV/AIDS. faktor risiko merupakan faktor yang dianggap sebagai faktor yang kuat untuk memicu terjadinya suatu keaadaan. Faktor risiko tentunya berhubungan erat dengan jalan masuk virus HIV ke dalam tubuh manusia. Faktor risiko HIV/AIDS yang sering ditemukan seperti sex bebas (Heterosex), pengguna narkoba suntik (Penasun), homosexual, melalui ibu kepada anaknya, transfusi darah dan banyak lagi. Faktor risiko sex bebas (Heterosex) merupakan faktor yang paling tinggi menyebabkan HIV/AIDS. Menurut laporan Kemenkes RI tahun 1987- Maret 2013 sex bebas menempati urutan pertama (59,8%), diikuti oleh pengguna narkoba suntik (Penasun) (18%), perinatal (2,7%), dan homosexual (2,4%) (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2013).

(87)

43

Tingginya faktor risiko sex bebas pada saat ini merupakan gambaran tingginya tingkat kejahatan dan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang penyebab HIV/AIDS. Tingginya pengaruh faktor risiko sex bebas diduga dikarenakan meningkatnya kejahatan masyarakat dalam hal sexualitas. Adapun alasan lain yang mungkin menyebabkan hal tersebut yaitu mulai menurunnya penggunaan narkoba suntik pada kalangan pengguna narkoba. Kedua alasan inilah yang mungkin menyebabkan tingginya penyebaran HIV/AIDS melalui sex bebas di kalangan masyarakat.

Gambar 2.9 Gambaran Prevalensi faktor risiko HIV/AIDS tahun 1987 sampai Maret 2013 (Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, 2013)

Pada gambar 2.9 dapat kita lihat bahwasannya sex bebas (heterosex) merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh dalam menyebarkan HIV/AIDS. Sex bebas bila kita lihat pada gambar berjumlah 59,8%, dari persentase tersebut berarti dari seluruh pasien HIV/AIDS yang tercatat oleh Dinas kesehatan lebih dari separuhnya terkena HIV/AIDS melalui jalur sex bebas.

Sebelumnya penasun (pengguna narkoba suntik) pada tahun 2006 merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh dalam penyebaran HIV/AIDS. Tercatat faktor risiko yang tertinggi menyebabkan HIV/AIDS adalah pengguna narkoba suntik (Penasun) (50,3%), diikuti oleh sex bebas (40,3%), homosex (4,2%), dan perinatal (1,5%) (Depkes, 2006). Untuk lebih memudahkan dalam melihat masing-masing pengaruh faktor risiko HIV/AIDS dapat dilihat pada gambar 2.10.

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, transmisi

HIV/AIDS dapat melalui kontak darah. Penasun merupakan faktor risiko yang terkena melalui kontak darah. Alasan tingginya faktor risiko penasun ini mungkin

(88)

44

dikarenakan tingginya pemakaian narkoba suntik dikalangan masyarakat Indonesia.

Gambar 2.10 Gambaran prevalensi faktor Risiko HIV/AIDS tahun 2006 (Depkes , 2006)

Berdasarkan kedua data pada tahun 2006 dan total kumulatif pada tahun 1987 sampai dengan tahun 2013 kita dapat menjumpai adanya pergeseran pengaruh faktor risiko penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Pergeseran pengaruh faktor risiko ini berupa pergeseran pengaruh faktor risiko penasun ( Pengguna Narkoba Suntik) sebagai faktor risiko penyebaran yang pengaruhnya terbesar sampai tahun 2006 dengan faktor risiko penyebaran melalui sex bebas (Heterosex) secara kumulatif dari tahun ditemukannya kasus HIV/AIDS di Indonesia yaitu tahun 1987 sampai dengan bulan Maret 2013.

