DI KELAS XI SMA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Oleh Naila Saadah NIM 11100013000094
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
i
ABSTRAK
Naila Saadah 1110013000094, Nilai Pesantren dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas XI SMA.
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeksripsikan nilai pesantren yang terkandung dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy dan implikasi nilai pesantren dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kelas XI SMA.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskripsif untuk mendeskripsikan data yaitu berupa analisis nilai pesantren dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy. Teknik penelitian yang digunakan adalah analisis dokumen yaitu Geni Jora karya Abidah El Khalieqy dan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan data dari kepustakaan yang berupa buku-buku yang ada kaitannya dengan objek penelitian yaitu nilai pesantren.
Dari hasil penelitian ini, dapat ditemukan nilai-nilai pesantren antara lain: nilai kemandirian, kesederhanaan, tanggung jawab, ukhuwah Islamiyah, tawaduk, kesetaraan, kesabaran, kesungguhan dan keikhlasan. Nilai Pesantren yang terdapat dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI, dalam aspek membaca. Selain itu, nilai-nilai yang terdapat pada novel diharapkan dapat diterapkan pada siswa yang membahasnya.
ii
ABSTRACT
Naila Saadah 1110013000094, Pesantren Value in the Novel Geni Jora by Abidah El Khalieqy and Implications in Teaching Indonesian Language and Literature in Grade XI Senior High School.
The purpose of this study is to descreibe pesantren value in the novel Geni Jora by Abidah El Khalieqy and the implications of pesantren value in the novel
Geni Jora by Abidah El Khalieqy in Indonesian language and literature learning
in grade XI Senior High School.
The methode used in this research is descriptive qualitative methode to describe the analysis of data in the form of pesantren value in the novel Geni Jora by Abidah El Khalieqy. Techniques used in this research is the analysis of the novel documents, novel Geni Jora by Abidah El Khalieqy and literature, then find and collect all data which is have corelation with the object of research, that is pesantren value.
From these results, it can be found the value of pesantren, among others: independece value, unpretentious value, responsibility, ukhuwah islamiyah, modest value, equality, patience, earnestness, and sincerity. Pesantren Value in the novel Geni Jora by Abidah El Khalieqy can be implicated in learning Indonesian language and literature at the high school level class XI, in the aspect of reading. Beside of that, all values in the novel can be applied by all students hopefully.
iii
kepada-Nya kembali segala sanjungan, kepada-Nya kami memohon pertolongan dan
ampunan, dan atas ridho-Nya sehingga penulis mampu menyusun skripsi ini dengan baik,
yang merupakan persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Maka atas terselesaikannya skripsi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada;
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan izin penulisan skripsi ini
2. Makyun Subuki, M. Hum. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasan dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah yang telah memberikan izin dalam penulisan skripsi ini.
3. Dona Aji Karunia Putra, MA. Selaku sekretaris jurusan, serta seluruh dosen
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan izin
dalam penulisan skripsi ini.
4. Ahmad Bahtiar, M. Hum, selaku pembimbing skripsi yang selalu sabar memberikan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
memberikan bekal ilmu kepada penulis.
6. Pimpinan dan staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah
yang senantiasa memberikan pelayanan serta sebagai media untuk sumber referennsi
penulis.
7. Kedua orang tua tercinta Imam Syafii dan ibunda Sofiyah yang telah memberikan
dukungan dan doa restunya dengan tak pernah putus asa memberikan semangat
kepada penulis.Kepada keempat adik penulis, Sufyan Syafii, Wahid Fuady, Akhsanul
Fikri, dan Ifsya Ussurur untuk selalu menegor tetehnya agar semangat menyelesaikan
iv
untuk selalu menyemangati penulis untuk selalu menyelesaikan skripsi ini.
9. Budiman Irhamsyah, yang mengembalikan semangat yang telah sirna untuk segera
menyelesaikan skripsi ini dan kemudian memberi support sampai akhir.
10.Teman-temanku seperjuangan PBSI kelas C angkatan 2010 yang telah memberikan
dukungan dan semangatnya.
11.Semua pihak yang telah mendukung dan membantu sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini.
