• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

1. Bagi masyarakat umum

Diharapkan masyarakat dapat membuka cakrawala tafsir dan fiqih seluas-luasnya, sehingga menghasilkan pemahaman yang utuh dalam setiap permasalahan yang terjadi, khususnya pemahaman dalam problem nusyuz, yang sering diartikan sebagai pembangkangan istri terhadap suami, hal ini terkesan searah, pada dasarnya nusyuz terjadi bisa oleh suami maupun istri. Ketika terjadi problem nusyuz, maka salah satu cara dalam menyelesaikan problem nusyuz yaitu dengan prinsip kesalingan (mubȃdalah) dalam rumah tangga, bahwa nusyuz bisa terjadi dari siapa saja (suami atau istri) dan solusinya bisa dari siapa saja (suami atau istri), dan mengembalikan penyelesaian tersebut kepada relasi berpasangan agar ikatan dalam rumah tangga menjadi kuat kembali.

2. Bagi peneliti selanjutnya

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih banyak kekurangan. Masih banyak yang harus dikaji terkait permasalahan ini. Untuk itu diharapkan penelitian ini agar bisa dikembangkan lagi.

76

DAFTAR PUSTAKA

Aidid, Rizem. Menjadi Suami Yang Melengkapi Istri. Jogjakarta: Via Press, 2014.

Alamsyah, “Recontuction Of The Concepts Nusyuz In The Feminist Perspectives” Jurnal al-„Adalah, Vol. 15, 2, 2018.

Barudi, Imad Zaki. Penerjemah: Tim Penerjemah Pena, Tafsir Qur‟an al-A‟ḏȋm Lin Nisȃ (Tafsir Qur‟an Wanita). Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2017.

Ainiyah, Qurrotul. Keadilan Gender Dalam Islam Konvensi PBB Dalam Perspektif Mazham Syafi‟i. Malang: Intrans Publishing, 2017.

al-Iraqi, Assayyid Butsainah. Menyingkap Tabir Peceraian. Penerjemah Abu Hilmi Kamaluddin. Jakarta: Pustaka Progresif, 2004.

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2015.

al-Qurṯubȋ, Abi „Abdillah bin Muhammad. al-Jȃmi‟ li Ahkam al-Qur‟an. Kairo: Dȃr al- Hadits, 2010.

al-Syarbainȋ, Syamsuddȋn Muhammad bin al- Khatȋb. Mugni al-Muntȃj ila Ma‟rifah Ma‟ȃni al-Minhȃj. Kairo: al-Quds, 2012.

Al-Ṯabarȋ, Abi Ja‟far Muhammad bin Jarȋr. Tafsir al-Ṯabarȋ: Jȃmi‟ al-Bayȃn „an Ta‟wȋl Ȃyi al-Qur‟an. Kairo: Dar al-Hijr, 2001.

Alwi, Alimudin. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam (Bidang Perkawinan Dan Pidana Islam). Bandar Lampung: Gunung Pesagi, 1993.

Al-Zuhaylȋ, Wahbah. Al-Tafsir munir fi „Aqidah wa syari‟ah wa al-minhaj. Damaskus: Dȃr al-Fikr, 2003.

Andi, Raita Umairah Syarif. Nusyus dan Penyelesaiannya Dalam al-Qur‟an (Kajian Tafsir Muqarran Antara Q.S an-Nisȃ [4]: 34 dan 128), (Skripsi S-1, Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik, UIN Alauddin Makassar, 2016).

Annalia. Pemahaman Ulama Kontemporer Indonesia Tentang Nusyuz dan Penyelesaiannya Dalam Surah an-Nisȃ [4]: 34, (Skripsi S-1, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).

Anwar, Ghazala dan Zakiyuddin Baidhawy (Ed), Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

As‟ad, Abdul Muhaimin. Risalah Nikah. Surabaya: Bintang Terang, 1993.

