BAB V PENUTUP
B. Saran
c. Sarana perangkat lunak: tujuan, kurikulum, kitab, penilaian,
tata tertib, perpustakaan, pusat dokumentasi dan penerangan, cara pengajaran, keterampilan, pusat pengembangan masyarakat dan alat-alat pendidikan lainnya. 41
4. Nilai Pesantren
Pola kehidupan pesantren termanifestasikan dalam istilah “panca jiwa” yang di dalamnya memuat “lima jiwa” yang harus diwujudkan
dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri. Kelima jiwa
39
Qomar, op. cit.,hlm.23
40
Ibid.,hlm.64
41
Nur Inayah, Sistem Pendidikan Formal di Pondok Pesantren, (dalam jurnal
http://pshi.fisip.unila.ac.id/jurnal/files/journals/5/articles/227/submission/original/227-649-1-SM.pdf) diakses pada tanggal 18 Juli 2016
tersebut adalah jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa kemandirian, jiwa ukhuwah Islamiyah, dan jiwa kebebasan yang bertanggung jawab. Adapun uraiannya sebagai berikut.
a. Jiwa keikhlasan
Jiwa ini tergambar dalam ungkapan “sepi ing pamrih”, yaitu
perasaan semata-mata untuk beribadah yang sama sekali tidak dimotivasi oleh keinginan memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu. 42
Jiwa keikhlasan dalam kehidupan pesantren diterapkan pada hal-hal yang kecil, misalnya dalam hal-hal beribadah. Santri diharapkan akan terbiasa untuk melakukan ibadah-ibadah yang wajib sampai sunnah dengan cara mewajibkannya terlebih dahulu menjadi bagian dari keseharian santri, kemudian tujuan akhir yang pesantren harapkan adalah keikhlasan santri untuk menganggap ibadah sebagai kebutuhan.
b. Jiwa kesederhanaan
Kehidupan di pesantren diliputi suasana kesederhanaan yang bersahaja. Sederhana di sini bukan berarti pasif, melarat, nrimo, dan miskin, melainkan mengandung kekuatan hati, ketabahan, dan pengendalian diri di dalam menghadapi berbagai macam rintangan hidup sehingga diharapkan akan terbit jiwa yang besar, berani, bergerak maju, dan pantang mundur dalam segala keadaan. 43
Kesederhanaan dalam praktiknya di pesantren dapat dilihat dari hal yang paling pokok bagi manusia, yaitu sandang, pangan, dan papan.
c. Jiwa kemandirian
Berdikari, yang biasanya dijadikan akronin dari “berdiri di atas kaki sendiri”, bukan hanya berarti bahwa seorang santri harus belajar
42
Abdul Halim, Modernisasi Pesantren Studi Transformasi Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2013), hlm. 44
43
mengurus keperluannya sendiri, melainkan telah menjadi semacam prinsip bahwa sedari awal pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
tidak pernah menyandarkan kelangsungan hidup dan
perkembangannya pada bantuan dan belas kasihan pihak lain. 44
Kemandirian diterapkan sejak awal santri bermukim di pesantren. Jauh dari orang tua mengharuskan santri untuk berjuang sendiri. Contoh sederhananya santri harus mengelola kebutuhan hidupnya dari mulai belanja sabun mandi, merapikan kasur dan lemari serta mengatur keuangan dari kiriman orang tua.
d. Jiwa ukhuwah islamiyah
Suasana kehidupan di pesantren selalu diliputi semangat persaudaraan yang sangat akrab sehingga susah dan senang tampak dirasakan bersama tentunya, terdapat banyak nilai-nilai keagamaan yang melegimitasinya. 45
Penerapan ukhuwah islamiyah dalam pesantren dapat terlihat dari kebersamaan yang santri jalani sehingga tercipta keakraban di antara mereka. Kegiatan-kegiatan yang berlangsung bersama-sama misalnya salat berjamaah, tidur pada kamar yang sama, jam makan yang bersamaan, mengantri pada kamar mandi yang sama, serta berada dalam satu kelompok mengaji. Kebersamaan inilah yang akhirnya menimbulkan kasih sayang di antara para santri. Ketika salah satu santri sakit, maka teman santri yang lainnya lah yang pertama kali tahu dan merawatnya. Ketika teman belum mendapat kiriman dari orang tua, maka masih ada teman santri yang bisa meminjamkan uang. Hal ini terlebih karena mereka berada pada posisi yang sama dan adanya kasih sayang di antara mereka.
