• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

6.2.1 Bagi pihak Rumah Sakit disarankan untuk meningkatkan pelayanan medis dengan melengkapi sarana dan prasarana pemeriksaan dan penanganan stroke seperti CT-Scan agar pasien stroke mendapatkan penanganan yang lebih baik serta perlu dilakukan pemeriksaan berkala terhadap faktor risiko stroke terutama hipertensi (51,1%) agar tidak berlanjut ke arah stroke. 6.2.2 Kepada bagian Rekam Medik agar melengkapi pencatatan data penderita

pada kartu status seperti pendidikan, pekerjaan, sisi tubuh yang lumpuh, faktor risiko dan onset serangan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stroke

Stroke atau Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO) merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus ditangani secara tepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yang disebabkan terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja (Muttaqin, 2008). Stroke adalah penyakit gangguan fungsional otak, berupa kelumpuhan saraf karena gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak. Gangguan saraf maupun kelumpuhan yang terjadi tergantung pada bagian otak mana yang terkena (Irianto K, 2014).

2.2 Patofisiologi Stroke

Otak sangat membutuhkan oksigen. Berat otak hanya 2,5 % dari berat badan seluruhnya, namun oksigen yang dibutuhkan hampir mencapai 20% dari kebutuhan badan seluruhnya. Apabila terjadi anoksia atau kekurangan oksigen pada cerebrovascular accident (CVA), metabolisme serebral akan segera mengalami perubahan dan kematian sel dan kerusakan permanen dapat terjadi dalam 3-10 menit (Widagdo dkk, 2009).

Setiap kondisi yang menyebabkan perubahan perfusi darah pada otak akan menyebabkan keadaan hipoksia. Hipoksia yang berlangsung lama dapat mengakibatkan iskemik otak. Iskemik dalam waktu singkat (kurang dari 10-15 menit) menyebabkan defisit sementara, sedangkan iskemik yang terjadi dalam waktu lama dapat menyebabkan sel mati permanen dan mengakibatkan infark

pada otak. Tipe defisit fokal permanen akan tergantung pada daerah dari otak yang terkena. Daerah otak yang terkena akan menggambarkan pembuluh darah otak yang terkena. Pembuluh darah yang paling sering mengalami iskemik adalah arteri serebral tengah dan arteri karotis interna. Defisit fokal permanen dapat tidak diketahui jika klien pertama kali mengalami iskemik otak total yang dapat teratasi (Batticaca, 2008).

Stroke trombolik adalah tipe stroke yang paling umum, dimana sering dikaitkan dengan arterosklerosis dan menyebabkan penyempitan lumen arteri, sehingga menyebabkan gangguan suplai darah yang menuju ke otak. Fase awal dari thrombus tidak selalu menyumbat komplit lumen. Penyumbatan komplit dapat terjadi dalam beberapa jam. Gejala-gejala dari CVA akibat thrombus terjadi selama tidur atau segera setelah bangun tidur. Hal ini berkaitan pada orangtua aktivitas simpatisnya menurun dan sikap berbaring menyebabkan menurunnya tekanan darah, yang akan menimbulkan iskemia otak (Widagdo dkk, 2009).

Transient ischemic attack (TIA) berkaitan dengan iskemik serebral dengan disfungsi neurologi sementara. Disfungsi neurologi dapat berupa hilang kesadaran dan hilangnya seluruh fungsi sensorik dan motorik, atau hanya ada defisit fokal. Defisit paling umum adalah kelemahan kontralateral wajah, tangan, lengan, dan tungkai, disfasia sementara dan beberapa gangguan sensorik. Serangan iskemik berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (Widagdo dkk, 2009).

Gambar 2.1 Gambaran Perbedaan Patofisiologi Stroke 2.3 Klasifikasi Stroke

2.3.1 Stroke Non Hemoragik (Iskemik)

Stroke Iskemik pada dasarnya disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak dan sering diakibatkan oleh trombosis akibat plak aterosklerosis arteri otak/atau yang memberi vaskularisasi pada otak atau suatu emboli dari pembuluh darah di luar otak yang tersangkut di arteri otak. Stroke jenis ini merupakan stroke yang paling sering ditemukan yaitu sekitar 80 % dari semua stroke. Stroke jenis ini juga bisa disebabkan berbagai hal yang menyebabkan terhentinya aliran darah otak antara lain syok atau hipovolemia dan berbagai penyakit lain (Martono dan Kuswardani, 2009).