As-Shabuni, Ali. Rawai‟ul Bayan; Tafsir Ayat Ahkam Min al-Qur‟an. Juz 1. Depok: Keira.

As-sbubkhi, Ali Yusuf. Fiqih Keluarga. Penerjemah. Nur Khozin. Jakarta: Amzah, 2010.

As-Subkhi, Ali Yusuf. Fiqih Keluarga: Pedoman Berkeluarga Dalam Islam. Jakarta: Amzah, 2012.

Asyaraf, Abu Muhammad bin Abdil Masqud. Terjemah. Muhammad Ihsan Ibn Zainuddin. Fatwa-Fatwa Muslim. Jakarta: Darul Falah.

Ayub. Permasalahan Seputar Masyarakat. (Jurnal Budaya dan Sosial). Vol. 16, No. 3, 2018.

Baderin, Mashood A. International Human Right and Islamic Law. New York: Oxford University, 2005.

Barlas, Asma. Cara Qur‟an Membebaskan Permpuan. Trans. Oleh R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Serambil Ilmu Semesta, 2005.

Binjai, Abdul Halim Hasan. Tafsir Ahkam. Medan: Prenada Media Group, 1962. Faqih, Mansour. Analisis Gender dan Transpormasi Sosial. Yogyakrta: Pustaka

Pelajar, 1997.

Gharib, Ibn Shalih, Kesalahan-Kesalahan Istri. Penerjemah Abdul Farid Mansyur. Jakarta: Pustaka Pogresif, 2004.

Ghazali, Norzulaila Mohd. Nusyuz, Syiqaq, dan Hukum Menurut al-Qur‟an, Sunnah, dan Undang-Undang Keluarga Islam.

Hamka. Kedudukan Wanita Dalam Islam. Shah Alam: Pustaka Dini, 2009. ______. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Pnjimas, 1983.

Haryanto. Sosial Dalam Islam. Jakarta: Media Karya, 2015.

Haswir. Penyelesaian Kasus Nusyuz Menurut Perspektif Ulama Tafsir. Vol. II, No. 2. Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, 2012, 251-252.

HR, Abu Daud. Bab Hak Suami Atas Perempuan. Mausurat al-Hadist an-Nawawi al-Syarif: al-Ishdar al-Tsani. 2141.

HR, Bukhari. Bab Ta‟zir dan Adab. Mausuat Hadist an-Nawawi Syarif: al-Ishdar al-Tsani. 6456-6458.

Ilma, Mugniatul. Kontektualisasi Konsep Nusyuz di Indonesia. Jurnal Tribakti, Vol. 30, 1, (Jamuari-Juni 2019).

Ilyas, Yunahar, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur‟an Klasik dan

Kontemporer, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997.

Kamal, Abu Malik bin Sayyid Salim. Fiqhus Sunnah Lin Nisȃ; Panduan Fikih Lengkap Bagi Wanita. Solo: Pustaka Arafah, 2014.

Khisyik, Abdul Hamid. Bina‟ Usrah Musliamh Mausu‟ah Zuwaj al-Islami. Penerjemah Ida Nursida. Bandung: al-Bayyan, 1997, cet ke-4. Kodir, Faqihuddin Abdul. Qirȃ‟ah Mubȃdalah. Yogyakarta: IRCiSoD, 2019. Kompilasi Hukum Islam. Pasal 83 ayat 1 dan Pasal 84 ayat 4 dan 10.

Mansur, Abdul al-Qodir. Fiqih Wanita. Jakarta: Zaman, 2019. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2016.

Ma‟shum, Muhammad. al-Amtsilati al-Tasrifiyyah. Semarang: Pustaka Alawiyah. Mesraeni. Diskursus Gender Dalam Islam. (Mizan: Journal Of Islamic Law, FAI

Ibnu Kholdun (UIKA) Bogor, Vol. 2, No. 2. 1 Juni 2018), 3.

