• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Keparahan Depresi Pada Penderita HIV AIDS di RSUP Haji Adam Malik, Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Keparahan Depresi Pada Penderita HIV AIDS di RSUP Haji Adam Malik, Medan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.HIV/AIDS 2.1.1 Definisi

HIV adalah virus yang menyebabkan AIDS. AIDS merupakan suatu keadaan yang serius, dan penyakit yang mengancam hidup. AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh menerunnya kekebalan tubuh akibat

terinfeksi oleh virus HIV yang termasuk famili retroviridae. (Djoerban Z, 2006). Walaupun sudah ada penanganan untuk HIV dan AIDS, penyakit ini belum bisa disembuhkan.

AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala atau infeksi yang terjadi karena rusaknya system kekebalan tubuh manusia sebagai akibat terserang infeksi virus HIV. Kasus AIDS mencerminkan infeksi HIV yang sudah berlangsung lama. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) didefinisikan sebagai suatu kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus. (Kaplan & saddock , 2005).

HIV dahulu disebut sebagai HTLV-III (Human T cell Lymphotropic Virus III) atau Lymphadenophaty Associated Virus (LAV). Virus ini di temukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pestteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu di namakan Lymphadenophaty Associated Virus (LAV). Kelompok virus ini adalah dikenal dengan latensi, viremia, persisten, menginfeksi sistem saraf dan melemahkan respons imun. HIV merupakan virus single -

stranded ribonucliec acid (RNA) yang secara selektif menginfeksi sel-sel imun,

terutama limfosit T dan makrofag.

2.1.2 klasifikasi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan kelompok virus RNA : Famili : Retroviridae

(2)

Genus : Lentivirus

Spesies : Human Immunodeficiency Virus 1 (HIV-1) Human Immunodeficiency Virus 2 (HIV-2)

HIV menunjukkan banyak gambaran khas fisikokimia dari familinya. Terdapat dua tipe yang berbeda dari virus AIDS manusia, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe dibedakan berdasarkan susunan genom dan hubungan filogenetik (evolusioner) dengan lentivirus primata lainnya. Berdasarkan pada deretan gen env, HIV-1 meliputi tiga kelompok virus yang berbeda yaitu M (main), N (New

atau non-M, non-O) dan O (Outlier). Kelompok M yang dominan terdiri dari 11 subtipe atau clades (K). Telah teridentifikasi 6 subtipe HIV-2 yaitu sub tipe A-F. Kebanyakan kasus HIV di seluruh dunia, adalah disebabkan oleh HIV-1. (Jawetz, 2001).

2.1.3 Patogenesis

Perjalanan khas infeksi HIV yang tidak diobati, berjangka waktu sekitar satu dekade. Tahap-tahapnya meliputi infeksi primer, penyebaran virus ke organ limfoid, latensi klinis, peningkatan ekspresi HIV, penyakit klinis dan kematian. Durasi antara infeksi primer dan progresi menjadi penyakit klinis rata-rata sekitar 10 tahun. Pada kasus yang tidak diobati, kematian biasanya terjadi dalam 2 tahun setelah onset gejala. Setelah infeksi primer, selama 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan, viremia dapat terdeteksi selama sekitar 8-12 minggu. Virus tersebar luas ke seluruh tubuh selama masa ini, dan menjangkiti organ limfoid. Pada tahap ini terjadi penurunan jumlah sel –T CD4 yang beredar secara signifikan. Respon imun terhadap HIV terjadi selama 1 minggu sampai 3 bulan setelah terinfeksi, viremia plasma menurun dan level sel CD4 kembali meningkat. Tetapi respon imun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna, dan selsel yang terinfeksi HIV menetap dalam limfoid. Masa laten klinis ini dapat berlangsung sampai 10 tahun, selama masa ini banyak terjadi

(3)

secara langsung dan tidak langsung akan merusak sel T-CD4, padahal sel ini dibutuhkan agar sistem kekebalan tunuh berfungsi secara baik. Jika virus HIV membunuh sel T-CD4 sampai kurang dari 200 sel T-CD4 per mikroliter darah, maka kekebalan seluler akan hilang.

Pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan gejala klinis yang nyata, seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh. Infeksi ini timbul kerana mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah

ada dalam tubuh manusia dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. Tahap virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang ditemukan pada pasien dengan penyakit tahap lanjut, biasanya jauh lebih virulen dan sitopatik dari pada strain virus yang ditemukan pada awal infeksi (Jawetz, 2001).

2.1.4 Stadium

(4)

CD4 Total (/ml) %

Kategori Klinis A

(Asimtomatik)

Kategori Klinis B

(Simtomatik)

Table 2. Klasifikasi CD4 penderita HIV berdasarkan kategori Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

Dikutip dari: Fauci AS, et al, eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Vol.II. 15th ed. New York : McGraw-Hill ; 2001. P. 1852

2.1.5. HIV dan Penularannya.

HIV ditemukan didalam darah, semen, sekresi serviks dan vagina, dan dalam jumlah yang lebih kecil, didalam saliva, air mata, air susu ibu dan cairan serebrospinalis dari orang yang terinfeksi. HIV dapat ditularkan dalam 3 cara, yaitu: melalui hubungan seksual (baik homoseksual atau heteroseksual) ; melalui darah ; dari ibu ke anaknya (selama kelahiran, atau melalui air susu ibu) (Maj M, 1997).

Seseorang yang positif- HIV asimtomatis dapat menularkan virus, adanya penyakit seksual lainnya seperti sifilis dan gonorhoe meningkatkan resiko penularan seksual HIV sebanyak seratus kali lebih besar, karena peradangan membantu pemindahan HIV menembus barier mukosa. Sejak pertama kali HIV

ditemukan, aktivitas homoseksual telah dikenal sebagai faktor resiko utama tertularnya penyakit ini. Resiko bertambah dengan bertambahnya jumlah

(5)

Transfusi darah atau produk darah yang terinfeksi merupakan cara penularan yang paling efektif. Pengguna obat-obat terlarang dengan seringkali terinfeksi melalui pemakaian jarum suntik yang terkontaminasi, dimana insidensi yang tinggi terinfeksi HIV pada pengguna obat-obat (drug users) Paramedis dapat terinfeksi HIV oleh goresan jarum yang terkontaminasi darah, tetapi jumlah infeksi relatif lebih sedikit. (Jawetz, 2001). Prevelensi HIV pada intravenous drug users (IDU) rata-rata nasional adalah 41.6% dan bagi pemakaian needle sticks (0.3%). ( Depkes RI. 2008).

Anak-anak dapat terinfeksi in utero atau melalui air susu ibu jika ibunya terinfeksi HIV. Angka penularan ibu ke anaknya bervariasi dari 13 % sampai 48% pada wanita yang tidak diobati. Tanpa penularan melalui ASI, sekitar 30% dari infeksi terjadi di dalam rahim dan 70% saat kelahiran. Data menunjukkan bahwa sepertiga sampai separuh infeksi HIV perinatal di Afrika disebabkan oleh ASI. Penularan selama menyusui biasanya terjadi pada 6 bulan pertama setelah kelahiran.

Tidak ditemukan bukti-bukti bahwa HIV dapat tertular melalui kontak biasa, seperti tinggal bersama-sama dirumah atau kelas dengan orang yang terinfeksi HIV, walaupun kontak langsung maupun tidak langsung dengan cairan tubuh orang yang terinfeksi, seperti darah dan semen, harus dihindari. (Jawetz, 2001).

