• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

1. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menilai kualitas tidur dengan mnggunakan instrumen tambahan selain instrumen kuisioner PSQI, yaitu mnggunakan alat wrist actigraphy.

2. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan follow up dan melihat apakah subjek dengan kualitas tidur buruk akan menderita hipertensi dikemudian hari.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tidur

2.2.1. Definisi tidur

Tidur merupakan salah satu kelakuan yang penting yang dilakukan oleh manusia, memenuhi sepertiga dari kehidupan manusia. Meski fungsi tidur sendiri tidak diketahui, tetapi tidur merupakan hal yang penting untuk menjaga kelangsungan hdup manusia (Sadock, 2007).

Selain itu, tidur juga dapat didefinisikan sebagai kelakuan berulang (behavioral state) yang saling bergantian dengan keadaan terjaga. Hal ini dikarakteristik oleh posisi berbaring, meningkatnya stimulasi sensoris, penurunan motor output dan kelakuan yang aneh-bermimpi (Squire, 2008). Namun, tidur sendiri merupakan suatu proses aktif, bukan sekedar tidak terjaga. Tingkat aktivitas otak keseluruhan tidak berkurang selama tidur. Selama stadium-stadium tidur tertentu, penyerapan oksigen oleh otak bahkan meningkat melebihi tingkat terjaga normal. Berbeda dengan keadaan terjaga, orang yang sedang tidur tidak secara sadar waspada akan dunia luar, tetapi tetap memiliki pengalaman kesadaran dalam batin, misalnya mimpi. Selain itu, mereka dapat dibangunkan oleh rangsangan eksternal, misalnya bunyi alarm (Sherwood, 2009).

2.1.2. Fisiologi Tidur

Tidur merupakan fenomena elemental dari sebuah kehidupan dan merupakan fase yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia. Dalam tidur, kita mengenal 5 stadium tidur. Dalam setiap stadium, aktivitas listrik diotak yang dapat diukur dengan EEG muncul dalam siklus yang berulang dan terorganisir, yang dinamakan architechture of sleep (Allan dan Martin, 2009).

Stadium pertama tidur merupakan stadium antara peralihan dari keadaan sadar menjadi tidak sadar, dimana kelopak mata mulai tertutup, pupil mengecil, dan otot-otot mengalami relaksasi. Pola EEG (Ensefalografi) juga berubah secara progresif menjadi voltase yang rendah, dimana terjadi pencampuran dan perubahan frekuensi, yaitu dengan perlahan-lahan menghilangnya frekuensi alpha (Allan dan Martin, 2009). Stadium ini juga disebut tetha rythm dengan frekuensi (4-7 Hz) dan berlangsung selama 7 menit (Tortora, 2009).

Stadium kedua tidur ditandai dengan adanya loncatan gelombang biparietal selama setengah sampai dua detik dengan frekuensi 12-14 Hz yang dinamakan sleep spindle. Selain sleep spindle, pada stadium ini juga kadang dapat dijumpai gelombang bifasik voltase tinggi yang disebut k complexes (Allan dan Martin, 2009).

Gambaran EEG pada stadium ke tiga ditandai dengan gelombang delta (0,5-4 Hz), yaitu gelombang dengan amplitudo tinggi. Stadium keempat didominasi oleh perlambatan maksimum dengan gelombang yang besar (Barret et al., 2012).

Stadium pertama sampai stadium keempat dikelompokkan menjadi tidur NREM (Non-Rapid Eye Movement) yang secara garis besar dinamakan dengan tidur gelombang lambat. Pada fase NREM ini, terjadi beberapa perubahan fisiologis tubuh, diantaranya adalah penurunan suhu tubuh, perlambatan detak jantung dan pernafasan, dan pada fase ini, konsumsi oksigen pada otak juga akan berukurang. Selain itu, aliran darah yang menuju otak juga akan berkurang, hal ini terjadi akibat penurunan metabolisme di seluruh bagian otak (Allan dan Martin, 2009).

