• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 Kesimpulan dan Saran

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diberikan saran guna perbaikan dan pemanfaatan penelitian mengenai “Intensitas Nyeri Pada Anak Usia Prasekolah Pada Saat Pemasangan Infus yang dirawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan”

6.2.1. Bagi pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pendidikan keperawatan tentang intesitas nyeri pada anak usia prasekolah sehingga perawat dapat melakukan asuhan keprawatan secara menyeluruh kepada anak dengan tingakat nyeri berat.

6.2.2. Bagi Peneliti Keperawatan

Pada penelitian ini, peneliti merekomendasikan kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti bagaimana respon perilaku anak ketika merasakan nyeri sehingga bisa dikategorikan apakah nyeri yang dirasakan anak termasuk kategori ringan, sedang atau berat.

6.2.3. Bagi Pelayanan Keperawatan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi informasi dan masukan kepada petugas kesehatan (perawat) dan keluarga agar dapat membantu anak mengurangi rasa sakit/ nyeri yang dirasakan dengan teknik Atraumatic Care agar tidak menimbulkan nyeri yang berat yang akan berdampak muncul trauma berikutnya.

BAB 2

TINJAUAN TEORI 2.1. Nyeri

2.1.1.Definisi

Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Menurut Engel (1970) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi ketidaknyamanan yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi luka. Nyeri adalah apa yang dikatakan oleh orang yang mengalami nyeri dan bila yang mengalaminya mengatakan bahwa rasa itu ada. Definisi ini tidak berarti bahwa anak harus mengatakan bila sakit. Nyeri dapat diekspresikan melalui menangis, pengutaraan, atau isyarat perilaku (Mc Caffrey & Beebe, 1989 dikutip dari Betz & Sowden, 2002).

Nyeri adalah ketidak nyamanan dan pengalaman seseorang yang mendalam yang dikatakan oleh orang yang mengalaminya dan tidak dapat dirasaakan orang lain dan terjadi pada setiap bagian dari kehidupan seseorang (Berman & Synder, 2012; Hockenberry &Wilson, 2009). Dan nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari ekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu dan subjektif individu (Potter & Perry, 2005).

Menurut International Association for Study of Pain (1979), nyeri merupakan suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan. Sedangkan definisi di bidang keperawatan adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja saat seseorang mengatakan merasakan nyeri. Dari definisi diatas menempatkan seorang pasien sebagai seorang yang ahi di bidang nyeri, karena hanya pasienlah yang tahu tentang nyeri adalah sesuatu yang sangat subjektif, tidak ada ukuran objektif padanya, sehingga hanya orang yang merasakannya yang paling akurat dan tepat dalam mendefinisikannya (McCaffery, 1980 dikutip dari Prasetyo, 2010).

2.1.2.Teori Nyeri

1.2.1. Teori Specificity

Teori ini mengatakan bahwa ujung syaraf spesifik berkolerasi dengan sensasi seperti sentuhan, hangat, dingin dan nyeri. Sensasi nyeri berhubungan dengan pengaktifan ujung-ujung syaraf bebas oleh rangsangan mekanik, kimia dan temperature yang berlebihan (Kozier, 1996).

1.2.2. Teori Intensity

Nyeri adalah hasil rangsangan yang berlebihan pada reseptor. Setiap rangsangan sensori mempunyai potensi untuk menimbulkan nyeri jika menggunakan intensitas yang cukup (Kozier, 1996).

1.2.3. Gate Control Theory (Teori Pintu Gerbang)

Teori yang paling populer dan dipercaya adalah teori pintu gerbang yang dikenalkan oleh Melzack danWall (1988). Adapun bunyi teori pintu gerbang adalah: keberadaan (eksistensi) dan intensitas pengalaman nyeri tergantung pada pengiriman system syaraf yang mengontrol pengiriman rangsang nyeri; jika pintu terbuka rangsangan yang dihasilkan dari sensori nyeri dapaat dirasakan secara sadar, jika pintu tertutup, rangsang nyeri tidak dapat mencaapai batas kesadaran dan sensori yang dialami.

