• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESETARAAN GENDER DALAM PENYELESAIAN NUSYUZ PERSPEKTIF TEORI MUBȂDALAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KESETARAAN GENDER DALAM PENYELESAIAN NUSYUZ PERSPEKTIF TEORI MUBȂDALAH"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

KESETARAAN GENDER DALAM PENYELESAIAN NUSYUZ

PERSPEKTIF TEORI MUBȂDALAH

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh : AJAT SUDRAJAT

11150440000066

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1441H/2020

(2)

i SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh:

AJAT SUDRAJAT NIM. 11150440000066

Dibawah Bimbingan

MU’MIN ROUP, M.Ag NIP. 197004161997031004

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1441H/2020M

(3)

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang ada dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Bogor, 21 Juli 2020

(4)
(5)

iv

ABSTRAK

AJAT SUDRAJAT. 1115040000066. Kesetaraan Gender Dalam Penyelesaian Nusyuz Perspektif Teori Mubâdalah. Program Studi Hukum Keluarga. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 1441 H/ 2020 M. Xii + 73 halaman.

Studi ini bertujuan untuk, menjelaskan konsep nusyuz dan penyelesaiannya menurut teori mubȃdalah, menguraikan ekpresi kesetaraan gender dalam penyelesaian nusyuz perspektif teori mubȃdalah, dan menganalisis perbedaan antara teori mubȃdalah dengan ulama klasik dan kontemporer dalam penyelesaian nusyuz. Berdasarkan pelakunya nusyuz bisa terjadi oleh suami ataupun istri. Nusyuz yang dilakukan oleh suami terdapat dalam Q.S an-Nisȃ [4]: 128, dan nusyuz yang dilakukan oleh istri terdapat dalam Q.S an-Nisȃ [4]: 34. Dalam masing-masing ayat nusyuz tersebut sudah disertai cara penyelesaiannya, namun terjadi perbedaan yang signifikan cara penyelesaian antara nusyuz yang dilakukan suami dan nusyuz yang dilakukan oleh istri. Maka dari itu untuk mencari konsep dan penyelesaian nusyuz yang berelasi atau berkesetaraan gender digunakan teori mubȃdalah untuk menganalisanya.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif, dan bersifat preskriptif, dengan pendekatan historis, perbandinagn, dan konseptual, sehingga penelitian dilakukan dengan pengkajian pada doktrin-doktrin atau asas-asas hukum, menelusuri dan menelaah literatur (buku, artikel, jurnal, dsb) yang secara langsung ataupun tidak langsung membicarakan persoalan yang diteliti, serta melakukan pengamatan pada objek yang diteliti untuk mendapatkan data primer.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa konsep nusyuz dalam teori mubȃdalah ialah kebalikan dari taat. Yaitu segala tindakan negatif dalam relasi suami istri yang melemahkan ikatan berpasangan antara suami dan istri. Dengan demikin nusyuz dalam teori mubȃdalah bisa datang dari siapa saja dan bisa diselesaikan oleh siapa saja, baik istri maupun suami. Perspektif teori mubȃdalah tujuan dari semua penyelesaian baik yang terdapat dalam QS. an-Nisȃ ayat 34 ataupun ayat 128 bertujuan untuk mengembalikan atau menguatkan kembali ikatan berpasangan antara suami dan istri. Sehingga cara penyelesaiannya perspektif teori mubȃdalah bisa dengan cara apa saja, baik yang ada dalam ayat 34 ataupun 128, dengan syarat tujuan dasarnya tercapai yaitu mengembalikan dan menguatkan ikatan pernikahan.

Kata Kunci: Kesetaraan gender, Nusyuz, Teori mubȃdalah Pembimbing: Mu‟min Rouf, M.Ag.

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanallahu Wa Ta 'äla yang telah melimpahkan taufik, hidayah, serta inayah-Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi.

Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi Wasallam beserta keluarga dan para sehabatnya yang berjuang membawa kita dari zaman kegelapan hingga zaman terang demerang (minajulumä ila nür).

Skripsi ini bisa terselesaikan berkat dukungan banyak pihak, baik bersifat moral maupun material. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dari awal hingga terwujudnya skripsi ini. Secara khusus, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, L.c.,M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2023.

2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,M.A.,M.H selaku Dekan Fakultas Syariah dan 1--lukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Mesraini, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Yang mana selalu mendorong kami dengan nasihat, motivasi dan selalu mengingatkan penulis dengan kasih sayangnya untuk menyelesaikan penelitian ini.

4. Mu'min Rouf, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang selalu meluangkan waktu, membantu dengan memberi masukan, nasihat dan saran dalam proses penyusunan penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir, hingga dapat terselesaikan seperti sekarang ini.

(7)

vi

5. Dr. Kamarusdiana, M.H., selaku Dosen Penasehat Akademik yang selalu memberikan arahan dan banyak pelajaran yang bisa penulis dapatkan dari awal masuk kuliah hingga akhir proses kuliah.

6. Keluarga Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, segenap dosen, karyawan dan staff yang telah banyak membantu baik langsung maupun secara tidak langsung dengan menyediakan fasilitas-fasilitas belajar yang baik dan profesional. 7. Dr. Faqihuddin Abdul Kadir, sumber data primer yang sudah memberikan

waktunya untuk penulis dalam menggali dan mendapatkan data primer dalam penelitian ini.

8. Ayahanda tercinta H. Madjaji, dan Ibunda tercinta Hj. Yayah. Jazakumullah ahsanal jaza atas perjuangan dan dukungan yang telah diberikan khususnya dalam segi materi, semoga apa yang telah diberikan untuk anak-mu diberikan balasan berlipat ganda oleh Allah Swt. Dan Do'akan semoga ilmu yang dapatkan menjadi ilmu yang nafi

9. Saudari Mulyawati, Tuty Alawiyah, dan saudara Saudin. Terima kasih atas dukungan yang telah diberikan terhadap penulis.

10. Siti Komalasari, S.S., sosok perempuan yang selalu ada dan menemani di kala suka dan duka dalam menyelesaikan penelitian ini.

11. Ahmad Zulfi Aufar, S.H,. Teman bertukar fikiran dan selalu men-support dalam ide penelitian ini.

12. Yayasan Keluarga Besar Annajah, yang sudah mendukung penulis dalam penelitian ini. Khususnya Ibu Dra. Hj. Maesaroh Madsuni.

13. Teman-teman HK 2015, khususnya SAS-B yang selalu menjadi reminder agar penulis cepat menyelesaikan penelitian ini.

(8)

vii

Dan terakhir, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga pada pihak-pihak yang tentunya tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut andil dalam mendukung dan men-support secara lahir maupun batin. Semoga Allah Swt membalas dengan kebaikan. Aamiiin.

Bogor, 21 Juli 2020 Penulis

(9)

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin di mana istilah Arab tersebut belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin: Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

ب B Be

خ T Te

ث Ts te dan es

ج J Je

ح H ha dengan garis bawah

خ Kh ka dan ha د D De ر Dz de dan zet ر R Er ز Z Zet ش S Es ش Sy es dan ye

ص S es dengan garis bawah

ض D de dengan garis bawah

ط T te dengan garis bawah

(10)

ix

ع „ koma terbalik di atas hadap kanan

غ Gh ge dan ha ف F Ef ق Q Qo ك K Ka ل L El م M Em ن N En َ W We ي H Ha ء ˋ Apostrop ي Y Ya

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan َ ﹶ A Fathah ِ ﹺ I Kasrah ُ ﹸ U Dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai berikut:

(11)

x Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ي Ai a dan i َ Au a dan u

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan  a dengan topi di atas Î i dengan topi di atas Û u dengan topi di atas

Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam (لا), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf qomariyyah. Misalnya:

داهتجلإا

= al-ijtihâd

ةصخرلا

= al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu

(12)

xi

terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

ةعفشلا

= al-syuf‟ah tidak ditulis asy-syuf‟ah.