Muhammad, Abu Isa bin Isa Tirmidzi. Ensiklopedia Hadis 6, Jami‟ al-Tirmidzi. Penerjemah: Tim Darussunnah, dkk. Jakarta: Almahira, 2013.

Muhammad, Razimah Wan.”Women amd Syari‟ah Court: A Study Of Malaysia and Indonesia”. International Journal of Cross-Cultural Studies, Vol. 1, 2, 2015.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.

Nainggoalan Togiaratua. Gender dalam Program Keluarga Harapan. (Sosio Informa: Kesejahteraan Sosial Vol. 5 No. 01, Januari-April 2019), 7. Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan. Hakim Perdata Islam di Indonesia.

Jakarta: Prenada Media, 2004.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Madina: al-Fatkh Li I‟lamil Araby, 1990.

Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an. Vol. 2, Jakarta: Lentera Hati, 2001.

_______________________. Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut‟ah Sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama Sampai Bias Baru. Jakarta: Lentera Hati, 2006, cet 2. 361-362.

Salam Nor, Konsep Nusyuz Dalam Perspektif al-Qur‟an (Sebuah Kajian Tafsir Maudu‟i), DE JURE, Jurnal Syari‟ah dan Hukum, Vol 7 Nomor 1, Juni 2015)

Suhra, Syarifa. Kesetaraan Gender Dalam Perspektif al-Qur‟an dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam. Jurnal al-Ulum, Vol. 13, No.2, (Desember, 2013).

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2014. Syihab al-Dîn bin Salâmah al-Qalyubî dan Syihab al-Dîn Ahmad al-Burlisî, Hâsyiatâ al-Qalyubî wa „Umairah „ala Kanzi al-Râghibîn. Kairo: Dar al-Taufiqiyah, 2010.

Umar, Nasaruddin. Argument Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran. Jakarta: Paramadina, 2001.

Wadud Amina, Qur‟an and Women: Rereading From Women‟s Perspective, (TERJ) Abdullah Ali, Jakarta: Serambi, 2001.

Yanggu, Huzaimah Tohido. Fiqih Perempuan Kontemporer, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.

Yusuf, Muri. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan. Jakarta: Prenamedia, 2016.

Zahra, Abu al-ahwal al-syakhshiyah, Beirut: Dar al-fikri al-Arabi, 1957.

LAMPIRAN

1. WAWANCARA

HASIL WAWANCARA

A. Penjelasan kyai Faqih

Dalam perspektif mubȃdalah nikah sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam buku saya (Qirȃ‟ah mubȃdalah) artinya adhommu (berkumpul atau bertemu) sehingga lalu kemudian konsep dasarnya adalah istiwaz seperti kata Ibnu Razak, istiwaz artinya berpasangan, kesepakatan dua belah pihak untuk hidup bersama (laki-lai dan perempuan) untuk mengelola rumah tangga bersama. Lalu kemudian, karena ia (nikah) kesepakatan bersama, karena ia merupakan keinginan bersama untuk mengelola hidup rumah tangga. Maka, pilar-pilarnya adalah lima seperti dalam al-Qur‟an dan sudah saya jelaskan juga didalam buku Qirȃ‟ah mubȃdalah, (saya kira kamu sudah hafallah) disitu adakan mitsaqon gholizhon (dalam QS. an-Nisȃ), jawaz (dalam QS. al-Baqarah), antarodin baina huma, mu‟asyarah bil ma‟ruf, sama musyawarah. Pilar-pilar ini adalah tiang-ting penyangga utama kehidupan pernikahan, karena itu lalu ketika ada problem rumah tangga, maka harus dikembalikan kepada pilar ini. Mitsaqon gholighan artinya nikah sebagai ikatan yang kokoh itu harus dijaga bersama. Karena itu, lalu promlem adalah segala sesuatu yang mungkin akan memudar, melemahkan, atau memutuskan ikatan tersebut. Begitupun jawaz (berpatner, berpasangan), jadi nantinya semua problem yang akan membuat orang tidak lagi merasa bersabar dalam berpasangan adalah problem, karena itu harus dikembalikan kepada pilar-pilar ini. Jadi mitsaqon gholizan, jawaz (berpasangan), antarodin baina huma (saling rela, saling menyenangkan), musyawarah, dan mu‟asyarah bil ma‟ruf (saling komunikasi, dan saling berbuat baik). Karena itu, lalu problem rumah tangga adalah atau sesuatu dianggap problem itu dalam kontek ini