2.1.6. Gejala Klinis

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Hingga 70% pasien dengan terinfeksi HIV primer berkembang menjadi acute

mononucleosis-like syndrome setelah infek si awal. Dikenal juga sebagai acute

retroviral syndrome (ARS), tanda dan gejala ini terjadi sebagai hasil dari infeksi

awal dan penyebaran dari HIV, dan meliputi sindroma klinis atipikal. Manifestasi yang paling umum meliputi demam, rasa lemah, nyeri otot, ruam kulit, limfadenopati, nyeri kepala dan nyeri tenggorokan. Gejala ”flu” seperti ingusan

(6)

influenza atau kondisi-kondisi respiratori viral lainnya. Lamanya keadaan ini adalah biasanya kurang dari 14 hari tetapi dapat menjadi lebih lama, dalam beberapa minggu bahkan bulan.

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya 2 tahun. Setelah masa tanpa gejala, akan diikuti infeksi oportunistik dan selanjutnya memasuki

stadium AIDS. ( Djoerban Z, 2006).

Sistem tahapan WHO untuk infeksi dan penyakit HIV

Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan virus HIV-1. Sistem ini kemudian telah diperbaharui pada tahun 2008 seperti yang diperlihatkan pada table 3.

Stadium 1 Asimtomatik Tidak ada penurunan berat badan

Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan Penurunan berat badan 5-10%

ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

Luka disekitar bibir (keilitis angularis) Ulkus mulut berulang

Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo-PPE (Pruritic papular eruption))

Dermatitis seboroik Infeksi jamur kuku

(7)

Penurunan berat badan > 10%

Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan Kandidosis oral atau vaginal

Oral hairy leukoplakia

TB Paru dalam 1 tahun terakhir

Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll) TB limfadenopati

Gingivitis/ Periodontitis ulseratif nekrotikan akut

Anemia (HB < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS) Sindroma wasting HIV

Pneumonia pnemosistis, pnemoni bacterial yang berat berulang Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan

Kandidosis esophageal TB Extraparu

Sarcoma Kaposi

Retinitis CMV (Cytomegalovirus) Abses otak Toksoplasmosis Encefalopati HIV

Meningitis Kriptokokus

Infeksi mikobakteria non-TB meluas

Lekoensefalopati multifocal progresif (PML)

Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis meluas, histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis)

Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin (gangguan fungsi neurologis dan tidak sebab lain seringkali membaik dengan terapi ARV)

Kanker serviks invasive Leismaniasis atipik meluas

Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV

(8)

2.1.7. Diagnosis

Diagnosis ditujukan pada kedua hal, yaitu terinfeksi HIV dan AIDS. Diagnosis pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu metode pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis dini ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium dengan petunjuk dari gejala-gejala klinis atau dari adanya perilaku resiko tinggi individu tertentu.

a). Diagnosis klinik

Sejak tahun 1980 WHO telah berhasil mendefinisikan kasus klinik dan sistem

stadium klinik untuk infeksi HIV. WHO telah mengeluarkan batasan kasus infeksi HIV untuk tujuan pengawasan dan merubah klasifikasi stadium klinik yang berhubungan dengan infeksi HIV pada dewasa dan anak. Pedoman ini meliputi kriteria diagnosa klinik yang patut diduga pada penyakit berat HIV untuk mempertimbangkan memulai terapi antiretroviral lebih cepat.

Keadaan Umum

Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar

Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,5ºC) lebih dari satu bulan

Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan Limfadenofati meluas

Kulit

PPE* dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV.

Infeksi

Infeksi jamur Kandidosis oral* Dermatitis seboroik

Kandidosis vagina kambuhan

Infeksi viral Herpes zoster (berulang/melibatkan lebih dari satu dermatom)*

Herpes genital (kambuhan) Moluskum kontagiosum Kondiloma

(9)

pernafasan Sesak nafas TB

Pnemoni kambuhan

Sinusitis kronis atau berulang

Gejala neurologis

Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak jelas

penyebabnya) Kejang demam

Menurunnya fungsi kognitif

* Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV

Tabel 4. Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV [Sumber : Depkes, 2007]

Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan 2 metode :

1. Langsung: isolasi virus dari sampel, umumnya dengan pemeriksaan

mikroskop electron atau deteksi antigen virus, misalnya dengan Polymerase

Chain Reaction (PCR)

2. Tidak langsung : dengan melihat respons zat anti spesifik, misalnya dengan

Enzym Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA), Westerm Blot, Immunofluorescent Assay (IFA) atau Radio Immuno Precipitation Assay

(RIPA).