Dalam penulisan ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbȗtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

No. Kata Arab Alih Aksara

1

ةعيرش

syarî‟ah

2

ةيملاسلإا ةعيرشلا

al-syarî‟ah al-islâmiyyah

3

بهاذلما ةنراقم

muqâranat al-madzâhib

Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh:

يراخبلا

= al-Bukhâri tidak ditulis Al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

(13)

xii

Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il) kata benda (isim) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

1

تاروظلمحا حيبت ةرورضلا

darûrah tubîhu

al-mahzûrât

2

يملاسلإا داصتقلاا

al-iqtisâd al-islâmî

3

هقفلا لوصأ

usûl al-fiqh

4

ةحابلإا ءايشلأا في لصلأا

al-„asl fî al-asyyaﹶal-ibâhah

(14)

xiii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING……….………i

LEMBAR PERNYATAAN………..……….………ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... Error! Bookmark not defined.i ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

DAFTAR ISI ... xiii

BAB IPENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 8

D. Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1. Tujuan Penelitian ... 10

2.Manfaat Penelitian ... 10

F. Kajian Studi Terdahulu ... 11

G. Metode Penelitian ... 12

H. Sistematika Penulisan ... 15

BAB IITINJAUAN UMUM TENTANG NUSYUZ ... 16

A.Pengertian Nusyuz... 16

B.Dasar Hukum Nusyuz ... 18

C.Macam-Macam Nusyuz ... 22

D.Langkah-langkah Penyelesaian Nusyuz Oleh Suami dan Istri ... 25

BAB IIIKESETARAAN GENDER DAN TEORI MUBȂDALAH ... 36

(15)

xiv

B.Biografi Singkat Faqihuddin Abdul Kodir ... 368

C.Makna Mubȃdalah ... 460

D. Latar Belakang Lahirnya Teori Mubȃdalah ... 462

E.Konsep Mubȃdalah... 46

D.Metode dan Cara Kerja Mubȃdalah ... 47

BAB IVANALISIS KESETARAAN GENDER DALAM PENYELESAIAN NUSYUZ PERSPEKTIF TEORI MUBȂDALAH ... 50

A.Konsep Nusyuz dan Penyelesaiannya Menurut Teori Mubȃdalah ... 50

B.Ekspresi Gender Dalam Penyelesaian Nusyuz Menurut Teori Mubȃdalah ... 57

C.Perbedaan Antara Teori Mubȃdalah Dengan Pendapat Ulama Klasik dan Kontemporer Dalam Penyelesaian Nusyuz ... 62

D. Analisis Teori Mubȃdalah, Teori Feminisme, Ulama Klasik dan Kontemporer dalam Penyelesaian Nusyuz……..…………... 65

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN ... 74

A.Kesimpulan ... 74

B.Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Isu Kesetaraan Gender menjadi sangat menarik ketika dihubungkan dengan wacana keislaman, yang memang merupakan salah satu komponen dalam berbagai perubahan sosial, kebudayaan, dan bahkan politik. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan isu tersebut mulai dari dekontruksi khazanah Islam sampai pada upaya rekontruksinya. Salah satu yang menjadi pokok kajiannya adalah problem relasi laki-laki dan perempuan.

Dalam konteks relasi tersebut, laki-laki selalu dipersepsikan memiliki wilayah peran publik dan perempuan dianggap sebagai penguasa dan penentu peran domestik. Karena itu, keduanya diasumsikan mempunyai wilayah aktualisasi diri yang berbeda. Menurut kaum feminis, sekat budaya ini merupakan warisan kultural dan budaya, baik dari masyarakat primitif, masyarakat agraris, maupun masyarakat modern. Di sisi lain banyak pemahaman terhadap teks di temukan memperkuat bahkan ikut andil dalam melanggengkan kontruksi budaya tersebut, yang nota bene teks-teks tersebut diturunkan pada budaya Arab yang patriarkhis, sehingga tafsiran tersebut selalu berbias gender. Padahal dalam pendekatan yang berbeda di dapatkan banyak teks yang justru mendukung kesetaran relasi laki-laki dan perempuan.1

Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakikatnya adalah hasil kontruksi sosial budaya, sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan

1

Ahmad Mulyadi, Relasi Laki-Laki dan Perempuan (Melabrak Tafsir Teks, Menakar

(17)

2

selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.2

Dari konteks tersebut dapat dielaborasikan bahwa konsep relasi laki-laki dan perempuan muncul dan berkembang mulai dari hasil pemahaman terhadap teks dan kontruksi budaya. Banyaknya tafsiran terhadap teks-teks sumber hukum Islam (al-Qur‟an dan al-Hadis) justru menguatkan budaya patrilineal. Tradisi yang bias gender ini mengakar kuat dalam masyarakat, sehingga selalu diperbedayakan dalam hal baik dalam studi teks atau dalam konteks realitas dimasyarakat.

Dewasa ini sedang berkembang teori yang bernama teori mubâdalah. Istilah ini berkembang dalam sebuah perspektif dalam relasi tertentu antara dua pihak yaitu laki-laki dan perempuan di mana relasi tersebut mengandung nilai kemitraan, kerja sama, kesalingan, timbal balik, dan prinsip resiprokal.3 Istilah mubâdalah dikenalkan pada tahun 2012 oleh Faqihuddin Abdul Qodir, seorang Ulama dan aktivis yang sering mengkaji dan membahas isu-isu kesetaraan gender dan kemudian menerbitkan buku dengan judul Qirâ‟ah Mubâdalah.

Qirâ‟ah Mubâdalah yang berlandaskan teori mubȃdalah

memungkinkan teks-teks keislaman dipahami kembali dengan spirit tauhid yang menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi sejajar sebagai subjek penuh kehidupan manusia.4

Ada dua faktor yang melatari perspektif dan metode mubâdalah, yaitu sosial dan bahasa. Faktor sosial terkait cara pandang masyarakat yang lebih banyak menggunakan pengalaman laki-laki dalam memaknai agama. Sedangkan faktor bahasa adalah struktur bahasa Arab, sebagai bahasa teks-teks sumber Islam, yang membedakan laki-laki dan perempuan, baik dalam

2 Rudi Aldianto, dkk. Kesetaraan Gender Masyarakat Transmigrasi Etnis Jawa, Jurnal

Equibilium Pendidikan Sosiologi, Volume III NO. 1 Mei, 2015, h. 89-90.

3 Faqihuddin Abdul Kodir, Qirâ‟ah Mubâdalah, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), h.59. 4 Faqihuddin Abdul Kodir, Qirâ‟ah Mubâdalah, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), h.35

(18)

kata benda, kata kerja, bahkan kata ganti; dalam bentuk tunggal maupun prural.5

Mubȃdalah lahir karena pemahaman masyarakat tentang Islam yang banyak mengunggulkan, mementingkan, memberi kesempatan kepada laki-laki melebihi perempuan. Padahal, Islam hadir untuk laki-laki-laki-laki dan perempuan, al-Qur‟an hadir untuk laki-laki dan perempuan, dan Nabi hadir untuk laki-laki dan perempuan. Akan tetapi pada kenyataannya seringkali penggunaan ayat dan hadits hanya untuk laki-laki. Karena itu mubȃdalah mengingatkan bahwa dalam membaca dan memaknai ayat harus disertai semangat mubȃdalah, agar seimbang tujuannya yaitu untuk laki-laki dan perempuan.

Mubȃdalah penting untuk dijadikan kesadaran, baik dalam lingkungan keluarga, komunitas, maupun negara. Dalam lingkungan keluarga, haruslah tercipta relasi kemitraan antara suami istri yang seimbang, agar tujuan dari pernikahan tercapai.