Jakarta, 20 Juni 2016
v
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
ABSTRAK ...i
KATA PENGANTAR ...iii
DAFTAR ISI ...v
BAB 1 PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Identifikasi Masalah ...4
C. Pembatasan Masalah ...4
D. Perumusan Masalah ...5
E. Tujuan Penelitian ...5
F. Manfaat Penelitian ...5
G. Metode Penelitian...6
1. Sumber Data ...6
2. Teknik Pengumpulan Data ...7
3. Teknik Analisis Data ...7
BAB II LANDASAN TEORI ...9
A. Pengertian Novel ...9
B. Unsur-Unsur Intrinsik Novel ...10
a. Tema ...10
b. Tokoh dan Penokohan ...11
vi
d. Alur ...14
e. Sudut Pandang ...16
f. Gaya Bahasa ...17
C.Sosiologi Sastra ...18
D.Hakikat Pesantren ...19
1. Pengertian Pesantren ...19
2. Fungsi Pesantren ...20
3. Sistem Pendidikan Pesantren ...21
4. Nilai Pesantren ...21
E. Hakikat Pembelajaran Sastra ...34
F. Penelitian Relevan ...35
BAB III PROFIL PENGARANG DAN SINOPSIS GENI JORA ...38
A.Profil Abidah El Khalieqy ...38
B.Gagasan Abidah El Khalieqy ...38
C.Sinopsis Novel Geni Jora ...39
BAB IV PEMBAHASAN... ...41
A.Struktur Novel Geni Jora ...41
B.Nilai Pesantren ...66
C.Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ...81
BAB V PENUTUP ...97
A.Simpulan ...97
B.Saran ...97
DAFTAR PUSTAKA ...98
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tanggal 22 Oktober 2015 silam, Presiden Jokowi meresmikannya
menjadi Hari Santri Nasional. Penetapan Hari Santri Nasional
dilatarbelakangi karena pemerintah memberikan apresiasi kepada santri
terdahulu yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ulama atau
tokoh santri yang menjadi pejuang kemerdekaan salah satunya adalah
pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim As’yari yang juga pendiri pondok
pesantren Tebuireng.
Semenjak itu makin banyaknya identitas santri yang menggema ke
seluruh Indonesia. Mereka yang pernah menjadi santri bahkan memasang
profil santri di berbagai sosial media dan tak segan serta berani
mengatakan bahwa dirinya santri. Hal ini tidak banyak dilakukan oleh
santri sebelum diikrarkannya Hari Santri Nasional.
Dalam banyak hal, pesantren secara sosiologis dapat dikategorikan
sebagai subkultur dalam masyarakat karena ciri-cirinya yang unik, seperti
adanya cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti
secara hierarki kekuasaan tersendiri yang ditaati sepenuhnya.1 Sehingga
kehidupan pesantren berbeda dengan kehidupan masyarakat pada
umumnya.
Pesantren mengemban beberapa peran, utamanya sebagai lembaga
pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan Islam yang sekaligus juga
memainkan peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan,
kepelatihan, pengembangan masyarakat dan sekaligus menjadi simpul
budaya, maka itulah pondok pesantren. 2
1
Tim Penulis Rumah Kitab, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta: Rumah Kitab, 2014), hlm. 4
2M. Dian Nafi’,
Di dalam pesantren terdapat nilai-nilai pesantren yang terdapat pada
semua kegiatan yang berlangsung selama santri belajar di pesantren.
Beberapa nilai pesantren di antaranya, nilai kesungguhan, keikhlasan,
tanggung jawab, kejujuran dan sebagainya.
Sastra sebagai cabang seni merupakan bagian integral dari
kebudayaan. Ditinjau dari segi pencipta, karya sastra merupakan
pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam
suatu kurun waktu dan situasi budaya tertentu. 3Sehingga pengalaman
hidup sangat berperan besar terhadap proses penciptaan karya sastra.
Karya sastra adalah ciptaan sang penulis dengan tujuan tertentu.
Karya-karya yang ditulis penulis sering menceritakan sebuah kisah, baik dalam
sudut pandang pertama atau bahkan orang ketiga, dengan plot dan melalui
penggunaan berbagai perangkat sastra. Karya sastra selalu
mengungkapkan masalah manusia dan kemanusiaan, baik tentang
pemaknaan hidup ataupun kehidupan. Sastra juga membicarakan tentang
nilai-nilai kehidupan yang menjadi dasar kita dalam berinteraksi, baik itu
nilai-nilai agama, sosial, maupun nilai pendidikan yang dianggap sangat
penting untuk generasi anak bangsa dalam membentuk kepribadian yang
cerdas, unggul, terampil dan peka terhadap lingkungannya. Melalui karya
sastra, sastrawan menampilkan nilai-nilai kehidupan, yang biasanya
terdapat dalam amanat suatu karya sastra.
Karya sastra memiliki banyak genre, salah satunya adalah novel.