Menurut Harsono (2007), secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik dan proses patologik.

1. Berdasarkan manifestasi klinik

a. Transient Ischemic Attack ( TIA ), serangan kurang dari 24 jam

Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.

b. Reversible Ischemic Neurological Defisit (RIND)

Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24 jam,tetapi tidak lebih dari 1 minggu.

c. Stroke in Evolution (SIE)

Pada stroke ini gejala neurologik makin lama makin berat d. Completeled Stroke

Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi 2. Berdasarkan proses patologik (kausal)

a. Stroke Trombotik

Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh darah di otak sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orangtua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemia selebri. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan thrombosis otak: aterosklerosis yaitu mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah.

b. Stroke Emboli

Stroke ini terjadi saat suatu gumpalan dari jantung atau lapisan lemak yang berasal dari dinding pembuluh arteri rontok dan menyumbat pembuluh-pembuluh darah yang lebih kecil, merupakan cabang dari pembuluh-pembuluh-pembuluh-pembuluh arteri utama yang menuju ke otak. Bagian dari otak yang tidak dialiri darah akan mengalami kerusakan dan tidak berfungsi lagi.

2.3.2 Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi oleh karena pecahnya pembuluh darah otak tertentu dan biasanya terjadi pada saat pasien melakukan aktivitas atau saat aktif, namun juga pada kondisi saat istirahat (Tartowo dkk, 2007).

a. Perdarahan Intraserebral

Pecahnya pembuluh darah terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak, dan menimbulkan edema otak. Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK) yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intraserebral yang disebabkan hipertensi sering dijumpai di daerah putamen, thalamus, pons, dan serebelum (Muttaqin, 2008).

b. Perdarahan Subaraknoid

Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry. Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak. Pecahnya arteri dan keluarnya ke ruang subaraknoid menyebabkan TIK meningkat mendadak, meregangnya struktur peka

nyeri, dan vasoplasma pembuluh darah serebral yang berakibat disfungsi otak global (sakit kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemi sensorik, afasia, dan lain-lain) (Muttaqin, 2008).

c. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural terjadi diantara dura mater dan arakhnoid. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam dura mater atau karena robeknya arachnoid (Harsono, 2007).

2.4 Gejala dan Tanda Stroke

Gejala stroke bisa dibedakan atas gejala atau tanda akibat lesi dan gejala/tanda yang diakibatkan oleh komplikasinya. Gejala akibat lesi bisa sangat jelas dan mudah untuk didiagnosis, akan tetapi bisa sedemikian tidak jelas sehingga diperlukan kecermatan tinggi untuk mengenalinya. Pasien bisa datang dalam keadaan sadar dengan keluhan lemah separuh badan pada saat bangun tidur atau sedang bekerja , akan tetapi tidak jarang pasien datang dalam keadaan koma sehingga memerlukan penyingkiran diagnosis banding sebelum mengarah ke lesi stroke. Secara umum , gejala tergantung pada besar dan letak lesi di otak, yang menyebabkan gejala dan tanda organ yang dipersarafi oleh bagian tersebut (Martono dan Kuswardani, 2009).

Gejala dan tanda yang sering dijumpai pada penderita dengan stroke secara umum adalah (Irianto K, 2014) :

1. Timbul rasa kesemutan pada sesisi badan, mati rasa, terasa seperti terbakar, atau terkena cabai.

2. Lemah, atau bahkan kelumpuhan pada sesisi badan, sebelah kanan atau kiri saja.

3. Mulut, lidah mencong bila diluruskan. Mudah diamati jika sedang berkumur, tidak sempurna atau air muncrat dari mulut.

4. Gangguan menelan, atau minum sering tersendak.

5. Gangguan bicara berupa pelo, atau aksentuasi kata-kata sulit dimengerti (afasid), bahkan bicara tidak lancar, hanya sepatah-patah.

6. Tidak mampu membaca dan menulis. Kadang-kadang diawali dengan perubahan tulisan yang tidak seperti biasa, karena tulisan lebih jelek.