Untuk diagnosis HIV yang lazim digunakan pertama-tama adalah pemeriksaan

ELISA kerana memiliki sensitivitas yang tinggi (98-100%). Akan tetapi, spesifisitas kurang sehingga hasil tes ELISA yang positif harus dikonfirmasi dengan Wesrerm Blot yang spesifisitasnya tinggi (99,6-100%). Sedangkan pemeriksaan PCR biasanya dilakukan pada bayi yang masih memiliki zat anti maternal sehingga menghambat pemeriksaan secara serologis dan pada kelompok risiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.

(10)

1). Uji Imunologi

Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme –linked immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji Western blot atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat hasil reaktif dari test skrining.

Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun meliputi jumlah dan persentase CD4+ dan CD8+ T-limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak digunakan

untuk diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi.

Deteksi antibodi HIV

(11)

Rapid test

Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi terhadap HIV-1.Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi.ELISA tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.

Western blot

Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid tes).Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.

Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)

Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika slide menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.

2). Uji Virologi

Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk komponen

(12)

Kultur HIV

HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptase virus atau untuk antigen spesifik virus.

NAAT HIV-1 (Nucleic Acid Amplification Test)

Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan untuk

diagnosis pada anak usia kurang dari 18 bulan. Karena asam nuklet virus mungkin berada dalam jumlah yang sangat banyak dalam sampel.Pengujian RNA dan DNA virus dengan amplifikasi PCR, menggunakan metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA HIV-1. Level RNA HIV merupakan petanda prediktif penting dari progresi penyakit dan menjadi alat bantu yang bernilai untuk memantau efektivitas terapi antivirus.

Uji antigen p24

Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24 atau dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1.Pada umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif.Sensitivitas pengujian meningkat dengan peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibodi anti-p24.

2.1.8. Pencegahan

Pendekatan utama terhadap infeksi HIV adalah pencegahannya.Pencegahan primer adalah melindungi orang dari mendapatkan penyakit.Pencegahan sekunder meliputi modifikasi perjalanan penyakit.Semua orang dengan tiap risiko untuk infeksi HIV harus diinformasikan tentang praktek seks yang aman dan perlu menghindari menggunakan bersama-sama jarum hipodermik yang

(13)

yang cukup aman dan efektif untuk melawan infeksi HIV. (Fauci AS, Lane HC, 2001).

2.1.9. Penatalaksanaan

Secara umum, penatalaksanaan penderita dengan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu, yang pertama adalah pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).(DepKes, 2007).

Pengobatan infeksi HIV dengan antiretroviral digunakan untuk memelihara fungsi kekebalan tubuh mendekati keadaan normal, mencegah perkembangan penyakit, memperpanjang harapan hidup dan memelihara kualitas hidup dengan cara menghambat replikasi virus HIV. Karena replikasi aktif HIV menyebabkan kerusakan progresif sistem imun, menyebabkan berkembangnya infeksi oportunistik, keganasan (malignasi), penyakit neurologi, penurunan berat badan yang akhirnya mendorong ke arah kematian.obat anti retroviral terdiri dari

(14)

Kolom A Kolom B

Lamivudin + zidovudin Evafirenz* Lamivudin + didadosin

Lamivudin + stavudin

Lamivudin + zidovudin Nevirapin

Lamivudin + stavudin

Lamivudin + didadosin

Lamivudin + zidovudin Nelvinafir Lamivudin + stavudin

Lamivudin + didadosin

*Tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama atau wanita yang berpotensi tinggi untuk hamil

Table 5. Kombinasi ART untuk Terapi inisial (Djoerban dan Djauzi, 2007) Pengobatan yang kedua adalah pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit

dan infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS. Dan pengobatan yang ketiga adalah pengobatan suportif yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan

agama, pola tidur yang baik dan menjaga kebersihan dengan baik. Dengan pengobatan yang teratur dan lengkap, angka kematian dapat diturunkan dan harapan hidup menjadi lebih baik dan angka kejadian infeksi oportunistik akan berkurang (Djoreban Z, 2006).