44
Ibid.,hlm. 45
45
e. Jiwa kebebasan
Para santri diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya kelak di tengah masyarakat. Mereka bebas menentukan masa depannya-dengan berbekal jiwa yang besar dan optimisme yang mereka dapatkan selama ditempa di pesantren.46
Pesantren di masa sekarang tidak mewajibkan santrinya kelak hanya untuk menjadi ulama. Santri dibebaskan menjadi apapun selama bermanfaat bagi orang lain. Hal ini terlihat dari kebebasan santri untuk memilih menjadi apapun dan pesantren dapat mengakomodirnya. Misal ketika santri ingin menjadi atlet, maka pesantren tidak akan melarang santri tersebut untuk mengejar prestasinya dan bahkan mengakomodirnya dengan cara mengikutkan santri tersebut ke berbagai kompetisi, salah satunya Pospenas (Pekan Olahraga dan Seni antar Pondok Pesantren Tingkat Nasional).
Selain nilai-nilai di atas, terdapat nilai-nilai lainnya menurut pendapat Lanny Octavia dkk dalam buku Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi
Pesantren, sebagai berikut:
1. Cinta Tanah Air
Para ulama pesantren telah merumuskan konsep persaudaraan yang terjalin antar sesama Muslim (ukhuwaah Islamiyah), antar sesama anak bangsa (ukhuwwah wathoniyyah) dan antar sesama manusia
(ukhuwah basyariyyah). Konsep persaudaraan ini dirumuskan oleh
KH. Achmad Siddiq, pimpinan Pondok Pesantren As-Siddiqiyah di Jember, mantan Ketua Rais Suriyah PBNU dan sekretaris pribadi KH. Wahid Hasyim pada tahun 1950. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian menyebarluaskan, memberi pemaknaan lebih mendalam dan
46
menerapkan konsep tersebut dalam pergaulan yan lebih luas, di mana seluruh ulama pesantren pun ikut mengamini langkah tersebut. 47
2. Kasih Sayang
Sebagai lembaga pendidikan agama, pesantren memiliki peran dan tanggung jawab dalam pengembangan kasih sayang kepada santri. Dalam praktiknya pendidikan kasih sayang di pesantren dilakukan dengan cara-cara berikut:
Pertama, para kiai dan ustaz memberikan kesempatan dan mendorong para santri dengan berbagai cara dan momentum untuk menunjukan kepedulian terhadap orang lain. Kedua, menciptakan suasana emosional; yang kondusif seperti saling menghargai, menerima, menyayangi, menghibur dan membantu teman dan sebagainya. Ketiga, pesantren menyediakan model perilaku sosial yang positif. Kiai mencontohkan hal-hal yang baik yang bisa diteladani santrinya. Keempat, memberikan dukungan dan penguatan pada para santri. Kelima, pesantren menyediakan sarana yang mendorong tumbuhnya kasih sayang di dalam jiwa para santri, seperti kitab-kitab, kegiatan-kegiatan keagamaan, diskusi bertema sosial, dan latihan merespon permasalahan atau kesulitan yang dialami orang lain secara positif. 48
3. Kedamaian
Kedamaian dalam tradisi pondok pesantren terdapat pada gaya hidup keseharian, dan cara pandang keagamaan dalam merespon dan menyikapi persoalan kemanusian. Pertama, kedamaian dalam konteks gaya hidup kiai dan para santri hidup secara damai, senantiasa dalam suasana belajar dan mengaji atau tafaqquh fi al-din (belajar-mengajarseputar agama), jauh dari hiruk pikuk kehidupan duniawi.