2.1.3.Klasifikasi Nyeri

Kita harus mengetahui tipe-tipe dari nyeri, agar dapat menambah pengetahuan dan membantu tenaga kesehatan khususnya perawat ketika akan memberikan tindakan. Untuk menentukan tipe-tipe nyeri, kita dapat melihatnya dari segi : (1) Durasi nyeri; (2) Tingkat keparahan dan intensitas, seperti nyeri berat atau ringan; (3) Model transmisi, seperti reffered pain (nyeri yang menjalar); (4) Lokasi Nyeri, superficial atau dari dalam; (5) Kausatif, dari penyebab nyeri itu sendiri.

Nyeri akut yaitu nyeri yang terjadi setelah terjadinya cedera akut atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang bervariatif (ringan-berat) dan berlangsung untuk waktu yang singkat (Meinhart & McCaffery, 1983; NIH;1986). Berdurasi singkat (kurang dari 6 bulan), memiliki onset tiba-tiba, dan terlokalisir. Dan biasanya disebabkan oleh trauma, bedah, atau inflamasi (Smeltzer, 2001).

Nyeri kronik adalah nyeri yang disebabkan oleh penyakit kronik; kanker, luka bakar. Nyeri kronik berlangsung lebih lama daripada nyeri akut yaitu berlangsung lebih dari 6 bulan. Nyeri kronik apat dirasakan klien hamper setiap harinya dalam suatu periode yang panjang. Penderita kanker maligna yang tidak terkontrol, akan merasakan nyeri terus menerus yang dapat berlangsung hingga kematian (Smeltzer, 2001).

2.1.4.Faktor yang mempengaruhi persepsi dan reaksi terhadap nyeri

McCaffery dan pasero (1999) menyatakan bahwa hanya klienlah yang paling mengerti dan memahami tentang nyeri yang dirasakannya. Tugas sebagai seorang perawat adalah harus bisa memahami dan mengetahui faktor apa yang mempengaruhi persepsi dan reaksi terhadap nyeri yang dirasakan pasien.

Usia merupakan faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi nyeri pada individu. Anak yang masih kecil belum dapat mengucapkan kata-kata untuk mengungkapkan nyeri secara verbal. Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam berespon terhadap nyeri. Tetapi beberapa budaya menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus lebih berani dan tidak boleh menangis dibanding anak perempuan.

Menangis dan merintih merupakan suatu ekspresi yang mengindikasikan ketidakmampuan dalam mengontrol nyeri. Namun klien yang berkebangsaan Meksiko-Amerika yang menangis keras tidak selalu mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat atau mengharapkan perawat melakukan intervensi (Calvillo dan Flaskerud, 1991 dalam Prasetyo, 2010).

Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun (prasetyo, 2010). Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri. Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptif akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri. Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.

Dari beberapa faktor di atas, faktor yang sangat penting adalah usia. Karena respon nyeri setiap usia sangat lah berbeda, dan pengkajian dengan menggunakan alat ukur intensitas nyeri setiap usia juga berbeda.

2.1.5.Persepsi nyeri

Persepsi nyeri melibatkan proses sensori ketika terdapat rangsang nyeri.Persepsi meliputi interpretasi seseorang terhadap nyeri. Prosesnya dimulai ketika seseorang pertama kali menyadari adanya nyeri. Ambang nyeri maupun intensitas nyeri adalah bagian dari persepsi nyeri. Ambang dari persepsi (nyeri) adalah intensitas terendah dari stimulus atau rangsang yang menyebabkan

seseorang mengenali adanya nyeri. Intensitas nyeri juga bersifat subyektif.(McNelly & Marie, 1999). Intensitas nyeri dapat mencerminkan tingkat kerusakan suatu jaringan tubuh.

2.1.6. Fisiologi Nyeri

Nyeri adalah suatu proses fisiologis kompleks yang dapat dibagi dalam tiga peristiwa neurokimiawi, yaitu: transduksi, transmisi, dan modulasi.

Transduksi terjadi pada tempat dimulainya nyeri. Reseptor nyeri (nosiseptor) di perifer dirangsang oleh kejadian mekanik, termal, atau kimiawi. Rangsang ini menimbulkan pelepasan substansi penghasil nyeri.