Novel karya Abidah El Khalieqy yang berjudul Geni Jora ini merupakan
salah satu novel yang memiliki isi cerita yang menarik. Novel yang
memiliki latar budaya pesantren ini bercerita tentang seorang santri
perempuan bernama Kejora. Dia digambarkan sebagai sosok santri ideal.
Ia yang berpikiran moderat kerap kali mendebat para ustazahnya terutama
untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya. Kejora tumbuh menjadi
sosok wanita yang memiliki pengetahuan yang luas dan sangat taat agama.
3
Kehidupannya selama menjadi santri di pesantren telah sedikit banyak
mempengaruhi pola pikirnya.
Geni Jora karya Abidah El Khalieqy ini penulis anggap layak untuk
menjadi media bahan ajar. Karya sastra ini dinobatkan sebagai pemenang
dalam Sayembara Novel 2003 DKJ. Beberapa karya Abidah El Khalieqy
pun sudah mendapat pengakuan dari kalangan penulis. Tema yang
diangkat oleh Abidah dalam novel ini memang lebih banyak menyinggung
masalah feminisme. Beberapa karya Abidah pun demikian. Abidah sering
mengangkat isu gender dengan latar kehidupan pondok pesantren atau
pendidikan Islam lainnya. Sebut saja novel dengan judul Perempuan
Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy. Namun, nilai kepesantrenan
yang ada menjadi hal yang menarik untuk dibahas.
Nilai pesantren yang akan digali, kelak bisa menjadi panutan untuk
menjadi peserta didik yang lebih santun dan beradab. Nilai pesantren juga
dianggap lebih layak untuk digali dibanding menggali latar pesantren
karena beberapa alasan. Pertama, latar pesantren sudah banyak yang
meneliti. Kedua, dengan judul nilai pesantren diharapkan siswa atau
peserta didik maupun pengajar akan semakin memiliki pengetahuan
tambahan tentang pendidikan karakter melalui nilai-nilai pesantren yang
terdapat dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy.
Pada hakikatnya pembelajaran sastra dapat membantu pendidikan
secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: membantu
keterampilan bahasa, meningkatkan pengetahuan budaya,
mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan
watak.4Peserta didik diharapkan mendapat empat manfaat tersebut melalui
penjelasan unsur instrinsik dan ekstrinsik dalam karya sastra. Selama ini
pembelajaran sastra hanya menggunakan media ajar yang terdapat di buku
pelajaran yang menjadi panduan di kelas. Padahal dengan menggunakan
karya sastra berupa novel, dapat membuat peserta didik semakin
4
menambah pengetahuan yang bisa digalinya bersama guru dan teman di
kelasnya.
Melalui novel ini, diharapkan adanya pembentukan watak yang lebih
baik setelah mempelajari nilai pesantren yang terdapat di dalam novel
Geni Jora karya Abidah El Khalieqy. Sehingga berdasarkan pemaparan di
atas, penulis menggunakan novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy
sebagai objek penelitian. Adapun judul yang akan peneliti ajukan adalah “Nilai Pesantren dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy dan Implikasinya Pada Pembelajaran Bahasa Indonesia dan Sastra di Kelas XI SMA”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini dapat
timbul beberapa masalah sebagai berikut:
1. Belum banyaknya pengajar yang menggunakan novel Geni Jora
karya Abidah El Khalieqy sebagai media ajar. Pengajar lebih
banyak menggunakan novel teenlit yang mempunyai bahasa yang
lebih dekat dengan usia peserta didik.
2. Belum banyaknya yang menganalisis nilai pesantren dari suatu
novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy
3. Belum banyaknya pendidik yang menjadikan nilai pesantren
sebagai nilai teladan untuk pembentukan watak para peserta didik
C. Pembatasan Masalah
Pembahasan suatu masalah dalam suatu penelitian sangat penting agar
permasalahan yang akan diteliti lebih terarah dan tidak menyimpang
dari masalah yang diterapkan. Peneliti lebih berfokus pada nilai
pesantren dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy dan
implikasinya pada pembelajaran bahasa Indonesia dan sastra di kelas
D. Perumusan Masalah
1. Bagaimana nilai pesantren yang digambarkan dalam novel Geni
Jora karya Abidah El Khalieqy?