47
Lanny, Octavia, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta: Renee Book, 2014), hlm.32-33
48
Kedua, kedamaian dalam konteks cara-pandang keagamaan. Dengan penguasaan atas kekayaan khazanah kitab kuning, kiai dan santri tidak memahami Islam secara sempit, literalis, dan kaku. Mereka menyuguhkan pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin (kasih sayang bagi seluruh alam), anti kekerasan dan cinta damai. Pemahaman keislaman inilah yang diajarkan pada para santri di pondok pesantren. 49
4. Toleransi
Di pesantren, tradisi toleransi terbentuk oleh pengaruh kitab fikih klasik yang membahas suatu persoalan dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Perbedaan pendapat ulama (ikhtilaf al – ulama) mendorong para kiai dan santri untuk fleksibel dalam menyikapi perbedaan dan tidak mudah menyalahkan pihak lain. Kemajemukan pandangan dalam tradisi fikih pesantren merasuk ke dalam alam bawah sadar kiai dan santri dan membuat mereka tidak fanatik karena terbiasa mendapati banyak pandangan dalam kehidupan. Dalam
lingkup mazhab Syafi’i saja hukum fikih tidak tunggal, apalagi jika dibandingkan dengan fikih mazhab lainnya. Realitas perbedaan ini biasanya dibahas secara bersama secara musyawarah dalam bentuk diskusi atau batsul masa‟il. Sementara itu, orang yang terdoktrin dengan pemahaman tunggal dalam menafsirkan ayat cenderung beragama keras (radikal).50
5. Kesetaraan
Kesetaraan berasal dari kata tara, yang berarti sama (tingkatan dan kedudukan). Dengan demikian, kesetaraan menunjukan adanya tingkatan atau kedudukan yang sama. Kesetaraan diperoleh melalui sikap dan perlakuan yang sama terhadap sesama manusia, tanpa
49
Ibid.,hlm. 70-71
50
membedakan warna kulit, suku, agama, jenis kelamis, kelas sosial-ekonomi dan sebagainya.51
KH. Muhammad Nashih Sachal, Lc., salah satu pimpinan Pondok Pesantren Syaichona Moch. Cholil Bangkalan Madura, mengutip dalil Al-Quran, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah
adalah yang bertakwa kepada-Nya,” yang mengaskan bahwa semua
manusia sama dalam pandangan Allah, baik kaya ataupun miskin, pejabat ataupun rakyat kecil. Jika dalam konteks agama yang membedakan mereka adalah kadar ketakwaannya saja, maka dalam konteks negara yang menjadi ukuran adalah moral dan etika dalam berhubungan dengan berbagai kelompok. 52
6. Musyawarah
Dalam sebuah kalam hikmah dikatakan, “Separuh akalmu terdapat
pada saudaramu. Maka bermusyawarahlah agar engkau memiliki akal
yang utuh dan sempurna.” Kalam hikmah inilah yang barangkali
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kegiatan pembelajaran santri-santri di pesantren. Selain menggunakan metode sorogan,
bandongan, atau weton, pendidikan di pesantren juga diajarkan
menggunakan metode musyawarah atau dalam bahasan yang lebih dikenal dengan istilah batsul masail. Forum ini pada dasarnya memfasilitasi para santri dalam penguatan keilmuan dan peningkatan kecakapan retorika berbicara. Di samping memiliki muatan luhur yakni para santri diajak berpikir, berpendapat, berdebat dan berpolemik secara argumentatif dan sistematis. Dalam lain ungkapan, melalui forum inilah para santri juga dilatih untuk menyampaikan statemen, ide, gagasan, wacana atau pandangannya secara teratur, tertata, lugas dan mudah dipahami. Capaian pendidikan santri melalui metode musyawarah atau batsul masail inilah pda gilirannya dapat
51
Ibid.,hlm. 111
52
mengantarkan mereka secara sosiologis-akademik memiliki keilmuan Islam yang memadai dan kecakapan dalam berkomunikasi. 53
7. Tradisi „Roan’ : Gotong Royong di Pesantren
Salah satu istilah yang populer digunakan untuk menunjukan aktivitas gotong royong atau kerja bakti yang melibatkan banyak santri
di pesantren adalah kegiatan „roan’. Istilah ini banyak digunakan di