adalah segala hal yang akan mengancam pilar tersebut, apapun bentuknya secara umum. Tetapi al-Qur‟an itukan Cuma berbicara dua hal, yaitu: nusyuz dan syiqoq. Nah, menurut saya kalau syiqoq itu adalah sudah paling puncak dan sudah ada keinginan salah satu atau keduanya untuk berpisah atau cerai, jadi ia (syiqoq) sudah ada rasa permusuhan, rasa ketidakmauan, yang membuat “udalah, kita sudah tidak bisa dipertahankan lagi” ini syiqoq namanya, syiqoq sudah mau berpecah, sudah mau berpisah, sudah mau bercerai, itu syiqoq. Nah, kalau nusyuz itu berpotensi untuk syiqoq tapi ia (nusyuz) belum mengarah, tetapi nusyuz ini juga sudah problem yang maksimal, maka disebut nasyaza-yansyuzu itu ada rasa pembangkangan, ada rasa besar diri, ada rasa paling benar, salah satunya itu, namanya nusyuz, maka disebut pembangkangan. Tetapi semua problem sekecil apapun dalam rumah tangga itu menjadi bagian dari nusyuz dilevel yang paling awal atau paling kecil akan mengarah ke nusyuz. Karena kalau ditumpuk-tumpuk, nanti akan besar dan menjadi nusyuz. Karena yang lain tidak dibicarakan maka saya menempatkannya semua hal buruk, negatif dalam relasi rumah tangga yang mengancam ikatan pernikahan yang berbasis lima pilar, itu bagian dari nusyuz, walaupun mungkin belum sampai kepada yang maksimal yaitu ada pembangkangan, atau ada rasa besar diri, paling hebat, dan lain-lain. Jika misalnya tindakan buruk (cemberut, menghina, atau hal-hal yang mungkin kata-kata buruk, tidak melayani, dan lain-lain) itu bagian dari nusyuz itu sendiri. Cuma nusyuz, kalau dalam konsep yang ingin saya jelaskan (mubȃdalah) sesuai dibuku, tapi belum cukup waktu, kesempatan, dan tulisan, karena halaman terlalu banyak. Nusyuz itu, kalau dalam ayat al-Qur‟an dibagi dua, ada nusyuz di surat an-Nisȃ ayat 34 dan ada nusyuz di surat an-Nisȃ ayat 128. Nah, kalau al-Qur‟an sendiri sesungguhnya sudah mubȃdalah, ketika mengatakan nusyuz itu bisa dari perempuan dan bisa dari laki-laki. Sekalipun penyelesaian nusyuz di fiqih terutama di KHI itu, baru satu menyasar yaitu perempuan saja yang membangkang, padahal laki-laki juga bisa membangkang. Nah, al-Qur‟an sudah mubȃdalah,