Tujuan pernikahan adalah terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah sebaimana digambarkan pada Q.S. al-Rûm (30): 21 dan juga pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selain itu pernikahan juga bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sebagaimana tercantum dalam pasal 1, UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Untuk mencapai tujuan pernikahan tersebut, Islam merumuskan dengan “Mu‟âsyarah bi al-Ma‟rûf” yaitu saling mempergauli dengan baik. Akan tetapi dalam perjalanan rumah tangga tidaklah berjalan dengan mulus. Konflik, perseteruan, dan pertengkaran adalah hal yang biasa terjadi dalam rumah tangga. Tidak jarang pula konflik tersebut menjadikan istri durhaka

(19)

4

terhadap suaminya atau suami yang melupakan kewajibannya terhadap istri yang disebut nusyuz.6

Secara istilah, nusyuz ialah meninggalkan kewajiban sebagai suami istri atau sikap acuh tak acuh yang ditunjukan oleh suami atau istri. Namun, umumnya nusyuz diartikan sebagai durhaka atau kedurhakaan.7Ulama Hanafiyyah berpendapat, nusyuz ialah ketidaksenangan yang terjadi di antara suami dan istri, sedangkan ulama Syafi‟iyyah mengartikan nusyuz sebagai perselisihan yang terjadi di antara suami istri. Pendapat serupa juga dinyatakan oleh ulama Malikiyyah dengan arti permusuhan atau perseturuan antara suami istri. Sedangkan ulama Hambaliyyah memberikan definisi sebagai bentuk ketidak senangan dari pihak istri ataupun dari pihak suami disertai dengan hubungan yang tidak harmonis.8

Nusyuz yang terjadi antara suami dan istri yang dapat menyebabkan putusnya ikatan pernikahan terjadi karena tidak berjalannya aturan yang ditetapkan Allah untuk kehidupan rumah tangga berupa hak dan kewajiban. Oleh karena itu, Allah memberikan usaha antisipasi agar tidak terjadi perceraian. Antisipasi itu disebutkan dalam al-Quran, yaitu nuzyuz di pihak istri (Q.S. al-Nisâ (04):34), nusyuz di pihak suami (Q.S. al-Nisâ (04): 128), dan pertengkaran atau syiqâq (Q.S. al-Nisâ (04): 35).9

6 Kata nusyuz dalam kajian bahasa Arab adalah اٍجَست جأرملا خسشو yang artinya telah

durhaka seorang istri kepada suaminya, dan juga اٍيلع اٍلعت خسشو yang artinya telah bertindak kasar suami terhadap istrinya. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet.14, h. 1419. Dalam kajian fikih nusyuz secara etimologi menurut Imam al-Syarbainî (w. 977 H) yaitu حعاطلا هع جَرخلا yang berarti durhaka dan menurt Imam al-Qalyubî (w. 1069 H) yaitu ًيلع ةجاُلا ّكحلا هع عاىتملإا َ عافترلإا yang artinya meninggi dan meninggalkan hak dan kewajiban atas suami atau istri. Lihat Syamsuddîn Muhammad bin al-Khatîb al-Syarbainî, Mughni al-Muhtâj ila Ma‟rifah Ma‟âni al-Minhâj, (Kairo: al-Quds, 2012), jilid 5, h. 368. Lihat juga Syihab Dîn bin Salâmah Qalyubî dan Syihab Dîn Ahmad al-Burlisî, Hâsyiatâ al-Qalyubî wa „Umairah „ala Kanzi al-Râghibîn, (Kairo: Dar al-Taufiqiyah, 2010), jilid 3, h. 459.

7 Dudung Abdur Rohman, Mengembangkan Etika Berumah Tangga Menjaga Moralitas

Bangsa Menurut Pandangan Al-Qur‟an (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), h. 93.

8

Mughniatul Ilma, “Kontekstualisasi Konsep Nusyuz di Indonesia”, Jurnal Tribakti, Vol. 30, 1, (Januari-Juni 2019), h. 51-52.

9 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan

(20)

Dikatakan nusyuz di pihak istri karena secara tekstual Q.S. al-Nisâ (04): 34 menyebutkan yang artinya “wanita-wanita yang kalian khawatirkan bersikap membangkang terhadap suaminya”. Ulama tafsir seperti Imam al-Qurtubȋ (w. 671 H), Imam Ibnu Katsȋr (w. 774 H), dan Imam al-Syaukanȋ (w. 1255 H) menafsirkan ayat tersebut dengan istri yang nusyuz adalah istri yang bersikap sombong terhadap suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling dari suaminya, membenci suaminya, menganggap remeh suaminya, dan bermaksiat kepada Allah.10

Selain indikasi tersebut, ayat ini dikatakan sebagai nusyuz dari pihak istri karena ada indikasi dari sebab turun (asbâb al-nuzul) ayat ini yaitu bahwa seorang perempuan mengadu kepada Rasulullah karena telah ditampar oleh suaminya. Rasulullah SAW bersabda: “suaminya harus diqisâs”. Maka turunlah ayat tersebut sebagai ketentuan mendidik istri yang menyeleweng. Setelah mendengar penjelasan ayat tersebut pulanglah ia dengan tidak melaksanakan qisâs.11

Usaha yang diperintahkan Allah dalam ayat ini untuk suami adalah “nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukul lah mereka”. Wahbah al-Zuhaylî menafsirkan ayat tersebut dengan menasihati dengan nasihat dan petunjuk, jika tidak kembali (taat) maka pisahkanlah dari tempat tidur, jika tidak kembali (taat) maka pukullah dengan pukulan yang tidak menyakiti, kemudian jika tidak kembali (taat) maka utuslah dua hakim baik dari kerabat dekat maupun kerabat jauh.12

Dikatakan nusyuz di pihak suami karena secara tekstual Q.S. al-Nisâ (04): 128 menyebutkan “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau

10

Abi „Abdillah bin Muhammad Qurtubȋ, Jâmi‟ li Ahkam Quran, (Kairo: Dâr al-Hadits, 2010), jilid 5, h. 154. Lihat „Imad al-Dȋn Abi al-Fadâ‟ Ismail bin „Umar, Tafsȋr al-Quran

„Adȋm, (Beirut: Dâr Kutub ‟Ilmiyyah, 2012), jilid 1, cet. 3, h. 446. Muhammad bin „Ali

al-Syaukânî, Fath al-Qâdir, (Kairo: Dâr al-Hadits, 2007), jilid 1, h. 616.

11

Wahbah al-Zuhaylȋ, al-Tafsȋr al-Munȋr fi al-„Aqȋdah wa al-Syarȋ‟ah wa al-Minhaj, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003), jilid 3, cet. 2, h. 57.

12 Wahbah al-Zuhaylȋ, al-Tafsȋr al-Munȋr fi al-„Aqȋdah wa al-Syarȋ‟ah wa al-Minhaj, jilid

(21)

6

sikap tidak acuh dari suaminya”. Ulama tafsir seperti Imam Ibnu Jarîr al-Tabarî (w. 310 H) menafsirkan nusyuz di pihak suami dengan sikap egois, diktator, dan sombong. Adapun dikarenakan kebencian, adakalanya karena tidak suka terhadap beberapa faktor, di antaranya tidak cantik dan tua.13 Imam al-Qurtubȋ (w. 671 H) dan Imam al-Syaukanȋ (w. 1255 H) menafsirkan perbedaan antara nusyuz dengan i‟radh yaitu bahwa nusyuz itu menyimpang sedangkan i‟radh tidak bicara kepadanya (istri) dan tidak ramah kepadanya.14

Sebab turunnya ayat ini adalah ketika Saudah binti Zam‟ah khawatir akan diceraikan Nabi Muhammad SAW. Maka ia berkata “Janganlah engkau menceraikan aku dan biarkan aku ini tetap menjadi istrimu, dan berikanlah jatah hari ku untuk Aisyah”, Nabi pun melakukan permintaannya, sehingga turunlah ayat ini.15

Usaha yang diperintahkan Allah SWT untuk antisipasi perceraian dalam kasus ini adalah dengan berdamai antara suami dan istri. Dan juga dibolehkan seorang istri menggugurkan diri dari kewajiban suaminya seluruh hak atau sebagian haknya yang menjadi tanggungan suami, seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal serta lain-lainnya yang termasuk hak istri atas suaminya. Pihak suami boleh menerima hal tersebut dari pihak istrinya, tiada dosa bagi pihak istri memberikan hal itu kepada suaminya, tidak (pula) penerimaan pihak suami dari pihak istrinya akan itu.16

Dalam penyelesaian nusyuz tersebut penulis melihat adanya ketimpangan antara suami dan istri di mana jika istri nusyuz suami diberikan kewenangan untuk menasihati, memisahkan tempat tidur bahkan memukul istrinya. Akan tetapi jika suami nusyuz penyelesaiannya adalah meminta

13

Abi Ja‟far Muhammad bin Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl

Âyi al-Qur‟an, (Kairo: Dar al-Hijr, 2001), jilid 7, h. 548-549.

14 Abi „Abdillah bin Muhammad al-Qurtubȋ, al-Jâmi‟ li Ahkam al-Quran, jilid 5, h. 351.

Lihat Muhammad bin „Ali al-Syaukânî, Fath al-Qâdir, jilid 1, h. 694.

15

„Imad al-Dȋn Abi al-Fadâ‟ Ismail bin „Umar, Tafsȋr al-Quran al-„Adȋm, jilid 1, cet. 3, h. 511.

16 Imad al-Dȋn Abi al-Fadâ‟ Ismail bin „Umar, Tafsȋr al-Quran al-„Adȋm, jilid 1, cet. 3, h.

(22)

toleransi kepada istri agar merelakan hak yang semestinya ia terima agar tercapai perdamaian.

Hal inilah yang membuat Islam sering dituduh sebagai agama yang mengajarkan ketidakadilan, termasuk ketidakadilan dalam relasi suami istri atau ketidakadilan gender.17

Mengenai hal tersebut sebenarnya hukum Islam mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan sebagai manusia pada umumnya, terutama dalam hubungan keluarga. Cairo Declaration on Human Right in Islam States menyatakan bahwa: perempuan setara dengan laki-laki dalam harga diri dan mempunyai hak untuk menikmati dan tugas untuk dikerjakan, dia memiliki entitas sipil dan kemandirian finansial sendiri, dan hak untuk mempertahankan nama dan keturunannya.18

Dr. Ramizah Wan Muhammad berpendapat bahwa Allah menyebut kata „al-Nisa‟ 57 kali dan „al-Rijal‟ 57 kali dalam al-Quran. Hal ini mengindikasikan terhadap kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan.19 Selain itu Hamka berpendapat perempuan mendapat jaminan yang tinggi dan mulia, mempunyai kesamaan tugas dengan laki-laki, dan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama di antara keduanya.20

Mengenai kesetaraan dalam hal nusyuz tersebut, di Indonesia dapat dilihat pada pasal 84 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang hanya mengatur tentang nusyuz istri dan tidak mengatur nusyuz suami.

Dengan permasalahan yang diuraikan di atas terhadap nusyuz dan penyelesaiannya, apabila prinsip teori mubâdalah diaplikasikan kepada kasus nusyuz dan penyelesaiannya seperti Q.S. al-Nisâ (04):34 yang memberikan

17 Sarifa Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur‟an Dan Implikasinya

Terhadap Hukum Islam”, Jurnal Al-Ulum, Vol. 13, No.2, (Desember, 2013), h. 375.

18 Mashood A. Baderin, International Human Rights and Islamic Law, (New York:

Oxford University, 2005), h. 60.

19 Razimah Wan Muhammad, “Woman and Shari‟ah Court: A Study of Malaysia and

Indonesia”, International Journal of cross-Cultural Studies, Vol. 1, 2, (2015), h. 42

(23)

8

kewenangan kepada suami jika istri nusyuz untuk menasehati, memisahkan ranjang, dan memukul, bagaimana teori mubâdalah membacanya, menerapkannya, serta akan seperti apa dampaknya. Apakah akan muncul problem seperti istri mukul suami karena kesalingan. Dan bagaimana penyelesaian Q.S. al-Nisâ (04): 128 jika suami yang nusyuz kewenangan yang dimiliki oleh istri hanya berdamai, apakah hal ini juga bisa istri dapatkan ketika ia nusyuz.

Karena permasalahan tersebut penulis tertarik untuk meneliti bagaimana pengaplikasian teori mubâdalah dalam penyelesaian nusyus, dengan judul penelitian “KESETARAAN GENDER DALAM PENYELESAIAN NUSYUZ PERSPEKTIF TEORI MUBÂDALAH”.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Penafsiran terhadap ayat nusyuz dilatari budaya patriarkhis penafsir, sehingga dapat menciptakan relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan.

2. Pemaknaan nusyuz lebih dikenal sebagai pembangkangan istri terhadap suami, sesuatu yang mengesankan searah, sehingga tidak akan menimbulkan relasi dalam keluarga.

3. Penafsiran dalam penyelesaian nusyuz secara tekstualitas dengan kehati-hatian (membedakan subjek dan objek dalam ayat nusyuz) menghasilkan bias gender dalam penyelesaiannya.

4. Teori-teori dan metode dalam penafsiran yang telah ada tidak menghasilkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam memaknai nusyuz dan penyelesainya.

5. Ketimpangan dalam penyelesaian nusyuz, mengakibatkan Islam sering dituduh sebagai agama yang mengajarkan ketidak adilan.

(24)

6. Doktrin agama menjadi legitimasi dalam konsep dan penyelesaian nusyuz.

7. Penyelesaian nusyuz harus dikembalikan kepada pilar pernikahan, agar relasi dalam pernikahan dapat diwujudkan.

8. mubȃdalah perlu dijadikan kesadaran dalam penyelesaian nusyuz, sehingga tercipta relasi suami-istri yang seimbang.

Dengan demikian, secara garis besar dalam identifikasi masalah penelitian ini ialah pengaruh budaya patriarkhis terhadap Mufasir dalam menafsirkan ayat, khususnya ayat nusyuz, sehingga berdampak pada konsep dan penyelesaiannya, yang menimbulkan bias gender, serta memperkuat budaya patrilinear dalam masyarakat dalam problem nusyuz. C. Pembatasan Masalah

Penelitian ini membahas tentang kesetaraan gender dalam penyelesaian nusyuz perspektif teori mubâdalah, yang dikenalkan oleh Faqihuddin Abdul Qodir dalam buku Qirâ‟ah Mubâdalah. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis filosofis dan yuridis mengenai nusyuz dan penyelesaiannya. Analisis filosofis penulis batasi dengan analisis mengapa terjadi ketimpangan dalam penyelesaian nusyuz antara nusyuz istri dan nusyuz suami, dan analisis yuridis penulis batasi dengan menggunakan analisis hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Sedangkan hasil analisis tersebut diaplikasikan dengan teori mubâdalah untuk menjawab pertanyaan penelitian ini.

D. Rumusan Masalah

Setelah mengidentifikasi dan membatasi masalah tersebut, maka penulis dapat merumuskan masalah penelitian ini:

Bagaimana mengaplikasikan teori mubâdalah terhadap ketimpangan penyelesaian nusyuz istri dengan nusyuz suami?

(25)

10

1. Bagaimana konsep nusyuz dan penyelesaiannya menurut teori Mubȃdalah?

2. Bagaimana ekspresi kesetaraan gender dalam penyelesaian nusyuz menurut teori mubȃdalah?

3. Apa yang membedakan teori mubȃdalah dengan pendapat para ulama klasik dan kontemporer dalam penyelesaian nusyuz?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah pada sub bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa tujuan yang akan penulis capai dalam penelitian ini yaitu:

a. Untuk menjelaskan konsep nusyuz dan penyelesaiannya menurut teori mubȃdalah.

b. Untuk menguraikan ekspresi kesetaraan gender dalam penyelesaian nusyuz menurut teori mubȃdalah.

c. Untuk menganalisis perbedaan antara teori mubȃdalah dengan pendapat para ulama klasik dan kontemporer dalam penyelesaian nusyuz.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini yaitu untuk:

a. Memberikan penjelasan terhadap penyelesaian nusyuz menurut teori mubȃdalah.

b. Memberikan informasi mengenai ekpresi kesetaraan gender dalam penyelesaian nusyuz menurut teori mubȃdalah.

c. Memberikan informasi tentang hasil analisis perbedaan teori mubȃdalah dengan pendapat ulama klasik dan kontemporer dalam penyelesaian nusyuz.

(26)

F. Kajian Studi Terdahulu

Kajian tentang kesetaraan gender dalam penyelesaian nusyuz ini bukanlah hal baru, sebelum penelitian ini sudah banyak buku, jurnal, tesis, skripsi atau pun artikel mengenai tema ini.

Jurnal yang berjudul “Reconstruction of the Concepts of Nusyûz in the Feminist Perspectives” yang ditulis oleh Alamsyah dan diterbitkan oleh Jurnal Al-„Adalah pada tahun 2018. Penelitian tersebut membahas tentang perbandingan pendapat ulama klasik dengan pemikir modern tentang nusyuz.

Studi ini menyimpulkan bahwa yang lebih sejalan dengan prinsip kesetaraan dan keadilan yang diajarkan dalam al-Quran adalah pemikiran modern. Maka disimpulkan nusyuz bukan hanya terjadi pada istri akan tetapi terjadi juga pada suami.21 Perbedaan dengan penelitian ini adalah terletak pada objek pembahasan di mana kesetaraan pada penelitian tersebut adalah pada konsep nusyuz sedangkan pada penelitian ini kesetaraan yang dibahas pada penyelesaian kasus nusyuz.

Jurnal yang ditulis oleh Mughniatul Ilma berjudul “Kontekstualisasi Konsep Nusyuz di Indonesia” yang diterbitkan pada jurnal Tribakti tahun 2019, di mana penelitian ini membahas tentang perintah pemukulan terhadap istri yang nusyuz yang dianggap sebagai legitimasi untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga.22 Perbedaan dengan penelitian ini adalah terletak pada fokus kajian tersebut yang mengkhususkan kepada pemukulan istri yang nusyuz sedangkan penelitian ini fokus terhadap seluruh penyelesaian kasus nusyuz baik suami maupun istri.

Skripsi yang ditulis oleh Annalia berjudul “Pemahaman Ulama Kontemporer Indonesia Tentang Nusyuz dan Penyelesaiannya Dalam Surah Al-Nisâ (04): 34”. Skripsi tersebut diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin, UIN

21

Alamsyah, “Reconstruction of the Concepts of Nusyûz in the Feminist Perspectives”,

Jurnal Al-„Adalah, Vol. 15, 2, (2018), h. 293-306.

22 Mughniatul Ilma, “Kontekstualisasi Konsep Nusyuz di Indonesia”, Jurnal Tribakti,

(27)

12

Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi tersebut membahas tentang pendapat Ulama kontemporer Indonesia mengenai nusyuz dan cara penyelesaiannya khususnya nusyuz istri pada Q.S. al-Nisâ (04): 34.23Perbedaan dengan penelitian ini adalah objek penelitian, yang hanya membahas pendapat Ulama kontemporer Indonesia terhadap penyelesaian nusyuz istri, sedangkan dalam penelitian ini, membahas pendapat Ulama klasik dan kontemporer terhadap penyelesaian nusyuz istri dan nusyuz suami.

Skripsi yang berjudul “Nusyuz dan Penyelesaiannya dalam al-Quran (Kajian Tafsir Muqaran Antara Q.S. al-Nisâ (04): 34 dan 128)” yang ditulis oleh Andi Raita Umairah Syarif dan diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik, UIN Alauddin Makassar di mana penelitian ini membahas tentang perbandingan nusyuz dan cara penyelesaiannya perspektif Q.S. al-Nisâ (04): 34 dan 128.24Perbedaan dengan penilitian ini ialah fokus kajiannya, yaitu tafsir Muqaran, sedangkan dalam penelitian ini ialah teori Mubȃdalah.

G. Metode Penelitian

Penelitian menurut Kerlinger adalah suatu kegiatan penyelidikan yang bersifat sistematis, terkendali, bersifat empiris dan kritis mengenai sifat tentang hubungan yang diduga terdapat di antara fenomena yang diselidiki.25Dalam penelitian hukum, Peter Mahmud menjelaskan penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hkum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.26

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai

23 Annalia, “Pemahaman Ulama Kontemporer Indonesia Tentang Nusyuz dan

Penyelesaiannya Dalam Surah Al-Nisâ (04): 34”, (Skripsi S-1, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif HIdyatullah Jakarta, 2017)

24 Andi Raita Umairah Syarif, “Nusyuz dan Penyelesaiannya dalam al-Quran (Kajian

Tafsir Muqaran Antara Q.S. al-Nisâ (04): 34 dan 128)”, (Skripsi S-1, Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik, UIN Alauddin Makassar, 2016).

25

Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan, (Jakarta: Prenamedia, 2016), cet.3, h. 25.

26

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 35

(28)

berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal. Menurut Terry Hutchinson sebagaimana dikutip Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa penelitian hukum doktrinal adalah penelitian yang memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu katagori hukum tetentu, menganalisa hubungan antara peraturan, menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin memprediksi pembangunan dimasa depan.27.

2. Sifat Penelitian

Penelitian yang dikaji penulis dalam penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat preskriptif, yang dimaksuduntuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang dilakukan, yaitu argumentasi apakah bisa digunakan teori mubȃdalah dalam menyelesaikan ketimpangan dalam penyelesaian nusyuz.

3. Pendekatan Penelitian

Adapun pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini ialah pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative appoarch), dan pendekatan konseptual (conceptual appoarch). Pendekatan historis dilakukan untuk menggali dan mengkaji kembali konsep-konsep serta penyelesaian nusyuz yang timpang, setelah itu dilakukan pendekatan perbandingan, dengan cara membandingkan antara konsep dan penyelesaian nusyuz menurut ulama klasik, kontemporer, pandangan feminis, dan teori mubȃdalah sendiri, sehingga diakhir perbandingan dilakukan pendekatan konseptual, untuk menyimpulkan atau mengkonsepkan hasil penelitian mengenai pengaplikasian teori mubȃdalah dalam ketimpangan penyelesaian nusyuz.

4. Sumber Data

27

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 32.

(29)

14

Dalam penelitian ini, penulis membagi sumber data kepada dua kriteria, yaitu sumber data utama (primer) dan sumber data tambahan (sekunder) ialah:

a. Sumber Data Primer

Data primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif).28 Adapun data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku Qirâ‟ah Mubâdalah yang ditulis oleh Faqihuddin Abdul Qodir dan wawancara dengan Faqihuddin Abdul Qodir. b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder adalah buku teks.29 Sumber data sekunder yang penulis gunakan ialah menukil dari literasi tafsir, fikih, masail fiqhiyah, qawaid fiqhiyah serta tulisan-tulisan berupa jurnal, artikel yang membahas tentang nusyuz dan peyelesaianya juga tentang kesetaraan gender maupun teori mubâdalah.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah proses diperolehnya data dari sumber data, adapun sumber data adalah subyek dari penelitian yang dimaksud. Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan menggunakan teknik studi kepustakaan dan studi lapangan.

Studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, atau penemuan yang berhubungan dengan nusyuz dan penyelesaiannya juga mengenai kesetaraan gender dan teori mubâdalah.

Sedangkan, studi lapangan dilakukan dengan wawancara, yaitu sebagai narasumber penulis buku Qirâ‟ah Mubâdalah untuk memperkuat hasil penelitian.

6. Metode Analisis Data

28 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2016), cet.12, h.182. 29 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet.12, h.182.

(30)

Penelitian ini menggunakan metode Content Analisysis yaitu metode yang dipakai untuk menganalisa semua data yang berupa teks, dan juga dipakai untuk mendeskripsikan pendekatan analisis yang khusus sehingga untuk mengambil kesimpulan dengan mengidentifikasi berbagai karakteristik khusus suatu pesan secara objektif, sistematis, dan generalis. Analisa dilakukan dengan terlebih dahulu mengenai ketimpangan penyelesaian nusyuz secara umum lalu dikhususkan pembahasannya kepada teori mubâdalah.

7. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta Tahun 2017.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, penelitian ini dibagi atas lima bab yang saling berkaitan satu sama lain.

Bab pertama dalam penelitian ini berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang yang menjadi dasar mengapa penulisan ini diperlukan, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Kemudian bab kedua, membahas secara umum tentang nusyuz dan penyelesaiannya baik pendapat ulama klasik maupun kontemporer.

Selanjutnya bab ketiga, dalam bab ini penulis menguraikan pembahasan tentang kesetaraan gender dan teori mubâdalah.

Selanjutnya adalah bab empat, pada bab ini penulis akan menguraikan hasil analisis mengenai kesetaraan gender dalam penyelesaian nusyuz perspektif teori mubâdalah.

Adapun bab lima menjelaskan hasil dari penelitian yang dilakukan dan saran-saran yang diberikan untuk penulis selanjutnya yang akan mengkaji tentang penelitian ini.

(31)

16

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG NUSYUZ

A. Pengertian Nusyuz

Nusyuz berasal dari bahasa Arab (سشىلا( artinya tempat tinggi, jamaknya (زُشو) artinya kedurhakaan, penentangan.30 Secara etimologis nusyuz berarti dataran yang tinggi di atas bumi, para ahli tafsir mendefinisikan nusyuz sebagai usaha menampakkan kekerasan dalam ucapan, perbuatan, atau keduanya, yang dilakukan oleh pasangan suami isteri karena kebencian terhadap pasangan hidupnya.31 Ali As-Shabuni dalam tafsirnya mengatakan bahwa nusyuz berarti tempat yang tinggi seperti perkataan, sebuah bukit yang “nasyiz” dalam arti lain yang tinggi.32

Selain itu maksud dari kata “meninggi” dan “menyimpang” dalam makna nusyuz adalah bahwa wanita itu tidak patuh terhadap suaminya dan lari darinya, hal ini terjadi karena istri tidak mau menerima kepemimpinan suaminya dan tidak menaatinya, keengganannya itu disebut nusyuz atau penyelewengan, seakan-akan ia “lebih tinggi” dari suami karena penyelewengan yang dilakukan.33 Dari pengartian nusyuz secara bahasa di atas, dapat diartikan bahwa nusyuz ialah suatu sikap di mana istri merasa dirinya lebih tinggi dari suami, sehingga ia tidak menunaikan kewajibannya, dan keduanya saling membenci.

Secara Terminologi, nusyuz dapat diartikan sebagai pembangkangan dalam kewajiban terhadap pasangan.34 Hal ini memberi pengertian bahwa istri

30

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet. Ke-14, h. 1419.

31

Suheri Sidik Ismail, Ketentraman Suami Istri, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 107.

32

Ali As-Shabuni, Rawai‟ul Bayan; Tafsȋr Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur‟an, Juz I (Depok: Keira), h.366.

33 Abdul Hamid Khisyik, Bina‟ Al-Usrah Al-Muslimah: Mausu‟ah Al-Zuwaj Al-Islami.

Penerjemah Ida Nursida, (Bandung: Al-Bayyan, 1997), cet. Ke-4, h. 222.

34

Muhammad Zain dan Muchtar Alshodiq, Membangun Keluarga Harmonis, (Jakarta: Grahacipta, 2005), cet ke-1, h.53.

(32)

dan suami dapat berbuat nusyuz jika mereka tidak menunaikan kewajiban masing-masing sebagaimana mestinya.

Pengertian nusyuz sebagaimana dikemukakan oleh para ulama antara lain sebagai berikut:

a. Wahbah Al-Zuhaylȋ, dalam kitabnya al-fiqhul Islam wa Adilatuh menerangkan bahwa nusyuz adalah istri mengingkari (ma‟siat) terhadap kewajibannya pada suami, juga perkara yang membuat salah satu dari pasangan suami istri benci dan pergi dari rumah tanpa izin suami bukan untuk mencari keadilan kepada hakim.35 b. Sayyid Sabiq, dalam kitabnya Fiqh Sunnah mendefinisikan nusyuz

sebagai kedurhakaan istri terhadap suaminya, tidak taat atau menolak ajakan ketempat tidurnya atau keluar dari rumahnya tanpa seizin suaminya.36

c. Menurut Ibnu Mansyur, secara terminoligis nusyuz ialah rasa kebencian suami terhadap istri atau sebaliknya.37

d. Menurut Hamka dalam tafsir al-Azhar memberikan arti nusyuz dengan tidak takut dan tidak taat baik kepada Allah maupun suami.38

e. M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menafsirkan nusyuz dengan arti keangkuhan dan pembangkangan.39

Menurut hemat penulis, dari definisi-definisi di atas pada dasarnya mengartikan nusyuz sebagai suatu penyakit yang menyerang dalam bahtera rumah tangga yang berupa pembangkangan, ketidaktaatan, sikap durhaka, melanggar hak-hak pasangannya dan tidak melaksanakan kewajiban terhadap

35

Wahbah Al-Zuhaylȋ, al-Fiqhu Islam Wa Adilatu, Juz 7, (Beirut: Dar al-Fikr, t,t), h. 338.

36

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid II, (Madinah: al-Fatkh Li I‟laamil Araby, 1990), h. 314.

37

M. Rasyid Ridha, Nida‟ lȋ al jinsi al Latȋf, Terjemah A. Rivai Usman, “Perempuan

Sebagai Kekasih”, (Jakarta: Hikmah, 2004), h. 80.

38

Hamka, Tafsȋr al-Azhar, Juz V (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 60.

39

M. Quraish Shihab, Tafsȋr al-Misbah, pesan, kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 430.

(33)

18

pasangannya, baik itu dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya atau sebaliknya seorang suami kepada istrinya dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh syara‟.

B. Dasar Hukum Nusyuz

Dalam berkeluarga, Islam mengakui adanya kemungkinan terjadinya perselisihan suami istri dan pertentangan dalam lingkungan keluarga, maka Islam memberikan penyelesaian dan memberitahukan beberapa penyebab perselisihan tersebut. Islam tidak membiarkan dan mengabaikan atas permasalahan yang timbul dalam keluarga, karena pengabaian tidak dapat mengatasi berbagai kesulitan hidup sedikitpun. Dari sini Islam memandang kemungkinan yang terjadi antara suami istri dan memberikan jalan keluar yang terbaik dalam setiap keadaan.40

Timbulnya konflik dalam rumah tangga tersebut pada akhirnya kerap kali mengarah pada apa yang disebut dengan istilah nusyuz. Hal ini dapat ditemukan dalam al-Qur‟an:

ىَلَع َنْوُماَّوَ ق ُلاَجِّرلا

ٱ َلَّضَف اَِبِ ِءآَسِّنلا

ّلل ُه

ْمَأ ْنِم اْوُقَفْ نَأ آَِبَِو ٍضْعَ ب ىَلَع ْمُهَضْعَ ب

مِِلِاَو

ۚ

تِن ق ُتَحِل ّصلٱَف

ُت

ُت ظِف ح

َّنُهْوُرُجْهٱَو َّنُهْوُظِعَف َّنُهَزْوُشُن َنْوُ فاََتَ ِتيَّلٱَو

ۚ

ُه

ّلل

ٱ َظِفَح اَِبِ ِبْيَغْل

ِّل

َّنُهوُبِرْضٱَو ِع ِجاَضَلمٱ ِفي

ۚ

ْيَلَع ْاوُغْ بَ ت َلاَف ْمُكَنْعَطَأ ْنِإَف

ًلاْيِبَس َّنِه

ۚ

ٱ َّنِإ

ّلل َه

اًّيِلَع َنَاك

اًرْ يِبَك

.

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah

40

Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, Penerjemah Nur Khozin (Jakarta: Amzah, 2010), h.299-230.

(34)

kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha

Tinggi lagi Maha Penyayang.41

Ayat ini dimulai dengan pernyataan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Muhammad Ali al-Shabuni menjelaskan bahwa Allah memberikan hak kepemimpinan (qowwamah) laki-laki atas wanita karena dua alasan, yaitu pemberian (wahabi) dan usaha (kasabi). Ungkapan dengan shighat mubalaghah menunjukan kesempurnaan kepemimpinan dan kekuasaan laki-laki atas perempuan. Mereka punya hak memerintah, melarang, mengatur, dan mendidik, tetapi juga memiliki tanggung jawab yang sempurna untuk memelihara, menjaga, dan mengayomi. Tanggung jawab ini muncul karena Allah telah memberikan kelebihan kepada laki-laki berupa akal, ketegasan, tekad, dan kekuatan fisik.42

Ayat di atas juga sering kali dikutip dan digunakan sebagai landasan tentang nusyuz istri terhadap suami, meskipun secara tersurat tidak dijelaskan bagaimana awal mula terjadinya nusyuz istri tersebut, melainkan hanya sebatas solusi atau proses penyelesaiannya saja yang ditawarkan. Atau dapat juga ditarik beberapa pemahaman mengenai kandungan hukum yang terdapat dalam ayat tersebut yaitu:

a. Kapemimpinan rumah tangga b. Hak dan kewajiban suami-isteri

c. Solusi tentang nusyuz yang dilakukan oleh istri

Untuk memimpin rumah tangga pimpinannya diserahkan kepada laki-laki atau suami. Namun pemimpin di sini bukan maksudnya suami itu yang berkuasa tetapi ibaratnya suatu negara maka pemimpin di sini lebih condong pada memikul tanggung jawab seperti pemimpin masyarakat. Dan nuzyus di

41

Q.S. an-Nisȃ (4): 34.

42

Haswir, Penyelesaian Kasus Nusyuz Menurut Perspektif Ulama Tafsir, Vol. 11 No. 2, (Al-fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, 2012), h. 251-252.

(35)

20

sini berarti membangkang atau suatu tempat yang tinggi, atau juga berarti berdiri.43

Perihal hak dan kewajiban suami-istri yang terdapat dalam ayat di atas di mana sikap suami sebagai imam dalam keluarga, hendaklah memiliki keutaman dalam bertakwa kepada Allah. Ia menjadi imam bagi istri dan anak-anaknya. Sehingga Ia harus bertanggung jawab memberi nafkah, memperhatikan pendidikan agama bagi anggota keluarganya, pembimbing dan motivator bagi keluarganya, bersikap baik dan sabar dan selalu mendo‟akan yang terbaik untuk keluarganya.

Kemudian perihal solusi nusyuz yang dilakukan oleh istri dalam ayat di atas menjelaskan bahwa untuk memberi pelajaran kepada istri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya, karena suami merupakan pelindung bagi istrinya, dan seorang kepala rumah tangga hendaknya selalu mengharap yang terbaik bagi keluarganya, diberikan kelancaran rezeki, dan dijauhkan dari musibah dan siksa.44

Terdapat Ayat lain juga yang biasa dikutip ketika membicarakan persoalan nusyuz yaitu:

ُةَأَرْمٱ ِنِإَو

نِم ْتَفاَخ

ۚ

اًحْلُص اَمُهَ نْ يَ ب اَحِلْصُي ْنَأ آَمِهْيَلَع َحاَنُج َلاَف اًضاَرعِإْوَأ اًزوُشُن اَهِلْعَ ب

ۚ

يرَخ ُحْلُّصلٱَو

ۚ

َّحُّشلٱ ُسُفْ نَلأٱ ِتَرِضْحُأَو

ۚ

َناَك َه ّللٱ َّنِإَف ْاوُقَّ تَ تَو ْاوُنِسُْتُ ْنِإَو

َنوُلَمْعَ ت اَِبِ

اًرْ يِبَخ

.

43 Alimudin Alwi, Tafsȋr Ayat-Ayat Ahkam, (Bidang Perkawinan dan Pidana Islam),

(Bandar Lampung: Gunung Pesagi, 1993), h.43.

44

Rizem Aidid, Menjadi Suami yang Melengkapi Kekurangan Istri, (Jogjakarta: Via Press, 2014), H. 33.

(36)

Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara darimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.45

Dimulainya ayat ini dengan tuntunan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz, mengajarkan setiap muslim dan muslimah agar menghadapi dan berusaha menyelesaikan problem begitu tanda-tandanya terlihat atau terasa, dan sebelum menjadi besar dan sulit diselesaikan.

Istilah )حاىجلا( mengisyaratkan bahwa ini adalah anjuran, bukan suatu kewajiban. Dengan demikian kesan adanya kewajiban, mengorbankan hak yang mengantar kepada terjadinya pelanggaran agama dapat dihindarkan. Perdamaian harus dilaksanakan dengan tulus tanpa paksaan. Jika ada pemaksaan, perdamaian hanyalah nama, sementara hati akan terus memanas hingga hubungan yang dijalin sesudahnya tidak akan langgeng. Ayat di atas menekankan sifat perdamaian itu, yakni perdamaian yang sebenarnya, yang tulus sehingga terjalin lagi hubungan yang harmonis yang dibutuhkan untuk kelanggengan hidup rumah tangga.46

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)47 aturan mengenai persoalan nusyuz dipersempit hanya pada nusyuznya istri saja serta akibat hukum yang ditimbulkannya. Mengawali pembahasannya dalam persoalan nusyuz KHI berangkat dari ketentuan awal tentang kewajiban bagi istri, yaitu bahwa dalam kehidupan rumah tangga kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum

45 Q.S.an-Nisȃ (4): 128. 46

M. Quraish Shihab, Tafsȋr Al- Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol II, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 605.

47

(37)

22

Islam. Dan istri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana maksud tersebut. Walaupun dalam masalah menentukan ada atau tidak adanya nusyuz istri tersebut menurut KHI harus di dasarkan atas bukti yang sah.

C. Macam-Macam Nusyuz

Dilihat dari pelaku nusyuz, maka macam-macam nusyuz dibagi menjadi: 1. Nusyuz yang dilakukan oleh Istri

Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan oleh istri terhadap suaminya, hal ini bisa terjadi dalam rumah tangga dengan bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang menggangu keharmonisan rumah tangga.48Ada banyak perbuatan istri yang dianggap sebagai nusyuz, perbuatan-perbuatan yang dimaksud akan mengakibatkan dua hal, yakni gugur atau tidaknya hak istri untuk mendapat nafkah iddah. Di lihat dari akibat tersebut, nusyuz yang dilakukan istri ada dua macam, pertama: Nusyuz yang mengakibatkan gugurnya nafkah dan giliran (jika suaminya poligami). Kedua: Nusyuz yang tidak menggugurkan hak istri untuk mendapatkan hak iddah.

Adapun beberapa perbuatan yang dilakukan istri, yang termasuk nusyuz, antara lain sebagai berikut:

a. Istri tidak mau pindah mengikuti suami untuk menempati rumah yang telah disediakan sesuai dengan kemampuan suami.49

b. Apabila keduanya tinggal dirumah istri atas seizin istri, kemudian pada suatu ketika istri melarangnya untuk masuk kerumah itu dan bukan karena hendak pindah rumah yang disediakan oleh suami.50 c. Istri pergi meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya atau berpergian

tanpa adanya muhrim yang mendampinginya.

48

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.209.

49

Tihami dan Sohari Sahri, Fikih Munakahat: Kajian Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Rajagrafindo), h. 185.

50

(38)

d. Istri enggan diajak bersetubuh oleh suaminya padahal ia dalam keadaan suci.51

e. Pengkhianatan istri terhadap suami terkait dengan kesucian dirinya. f. Memasukan orang yang tiak disukai oleh suaminya kedalam

rumahnya, baik saat suami sedang dirumah atau saat suami tidak ada dirumah.

g. Menghambur-hamburkan harta kekayaan milik suami dan menghabiskannya pada hal yang tidak baik.

h. Menyebarkan rahasia suami dan membeberkan sesuatu yang disembunyikan.52

i. Menuduh suami dengan perkataan yang dibuat-buat dengan tujuan untuk mencela dan menyakiti suami agar diceraikan oleh suaminya.53

Adapun mengenai perbuatan yang dilakukan seorang istri yang termasuk perbuatan nusyuz terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama, menurut mazhab Hanafi istri yang tergolong nusyuz adalah jika ia keluar rumah tanpa alasan yang benar dan tanpa izin suaminya, mengabaikan kesucian, tidak merias diri, enggan memuaskan suaminya secara seksual padahal tidak ada alasan yang dapat diterima, menyakiti anak-anak suaminya, mendo‟akan jelek suaminya, merobek-robek pakaian suaminya, mengeraskan suaranya ketika berselisih pendapat dengan suaminya agar didengar orang lain dan mencela suaminya.54

Mazhab Maliki berpendapat bahwa nusyuz itu hanya sebatas pada keengganan istri melakukan hubungan suami istri, keluar rumah tanpa izin dari suami ke tempat yang tidak harus didatangi dan tindakan meninggalkan salah satu perintah Allah. Mazhab Syafi‟i berpendapat

51

Abdul Muhaimin As‟ad, Risalah Nikah, h.67.

52

Butsainah As-Sayyid Al-Iraqi, Menyingkap Tabir Perceraian. Penerjemah Abu Hilmi Kamaluddin (Jakarta: Pustaka Al-Sofwa, 2005), h.196.

53 Salih Ibn Gharim, Kesalahan-Kesalahan Istri, Penerjemah Abdul Farid Mansur,

(Jakarta: Pustaka Progresif, 2004) h, 21.

54

Kamil Musa, Suami Istri Teladan, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997), h. 92-93.

(39)

24

bahwa yang termasuk istri nusyuz adalah keluarnya seorang istri dari garis ketaatan terhadap suami tanpa alasan yang benar, nusyuz juga dapat berupa menampakkan wajah cemberut setelah sebelumnya menampakkan wajah berseri-seri atau perlakuan yang kasar terhadap suaminya. Menurut mazhab Hambali yaitu nusyuz istri dibatasi dengan kecurangan yang dilakukan seorang istri dan penolakannya memberikan salah satu hak suami misalkan keluar rumah tanpa izin suaminya atau penolakan untuk memuaskan hasrat seksual suami.55

2. Nusyuz yang dilakukan oleh Suami

Nusyuz suami ialah ketika seorang suami berdalih dan merasa paling tinggi dan sombong terhadap istrinya yang telah ditandai dengan berpalingnya suami dari istrinya sendiri karena sebab tertentu. Nusyuz yang dilakukan oleh mempunyai beberapa bentuk yang tercakup pada pelarangannya terhadap istrinya untuk memperoleh hak-haknya baik yang terkait dengan materi maupun dengan hubungan seks seperti zhihar dan „ila.56

Selain itu bentuk dari nusyuz seorang suami adalah tidak memberikan nafkah kepada istrinya, tidak membelikan pakaian yang layak, tidak menyediakan rumah bagi isrinya seperti yang telah dianjurkan oleh syara‟, memukul istrinya tanpa alasan yang dibolehkan oleh syara‟ dan menghinakannya.57Bentuk lainnya suami nusyuz yaitu apabila suami menjauhi istrinya, bersikap kasar, meninggalkan untuk menemaninya, meninggalkan dari tempat tidurnya, atau berbagai beban berat lainnya bagi seorang istri.58

Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para mazhab fiqih mengenai bentuk nusyuz suami terhadap istri di antaranya, menurut mazhab Syafi‟I yaitu katagori nusyuz suami adalah keengganan memberikan salah satu hak istrinya. Misalnya, memberikan nafkah atau

55

Suheri Sidik Ismail, Ketentraman Suami Istri, h. 107-108.