(15)

2.2. Depresi 2.2.1 Definisi

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri.(Kaplan, 2010).

Maslim berpendapat bahwa depresi adalah suatu kondisi yang dapat disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa aminergik neurotransmiter

(noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di SSP (terutama pada sistem limbik).(Maslim, 2002).

Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat. Mood adalah keadaan emosional internal yang meresapdari seseorang, dan bukan afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu .(Kaplan, 2010).

Depresi terjadi pada berbagai umur. Studi yang disponsori NIMH memperkirakan bahawa di Amerika Serikat 6% berumur 9-17 tahun dan hampir 10% warga Amerika dewasa diusia 18 tahun atau lebih, mengalami depresi setiap tahun. (Vaidya SA, 2008). Umur onset untuk gangguan depresi berat sekitar 40 tahun, dengan 50% dari seluruh penderita memiliki onset antara usia 20-50 tahun. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa di Indonesia menjumpai bahawa 94% penduduk Indonesia menghidap depresi mulai dari tingkat berat hingga ringan. (Depkes RI. 2007).

Gangguan depresi dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disoder IV (DSM) tergolong dalam gangguan suasana perasaan (mood) atau

suasana hati karena melibatkan keadaan emosi, efek positif dan negative mendalam, dan cenderung menjadi malasuai selama periode tertentu sedikitnya dua minggu. Gangguan mood tersebut terjadi mulai dari depresi sampai mania. Depresi umumnya digolongkan menjadi dua yaitu depresi unipolar, yaitu ganggan

(16)

sedangkan mania dikarakterisikkan sebagai perasaan bergairah (euphoria) yang mendalam dan tidak realistik.

2.2.2 Etiologi

Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.(Kaplan, 2010).

a. Faktor biologi

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik, seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan epinefrin.Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah.Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2010).

Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter amin biogenic. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin yang terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin biogenic.Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis

Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) yang sangat fundamental pada pasien depresi.Hipersekresi yang

terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem limbik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH (Kaplan, 2010).Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi.Emosi seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik.Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan

(17)

b. Faktor Genetik

Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum.Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar monozigot.

Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan kemampuan dalam

menanggapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik.

c. Faktor Psikososial

Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah kehilangan objek yang dicintai.Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik. Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010).

Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan pasangan.Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi.

Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada individu, seperti

(18)

Berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi. Dalam upaya untuk mengerti depresi, Sigmud Freud mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia Freud percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk melepaskan suatu objek, ia membedakan melankolia atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang yang berkabung tidak demikian.

Faktor kognitif.Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu, menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan.Pandangan yang negatif tersebut menyebabkan perasaan depresi (Kaplan, 2010).

Terdapat consensus bahwa faktor etiologinya adalah multiple dan mungkin saling berinteraksi dengan cara yang kompleks dan pemahaman terbaru mengenai gangguan ini menghendaki adanya pemahaman yang pintar terhadap hubungan factor-faktor ini.(Fauci AS, Lane HC, 2001). Seperti penyakit-penyakit serius lainnya seperti kanker, penyakit jantung ataupun stroke, depresi juga sering menyertai HIV/AIDS.

2.2.3 Klasifikasi

Menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth

edition) Gangguan depresi terbagi dalam 3 kategori, yaitu:

1. Gangguan depresi berat (Mayor depressive disorder).

(19)

berharga atau perasaan bersalah yang eksesif, kemampuan berpikir atau konsentrasi yang menurun, pikiran-pikiran mengenai mati, bunuh diri, atau usaha bunuh diri yang muncul berulang kali, distres dan hendaya yang signifikan secara klinis, tidak berhubugan dengan belasungkawa karena kehilangan seseorang.

2. Gangguan distimik (Dysthymic disorder)

adalah suatu bentuk depresi yang lebih kronis tanpa ada bukti suatu episode depresi berat (dahulu disebut depresi neurosis). Kriteria DSM-IV untuk gangguan

distimik: perasaan depresi selama beberapa hari, paling sedikit selama 2 tahun (atau 1 tahun pada anak-anak dan remaja); selama depresi, paling tidak ada dua hal berikut yang hadir: tidak nafsu makan atau makan berlebihan, insomnia atau hipersomnia, lemah atau keletihan, self esteem rendah, daya konsentrasi rendah, atau sulit membuat keputusan, perasaan putus asa; selama 2 tahun atau lebih mengalami gangguan, orang itu tanpa gejala-gejala selama 2 bulan; tidak ada episode manik yang terjadi dan kriteria gangguan siklotimia tidak ditemukan; gejala-gejala ini tidak disebabkan oleh efek psikologis langsung darib kondisi obat atau medis; signifikansi klinis distress (hendaya) atau ketidaksempurnaan dalam fungsi.

3.Gangguan afektif bipolar atau siklotimik (Bipolar affective illness or

cyclothymic disorder). Kriteria: kemunculan (atau memiliki riwayat pernah

mengalami) sebuah sebuah episode depresi berat atau lebih; kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) paling tidak satu episode hipomania; tidak ada riwayat episode manik penuh atau episode campuran; gejala-gejala suasana perasaan bukan karena skizofrenia atau menjadi gejala yang menutupi gangguan lain seprti skizofrenia; gejala-gejalanya tidak disebabkan oleh efek-efek fisiologis dari substansi tertentu atau kondisi medis secara umum; distres atau hendaya dalam fungsi yang signifikan secara klinis.

Sedangkan menurut Carlson, seperti yang dikutip oleh shafii, membagi depresi pada remaja menjadi tipe primer dan sekunder. Tipe primer : bila tidak ada

(20)

gangguan depresi yang sekunder biasanya lebih kacau, lebih agresif, mempunyai lebih banyak kelehan sometik, dan lebih sering terlihat mudah tersinggung, putus asa, mempunyai ide bunuh diri, problem tidur, penurunan prestasi sekolah, harga diri yang rendah , dan tidak patuh. Gangguan afektif bipolar atau siklotimik (Bipolar affective illness or cyclothymic disorder). Kriteria: kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) sebuah sebuah episode depresi berat atau lebih; kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) paling tidak satu episode hipomania; tidak ada riwayat episode manik penuh atau episode

campuran; gejala-gejala suasana perasaan bukan karena skizofrenia atau menjadi gejala yang menutupi gangguan lain seprti skizofrenia; gejala-gejalanya tidak disebabkan oleh efek-efek fisiologis dari substansi tertentu atau kondisi medis secara umum; distres atau hendaya dalam fungsi yang signifikan secara klinis. Sedangkan menurut Carlson, seperti yang dikutip oleh shafii, membagi depresi pada remaja menjadi tipe primer dan sekunder. Tipe primer: bila tidak ada gangguan psikiatrik sebelumnya, dan tipe sekunder : bila gangguan yang sekarang mempunyai hubungan dengan gangguan psikiatrik sebelumnya. Pada gangguan depresi yang sekunder biasanya lebih kacau, lebih agresif, mempunyai lebih banyak kelehan sometik, dan lebih sering terlihat mudah tersinggung, putus asa, mempunyai ide bunuh diri, problem tidur, penurunan prestasi sekolah, harga diri yang rendah , dan tidak patuh.

2.2.4 Gambaran Klinis a) Gejala fisik

Menurut beberapa ahli, gejala depresi yang kelihatan ini mempunyai rentangan dan variasi yang luas sesuai dengan berat ringannya depresi yang dialami. Namun secara garis besar ada beberapa gejala fisik umum yang relative mudah dideteksi (Lumongga, 2009) Gejalanya adalah :

1. Gangguan pola tidur. Misalnya sulit tidur, terlalu banyak atau terlalu sikit

tidur.