beberapa pesantren, terutama di daerah Cirebon. Di Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon, misalnya, kegiatan ini dilakukan pada hari Jumat pagi. Selain dianggap efektif karena kegiatan pendidikan di pesantren diliburkan, kegiatan di madrasah-madrasah juga libur. Bagi para santri, kegiatan roan ini memiliki pelajaran tersendiri, terutama memupuk mereka dalam kebersamaan dan kepedulian terhadap hal-hal yang baik. Mereka menyadari arti penting bahwa kesulitan apa pun dalam bebankerja jika dilakukan dalam kebersamaan atau bersama-sama akan terasa mudah dan relatif lebih cepat selesai. 54
8. Kepedulian Sosial
Salah satu bentuk kepedulian ditunjukkan oleh para eksponen Pondok Pesantren Rakha, yang memiliki visi mengurangi angka kemiskinan. Salah satu pengurusnya KH. Zainal Abidin, yang juga merupakan Direktur Eksekutif LSM Yayasan Dinamika Inovasi Swadaya, turut mengadvokasi masyarakat dayak di Kotabaru dalam mempertahankan hutan sakral tempat pemujaan mereka dari ancaman eksploitasi pengusaha. Sementara itu, pemihakan terhadap warga sekitar juga ditunjukkan oleh Pesantren Darussalam, khususnya terkait dengan kesempatan mencari nafkah melalui sektor informal. Keberadaan pesantren ini dengan ribuan santrinya, menumbuhkan perekonomian lokal. Saat istirahat, para santri mengunjungi deretan
53
Ibid.,hlm. 144-145
54
kios makanan yang diberi tempat di area halaman pesantren. Dengan demikian keberadaan pesantren secara nyata ikut memberi berkah rezeki kepada warga di sekitarnya. 55
9. Tanggung Jawab
Pesantren merupakan sebuah wilayah yang memiliki budayanya tersendiri, sebagai sub-kultur di tengah kultur nusantara lainnya. Proses interaksi dan afiliasi di pesantren berbeda dengan lingkungan non-pesantren. Pesantren memiliki cara tersendiri dalam melaksanakan pembelajaran dan menanamkan jiwa agamis dan nasionalis pada santri.
Salah satu nilai yang menonjol di pesantren adalah tanggung jawab, baik terhadap diri sendiri, lingkungan, orang tua, masyarakat, bangsa dan negara. Para kiai/ nyai dan ustaz/ ustazah bertanggung jawab memberikan pendidikan keagamaan kepada para santri, baik melalui kajian kitab maupun teladan nyata. Sementara santri bertanggung jawab untuk belajar dan mengaji secara sungguh-sungguh serta mengamalkan ilmu yang diperolehnya dalam kehidupan. 56
Selain itu, para santri juga dididik menjadi manusia bertanggung jawab melalui organisasi, di mana masing-masing bagian mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri. Hukuman –atau dalam istilah pesantren disebut ta‟zir– juga merupakan salah satu metode memupuk kesadaran para santri supaya bertanggung jawab.
10.Penghargaan
Penghargaan bukanlah sekadar norma yang diajarkan di pesantren, tetapi juga dicontohkan oleh para kiai/nyai, ustaz/ustazah, dan para santriwan/wati. Para kiai dan ustaz adalah suri teladan bagi santri dan masyarakat di sekitarnya. Penghargaan mereka terhadap ilmu-ilmu
55
Ibid.,hlm. 174
56
keagamaan ditunjukkan melalui pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka pun menghargai para santri sebagai penuntut ilmu
(thalib al-ilm). Perhatian dan kasih sayang mereka terhadap santri
ditunjukkan dengan nasihat dan doa agar mereka kelak menjadi orang-orang yang bermanfaat dan berkah ilmunya serta bisa mengajarkannya kepada masyarakat.
Di sisi lain, para santri pun tentunya menghargai kiai yang mengasuh mereka di pesantren. Di Pesantren Bali Bina Insani, misalnya, para santri menyebut sang kiai (KH. Ketut Jama) dengan
panggilan “ayah”. Para santri merasakan ikatan batin yang kuat dengan kiai yang dianggap sebagai orangtua sendiri. Selain menghormati kiai, para santri juga menghormati keluarga kiai. Di Jawa misalnya,
panggilan “Gus” adalah salah satu bentuk penghormatan para santri
terhadap putra kiai, dan “Ning” sebagai penghormatan terhadap kiai
putri kiai. Ketika berhadapan dengan kiai dan keluarganya, para santri akan menggunakan bahasa halus (kromo inggil, bebasan, Sunda
lemes). Para santri pun mendengarkan dan mematuhi perkataan kiai,
sam‟an wa tha‟atan. Begitu pentingnya arahan kiai, sehingga para
alumnus pesantren rata-rata tetap bersilaturahmi dan sowan kepada kiai-kiai mereka.