56 Pengertian zhihar adalah suami menyerupai istrinya dengan ibunya, sehingga istri

haram baginya, „Ila adalah sumpah suami untuk tidak mencampuri/menggauli istrinya.

57

Al-Iraqi, Menyingkap Tabir Perceraian, h. 197.

58

(40)

bagian yang seharusnya menjadi milik istrinya, juga bisa perlakuan buruk terhadap istrinya. Mazhab Hambali berpendapat bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan perlakuan baik kepada istri, begitu pula apabila menampakkan wajah yang tidak menyenangkan ketika menunaikan kewajibannya, padahal seharusnya ia melakukannya dengan wajah yang berseri-seri dan tidak menyakiti hati istrinya. Mazhab Maliki berpendapat bahwa nusyuz suami itu tersimpul dalam permusuhannya terhadap istrinya, misalnya dengan memukul atau menyakitinya, baik tindakan menyakiti hati itu melampaui batas hak suami atau tidak memenuhi hak istrinya. Sedangkan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa keengganan seorang suami memberikan hak istri merupakan kezaliman, yang membawa kepada kehinaan atau balasan lainnya, sampai kezaliman itu ia singkirkan. Nusyuz suami pada hakikatnya tersimpul dalam pelanggaran terhadap haknya dan juga hak istrinya.59

D. Langkah-langkah Penyelesaian Nusyuz Oleh Suami dan Istri

Berdasarkan dua subjek nusyuz yang berbeda dalam al-Qur‟an yaitu dari pihak suami dan istri, maka langkah-langkah penyelesaiannyapun tidak sama antar satu dan yang lainnya.

1. Penyelesaian nusyuz yang dilakukan oleh Istri

Ada beberapa tahapan upaya mengatasi nusyuz yang harus dilakukan Suami terhadap Istri yang durhaka yaitu:

a. Suami memberi nasihat Sebagaimana Allah berfirman:

َّنُهْوُظِعَف َّنُهَزوُشُن َنوُفاََتَ ِتيَّلاَو

Dan perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah mereka. (Q.S .An-Nisȃ (4):34)

Suami berhak memberi nasihat kepada istrinya bila tanda-tanda kedurhakan istri sudah tampak, nasihat terbaik adalah dengan mengembalikan si istri kepada Allah. Istri yang baik akan terus

59

(41)

26

terdidik dengan nasihat yang baik dari suami. Sebab itulah, bagi suami hendaknya menjadi psikiater, sekiranya ia menasihati istri dengan dengan hal yang sesuai baginya dan menyelaraskan wataknya serta sikapnya, di antara hal yang dapat dilakukan suami adalah seperti memperingatkan dengan hukuman Allah bagi perempuan yang bermalam sedangkan suami marah dengannya, mengancam dengan tidak memberi sebagian kesenangan materiil, mengingatkan istri pada sesuatu yang layak dan patut dan menyebutkan dampak-dampak nusyuz, di antaranya bisa berupa perceraian yang berdampak baginya keretakan eksistensi keluarga dan terlantarnya anak-anak.60

Ingatkan mereka bahwa tindakannya dapat menyakiti hati suami dan telah durhaka kepada suaminya, dengan demikian peran suami harus memberikan nasihat sebagai peringatan dan pengajaran kepada istrinya dengan menjelaskan tindakan yang telah dilakukan adalah salah menurut syara‟ dan dapat menimbulkan resiko ia dapat kehilangan haknya.

Apabila dengan nasihat seorang istri dapat kembali dalam keadaan semula sebagai istri yang baik, dan melaksanakan kewajibannya, permasalahan nusyuz sudah terselesaikan di tahap menasihati dan tidak boleh diteruskan. Namun, apabila seorang istri setelah diberikan nasihat sebagai pengajaran belum kembali dalam keadaan semula sebagai istri yang baik, dan tidak melaksanakan kewajibannya, maka langkah penyelesaian nusyuz diteruskan ketahap berpisah tempat tidur.

b. berpisah tempat tidur

Langkah penyelesaian ini dilandasi firman Allah sebagai berikut:

ِع ِجاَضَلمٱ ِفي َّنُهْوُرُجْهٱَو

60

Ali Yusuf As-Subkhi, Fikih Keluarga, Pedoman Berkeluarga dalam Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), cet-2, h. 303.

(42)

Dan tinggalkanlah mereka dari tempat tidur. (Q.S An-Nisȃ (4):34) Berpisah dari tempat tidur maksudnya meninggalkan dan menjauhi, seorang suami tidak tidur bersama istrinya, memalingkan punggungnya dan tidak bersetubuh dengannya. Pengajaran yang tersirat dalam hal ini ialah jika istri mencintai suaminya, maka hal itu akan terasa berat baginya, sehingga istri akan kembali baik. Jika istri masih bersikap tidak biasa seperti marah, maka dapat diketahui

nusyuz darinya, sehingga jelas bahwa nusyuz berawal darinya.61

Pembelajaran ditetapkannya hukuman pemisahan ranjang terhadap perempuan termasuk hal yang lebih umum atas hukum Al-Qur‟an, sehingga dirasa lebih bermanfaat dalam menengahi perselisihan dalam keluarga, karena hal tersebut mengingatkan kepada istri dengan kodratnya yang wajib taat terhadap suami.62

Para Mufasir berbeda-beda pendapat tentang pengertian wahjurȗhunna fil madhȃji;I, yaitu:63

1) Menurut Ibn Abbas, jangan disetubuhi, jangan tidur didekatnya atau mengarahkan punggung kepada istri di atas ranjang.

2) Menurut Ikrimah dan Abu Dhuha, jangan diajak bicara dan jangan ditegur meskipun masih dicampuri.

3) Menurut Ibrahim, al-Sya‟bi, Qatadah dan al-Hasan, tidak berkumpul dengannya dan suami tidur diranjang sendiri sehingga istri kembali kepada hal yang diinginkan suami. 4) Menurut Sufyan, tetap diajak bicara dan tetap menggaulinya

tetapi dengan kata-kata keras, kasar, dan meninggi.

61 Ibid, h. 305-306. 62

Ibid, h. 306-307.

63

Haswir, Penyelesaian Kasus Nusyuz Menurut Perspektif Ulama Tafsir, Vol. 11 No. 2, (Al-fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, 2012), h. 254.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Kasmir dan Jakfar (2008), pengertian kelayakan adalah penelitian yang dilakukan secara mendalam untuk menentukan apakah usaha yan akan dijalankan akan

Pokok masalah dalam penelitian ini ialah kreativitas pendidik dalam menerapkan metode pembelajaran bahasa Indonesia, kendala yang ditemukan pendidik serta solusi yang

Diagram tebar (  scatter diagram) merupakan diagram yang mengambarkan hubungan antara dua *aktor dengan memplot data dari kedua *aktor tersebut pada suatu gra*ik.. Diagram

Aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual adalah aset keuangan non-derivatif yang ditetapkan untuk dimiliki selama periode tertentu, dimana akan dijual dalam rangka pemenuhan

Untuk mengetahui dan membandingkan senyawa antibakteri yang terkandung pada ekstrak etanol Julang-Jaling sebelum dan sesudah reduksi, maka dilakukan kembali uji

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, faktor sosial ekonomi keluarga yaitu pendidikan memiliki hubungan yang bermakna dengan risiko KEK pada ibu hamil sedangkan pekerjaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggaran berbasis kinerja dan kejelasan sasaran anggaran berpengaruh terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah sedangkan