dua-duanya ada, perempuan bisa nusyuz yaitu ayat an-Nisȃ 34, laki-laki juga bisa nusyuz yaitu an-Nisȃ ayat 128. Dalam penjelasan ditafsir secara umum memang ayat 34 haya untuk perempuan nusyuz-nya, kalau ayat 128 hanya untuk laki-laki nusyuz-nya. Kalau mubȃdalah, kaena ingin mengambil semangat dari ayat ini, lalu kemudian bagaimana kedua ayat ini menyapa kedua belah pihak, jadi nusyuz perempuan juga nusyuz laki-laki, nusyuz laki-laki juga nusyuz perempuan. Jadi karena itu, dalam penafsiran saya terhadap ayat 128 maupun 34 mengalami pelengkapan, saya ga bilang berbeda. Pelengkapan artinya memasukan jenis kelamin yang belum dibahas oleh Ulama terdahulu. Jadi misalnya kalau kontek ayat 34, maka saya ingin mengatakan bahwa nusyuz di ayat 34 itu nusyuz yang berangkat dari faktor internal. Faktor internal artinya karakter orang nya itu mau membangkang, mau berbuat buruk, tidak sabaran, temperamen, mudah marah, mudah nyinggung, mudah mengatakan hal-hal buruk, memang dari dirinya, itu pakai nusyuz 34. Karena itu, lalu karena ada hal-hal bururk di internal, maka jawaban nya al-Qur‟an mengatakan faizȗhunna, mauizhoh itu artiya wahlun yaitu dalam bahasa Arab annussyu atau I‟radatul khairi watajkiru bihi artinya menghendaki kebaikan, jadi merubah bagaimana berubah kembali mengelola kembali relasi yang menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Kalau suka marah, ya bagaimana marahnya agar bisa destruktif atau tidak menjadi marah-marah, dikelola bagaimana caranya. Jadi, dia (nusyuz ayat 34) bisa terjadi oleh perempuan bisa oleh laki-laki. Nah, tindakannya bagaimana mengelola, mengalihkan, mentransformasikan yang awalnya buruk menjadi sedikit buruk atau syukur-syukur baik itu bahasa al-Qur‟an nya faizȗhunna, jadi ajaklah mereka atau dia (suami atau istri) yang nusyuz itu menjadi lebih baik. Ajak itu tidak dengan ceramah saja, ceramah salah satu, bisa jadi ceramah tidak efektif, tapi yang mengkondisikan, mencari strategi, pola, belajar, ada tips-tips juga bagaimana psikologi menghadapi orang yng karakternya itu tidak membantu relasi. Nah, tapi dia (pelaku nusyuz) belum ingin berpisah kalau sudah itu syiqoq, tapi kalau sudah ada rasa

saya lebih hebat, saya lebih pintar, saya yang paling benar itu sudah nusyuz maksimal, karena nanti paling sulit untuk memperbaikinya, tapi kalau dianya (pelaku nusyuz) merasa bersalah itu lebih mudah, karena tingkatannya faizȗhunna, wahjurȗhunna. Wahjurȗhunna itu kalau menurut saya adalah jeda fisik kalau sekarang istilahnya physical distancing tetapi masih dalam satu rumah atau masih dalam rasa ikatan yang mudah untuk kembali. Jadi kalau LDR ya berarti wahjurȗhunna itu berpisah tapi masih mungkin untuk dihubungi, masih bisa ditelpon, tapi sudah “kita jeda dulu deh” untuk refleksi bagaimana agar tidak lagi nusyuz. Kalau wadribȗhunna itu adalah sudah tindakan tegas, salah satunya memukul, tetapi kalau dalam kontek sekarang memukul sudah tidak mungkin bisa mengembalikan ikatan, jadi mungkin tidak bisa dipakai, tapi intinya tindakan-tindakan tegas lebih tegas dibanding jeda atau physical distancing (faizuhȗnna). Kalau physical distancing (faizȗhunna) bararti mulai dari tidak berhubungan intim ataupun pisah kamar, dan lain-lain. Tetapi kalau wadribȗhunna itu sudah tindakan tegas, salah satunya seperti kata Ulama memukul walaupun dengan cara yang lembut, tapi kalau sekarang memukul sudah tidak mungkin karena dalam undang- undang KDRT dan lain-lain, justru akan mengarah kepada syiqoq bahkan perceraian, maka tindakan tegas itu lebih tegas dibanding physical distancing tadi, misalnya waktunya diperlama atau bisa jadi cerai sebagai pilihan terakhir atau tindakan tegas lain misalnya tidak diberi nafkah atau tindakan-tindakan lain yang lebih tegas dibanding physical distancing. Dan ini bisa berlaku oleh perempuan atau oleh laki-laki (pelaku nusyuz-nya) sehingga yang diberikan sanksi atau disadarkan adalah atau diberi ketegasan adalah pelaku, kalau pelakunya laki-laki ya laki-laki, kalau pelakunya perempuan ya perempuan. Tujuan dari mauijul hasanah, al-hijroh, sama ad-dhorbu tujuannaya mengembalikan kepada pilar-pilar yang lima itu. Jadi kalau misalnya ternyata dengan cara itu tidak kembali, ya cari cara lain, karena tujuannya bukan pada jedanya itu. Kita perlu belajar ilmu sikologi keluarga untuk mencari strategi, cara, agar relasinya