7. Berjalan menjadi sulit, langkahnya kecil-kecil. 8. Kurang mampu memahami pembicaraan orang lain.

9. Kemampuan intelektual menurun drastis, bahkan tidak mampu berhitung, menjadi pelupa.

10.Fungsi indra terganggu sehingga bisa terjadi gangguan penglihatan berupa sebagian lapangan pandang tidak terlihat atau gelap, juga pendengaran berkurang.

11.Gangguan suasana emosi, menjadi lebih mudah menangis atau tertawa. 12.Kelopak mata sulit dibuka, atau dalam keadaan terkatup.

13.Gerakan badan tidak terkoordinasi sehingga jika berjalan sempoyongan, atau kehilangan koordinasi pada sesisi badan.

2.5 Diagnosa Stroke

Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik yaitu keadaan umum, tanda vital, status generalis, dan status neurologis. Selanjutnya digunakan alat bantu skoring (skala) stroke dan pemeriksaan computered tomography (CT) scan kepala sebagai standar baku emas untuk menunjang diagnosis.

Penentuan diagnosa stroke untuk menentukan jenis stroke apakah Non Haemoragik atau Haemoragik sejatinya adalah dengan menggunakan CT scan ataupun magnetic resonance imaging (MRI), sayangnya peralatan CT scan apalagi MRI masih sangat kurang tersedia di Rumah Sakit di daerah bahkan di kota sekalipun. Namun jika tidak tersedia test diagnostik maka ada beberapa perhitungan diantaranya dengan Alogarima stroke Gajah Mada dan Skore Stroke Siriraj (SSS) (Tartowo dkk, 2007).

2.5.1 Skor Stroke Alogaritma Gajah Mada Tabel 2.1 Skor Stroke Alogaritma Gajah Mada

Penurunan Kesadaran Nyeri Kepala Babinski Jenis Stroke

+ + + Perdarahan

+ - - Perdarahan

- + - Perdarahan

- - + Iskemik

2.5.2 Skor Stroke Siriraj (SSS) (Tartowo dkk, 2007)

Pembacaan:

Skor > 1 : Perdarahan otak < -1: Infark otak

Sensivitas: Untuk perdarahan: 89.3%. Untuk infark: 93.2%.

Ketepatan diagnostik: 90.3%.

Pembacaan:

Skor > 1 : Perdarahan otak < -1 : Infark otak

Sensivitas: Untuk perdarahan: 89.3% Untuk infark: 93.2% Ketepatan diagnostik: 90.3%

Versi orisinal:

= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x tekanan darah diastolik) – (0.99 x atheromal) – 3.71.

Versi disederhanakan:

= (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan darahdiastolik) – (3 x atheroma) – 12.

Kesadaran:

Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2 Muntah:

tidak = 0 ; ya = 1

Sakit kepala dalam 2 jam: tidak = 0 ; ya = 1

Tanda-tanda ateroma:

tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1

2.6 Letak Kelumpuhan Akibat Serangan Stroke 2.6.1 Kelumpuhan Sebelah Kiri (Hemiparesis Sinistra)

Kerusakan pada sisi sebelah kanan otak yang menyebabkan kelemahan tubuh bagian kiri. Pasien dengan kelumpuhan sebelah kiri sering memperlihatkan ketidakmampuan persepsi visuomotor, kehilangan memori visual dan mengabaikan sisi kiri. Penderita mamberikan perhatian hanya kepada sesuatu yang berada dalam lapang pandang yangdapat dilihat (Harsono, 2007).

2.6.2 Kelumpuhan Sebelah Kanan (Hemiparesis Dextra)

Kerusakan pada sisi sebelah kiri otak yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan tubuh bagian kanan. Penderita ini biasanya mempunyai kekurangan dalam kemampuan komunikasi verbal, namun persepsi dan memori visuomotornya sangat baik, sehingga dalam melatih perilaku tertentu harus dengan cermat diperhatikan tahap demi tahap secara visual. Dalam komunikasi kita harus lebih banyak menggunakan body language ( bahasa tubuh) (Harsono, 2007).

2.6.3 Kelumpuhan Kedua Sisi (Hemiparesis Duplex)

Karena adanya sklerosis pada banyak tempat, penyumbatan dapat terjadi pada dua sisi yang mengakibatkan kelumpuhan satu sisi dan diikuti satu sisi lain. Timbul gangguan pseudobulber (biasanya hanya pada vaskuler) dengan tanda-tanda hemiplegik dupleks, sukar menelan, sukar berbicara dan juga mengakibatkan kedua kaki sulit untuk digerakkan dan mengalami hiperaduksi (Markam, 2003).