Stadium kelima yang dikelompokkan dalam fase tidur REM (Rapid Eye Movement) merupakan stadium terakhir dari siklus tidur, yang ditandai dengan gelombang yang cepat (fast wave) dan gelombang tidak

munculnya potensial fasik yang besar yang berasal dari neuron kolinergik yang berasal dari pons dan di hantarkan secara cepat menuju nukleus lateral genikulata, dan akhirnya dihantarkan menuju ke korteks oksipital. Hal ini dinamakan dengan pontogeniculo-occipital (PGO) spikes. Proses bermimpi juga diperkirakan muncul saat tidur REM (Barret et al., 2012).

Pada tidur REM, sistem parasimpatis akan diaktifkan secara periodikal dan sistem simpatis akan terinhibisi atau tersupresi secara periodikal pula, sehingga pada tidur fase ini, bernafas menjadi lebih ireguler, tekanan darah dan detak jantung menjadi berfluktuasi (Allan dan Martin, 2009). Ereksi penis juga akan terjadi pada fase ini (Tortora, 2009). Berlawanan saat tidur NREM, pada tidur REM terjadi peningkatan konsumsi oksigen pada otot-otot. Metabolisme otak dan aliran darah menuju otak sama dengan saat kita sedang terjaga (cenderung naik jika dibandingkan saat tidur NREM), sehingga tekanan intrakranial yang meninggi selama tidur REM ini juga di asumsikan sebagai akibat dari peningkatan aliran darah ke otak.

Pada saat tidur, juga terjadi beberapa perubahan fisiologis pada sistem hormonal dan beberapa organ, contohnya pada organ ginjal, perubahan yang terjadi pada ginjal meliputi menurunnya eksresi urin, shingga pembuangan jumlah absolut natrium dan kalium juga berkurang, sehingga urine spesific gravity dan osmolalitas meningkat. Diperkirakan hal ini terjadi karena meningkatnya sekresi hormon antidiuretik dan peningkatan penyerapan air. Sedangkan perubahan hormonal yang terjadi adalah penurunan sekresi hormon cortisol dan sejumlah sejumlah TSH (Thyroid Stimulating Hormone) saat permulaan tidur, peningkatan sekresi prolaktin saat malam hari pada wanita maupun pria, hal ini dibuktikan dengan ditemukan kadar prolaktin tertinggi sesaat setelah seseorang teridur. Selain itu, selama dua jam pertama tidur, ada gelombang sekresi terhadap GH (growth hormone), terutama saat tidur stadium 3 dan 4. Hal ini menjadi ciri-ciri pada dewasa muda. Sekresi GH ini akan menghilang pada saat mencapai dewasa akhir. Peningkatan tidur dihubungkan dengan

peningkatan LH (luteinizing hormone) pada remaja yang sedang mengalami pubertas (Allan dan Martin, 2009).

Selain stadium dan perubahan fisiologis, ternyata siklus tidur- bangun serta berbagai tahapan tidur disebabkan oleh hubungan timbal balik antara tiga sistem saraf : (1) sistem keterjagaan, yaitu bagian dari Reticular Activating System (RAS) yang berasal dari batang otak ; (2) pusat tidur gelombang lambat (NREM) di hipotalamus yang mengandung neuron tidur yang menginduksi tidur. ; dan (3) pusat tidur paradoksal atau tidur REM di batang otak yang mengangdung neuron tidur REM, yang menjadi sangat aktif sewaktu tidur REM (Sherwood, 2009). Salah satu teori mengenai perubahan siklus bangun tidur adalah adanya perubahan aktivitas dari neuron-neuron di RAS. Ketika aktivitas dari neuron norepriniprin dan serotonin tinggi atau dominan, maka akan terjadi pengurangan aktivitas neuron asetilkolin yang ada di pons, dan aktivitas ini berkontribusi pada saat terjaga (sadar/ bangun). Sebaliknya, peningkatan neuron asetilkolin, akan menyebabkan penurunan aktivitas neuron norepiniprin dan serotonin, keadaan ini akan memicu terjadinya fase tidur REM. Ketika terjadi keseimbangan antara aktivitas neuron aminergic dengan neuron asetilkonin, tidur NREM akan muncul. (Barret et al.,2012). Sebagai tambahan, meningkatnya pelepasan GABA dan penurunan dari pelepasan histamin akan meningkatkan kecenderungan tidur NREM, sedangkan keadaan terjaga atau bangun adalah ketika pelepasan GABA berkurang dan pelepasan histamin meningkat (Barret et al., 2012).