Selain itu, penghargaan juga diwujudkan antar sesama santri walaupun mereka datang dari berbagai macam daerah, suku, bahasa dan budaya yang berbeda. Keragaman dianggap sebagai kekayaan yang harus dijaga, dihargai dan dirayakan. Jaringan dan pergaulan nasional tersebut berlanjut setelah mereka terjun di tengah masyarakat. Santri yang ideal bukanlah mereka yang cerdas dan pandai menguasai pelajaran dan pengajian, melainkan mereka yang berakhlak mulia dan mengamalkan ilmunya. Santri pun menghargai dan menghormati santri
yang lebih tua dan santri yang lebih lama mengenyam pendidikan di pesantren. 57
11.Kemandirian
Sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia, pesantren memberikan perhatian penting terhadap nilai dan praktik kemandirian. Para santri sejak dini dididik untuk menjadi pribadi yang mandiri agar bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan dan masa depan kehidupannya. Masa-masa penanaman nilai kemandirian di pesantren inilah yang sering kali disebut banyak kalangan memberikan kontribusi pada pembentukan kepribadian manusia yang bertanggung jawab. 58
12.Kejujuran
Tujuan fundamental pendidikan adalah menanamkan nilai kejujuran kepada peserta didiknya. Kejujuran bukan hanya dimilki wilayah kognisi semata, melainkan dipraktikkan dalam kenyataan kehidupan. Hal yang paling menonjol nilai kejujuran di pesantren diwujudkan dengan sikap jujur pada diri sendiri. Para santri hidup menampilkan diri sendiri dengan apa adanya, dalam istilah pesantren
tidak „neko-neko’ atau „ita-itu’. Sehingga terkesan kehidupannya penuh dengan kesederhanaan, tak mengenal gengsi, dan tak menghias diri secara berlebihan. Para santri pun jika ada yang bersalah, melanggar tata-tertib pesantren atau madrasah, mereka mengakui kesalahan, tidak menghindar atau mencari-cari alasan dan siap menerima sangsi sebagai konsekuensi dari perbuatannya itu. 59
57 Ibid.,hlm.201-202 58 Ibid.,hlm. 214 59 Ibid.,hlm. 244
13.Sikap Tawaduk
Tawaduk atau rendah hati kerap ditemui di kalangan pesantren. Hal ini ditunjukan dengan tidak mengemukakan pendapat jika tidak mengerti atau tidak meraa cukup argumentasi. Ketika mengajar dalam sebuah pengajian, seorang ustaz tidak akan menganggap pendapatnya sebagai yang paling benar. Di akhir pengajian selalu diucapkan sebuah kata-kata yang mendeklarasikan bahwa hanya Allah yang Maha Tahu.
“Wallahu a‟lam bi al-shawab”60
14.Kesabaran
Di antara sekian banyak akhlak yang harus ada di dalam diri setiap Muslim, kesabaran adalah yang paling banyak disebutkan dalam Al-Quran, bahkan disebutkan lebih dari seratus kali. Hal ini tidak lain karena kesabaran merupakan pusat dari segala macam akhlak baik. Kalau kita menelisik lebih dalam mengenai suatu kebaikan, kita akan menemukan bahwa landasannya adalah kesabaran; iffah (menjaga kesucian diri) adalah menahan diri dari nafsu syahwat dan menahan pandangan dari suatu yang diharamkan. Zuhd (tidak suka pada keduniawian) adalah menahan diri dari kehidupan yang berlebihan.
Qanaah (merasa puas dengan apa yang dimilikinya) adalah menahan
diri dari berlebih-lebihan dan merasa puas dengan apa yang dimiliki.