bisa dikembalikan pada semula yaitu mitsaqon gholizon, mu‟asyaroh bil ma‟ruf, anta rodin, musyawarah, dan lain-lain. Atau bahasa simple al-Qur‟an sakinah, mawadah, warahmah, jadi semua strategi yang diperlukan untuk mengembalikan salah satu pasangan atau dua pihak yang melakukan hal-hal buruk yang mengancam relasi itu adalah bagian dari yang dianjurkan oleh al-Qur‟an dari ayat ini dan yang melakukan nusyuz itu bisa suami, bisa istri. Jadi nusyuz diayat 34 itu adalah faktornya internal artinya dalam dirinya itu ada keengganan, mungkin kesombongan, mungkin kemarahan, atau apalah. Tapi kalau ayat 128 (kamu buka dan cek) itu adalah faktornya eksternal, faktor eksternal artinya dia ditarik oleh orang lain, pesona orang lain, jadi ada orang lain yang menebar pesona lalu membuat seseorang (suami atu istri) itu bahasa al-Qur‟an I‟rodon, nusyuzan au I‟rodon. Nusyuzan itu lebih maksimal dibanding I‟rodon, kalau nusyuzan itu dia berpaling ke orang yang menebar pesona itu diluar, bahasa sekarang itu selingkuhan atau apalah atau mungkin belum selingkuhan tapi orang ketiga. Dan ia (pelaku nusyuz) sudah ada rasa membangkang, ada rasa “udalah, saya sudah ga mau sama kamu, udah ga setia” begitu kira-kira, tapi belum berfikir cerai, berfikirnya yang lain lebih hebat, dan saya benar, saya tidak salah, yang salah kamu. Jadi dia yang terpesona sama orang ketiga, tapi dia yang merasa benar dan menyalahkan pasangan yang tidak melakukan itu. Nah, ini bisa laki-laki dan bisa perempuan, kalau ayat ini secara literal untuk laki-laki, tapi dalam pemahaman mubȃdalah bisa laki-laki bisa perempuan. Tetapi betul seperti kata al-Qur‟an, biasanya yang mudah terpesona duluan itu laki-laki, karena itu ayat ini untuk nusyuz-nya laki-laki, kalau ayat yang sebelumnya (ayat 34) itu untuk perempuan, karena biasanya perempuan lebih ya mungkin temperamen karena terlalu banyak pekerjaan-pekerjaan domestik, sehingga ia tidak mudah sabar mengelola relasi. Nah, betul kebanyakan mungkin begitu, tapi dalam perspektif mubȃdalah memungkinkan terbuka kepada nusyuz-nya perempuan yang terpesona oleh laki-laki lain. Dia nusyuz kalau sudah merasa yang paling benar, dia

otoriter, lalu dia diktator, dalam arti dia akan mendefenisikan dan lain-lain. Kalau I‟rodon itu baru berpaling aja, dia ga merasa paling benar, dia berpaling dari istrinya atau dari suaminya dan sedang memikirkan orang ketiganya itu. Nah, dalam konteks ini al-Qur‟an menasehati untuk islah sama ihsan, kalau islah itu win-win solusion, kalau ihsan itu salah satunya memberi yang terbaik. Win-win solusion salah satunya pologami kalau diayat berikutnya itu, pologami diawali (ayat 129) oleh ketertarikan salah satu pasangan terhadap orang lain, orang luar. Jadi karena itu ketika tertarik namanya nusyuz, ketika nusyuz atau ketika tertarik maka kalau ini laki-laki yang tertarik, maka tentu saja ia (suami) akan minta pologami, kalau masih ingin mempertahankan pernikahannya, kalau tidakkan syiqoq namanya seperti yang saya bilang tadi. Nah, tentu saja lalu pologami ini kan baru niat walan tastati‟u antah dilu itu baru niat. Bainan nisa‟I kalau dalam terjemahan saya itu bukan istri-istri (kamu cek dalam terjemahan kamu itu apa) kalau terjemahan saya bukan istri-istri tapi perempuan-perempuan yang akan kamu poligami gitu loh. Jadi perempuan-perempuan-perempuan-perempuan yang tadi difikirkan dinikahi di ayat 128 tadi, itu kalau kamu nikahi mereka bersama istrimu yang dirumah, itu kamu tidak akan bisa berbuat adil, semacam memberi warning ayat al-Qur‟an ini. Karena itu kamu cek di al-Qur‟annya itu pala talilȗ kullal mailih patajarȗha, ha nya kan satu artinya, istri satu yang dirumah itu akan terkatung-katung kalau kamu berfikir terus terhadap orang ketiga tadi, tapi jangan demikian, baliklah serumah istrimu itu, apa? Waintuslihu, islah (perbaiki dirimu) watattakqu (dan jagalah diri) jangan terpesona sama orang lain. Tetapi kalau pada akhirnya ngotot ingin poligami, salah satunya tidak sepakat, al-Qur‟an mengatakan waintaqorroko (cerai). Jadi al-Qur‟an mengikuti ayat ini memberi jalan bagi orang yang tidak mau poligami yaitu cerai bukan sabar, diayat ini. Diayat yang lain saya tidak menemukan al-Qur‟an berbicara sabar tentang soal poligami, di sini malah al-Qur‟an bilang “ya sudah” kalau memang islah tidak bisa, takwa tidak bisa, pologami tidak mau, ya cerai. Kalau cerai al-Qur‟an mengatakan yugnillahu kullan min

sa‟ati, yang telah bercerai setelah itu insa Allah bisa kuat, mandiri, dan kaya, dengan kekayaan dan kekuatan Allah SWT. Jadi, menurut saya ini sangat logic, rasional, dan betul-betul mubȃdalah, dalam arti problem bisa datang dari manapun, dan solusi bisa diberikan oleh siapapun, dengan syarat semua kedua-duanya (suami dan istri) berfikir kembali kepada relasi yang telah disepakati sebagai nikah, fatner (bersama), jawaz (pasangan), mitsaqon gholighan, anta rodin, ma‟asyarah bil ma‟ruf, dan lain sebagainya. Kalau berfikir seperti itu, balik kepada pilar itu, maka problem-problem pernikahan itu sesungguhnya ada jalannya, semua ada jalannya salah satunya sudah disebutkan oleh al-Qur‟an yaitu jalan mauijul hasanah, jalan hajrun, jalan dhorbun, jalan islah, jalan ihsan, jalan takwa. Takwa itukan artinya menjaga diri, jadi karna itu ya harus semuanya jangan Cuma perempuan yang disuruh menjaga diri, tetapi juga laki-laki harus menjaga diri. Jadi konsep nusyuz dalam perspektif mubȃdalah secara umum adalah segala tindakan, prilaku, yang dilakukan oleh salah satu pasangan atau kedua-duanya, yang memudarkan, melemahkan, atau bisa memutus dan mengancam ikatan pernikahan, apapun bentuknya, tetapi tentu saja al-Qur‟an bisa level yang tertinggi, itu kalau tadi, sudah sombong, membangkang, merasa paling benar, dan susah untuk

Dokumen terkait