Tidur normal orang dewasa muda dan dewasa paruh baya pertama sekali akan memasuki fase tidur NREM (stadium 1 dan berlanjut hingga stadium 4) dan dilanjutkan oleh tidur REM. Setelah fase tidur REM berakhir, maka tidur akan kembali ke siklus awal lagi, yaitu siklus NREM

dimana dinominasi oleh stadium tiga dan empat, dan dilanjutkan dengan tidur REM yang diperkirakan 15-20 menit. Menjelang pagi, durasi tidur REM menjadi lebih panjang (bisa mencapai 1 jam) dan tidur NREM (terutuama stadium tiga dan empat) menjadi sedikit. Pada neonatus, 50% fase tidur mereka adalah tidur REM, dengan siklus tidur yang berlangsung selama 60 menit. Semakin bertambahnya usia, siklus tidur REM memanjang menjadi 90-100 menit. Sekitar 20-25% dari total tidur dewasa muda merupakan tidur REM, 3-5% pada stadium 1, 50-60% pada stadium dua, 10-20% pada stadium 3 dan 4. Jumlah tidur di stadium 3 dan 4 menurun seiring bertambahnya usia (Tortora, 2009).

2.1.3. Fungsi tidur

Fungsi tidur sampai saat ini masih menjadi suatu pertimbangan oleh para ilmuan. Parker telah mengajukan beberapa teori tentang fungsi tidur, yaitu pemulihan tubuh, dengan fasilitasi fungsi motorik, konsolidasi untuk belajar dan memori. Bahkan Parker cenderung untuk menyetujui kesimpulan yang dinyatakan oleh Popper dan Eccles yang menyatakan bahwa tidur merupakan ketidaksadaran natural yang berulang yang dimana kita sendiri tidak tahu apa fungsi dan maksudnya (Allan dan Martin, 2009). Fungsi tidur telah diperiksa melalui berbagai cara. Sebagian besar peneliti menyimpulkan bahwa tidur memberikan fungsi homeostatis yang bersifat menyegarkan dan tampak penting untuk termoregulasi normal dan penyimpanan energi. Tidur NREM akan meningkat setelah olahraga dan kelaparan, yang mungkin terkait dengan kebutuhan metabolik yang memuaskan (Sadock, 2007). Selain yang disebutkan di atas, saat kita tidur, juga terjadi proses pemulihan biokimia atau fisiologis secara progresif yang biasanya mengalami penurunan ketika terjaga (sherwood, 2009).

2.1.4. Kebutuhan tidur

Sampai sekarang, para peneliti belum bisa memastikan dengan pasti berapa jam kah kebutuhan tidur yang dibutuhkan manusia, sehingga

para peneliti di National Sleep Foundation (2015) membuat suatu daftar rekomendasi tidur berdasarkan umur.

1. Neonatus (0-3 bulan) : kebutuhan tidur 14-17 jam per hari. 2. Bayi (4-11 bulan) : kebutuhan tidur 12-15 jam per hari. 3. Balita(1-2 tahun) : kebutuhan tidur 11-14 jam per hari. 4. Preschool (3-5 tahun) : kebutuhan tidur 10-13 jam per hari. 5. Anak usia sekolah (6-13 tahun) : kebutuhan tidur 9-11 jam per

hari.

6. Remaja (14-17 tahun) : kebutuhan tidur 8-10 jam per hari. 7. Dewasa Muda (18-25 tahun) : kebutuhan tidur 7-9 jam per hari. 8. Dewasa (26-64 tahun) : kebutuhan tidur 7-9 jam per hari. 9. Dewasa Tua (>64 thun) : kebutuhan tidur 7-9 jam per hari.

2.2. Kualitas Tidur

Kualitas Tidur merujuk pada penilaian yang subjektif tentang bagaimana menyegarkan (nyenyak) dan tak terganggunya suatu tidur seseorang. Pengukuran Kualitas tidur ini dapat diukur secara subjektif dengan menggunakan Kuisioner yang telah terstandarisasi dan secara objektif dengan menggunakan alat perekam polygraphy dan/atau alat perekam pergelangan tangan (wrist Actigraphy Monitioring).