2.7 Epidemiologi Stroke 2.7.1 Distribusi dan Frekuensi a. Berdasarkan Orang

Stroke ditemukan pada semua golongan usia, dari bayi baru lahir sampai pada usia sangat lanjut, namun sebagian besar dijumpai pada usia di atas 55 tahun. Insiden usia 80-90 adalah 300/10.000 dibandingkan dengan 3/10.000 pada golongan usia 30-40 tahun (Bustan MN, 2015).

b. Berdasarkan Tempat

Insiden stroke bervariasi antarnegara dan tempat. Diantara penduduk Asia Pasifik ada sebanyak 2,7% menderita stroke. Pada tahun 2009 terdapat 3.639 orang meninggal karena stroke di Asia Pasifik.

Menurut American Heart Association (AHA), angka kematian penderita stroke di Amerika setiap tahunnya adalah 50 – 100 dari 100.000 orang penderita dan membunuh satu orang penderita stroke setiap menitnya.

Di China (2005), terdapat 1,5 juta penderita stroke dan 1 juta penderita stroke meninggal dunia dengan CFR 66,66%. Di India, angka prevalensi stroke sebesar 8,6 per 100.000 populasi pertahun (Regional Statistik, 2008).

Di Indonesia diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 orang terkena serangan stroke, 125.000 orang meninggal dunia dengan CFR 25% dan yang mengalami cacat ringan atau berat dengan proporsi 75% (375.000 orang) (Yastroki, 2009).

c. Berdasarkan Waktu

Berdasarkan hasil Riskesdas (2007) menunjukkan peningkatan angka kematian stroke di Indonesia. Kejadian terbanyak penyebab kematian utama hampir di seluruh RS di Indonesia juga karena penyakit stroke, terdapat sekitar 550.000 pasien baru setiap tahunnya dan kematian stroke meningkat sekitar 15,4% yaitu dari 41,7% ditahun 1995 menjadi 49,9% di tahun 2001 dan terus meningkat menjadi 59,5% atau setara dengan 8,3 per 1.000 penduduk ditahun 2007 (Depkes RI, 2007).

2.7.2 Faktor Risiko

Stroke merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor risiko (multikausal). Menurut Kemenkes RI (2013), faktor risiko stroke dibagi menjadi faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah. a. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah

a.1 Umur

Menurut Wahjoepramono (2005) umur merupakan faktor risiko stroke dimana semakin meningkatnya umur seseorang, maka risiko untuk terkena stroke juga semakin meningkat. Menurut hasil penelitian pada Framingham Study menunjukkan risiko stroke meningkat sebesar 20%, 32%, 83% pada kelompok umur 45-55, 55-64, 65-74 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agreayu Dinata dkk (2012) di RSUD Kabupaten Solok Selatan didapatkan kejadian stroke lebih dari 50% penderita berusia di atas 50 tahun, yaitu dengan persentase 81,25% dan

hanya 18,75% penderita yang berusia di bawah 50 tahun. Berdasarkan penelitian Jeong-yeon Kim, dkk (2011) menunjukkan hubungan umur dengan risiko stroke ( OR : 1,06 ; 95% CI: 1,03-1,10).

a.2 Jenis kelamin

Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia, ternyata laki-laki banyak menderita stroke dibandingkan perempuan.3 Insiden stroke 1,25 kali lebih besar pada laki-laki dibanding perempuan. Risiko stroke 20% lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, tetapi setelah perempuan menginjak usia 55 tahun dan kadar estrogen menurun karena menopause, maka akibat stroke lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki (Yastroki, 2009).

a.3 Riwayat penyakit keluarga

Riwayat pada keluarga yang pernah mengalami serangan stroke atau penyakit yang berhubungan dengan kejadian stroke dapat menjadi faktor risiko untuk terserang stroke juga. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya faktor genetik, pengaruh budaya, dan gaya hidup dalam keluarga, interaksi genetik dan pengaruh lingkungan (Lumbantobing, 2011).