2. Menurun tingkat aktivitas. Pada umumnya orang dengan depresi menunjukkan

(21)

3. Menurunnya efisiensi kerja. Penyebab jelas, orang yang mengalami depresi akan sulit memfokuskan perhatian atau pikiran pada suatu pekerjaan.

4. Menurunnya produktivitas kerja. Orang dengan depresi akan kehilangan sebahagian atau seluruh motivasi kerjanya. Sebabnya ia tidak lagi bisa menikmati dan merasakan kepuasan atas apa yang dilakukannya.

5. Mudah merasa letih dan sakit jelas saja, depresi merupakan perasaan negative. Jika seseorang menyimpan perasaan negative, maka jelas akan membuat letih kerana membebani fikiran dan perasaanya.

b) Gejala Psikis

1. Kehilangan rasa percaya diri. Penyebabnya, orang dengan depresi cenderung

memandang segala sesuatu dari sisi negatif, termasuk menilai diri sendiri. 2. Sensitif. Orang dengan depresi suka mengaitkan sesuatu dengan sirinya.

Perasaanya sensitif sekali sehingga sering peristiwa yang terjadi dipandang berbeda oleh mereka dan bahkan salah diartikan. Akibatnya mudah tersinggung, mudah marah, curiga akan maksud orang lain, mudah sedih, murung dan lebih suka menyendiri.

3. Merasa diri tidak berguna. Perasaan tidak berguna muncul kerana mereka

merasa menjadi orang yang gagal terutama di bidang atau lingkungan yang seharusnya mereka kuasai

4. Perasaan bersalah. Perasaan bersalah terkadang timbul dalam permikiran orang dengan depresi. Mereka memandang suatu kejadian yang menimpa dirinya sebagai suatu hukuman atau akibat dari kegagalan mereka menjalankan tanggungjawab yang dilaksanakan.

5. Perasaan terbebani. Banyak orang yang menyalahkan orang lain atas kesusahan yang dialaminya. Mereka merasa terbeban kerana merasa terlalu dibebani tanggungjawab yang berat.

c) Gejala Sosial

(22)

2.2.5. Hamilton Depression Rating Scale (HDRS)

Merupakan salah satu dari berbagai instrumen untuk menilai depresi. Dalam penyusunannya Max Hamilton (1960) memperoleh dari berbagai literatur dan pengalaman klinik yang sering ditemukan. Penelitian yang membandingkan HDRS dengan skor depresi lain didapatkan konsistensi. Realbilitas antara pemeriksa pada umumnya cukup tinggi. Demikian juga halnya reabilitas oleh satu pemeriksa yang dilakukan pada waktu yang berbeda.

2.3. Hubungan Depresi dengan HIV

Hubungan antara depresi dengan HIV/AIDS merupakan hubungan yang sangat kompleks, di satu sisi depresi dapat timbul kerana penyakit HIV/AIDS itu sendiri, di sisi lain depresi yang timbul akan memperberatkan perjalanan penyakit HIV/AIDS itu sendiri. Depresi akan memperberat perjalanan HIV/AIDS melalui perubahan prilaku seperti perasaan bersalah , kurangnya minat berkomunikasi, berkurangnya kepatuhan makan obat serta keinginan untuk bunuh diri dan juga gangguan sistem imun. Berbagai gejala pada depresi seperti gangguan neurovegetatif (gangguan tidur, nafsu makan berkurang, disfungsi seksual), gangguan kognitif (pelupa, susah berkonsentrasi) juga akan memperberat perjalanan penyakitnya. ( Penzak SR, 2000).

Depresi yang timbul pada penderita HIV/AIDS dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti ; ( Chandra PS , 2005)

1. Invasi virus HIV ke susunan saraf pusat (SSP), dimana adanya perubahan neuropatologis pada basal ganglia, thalamus, nukleus batang otak yang menyebabkan disfungsi dan akhirnya menyebabkan gangguan mood dan motivasi.

2. Efek samping penggunaan obat-obat retroviral.

3. Komplikasi HIV seperti infeksi opportunistik dan tumor intrakranial.

4. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan setelah diketahui menderita penyakit

(23)

Kriteria depresif mayor menunjukkan bahwa simtom-simtom ini seharusnya diperhitungkan sebagai bagian dari depresi jika simtom-simtom secara jelas bukan akibat masalah fisik yang komorbid. Beragam solusi telah diajukan oleh Cohen-Cole, yang menyarankan 4 pendekatan yang mungkin.( Maj M , 1997) :

1. Pendekatan etiologikal, yang mengikuti kriteria Diagnostic and statistical

manual of mental disorder (DSM) yang memerlukan penilaian terdahulu

untuk memasukkan simtom/ tanda tertentu bukan hasil dari gangguan fisik yang melarbelakanginya.

2. Pendekatan inklusif, dimana seluruh simtom-simtom dihitung tanpa

memperhatikan penyebab yang mungkin.

3. Pendekatan eksklusif yang tidak mengizinkan setiap simtom-simtop fisik

untuk dimasukkan pada diagnosis. .( Maj M , 1997)

4. Pendekatan substitusi, yang mana empat kriteria psikologikal / kognitif yang

baru disubstitusi untuk dipindahkan / dihilangkan.

Tinjauan selanjutnya memisahkan pendekatan ini ke 2 pendekatan yaitu eksklusif dan inklusif. Pendekatan eksklusif secara diagnostik yang paling murni dan menjadi pilihan yang terbaik untuk tujuan penelitian. Namun pendekatan inklusif, meskipun diagnosis depresi memungkinkan, menunjukkan yang terbaik untuk manejemen klinikal kerana pasiennya tidak melaporkan simtom-simtom psikologik depresi akibat stigma kultural dan perlindungan terbaik terhadap pasien dari resiko depresi yang tidak terdiagnosis. Pendekatan ini merekomendasikan bahwa klinisi memperhitungkan setiap simtom-simtom depresif yang relevan meskipun bila terdapat alasan untuk meyakini simtom mungkin bukan bagian dari sindrom depresif tapi mungkin sekunder terhadap perjalanan penyakit atau pengobatannya. ( Creed F, 1997).

Penatalaksanaan penderita depresi dengan HIV/AIDS secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu penatalaksanaan terhadap penyakit HIV/AIDS dan

(24)

Gambar

Table 2.  Klasifikasi CD4 penderita HIV berdasarkan kategori Centers for
Tabel 3. Stadium klinik HIV
Tabel 4. Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV
Table 5. Kombinasi ART untuk Terapi inisial (Djoerban dan Djauzi, 2007)

Referensi

Dokumen terkait

Pabrik a crylonitrile dengan bahan baku yang berupa e thylene c yanohydrin dengan kebutuhan sebesar 68.800 ton/tahun akan didirikan di Cilegon, Banten pada tahun

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling atau sampel yang dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti.

Pemeriksaan Spesimen dan Penunjang Diagnostik lainnya dapat dirujuk apabila  pemeriksaannya memerlukan peralatan medic/ tehnik pemeriksaan laboratorium dan  penunjang

Dewasa ini dakwah melalui media cetak sudah banyak dipergunakan oleh organisasi-organisasi Islam terutama melalui buletin jum’at seperti halnya organisasi Hizbuttahrir yang ada

Kaltim Tahun Anggaran 2012, menyatakan bahwa pada tanggal 17 September 2012 pukul 11.59 WIB tahapan pemasukan/upload dokumen penawaran ditutup sesuai waktu pada

Menurut hukum Wagner-Hauffe, penambah- an unsur paduan merupakan salah satu tara untuk mengubah laju oksidasi sehingga ketahanan ter- hadap oksidasi meningkat. Unsur

Penelitian ini menghasilkan prototype rancangan sistem informasi Koperasi berbasis web pada Koperasi Unit Desa Pandan Jaya Geragai yang dapat diimplementasikan sesuai