Hilm (lemah lembut) adalah menahan diri dari amarah. Waqr (bersikap
tenang) adalah tidak tergesa-gesa dan tidak kurang akal. Berani adalah menahan diri dari hal-hal yang mendorong untuk melarikan diri. Memaafkan adalah menahan diri untuk tidak melakukan balas dendam. Dermawan adalah menahan diri untuk tidak memenuhi panggilan kekikiran. Semangat adalah menahan diri dari sesuatu yang mengajak pada kelemahan atau kemalasan. 61
60
Ibid.,hlm. 258
61
Dunia pesantren memang akrab dengan kesabaran. Baik dalam pembelajaran, cara dan sikap hidup maupun saat menyelesaikan berbagai persoalan. Di Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid, hal itu diajarkan dalam pendidikan dan perilaku keseharian. Menurut KH. Sudein Muhammad, kesabaran dan keikhlasan menjadi nafas penting dalam kehidupan pesantren. Demikian juga dengan ajaran Islam yang menganjurkan setiap umatnya untuk bersikap sabar dalam menghadapi cobaan dan terus berusaha untuk melakukan yang terbaik di dalam hidup. Para pengasuh mengekspresikan kesabaran dengan sikap
qanaah, yaitu menerima apapun yang telah diberikan oleh Allah swt
dan tidak berupaya untuk hidup secara berlebihan. 62
15.Kesungguhan
Keagungan diraih dengan kesungguhan, bukan semata dengan [alasan] keturunan. Apakah ada [keagungan] keturunan yang diraih tanpa kesungguhan? Banyak hamba menyandang pangkat merdeka, banyak pula orang merdeka berpangkat hamba sahaya. [Syekh al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’alim]. Kutipan kitab Ta’lim al-Muta’alim di atas menjelaskan tentang arti kesungguhan. Ta’lim al-Muta’alim
adalah kitab yang di kebanyakan pesantren pelajari.
Secara kebahasaan, kata kesungguhan bersalah dari kata dasar
„sungguh’, yang berarti ulet, rajin, dan kerja keras. Dalam bahasa
Arab, kesungguhan dipadankan dengan kata jiddun, jihad, ijtihad, dan
mujahadah yang berarti mengerahkan segala daya upaya untuk
melakukan sesuatu. 63
Usaha yang kita lakukan akan menentukan hasil yang kita peroleh. Mereka yang berusaha lebih keras tentu akan mendapatkan hasil yang jauh lebih optimal dibandingkan dengan mereka yang usahanya tidak besar. Orang-orang besar yang berhasil dalam hidup ini adalah mereka
62
Ibid.,hlm. 272-273
63
yang berani mengambil risiko besar untuk mendapatkan hal yang besar.
Dalam dunia pesantren, santri diwajibkan belajar bahasa Arab dan
membaca kitab „gundul’ (tanpa harakat). Hal ini tentu memerlukan kesungguhan dan keseriusan untuk mempelajarinya. Usaha yang ditempuh bisa dengan membuat jadwal khusus setiap hari untuk mempelajari bahasa Arab, mengoleksi buku-buku panduan, berkonsultasi dengan orang-orang yang menguasai ilmunya, dan banyak lainnya. Selain itu diperlukan pengorbanan baik waktu, tenaga, dan uang. 64
E. Hakikat Pembelajaran Sastra
Sastra itu mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka pengajaran sastra harus kita pandang sebagai sesuatu yang penting yang patut menduduki tempat yang selayanya. Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan dalam masyarakat65 Hal ini tentu memiliki kaitan erat dengan masalah-masalah hidup yang akan dihadapi oleh peserta didik. Diharapkan dengan adanya pembelajaran sastra yang baik, akan membuat anak didik mampu menghadapi masalah-masalah hidup dengan pemahaman, wawasan, toleransi, dan rasa simpati yang lebih mendalam.
Masalah yang kita hadapi sekarang adalah menentukan bagaimana pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksimal untuk pendidikan secara utuh. Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya,
64
Ibid.,hlm. 226
65
mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.
66
Nilai pesantren yang akan dikaji dalam novel Geni Jora karya Abidah Al Khalieqy ini akan menjadi salah satu rujukan untuk mendapatkan manfaat pengajaran sastra. Nilai pesantren diharapkan akan menjadi penunjang pembentukan watak peserta didik ke arah yang lebih baik. Peserta didik diharapkan dapat mengetahui nilai-nilai yang ada di dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
F. Penelitian Relevan
Hasil penelitian sebelumnya yang relevan dan dapat dijadikan acuan serta masukan pada penelitian ini adalah dari Ana Fitria Vivi S mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret pada tahun 2011 dalam penelitian berjudul “Kehidupan
Pesantren dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy (kajian sosiologi sastra). Kesimpulan penelitian ini adalah : (1) Aspek sosial budaya pesantren dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy