• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaaan Persentase Hematokrit

2.9 Kerangka Konsep

Karakteristik Penderita DSS dan Non DSS dengan DSS di RSUD. Dr. Pirngadi tahun 2013-2015

1. Sosiodemografi 1. Umur 2. Jenis kelamin 3. Agama 4. Pendidikan 5. Pekerjaan 2. Tanda-tanda perdarahan 3. Jumlah trombosit 4. Persentase hematokrit 5. Penatalaksanaan medis 6. Lama rawatan

7. Keadaan sewaktu pulang

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui berbagai media. Penyakit jenis ini merupakan masalah kesehatan yang besar di hampir semua negara berkembang karena angka kesakitan dan kematiannya yang relatif tinggi dalam kurun waktu yang relatif singkat. Penyakit menular umumnya bersifat akut (mendadak) dan menyerang semua lapisan masyarakat. Penyakit jenis ini diprioritaskan mengingat sifat menularnya yang bisa menyebabkan wabah dan menimbulkan kerugian yang besar (Widoyono, 2011).

Salah satu penyakit menular yang sampai saat ini masih ada dan terus menyebar adalah penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Penyakit DBD merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit menular di Indonesia dan masih menjadi penyakit yang bersifat endemis dimana angka kejadian dan kematian masih tinggi. Epidemi DBD atau seperti-dengue (Yellow fever, Chikungunya) dilaporkan sudah ada sejak abad kesembilan belas dan awal abad keduapuluh di Amerika, Eropa Selatan, Afrika Utara, Mediterania Timur, Asia dan Australia, dan beberapa pulau di Samudera Hindia, Pasifik Selatan dan Tengah serta Karibia (WHO, 1997).

DBD menjadi epidemi yang terbesar terjadi di Kuba pada tahun 1981, dimana ada 116.000 penderita yang menjalani rawat inap di rumah sakit dan di dalam satu hari dilaporkan ada 11.000 penderita dengue. Pan American Health Organization (PAHO) pada tahun 2007 melaporkan sebanyak 918.495 penderita DBD paling banyak di Amerika sejak tahun 1985 (Soedarto, 2012).

2

DBD di Asia dilaporkan pertama kali di Filipina pada tahun 1953. Kejadian Luar Biasa (KLB) pertama penyakit DBD di Asia di temukan di Manila pada tahun 1954, kasus DBD di Indonesia pertama kali di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968 dengan jumlah penderita DBD sebanyak 58 orang dengan angka kematian 41,3% dan terus meningkat setiap tahunnya. Kejadian penyakit DBD meningkat dan menyebar ke seluruh daerah kabupaten di wilayah Republik Indonesia termasuk kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Timor Timor. (Soegijanto, 2006).

Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang mengalami epidemi demam berdarah tetapi penyakit DBD saat ini sudah menjadi endemis lebih dari 100 negara di wilayah WHO Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Amerika, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat adalah daerah yang paling terkena dampak serius dengan kasus melebihi 1,2 juta pada tahun 2008 dan lebih dari 3 juta pada tahun 2013. Pada tahun 2015 ada sebanyak 2,35 juta kasus DBD dilaporkan di Amerika, Filipina melaporkan lebih dari 169.000 kasus dan Malaysia lebih dari 111.000 kasus dugaan demam berdarah (WHO,2016).

Kementerian Kesehatan RI (2014), menyatakan bahwa jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 100.347 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 907 orang dengan Insidence Rate (IR) 39,8 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) 0,9% terjadi penurunan kasus pada tahun 2014, dibandingkan tahun 2013 dengan kasus sebanyak 112.511 (IR 45,85%). Provinsi yang mengalami angka kesakitan pada 2014 yaitu Bali sebesar 204,22 per 100.000 penduduk, Kalimantan Timur sebesar 135,46 per 100.000 penduduk, dan

3

Kalimantan Utara sebesar 128,51 per 100.000 penduduk dan Sumatera Utara termasuk ke dalam salah satu dari 15 provinsi dengan angka kesakitan terbesar, yaitu 39,75 per 100.000 penduduk.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2014) melaporkan ada sebanyak 7.140 kasus dengan IR 51,9 per 100.000 penduduk, terjadi peningkatan IR setiap tahunnya bisa dilihat dari data tahun 2012 sebanyak 4.367 kasus dengan IR sebesar 33 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2013 sebanyak 4.732 kasus dengan IR 35 per 100.000 penduduk. Bila dibandingkan dengan angka indikator keberhasilan program dalam menekan laju penyebaran DBD, yaitu IR DBD sebesar 5 per 100.000 penduduk Provinsi Sumatera Utara masih sangat jauh dari indikator yang diharapkan. IR yang sangat tinggi dalam tiga tahun terakhir umumnya dilaporkan oleh Kota Medan, Deli Serdang, Simalungun, dan Binjai.

Salah satu daerah endemis DBD di Provinsi Sumatera Utara adalah Kota Medan. Berdasarkan data surveilans Dinas Kesehatan Kota Medan, pada tahun 2014 terdapat 1.699 kasus DBD, dengan jumlah kematian 15 orang (IR= 77,5 per 100.000 penduduk dan CFR 0,9 %) (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2014).

Demam dengue adalah penyakit febris-virus akut, yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. Virus dengue termasuk famili Flaviviridae, genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 seringkali disertai dengan sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan leukopenia sebagai gejalanya. DBD ditandai oleh empat manifestasi klinis utama: demam tinggi, fenomena hemoragik, sering dengan hepatomegali, dan pada kasus berat,

tanda-4

tanda kegagalan sirkulasi. Penderita ini dapat mengalami syok hipovolemik yang diakibatkan oleh kebocoran plasma. Syok ini disebut dengan Dengue Shock Syndrome (DSS) dan dapat menjadi fatal (Soedarto, 2012).

DBD dan DSS merupakan penyakit infeksi yang masih menimbulkan masalah kesehatan di negara berkembang, khususnya Indonesia. Hal ini disebabkan oleh masih tingginya morbiditas dan mortalitas. Jumlah penderita DBD yang mengalami renjatan berkisar antara 25-65%, yang dikutip dari Sumarmo dkk (1985) mendapatkan 63%, Kho dkk (1979) melaporkan 50%, Rampengan (1986) melaporkan 59,4%, sedangkan WHO (1973) melaporkan 65,4% dari seluruh penderita DBD yang dirawat (Rampengan, 2007). Beberapa rumah sakit melaporkan angka kematian akibat DSS mencapai 5,7-50% dengan beberapa sebab kematian yaitu, perdarahan masif, syok yang berkepanjangan dan enselopati dengue (Nasronudin dkk, 2007)

Penelitian yang dilakukan oleh Adjad (2001) pada tiga rumah sakit di Palembang yaitu RS Muhammad Hoesin, Charitas, dan ST. Chojidah didapati bahwa penderita yang lambat berobat mempunyai Odds Ratio (OR) 3,37 (95% Confidence Interval (CI): 2,08-5,46), status gizi baik mempunyai OR 2,33 (95%CI:1,01-5,39) dan tidak sekolah OR 1,8 (95%CI:1,04-4,14) mempunyai pengaruh terhadap kejadian DSS.

Penelitian yang dilakukan Mandriani (2009) mengenai karakteristik penderita DBD yang mengalami DSS di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2008 didapati bahwa proporsi penderita tertinggi pada kelompok umur 10-14 tahun.

5

Penelitian yang dilakukan oleh Harisnal (2012) mengenai Faktor-faktor risiko kejadian DSS di RSUD Ulin dan RSUD Ansari Saleh Kota Banjarmasin tahun 2011-2012 ditemukan bahwa persentase hematokrit merupakan variabel yang paling dominan yang berhubungan dengan kejadian DSS yaitu persentase hematokrit ≥25,97% (OR=7,86 CI=2,748-22,500).

Berdasarkan latar belakang diatas dilakukan survei pendahuluan di RSUD Dr. Pirngadi Medan didapatkan jumlah kasus DBD sebanyak 612 kasus tahun 2013-2015. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai karakteristik penderita DBD dengan DSS di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2013-2015.

Dokumen terkait