a.4 Ras

Orang kulit hitam, Hispanik Amerika, Cina, dan Jepang memiliki insiden stroke yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih (Wahjoepramono, 2005). Di Indonesia sendiri, suku Batak dan Padang lebih rentan terserang stroke dibandingkan dengan suku Jawa. Hal ini disebabkan oleh pola dan jenis makanan yang lebih banyak mengandung kolestrol (Depkes, 2007).

b. Faktor Risiko yang Dapat Diubah b.1 Hipertensi

Tekanan darah tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri. (Hiper artinya berlebihan, tensi artinya tekanan/tegangan; jadi, hipertensi adalah gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah diatas normal). Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JIVC) sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg (Widagdo dkk, 2009). Usia 30 tahun merupakan awal kewaspadaan tentang munculnya hipertensi, terutama bagi mereka yang mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarga. Makin lanjut usia seseorang maka kemungkianan untuk munculnya hipertensi makin tinggi. Pemeriksaan tekanan darah dapat dilakukan dimana saja, bahkan saat ini sudah ada kecendrungan bahwa masyarakat awam merasa perlu dilakukan secara terus menerus. Hipertensi menahun tidak saja mampu menimbulkan GPDO, tetapi juga merupakan ancaman langsung terhadap penyakit jantung dan mengancam retina dan ginjal (Harsono, 2007).

Sebuah penelitian yang dilakukan di RS Krakatau Medika pada tahun 2011 oleh Dian Nastiti mendapatkan hasil, 46% dari seluruh pasien stroke yang diteliti, yang merupakan jumlah terbanyak mempunyai faktor risiko hipertensi. b.2 Penyakit Jantung Koroner (PJK)

Kelainan jantung akan meningkatkan risiko stroke adalah aritma jantung. Aritma merupakan kelainan yang ditandai dengan detak jantung yang tidak teratur

yang berpotensi menimbulkan suatu bekuan sel trombosit, dapat bermigrasi dari jantung dan menyumbat arteri di otak serta menimbulkan stroke.

Menurut WHO (2011), penyakit penyerta PJK salah satunya stroke karena disebabkan aterosklerosis. Faktor risiko stroke dan PJK disebabkan oleh faktor risiko yang hampir sama seperti merokok dan hipertensi.

b.3 Hiperkolesterolemi

Meningkatnya kadar kolestrol dalam darah disebut hiperkolestrolemi. Meningkatnya kadar kolesterol dalam darah, terutama low density lipoprotein (LDL), merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya aterosklerosis (menebalnya dinding pembuluh darah), dan koreksi terhadap dampak aterosklerotik tadi ternyata sangat menurunkan risiko terjadinya GPDO. Peningkatan kadar LDL dan penurunan kadar HDL (high density lipoprotein) merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner, dan penyakit jantung seperti ini merupakan faktor risiko GPDO (Harsono, 2007).

b.4 Diabetes Melitus

Menurut WHO seseorang disebut sebagai penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah vena dalam keadaan puasa lebih dari 140 mg/desiliter dan kadar glukosa darah kapilaris biasanya lebih tinggi 7-10% dibandingkan dengan kadar glukosa darah vena.

Diabetes mellitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak yang berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak akan menyempitkan diameter pembuluh darah dan penyempitan tersebut kemudian akan menggangu

kelancaran aliran darah ke otak yang pada akhirnya akanmenyebabkan infark sel-sel otak (Harsono, 2007).

b.5 Obesitas

Obesitas atau berat badan yang berlebih berpotensi untuk menimbulkan stroke di kemudian hari. Penyakit jantung rematik, penyakit jantung koroner dengan infark otot jantung, dan gangguan irama denyut jantung merupakan faktor risiko GPDO yang cukup potensial. Faktor risiko ini pada umumnya akan menimbulkan hambatan atau sumbatan aliran darah ke otak karena jantung melepas gumpalan darah atau sel-sel / jaringan yang telah mati ke dalam aliran darah. Peristiwa ini disebut emboli. Apabila penyakit jantung yang diberi obat anti penggumpalan darah dengan dosis yang tak terkontrol dan/atau tidak dilakukan kontrol terhadap waktu penjendalan darah maka dapat muncul komplikasi yang serius, ialah perdarahan otak (Harsono, 2007).

b.6 Merokok

Menurut Sorganvi dkk (2014) merokok berisiko 2 kali lebih besar terkena stroke. Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian telah menunjukkan merokok menjadi faktor risiko penting untuk stroke. Nikotin dan karbon monoksida dalam asap rokok merusak sistem kardiovaskular. Penggunaan kontrasepsi oral dikombinasikan dengan merokok sangat meningkatkan risiko stroke (American Stroke Assosiation, 2015).

b.7 Aktivitas fisik

Aktivitas fisik atau olahraga merupakan bentuk pemberian rangsangan berulang pada tubuh. Tubuh akan beradaptasi jika diberikan rangsangan secara

teratur dengan takaran dan waktu yang tepat. Aktivitas fisik sangat berhubungan dengan faktor risiko stroke, yaitu hipertensi dan aterosklerosis. Seseorang yang sering melakukan aktivitas fisik minimal 3-5 kali dalam seminggu dalam waktu minimal 30-60 menit dapat menurunkan risiko untuk terkena penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah, seperti stroke (Depkes, 2007).

b.8 Pemakaian alkohol

Sebuah studi meta-analisis terhadap 35 penelitian dari tahun 1966 hingga 2002 melaporkan bahwa dibandingkan dengan bukan pengguna alkohol, individu yang mengkonsumsi <12 g per hari (1 minuman standar) memiliki adjusted RR yang secara signifikan lebih rendah untuk stroke iskemik, demikian juga individu yang mengkonsumsi 12 hingga 24 g per hari (1 hingga 2 standar minum) alkohol. Sedangkan individu yang mengkonsumsi alkohol >60 g per hari memiliki adjusted RR untuk stroke iskemik yang signifikan lebih tinggi (Hakey dkk, 2006).

2.8 Pencegahan Stroke 2.8.1 Pencegahan Primer

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor risiko stroke bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor risiko dengan cara melaksanakan gaya hidup sehat bebas stroke, yaitu (Padila, 2013) (Kemenkes RI, 2013):

a. Memiliki gaya hidup yang sehat yaitu dengan menghindari stress, makan rendah garam, lemak dan kalori, tidak merokok, dan menghindari minum alkohol.

b. Memperhatikan faktor risiko biologis (jenis kelamin, riwayat keluarga), efek aspirin sehingga dapat lebih waspada terhadap penyakit stroke.

c. Mengontrol atau mengendalikan hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung dan aterosklerosis, kadar lemak darah, konsumsi makanan seimbang, serta olahraga teratur 3-4 kali seminggu.

d. Pelayanan kesehatan untuk pengendalian kejadian stroke melalui pendidikan kesehatan dan pelayanan pra stroke untuk deteksi dini dan monitoring faktor risiko stroke pada individu sehat dan berisiko di masyarakat.

2.8.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke yaitu dengan cara:

a. Diagnosis dan pengobatan segera terhadap penderita stroke agar stroke tidak berlanjut menjadi kronis. Obat-obatan yang digunakan seperti aspirin dengan dosis 50-325 mg per oral yang diberikan sekali sehari, aspirin 25 mg dan dipiridamol SR 200 mg per oral yang diberi 2 kali sehari, cilostazol 100 mg per oral yang diberi 2 kali sehari dan clopidogrel 75 mg per oral sekali sehari, dan ticlodipin 250 mg per oral yang diberi 2 kali sehari (Kemenkes RI, 2013). b. Mengontrol faktor risiko dengan modifikasi gaya hidup misalnya

mengkonsumsi obat antihipertensi yang sesuai pada penderita hipertensi, mengkonsumsi obat hipoglikemik pada penderita diabetes, diet rendah lemak dan mengkonsumsi obat antidislipidemia pada penderita dislipidemia, berhenti merokok, berhenti mengkonsumsi alkohol, hindari kelebihan berat badan dan kurang gerak (Perdossi, 2011).

c. Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) PTM termasuk stroke yang merupakan salah satu wujud peran serta masyarakat dalam kegiatan deteksi dini, monitoring dan tindak lanjut dini terhadap faktor risiko stroke secara terpadu dan terintegrasi dengan kegiatan rutin di masyarakat (Kemenkes RI, 2013). 2.8.3 Pencegahan Tersier

Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah menderita stroke agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pencegahan tersier dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan sosial. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa, ahli okupassional, petugas sosial dan peran serta keluarga.

a. Rehabilitasi dini

Upaya rehabilitasi harus segera dilakukan apabila keadaan pasien sudah

Dokumen terkait