Transmisi dari impuls berlanjut saat masuk ke dalam kornu dorsalis medulla spinalis melalui serat-serat delta A yang besar dan bermielin tipis, serta serat-serta C kecil tanpa myelin. Dari sini impuls dibawa melalui jalur anterolateral pada thalamus dan kemudian korteks. Di korteks inilah impuls diterima sebagai nyeri. Banyak faktor, termasuk budaya, pengalaman masa lalu, arti nyeri, dan masalah emosional ikut membentuk persepsi seseorang terhadap nyeri. Dan transduksi dan transmisi terjadi pada jalur aferens.

Modulasi nyeri terjadi pada otak di tingkat substansia grisea periakueduktus dan medulla oblongata, juga dalam kornu dorsalis, medulla spinalis, saat opioid endogen dilepaskan dalam jalur posterolateral, yaitu suatu jalur eferen.

Resepsi nyeri adalah unsur neurologia yang terlibat didalam respon nyeri. Tubuh memiliki banyak receptor nyeri. Receptor nyeri, yang disebut nosiseptor, terangsang oleh karena rusaknya sel-sel reseptor atau dilepaskannya zat-zat kimia misalnya bradikinin,serotonin dan lain-lain. Pada dasarnya ada tiga jenis stimulus

yang dapat mengaktifkan nosiseptornya masing-masing yaitu stimulus yang bersifat mekanis, suhu dan kimia.Reseptor-reseptor khusus menerima rangsang nyeri dan kemudian mengahantarkannya ke medulla spinalis melalui serabut afferent pada susunan saraftepi. Impuls nyeri bergerak dengan cepat menuju otak tempat stimulus diolah sehingga intensitas dan lokasi dapat dipersepsikan (McNelly & Marie, 1999).

2.1.7. Sifat Nyeri

Jenis Deskripsi contoh

Akut Kuat, berkaitan dengan kerusakan

jaringan atau inflamasi; intensitass secara terus-menerus dan berkurang sampai beberapa hari sampai minggu

Nyeri bedah, luka bakar, fraktur

Persisten kronis

Nyeri persisten atau mendekati persisten selama 3 bulan atau lebih

Arthritis, krisis sel sabit

kambuhan Episode nyeri berulang dengan interval nyeri- tidak nyeri secara bergantian

Sakit kepala, nyeri abdomen, dada, atau ekstremitas

neuropatik Nyeri persisten yang berkaitan dengan eksitabilitas persisten atau abnormal pada sistem saraf perifer atau puasat tanpa berlanjutnya cedera ringan; sering digambarkan sebagai rasa “terbakar”, “aneh”, atau “rasa tertusuk”

Sindrom nyeri

amputasi, cedera pleksus, distrofi refleks simpatik

psikogenik Nyeri persisten yang merupakan manifestasi dari penyakit psikiatrik

Gangguan somatisasi,

gangguan nyeri somatoform,

gangguan konversi Table 2.1. Sifat Nyeri

2.2. Respon Perilaku Anak terhadap Nyeri

Pemasangan infus merupakan salah satu intervensi yang diberikan pada bayi dan anak yang mendapatkan therapi injeksi via infus misalnya post operasi, atau pada anak yang mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit karena diare, demam berdarah, luka bakar dan penyakit lainnya yang membutuhkan cairan pengganti dari cairan tubuhnya yang hilang. Tindakan ini dapat menimbulkan rasa nyeri dan ketakutan pada anak.

Megel, Houser & Gleaves(1998) menjelaskan bahwa respon nyeri terdiri dari tiga elemen yaitu perilaku yang jelas terlihat (overt behaviours), perilaku yang tersembunyi (covert behaviours) dan responfisiologis. Perilaku yang jelas terlihat bisa diamati misalnya menangis,menyeringai,menendang, berteriak dan menarik diri. Perilaku yang tersembunyi diasosiakan dengan pikiran dan sikap terhadap pengalaman nyeri yang dirasakannya. Sedang respon fisiologis berkaitan dengan aktivasi sistem saraf simpatik dimana menyebakan pupil dilatasi, berkeringat, perubahan tanda vital seperti peningkatan denyut nadi, tekanan darah danpernafasan. Guyton (1999) setuju bahwa perubahan fisiologis dalam tekanan darah , kecepatan pernafasan, tekanan darah, telapak tangan berkeringat diobservasi sebagai respon anak terhadap stimulus yang menyakitkan.

Cara terbaik mengkaji nyeri pada neonates adalah dengan penggunaan indeks perilaku. Mimik wajah, perubahan nada suara dan aktivitas, serta menangis adalah indikator nyeri yang paling banyak dipakai. Neonatus prematur dan yang sakit kritis mungkin tidak berespon terhadap nyeri seperti neonatus yang sehat dan cukup bulan. Indeks perilaku juga merupakan indikator nyeri berguna pada bayi

setelah masa neonatus. Selain mimik wajah, perubahan nada dan aktivitas, serta menangis, bayi ini menunjukkan sikap menjauh dari stimulus nyeri dan aneka vokalisasi.

Anak usia 1 sampai 3 tahun (toddler) tetap harus diperhatikan respon perilaku pada saat mengkaji nyeri. Meskipun begitu, macam perilakunya bertambah, termasuk menggosok tempat nyeri dan perilaku agresif (menggigit, memukul, menendang). Sebagian toddler bisa mengutarakan bila ia sakit, namun tidak dapat menggambarkan intensitas nyeri.

Pada anak usia prasekolah (3-6 tahun), psikoseksual anak pada kelompok usia ini membuatnya sangat rentan terhadap ancaman cedera tubuh. Prosedur intrusive, baik yang menimbulkan nyeri maupun yang tidak, merupakan ancaman bagi anak usia prasekolah yang konsep integritas tubuhnya belum berkembang baik. Anak prasekolah dapt bereaksi terhadap injeksi sama khawatirnya dengan nyeri saat jarum dicabut. Mereka takut intrusi atau pungsi tubuh tidak akan menutup kembali dan “isi tubuh” mereka akan bocor keluar (Wong, 2008).

Reaksi nyeri pada masa prasekolah cenderung sama pada masa toddler, meskipun beberapa perbedaan menjadi jelas. Agresi fisik dan verbal lebih spesifik dan mengarah pada tujuan. Bukan menunjukkan resistensi tubuh total, anak prasekolah malah mendorong orang yang akan melakukan prosedur agar menjauh, mencoba mengamankan peralatan, atau berusaha mengunci diri di tempat yang aman. Ekspresi verbal secara khusus menunjukkan kemajuan perkembangan mereka dalam berespon terhadap stress. Anak dpat menganiaya perawat secara verbal dengan menggunakan kata-kata, “pergi dari sini” atau “ saya benci kamu”.

Mereka juga menggunakan lebih banyak pendekatan yang cerdik untuk mempengaruhi orang tersebut agar menyerah dalam melakukakan aktivitas yang dimaksud. Permintaan yang banyak digunakan adalah, “ Tolong saya jangan disuntik; Saya akan bersikap baik bila tidak disuntik.”

Anak parsekolah dapat menunjukkan letak nyeri mereka dan menggunakan skala nyeri dengan tepat. Anak-anak yang berusia 3 tahun dapt menggunakan alat pengkajian yang menggunakan ekspresi wajah terhadap nyeri.

Karakteristik perkembangan respon anak prasekolah terhadap nyeri yaitu bisa menangis keras aatau berteriak; ekspresi verbal seperti “aduh”, “auw”, “sakit”, memukul-mukulkan kaki atau lengan; berusaha mendorong stimulus menjauh sebelum nyeri terjadi; tidak kooperatif; memerlukan restrain fisik; meminta agar prosedur dihentikan; bergelayut pada orang tua, perawat, atau orang bermakna laainnya; memintaa dukungan emosional, seperti pelukan atau bentuk lain kenyamanan fisik; dpat menjadi gelisah dan peka terhadap nyeri yang berkelanjutan.

Anak usia sekolah mampu mendeskripsikan nyeri mereka (Marie, 2002). Metode pelaporan sendiri dengan menggunakan skala tingkatan intensitas nyeri secara numerik telah terbukti bermanfaat untuk anak usia sekolah (Nelson, 1999).

Pada usia 9 atau 10 tahun, sebagian besar anak usia sekolah menunjukkan ketakutan yang lebih sedikit atau resitensi yang lebih terbuka terhadap nyeri dibandingkan anak-anak yang lebih kecil. Secara umum mereka telah memepelajari metode koping untuk menghadapi rasa tidak nyaman, seperti

berpegangan dengan erat, mengepalkan tangan atau mengatup gigi, atau mencoba bertindak berani dengan “meringis”, menarik, mendorong atau tawar menawar.

Anak usia sekolah mengkomunikasikan secara verbal nyeri yang mereka alami berkaitan dengan letak, intensitas, dan deskripsinya. Tidak seperti anak yang lebih kecil, yang mengalami kesulitan memilih kata-kata untuk menggambarkan nyeri, anak-anak yang berusia 8 tahun atau lebih menggunakan berbagai kata dan frase, seperti “menyakitkan”, “luka”, “terbakar”, “tersengat”, “sakit”, “seperti pisau tajam” (Tesler dkk, 1991 dalam Wong, 2008).

Anak usia sekolah juga menggunakan kata-kata yang mengendalikan reaksi mereka terhadap nyeri. Misalnya anak-anak ini dapat meminta perawat untuk berbicara dengannya selama prosedur, sedangkan yang lainnya memilih menjauhkan diri dengan tidak melihat pada apa yang sedang terjadi. Sebagian besar menghargai penjelasan prosedur yang diberikan dan tampak tidak terlalu takut jika mereka mengetahuinya. Sebaliknya anak yang lain berusaha untuk untuk mendapatkan kendali dengan berupaya menunda kejadian tersebut. Permintaan yang khas adalah, “suntik saya kalau saya sudah selesai melakukan ini.”. meskipun kemampuan membuat keputusan semakin meningkatkan rasa kendali mereka, namun penundaan yang tidak terbatas dapat menyebabkan kecemasan semakin bertambah. Jika diberi pilihan, seperti memilih tempat injeksi, cara terbaik adalah dengan mengurutkan tempat injeksi yang mungkin dan membatasi jumlah teknik “penundan”.

Serupa dengan penerimaan pasif mereka terhadap nyeri adalah permintaan mereka yang tidak terarah akan dukungan atau bantuan. Anak usia sekolah akan

jarang memulai percakapan tentang perasaan mereka disaat periode kesendirian atau stres. Penampilan ketenangan, dan penerimaan mereka yang terlihat sering kali menyamarkan kebutuhan mereka terhadap dukungan. Penting untuk mewaspadai petunjuk-petunjuk nonverbal, seperti ekspresi wajah yang serius, menjawab dengan setengah hati seperti “saya baik-baik saja”, diam, kurang aktivitas, atau isolasi sosial, sebagai tanda membutuhkan bantuan. Biasanya jika seseorang mengidentifikasi pesan tidak terungkap dan menawarkan bantuan, maka mereka siap menerimanya (Wong, 2008).

2.3. Alat Ukur Nyeri/ Skala nyeri

Instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengkaji intensitas nyeri pada anak menurut Wong (2003) adalah:

Visual Analog Scale (VAS) mengukur besarnya nyeri pada garis sepanjang 10 cm. Biasanya berbentuk horizontal,tetapi mungkin saja ditampilkannya secara vertical. Garis ini digerakkan oleh gambaran intensitas nyeri, misalnya: “no hurt”, sampai “worst hurt”. Baik skala vertical maupun horizontal merupakan pengukuran yang sama valid, tetapi VAS yang vertical lebih sensitive menghasilkan score yang lebih besar dan lebih mudah digunakan dari pada skala horizontal. VAS ini dapat digunakan pada anak yang mampu memahami perbedaan dan mengindikasikan derajat nyeri yang sedang dialaminya (Wong, 2003).

Numerical Rating Scale (NRS) hampir sama dengan Visual Analog Scale, tetapi memiliki angka-angka sepanjanggarisnya. Angka 0-10 atau 0-100 dan anak

diminta untuk menunjukkan rasa nyeri yang dirasakannya. Skala Numerik ini dapat digunakan pada anak yang lebih muda seperti 3 -4 tahun atau lebih.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak sangat

Nyeri nyeri

Gambar 2.1. Numerical Rating Scale (NRS)

Dari skala diatas, tingkatan nyeri yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Skala 1 : tidak ada nyeri

Skala 2-4 : nyeri ringan, dimana klien belum mengeluh nyeri, atau masih dapat ditolerir karena masih dibawah ambang rangsang.

Skala 5-6 : nyeri sedang, dimana klien mulai merintih dan mengeluh, ada yang sambil menekan pada bagian yang nyeri

Skala 7-9 : termasuk nyeri berat, klien mungkin mengeluh sakit sekali dan klien tidak mampu melakukan kegiatan biasa

Skala 10 : termasuk nyeri yang sangat, pada tingkat ini klien tidak dapat lagi mengenal dirinya.

Instrumen dengan menggunakan Faces Pain Rating Scale terdiri dari 6 gambar skala wajah yang bertingkat dari wajah yang tersenyum untuk “no pain” sampai wajah yang berlinang air mata. Penjelasan Faces Pain Rating Scale yaitu:

Gambar 2.2. Face Pain Rating Scale

Nilai 0 : nyeri tidak dirasakan oleh anak Nilai 2 : nyeri dirasakan sedikit saja Nilai 4 : nyeri agak dirasakan oleh anak

Nilai 6 : nyeri yang dirasakan anak lebih banyak Nilai 8 : nyeri yang dirasakan anak secara keseluruhan Nilai 10: nyeri sekali dan anak menjadi menangis

Kelebihan dari skala wajah ini yaitu anak dapat menunjukkan sendiri rasa nyeri yang baru dialaminya sesuai dengan gambar yang telah ada dan skala wajah ini baik digunakan pada anak usia prasekolah.

Verbal Rating Scale(VRS) merupakan alat untuk menilai intensitas nyeri

yang digunakan dalam praktek klinis. VRS adalah skala ordinal, biasanya digambarkan menggunakan 4-6 kata sifat untuk menggambarkan peningkatan tingkat intensitas nyeri. Umumnya menggunakan kata-kata umum seperti tidak nyeri (no pain) pada ujung kiri akhir skala, kemudian diikuti dengan nyeri ringan,

nyeri sedang (tidak menyenangkan), nyeri berat (menyedihkan), nyeri sangat berat (mengerikan), dan nyeri paling berat (menyiksa).

Nyeri yang tak terbayangkan pada ujung kanan akhir skala. Kegunaan skala ini, pasien diminta untuk memilih kata yang menggambarkan tingkat nyeri yang dirasakan. VRS terdiri dari empat intensitas nyeri yang menggambarkan nyeri seperti tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat, setiap kata yang terkait dengan skor jumlah semakin tinggi (0, 1, 2 dan 3).

Pasien diminta untuk menunjuk nomor berapa yang menggambarkan rasa tidak menyenangkannya. Skala rating verbal dapat dibaca oleh pasien atau diucapkan keras oleh pemeriksa, diikuti oleh jawaban pasien. Metode ini mudah dipahami oleh pasien dengan gangguan nonkognitif dan cepat dilakukan, namun alat ini tidak memiliki akurasi dan sensitivitas (American Medical Association, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tindakan perawatan terhadap penyakit yang dialami oleh seorang anak seringkali menjadi krisis yang harus dihadapi anak karena dapat menimbulkan stress pada anak. Karena tindakan medis yang berulang-ulang dapat menimbulkan nyeri yang berulang juga, sehingga akan berdampak perasaan trauma pada anak. Menurut Supartini (2004), hospitalisasi merupakan suatu proses dimana karena alasan tertentu atau darurat mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. Hospitalisasi adalah bentuk stressor individu yang berlangsung selama individu tersebut dirawat di rumah sakit (Wong, 2004). Menurut WHO, hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam ketika anak menjalani hospitalisasi karena stressor yang dihadapi dapat menimbulkan perasaan tidak aman. Dan salah satu stressor utama hospitalisasi adalah nyeri (Hockenberry & Wilson, 2009).

Nyeri merupakan suatu mekanisme produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang rusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri (Arthur C. Curton, 1983 dalam Prasetyo, 2010).

International Association for Study of pain mendefinisikan nyeri sebagai suatu

sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual dan potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan.

Nyeri merupakan suatu hal yang tidak asing lagi dan akan menjadi alasan paling umum dan paling banyak dikeluhkan pasien agar mendapatkan perawatan kesehatan. Namun nyeri juga merupakan suatu hal yang multidimensi, sehingga sulit untuk memberikan batasan terhadap nyeri. Setiap individu berbeda-beda

Dokumen terkait