Instrumen terbaru yang telah tervalidasi untuk mengukur kualitas tidur secara subjektif adalah kuisioner Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI) (John, D and Katherine T. MacArthur Foundation, 2008)

Kuisioner PSQI mengukur kualitas tidur dengan mengukur 7 domain, yaitu :

1. Kualitas tidur secara subjektif. 2. Latensi Tidur.

7. Dsfungsi atau gangguan aktivitas di siang hari

2.3. Tekanan Darah

2.3.1. Definisi Tekanan Darah

Yang dimaksud dengan tekanan darah adalah suatu tekanan atau usaha yang di hasilkan oleh darah (hidrostatik) terhadap dinding-dinding pembuluh darah. Kebanyakan, tekanan darah merujuk pada tekanan di pembuluh darah arteri yang merupakan cabang dari aorta (Elling et al., 2006). Kontraksi dari ventrikel akan menghasilkan tekanan darah, dimana tekanan darah di tentukan dengan Cardiac Output (CO), volume darah, dan resistensi vaskular (Tortora, 2009). Tekanan tertinggi berada pada aorta dan arteri sistemik besar yang terjadi pada saat kontraksi ventrikular, dinamakan juga tekanan darah sistolik. Sedangkan tekanan terendah yang tersisa di arteri sebelum terjadinya kontraksi ventrikular yang berikutnya dinamakan tekanan darah diastolik.

Tekanan darah diartikan sebagai perkalian antara Cardiac Output (CO) dengan resistensi vaskular. CO merupakan volume darah yang dialirkan jantung selama 1 menit, atau dengan kata lain CO merupakan volume sekuncup (Stroke Volume) yang di kali dengan detak jantung per menit (Heart Rate) (Tortora, 2009) . Hal-hal yang dapat mempengaruhi CO adalah preload, afterload, dan kontraktilitas. Preload diartikan sebagai jumlah volume darah yang masuk ke atrium dan meregang diniding jantung selama fase diastolik. Semakin besar darah yang masuk ke jantung, maka preload nya juga semakin besar. Afterload dapat diartikan sebagai tegangan dinding ventrikel selama kontraksi untuk melawan resistensi vaskular yang dihasilkan aorta agar ventrikel dapat memompa darahnya keluar, sedangkan kontraktilitas (inotropic) adalah perubahan gaya otot jantung yang dikarenakan oleh preload dan afterload. Semakin tinggi preload dan afterload, maka kontraktilitas jantung juga akan bertambah. Kontraktilitas juga dapat dipengaruhi oleh beberapa zat kimia dan homon (Leonard, 2011).

Komponen lain yang mendefinisikan tekanan darah adalah Vascular Resistance (Resistensi Vaskular). Resistensi vaskular adalah gaya dari aliran darah yang berlawanan karena adanya gaya gesek terhadap dinding-dinding pembuluh darah. Resistensi vaskular dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu ukuran lumen pembuluh darah, viskositas (kekentalan) darah dan panjang pembuluh darah. Semakin tinggi viskositas dan panjang pembuluh darah, maka resistensi akan meningkat. Hal ini berbanding terbalik dengan ukuran lumen pembuluh darah, semakin besar lumen pembuluh darah, maka resistensi akan semakin kecil (Tortora, 2009).

2.3.2. Faktor yang Memperngaruhi Tekanan Darah

Banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi naik turunnya tekanan darah, antara lain adalah faktor neural dan faktor hormon. Faktor neural yang berperan adalah sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Fungsi sistem saraf simpatis sendiri adalah mengecilkan lumen pembuluh darah (vasokonstriksi), meningkatkan kontraktilitas dan denyut jantung. Selain itu sistem saraf simpatis akan merangsang kelenjar adrenal untu menghasilkan hormon epiniprin dan norepiniprin. Hormon ini akan meningkatkan cardiac output dengan meningkatkan detak jantung dan kontraktilitas jantung (via reseptor Beta-1 di jantung). Mereka juga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah (Tortora, 2009). Sedangkan kerja sistem parasimpatis, seiring dengan nervus Vagus berlawanan dengan sistem simpatis, yaitu memvasodilatasikan pembuluh darah, memperlambat denyut jantung dan kontraktilitas jantung (Barret et al., 2012). Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem kerja saraf simpatis akan menaikkan tekanan darah sedangkan sisterm saraf simpatis akan menurunkan tekanan darah.

system (RAAS) (Chopra et al., 2011). Pertama sekali renin akan disekresikan oleh sel juxtaglomerular (JG cell) yang mengelilingi arteri aferen ginjal. Renin berfungsi untuk mengubah angiotensinogen, suatu protein atau hormon yang disintesa di hepar, menjadi angiotensin I, fungsi angiotensin I ini memiliki sedikit efek vasokonstriktor, tetapi tidak cukup untuk menyebabkan perubahan signifikan pada fungsi sirkulasi. Setelah itu, angitoensin I akan diubah menjadi angiotensin II dengan bantuan enzim Angiotensin Converting Enzym (ACE), yaitu enzim yang dihasilkan oleh endotel. ACE juga bertanggung jawab pada inaktivasi nya bradikinin. (Chopra et al., 2011). Angiotensin II akan menyebabkan konstriksi arteriolar dan akhirnya akan meningkatkan tekanan sistolik dan diastolik (Chopra et al., 2011). Selain itu angiotensin II juga menstimulasi sekresi aldosteron (Tortora, 2009). Dengan teraktivasinya angiotensin II, peningkatan tekanan darah terjadi dengan cara meningkatnya resistensi vasular dan retensi air melalui sekresi aldosteron. Aldosteron sendiri adalah hormon steroid yang dihasilkan mayoritas di korteks kelenjar adrenal. Aldosteron berfungsi untuk meningkatkan penyerapan natrium (retensi air) dan meningkatkan sekresi kalium pada sel epitel tubulus ginjal, terutama di tubulus kolektivus, dan sejumlah kecil di tubulus distal dan duktus kolektivus (Chopra et al., 2011). Dengan meningkatnya retensi air dan natrium, maka akan menambah jumlah preload yang akhirnya akan meningkatkan tekanan darah melalui peningkatan stroke volume.

Selain Faktor neural dan hormonal, ternyata ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam mengatur tekanan darah. Faktor tersebut dapat dihasilkan oleh endotel, otot jantung, maupun hipotalamus. Zat yang dihasilkan oleh endotel adalah Nitric Oxide (NO) dan Endothelin. NO yang berfungsi sebagai zat vasodilator poten akan dilepas dari edotelium sebagai respons stres yang diakibatkan meningkatnya aliran darah, sehingga ukuran lumen juga akan menjadi besar. Selain itu fungsi lain NO adalah anti proliferasi, anti trombotik, menginhibisi adhesi leukosit, dan mempengaruhi kontraktilitas otot jantung (Chopra et al.,

2011). Endotelin merupakan vasokonstriktor paling poten yang pernah di temukan. Endotelin ini akan dilepaskan jika mendapat rangsangan oleh angiotensin II, katekolamin, growth factor, hypoxia, insulin, LDL (Low Density Lipoprotein) teroksidasi, HDL (High Density Lipoprotein), sheer stress dan trombin. Reseptor untuk endotelin ini juga dibagi dua, yaitu ETa dan ETb. Aktivasi reseptor ETb akan memicu berkurangnya tekanan arterial dan natriuresis melalui efeknya pada kelenjar adrenal, jantung (inotropi negatif), menurunkan aktivitas simpatis dan vasodilatasi sitemik. Sedangkan aktivasi reseptor ETa akan meningkatkan tekanan arterial, retensi natrium akibat stimulasi simpatis, inotropic positif pada jantung, menignkatkan sekresi katekolamin dan menyebabkan vasokonstriksi sistemik (Barett et al., 2012).

Zat yang dihasilkan otot jantung adalah Natriuretic Peptide (ANP) yang dapat menghambat RAAS dan meregulasi keseimbangan air dan elektrolit. Mereka menginhibisi sistem simpatis sehingga menyebabkan bradikardi dan penurunan tekanan darah (Chopra et al., 2011). Zat yang di hasilkan oleh hipotalamus adalah Anti Diuretic Hormone (ADH). ADH meningkatkan permeabilitas pada tubulus kolektivus ginjal sehingga terjadi retensi air dan penurunan tekanan osmotik tubuh. ADH sendiri disekresi karena ada rangsangan terhadap peningkatan tekanan osmotik plasma, penurunan volume Extra Celluler Fluid (ECF), nyeri, emosi, mual muntah, dan dapat dipicu oleh alkohol (Tortora, 2009).

2.4. Hipertensi

2.4.1. Definisi dan Klasifikasi

Hipertensi adalah penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah sistolik diatas > 140 mmHg dan tekanan darah diastolik diatas > 90 mmHg yang menetap (Bolivar, 2013).

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC 7

Kategori Tekanan sistolik

(mmHg)

Tekanan diastolik (mmHg)

Normal <120 Dan <80

Prehipertensi 120-139 Atau 80-89

Hipertensi stadium 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi stadium 2 ≥160 Atau ≥100

Sumber : US Department Of Health And Human Services, 2003

Sedangkan pembagian hipertensi menurut Europian Society of Hypertension (ESH) dan Europian Society of Cardiology (ESC) adalah sebagai berikut :

Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi Menurut ESH/ECS

Kategori Tekanan sistolik

(mmHg)

Tekanan diastolik (mmHg)

Optimal <120 Dan <80

Normal 120-129 Dan/atau 80-84

Normal tinggi 130-139 Dan/atau 85-89

Hipertensi stadium 1 140-159 Dan/atau 90-99 Hipertensi stadium 2 160-179 Dan/atau 100-109

Hipertensi stadium 3 ≥180 Dan/atau ≥ 110

Isolated systolic hypertension

≥140 Dan <90

Sumber : Mancia, et al., 2013

2.4.2. Etiologi

1. Hipertensi Esensial atau hipertensi Primer

Hipertensi esensial adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan merupakan 90% dari seluruh hipertensi yang terhadi. Hipertensi ini cenderung menurun ke keluarga dan melambangkan

sebuah kumpulan penyakit atau sindroma yang melibatkan genetik yang diturunkan (Oparil et al., 2003).

Hipertensi esensial juga dikenal dengan penyakit dengan berbagai faktor (multifaktor) yang saling bertautan, yaitu faktor genetik, lingkungan dan faktor perilaku (Bolivar, 2013).

2. Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang diketahui penyebabnya., dan hanya 5-10% dari pasien yang menderita hipertensi jenis ini. Penyebab penyebabnya antara lain adalah Obstructive Sleep Apnoe (OSA), penyakit parenkim ginjal, stenosis arteri ginjal, primary aldosteroinism, Penyakit tiroid, cushings’s syndrome, phaechromocytoma, Coarctation of aorta, penyakit yang berhubungan dengan kehamilan, dll (Rimoldi et al,. 2013).

2.4.3. Patofisiologi Hipertensi

Hipertensi primer, merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya, sehingga, banyak sekali penelitian yang dilakukan untuk mencari mekanisme terjadinya hipertensi ini. Dari penelitian itulah muncul berbagai teori dan mekanisme yang akan dijabarkan berikut.

Aspek pertama adalah genetik. Penyakit hipertensi memang condong untuk menurun pada keluarga yang mempunyai riwayat hipertensi. Sampai saat ini belum dapat diindetifikasikan secara pasti genotip spesifik yang dapat menyebabkan hipertensi. Tetapi ada beberapa teori yang telah dikemukakan, antara lain terjadinya mutasi di gen angiotensin, renin, II Beta-Hydroxylase, aldosteron sintase, dan alfaI adenoreseptor; polimorfise sekitar 25 gen, termasuk angiotensin, ACE, dan reseptor angiotensin II (Rosendorff, 2005).

upreglasi reseptor angiotensin II serta meningkatkan resistensi insulin (Rosendorff, 2005).

Aspek ketiga adalah retensi natrium ginjal, ada 4 mekanisme yang mempengeruhi retensi natrium ginjal, aspek pertama adalah terprogram ulangnya kurva tekanan natriuresis. Pada keadaan normal, kenaikan tekanan darah akan menyebabkan ginjal untuk mengeksresikan air dan garam untuk menyeimbangkan tekanan darah, garam yang dibuang 150 mEq/hari. Tetapi pada penderita hipertensi, kenaikan tekanan darah yang lebih tinggi (threshold nya naik), baru akan mengaktifkan proses pengekskresian air dan garam. Mekanisme kedua adalah endogenous pump inhibitor, retensi natrium ginjal akan menstimulasi pengeluaran ouabin, dimana kalau pengeluaran ouabin dihambat oleh natrium pump, akan meningkatkan natrium intrasel yang akhirnya akan meningkatkan calsium intraseluler dan akan berakibat meningkatnya tonus vaskular dan hipertropi vaskular. Mekanisme yang ke tiga adalah peningkatan renin yang sangat berlebihan. Mekanisme keempat adalah pengurangan jumlah nephron. Pada penelitian Brenner et al., dikatakan bahwa pengurangan jumlah nefron kongenital atau berkurangnya luas pmukaan area filtrasi per glomerulus, akan membatasi eksresi natrium, sehingga menaikkan tekanan darah dan menjadi lingkaran setan, dimana hipertensi sistemik akan memperburuk efek atau menimbulkan hipertensi glomerular, dan hipertensi glomerular akan memperburuk atau menimbulkan hipertensi sistemik (Rosendorff, 2005).

Aspek keempat adalah meningkatnya aktivitas dari sistem simpatis. Meningkatknya sistem ini akan mengakibatkan peningkatan heart rate, stroke volume dan peningkatan resistensi vaskular. Stimulasi kronis dari sistem simpatis aku menginduksi remodeling vaskular dan hipertropi ventrikular kiri, diperkirakan merupakan efek langsung maupun tidak langsung dari norepiniprin terhadap reseptornya sendiri, serta pelepasan beberapa faktor tropic, termasuk growth factor beta, insuline like growth factor 1, dan fibroblast growth factor. Karena itu, mekanisme ini

berkontribusi terhadap perkembangan dari target organ damage sebaik dengan patogenesis dari hipertensi. Stimulasi simpatis renal juga meningkat pada pasien hipertensi. Hal ini menyebabkan peningkatan resistensi vaskular di renal. Pemaparan dari stress juga akan meningkatkan sistem simpatis dan stress-induced vasoconstriction yang berulang dan menetap. Hal ini akan menyebabkan hipertropi vaskular, dan memicu peningkatan resistensi vaskular dan tekanan darah. Hal ini dapat menerangkan meningkatnya insiden penyakit hipertensi pada masyrakat yang sosioekonomi nya rendah karena mereka lebih terpapar stress (Bolivar, 2013).

Aspek kelima adalah meningkatnya resistensi vaskular perifer. Pada pasien hipertensi, arteri-arteri besar (carotid, femoralis, brachial, dll) akan mengalami penebalan atau hipertropi dari otot medianya dan ke- kakuan (berkurangnya compliance), sedangkan arteri-arteri kecil akan mengalami hiperplasia dan remodeling (Rosendorff, 2005).

Aspek keenam adalah transportasi ion yang abnormal di membran sel. Pada penderita hipertensi, terjadi peunurunan Na-K ATP-ase pump (yang fungsinya adalah memompa ion Na keluar), hal ini terjadi karena meningkatnya endogenous inhibitor ouabin. Selain itu, terjadi peningkatan aktivitas pertukaran antiport Na-H (dimana Na akan dimasukkan ke dalam sel). Kedua hal ini akan menyebabkan natrium dalam intrasel meningkat serta penurunan pH. Hal ini menyebabkan terhambatnya pertukaran Na-Ca dan menyebabkan peningkatkan kalsium inteseluler. Peningkatan ini akan berakibat meningkatnya tonus vaskular dan hipertropi vaskular (Rosendorff, 2005).

Aspek ketujuh adalah disfungsi endotel. Pada penderita hipertensi, terjadi kerusakan sintesis dan pengeluaran NO, serta terjadi peningkatan sekresi enotelin (vasokonstriktor yang sangat poten), hal ini akan

sistem saraf simpatis. Sitokin yang dimaksud adalah interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrotizing Factor Alpha (TNF-A). Angiotensin II akan

Dokumen terkait