Pergeseran pengaruh faktor risiko ini dapat terjadi dikarenakan oleh 2 hal seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Alasan pertama adalah tingginya perilaku sex bebas di kalangan masyarakat. Alasan yang kedua adalah berkurangnya penggunaan narkoba suntik di kalangan pengguna narkoba. Kemungkinan kedua hal itulah yang menjadi alasan terkuat sebagai landasan

terjadinya pergeseran pengaruh faktor risiko penyebaran HIV/AIDS.

(89)

14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Human Imunodefesiensi Virus (HIV) merupakan penyakit pandemik yang mengkhawatirkan masyarakat di dunia. HIV adalah suatu penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh dan mudahnya terjangkit penyakit infeksi lain. Pengobatan untuk penyembuhan dan vaksinasi pencegahan untuk penyakit ini masih belum ditemukan, ditambah lagi Human Imunodefesiensi Virus (HIV) memiliki fase-fase asimptomatik yang relatif panjang dalam perjalanan penyakitnya. Oleh sebab itulah banyak ditemukan penderita Human Imunodefesiensi Virus (HIV) jatuh dalam keadaan AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) yang pada keadaan ini akan membuat seseorang mudah diserang oleh beberapa jenis penyakit yang tidak mempengaruhi orang dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat (Sudoyo A.W. et.al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).

Setiap tahunnya jumlah kasus HIV/AIDS diseluruh dunia terus meningkat. Sekitar 6300 kasus baru infeksi HIV perhari pada tahun 2012. Tercatat 35,3 juta orang yang hidup dengan HIV, 2,3 juta orang dengan infeksi baru dan 1,6 juta orang mati pada tahun 2012. Sub-Saharan Afrika adalah negara yang menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan jumlah penderita HIV/AIDS tertinggi. Sub-Saharan Afrika tercatat memiliki 25 juta orang hidup dengan HIV/AIDS pada tahun 2012. Tingginya prevalensi HIV/AIDS di dunia yang telah dikemukakan oleh WHO/UNAIDS sangat mengkhawatirkan, walaupun telah dilakukan upaya pencegahan namun penyebarannya masih tetap terjadi dan bertambah setiap tahunnya (WHO/UNAIDS, 2012).

Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat. Human Immunodeficiency Virus (HIV) sudah ada di Indonesia sejak kasus pertama ditemukan tahun 1987. Sampai saat ini kasus HIV/AIDS telah dilaporkan oleh 341 dari 497 kabupaten/kota di 33 provinsi di Indonesia. Indonesia

Gambar

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi karakteristik sampel berdasarkan usia
Gambar 5.1 Diagram prevalensi faktor risiko HIV/AIDS tahun 2012-2013
Tabel 2.1 Epidemiologi HIV/AIDS (WHO/UNAIDS, 2012)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kemampuan adsorpsi maksimal zeolit sintesis yang dihasilkan terhadap logam Cr dalam limbah penyamakan kulit yaitu pada rasio NaOH/abu layang 1,3 dengan penambahan NaAlO 2 pada.. pH

Program dan Jenis Kegiatan Hasil yang diharapkan Waktu Pelaksana an Pelaksa na Sumbe r Dana penyelenggaraan Prakerin 2.3 Pencarian obyek. 2.4   Rapat   pembentukan

MEKANISME PEMUNGUTAN DAN PENETAPAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI IZIN TEMPAT USAHA OLEH DINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, PERTAMBANGAN DAN ENERGI DI KABUPATEN NIAS.. O L E

Kaltim Tahun Anggaran 2012, menyatakan bahwa pada tanggal 28 Agustus 2012 pukul 11.59 Wita tahapan pemasukan/upload dokumen penawaran ditutup sesuai waktu pada

Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini karni kirirnkan Pengumuman Pendaftaran Calon Pejabat Pimpinan Tinggi Pratarna Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Wonogiri

[r]

Sekret ariat : Dinas Pekerjaan Umum Kabupat en Klat en Jalan Sulaw esi No. Unit Layanan Pengadaan

Sekretariat : Gedung B Lantai II Sekretariat Daerah Kabupaten Klaten Jl. Demikian atas perhatiannya diucapkan