2. Bagaimana implikasi pembelajaran novel Geni Jora karya Abidah
El Khalieqy pada pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di kelas
XI SMA?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian diharapkan jelas agar tepat sasaran dan tujuan sesuai
dengan input dan pengetahuan yang bersifat teoritis dan praktis, antara
lain sebagai berikut:
1. Mengetahui nilai pesantren yang digambarkan dalam novel Geni
Jora karya Abidah El Khalieqy
2. Mengetahui implikasi pembelajaran novel Geni Jora karya Abidah
El Khalieqy pada pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di kelas
XI SMA
F. Manfaat Penelitian
Penelitian yang efektif dan efisien harus memberi manfaat. Adapun
manfaat yang dapat diberikan oleh penelitian ini sebagai berikut:
1. Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dalam ranah
pendidikan dan tentunya untuk penulis sebagai calon guru yang
akan menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia serta dapat
mengambil nilai-nilai yang baik yang terkandung dalam novel
Geni Jora karya Abidah El Khalieqy.
2. Praktis
a. Dapat menambah referensi penelitian karya sastra Indonesia
dan menambah wawasan kepada penikmat karya sastra yang
memiliki latar pesantren.
b. Dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran bahasa dan sastra
G. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang
membicarakan atau mempersoalkan cara-cara melaksanakan penelitian
(yaitu meliputi kegiatan-kegiatan mencari, mencatat, merumuskan,
menganalisis sampai menyusun laporannya) berdasarkan fakta-fakta atau
gejala-gejala secara ilmiah.5 Metode yang dipakai oleh peneliti adalah
metode deskriptif kualitatif,
Sesuai dengan namanya, penelitian kualitatif mempertahankan hakikat nilai-nilai. Oleh karena itu, penelitian kualitatif dipertentangkan dengan penelitian kuantitaif yang bersifat bebas nilai. Dalam ilmu sosial sumber datanya adalah masyarakat, data penelitiannya adalah tindakantindakan, sedangkan ilmu sastra sumber datanya adalah karya, naskah, data penelitiannya sebagai data formal adalah kata-kata, kalimat, dan wacana.6
Oleh karena itu, metode kualitatif ini sangat tepat digunakan untuk
pembahasan skripsi ini.
Ditinjau secara teknis penulisannya berdasarkan pada buku
pedoman penulisan skripsi, tesis dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2007 dengan beberapa perubahan sesuai dengan petunjuk dari
pembimbing.
1. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses
langsung dari sumbernya tanpa lewat perantara. Sumber data primer
dalam penelitian ini adalah novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy
terbitan Qanita, Bandung, tahun 2009 cetakan 1.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak
langsung atau lewat perantara, tetapi masih berdasar pada kategori
5
I Made Wirartha, Metode Penelitian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Andi Offset, 2006), hlm. 68
6
konsep yang akan dibahas. Sumber data sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini adalah buku-buku pendukung dalam penelitian ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dengan teknik
simak dan catat. Teknik studi pustaka menggunakan sumber-sumber
tertulis mengenai teori yang berkaitan dengan masalah penelitian guna
untuk memperoleh data penelitian. Selanjutnya dengan melakukan
kegiatan menyimak secara cermat dan terfokus pada sumber data.
Peneliti melalui kegiatan menyimak dan mencatat secara cermat
terhadap sumber primer agar dapat mendeskripsikan dan memaparkan
masalah dalam penelitian.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan pembacaan
heuristik dan hermeneutik yang tergolong dalam model pembacaan
semiotik. Kegiatan pembacaan ini diawali dengan pembacaan heuristik
lalu dilanjutkan dengan tahapan pembacaan hermeneutik. Pembacaan
heuristik merupakan pembacaan karya sastra dalam semiotik tingkat
pertama, yaitu berupa pemahaman makna sebagaimana dikonvensikan
oleh bahasa (yang bersangkutan). Pembacaan heuristik menghasilkan
pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat, actual meaning. 7
Hermeneutik adalah ilmu atau teknik memahami karya sastra
dengan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut
maksudnya. Cara kerja hermeneutik untuk penafsiran karya sastra,
dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan
unsur-unsurnya, dan sebaliknya pemahaman unsur-unsur berdasarkan
keseluruhannya. 8 Model pembacaan heuristik berdasarkan teksnya
sedangkan hermeneutik dilihat dari konteksnya di masyarakat atau di
kehidupan nyata.
7
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), hlm. 33
8
Langkah-langkah untuk menganalisis novel Geni Jora dalam
penelitian ini adalah melalui pembacaan secara heuristik untuk
mengetahui secara keseluruhan dan makna yang tersurat di dalam novel
Geni Jora. Selanjutnya, melalui pembacaan hermeneutik untuk
mengetahui unsur intrinsik yang terdapat di dalam novel dan
mengetahui nilai pesantren dalam novel Geni Jora. Kemudian,
pembahasan analisis unsur intrinsik novel dan diimplikasikan dalam
pembelajaran bahasa Indonesia dan sastra di kelas XI SMA. Langkah
9
Karya sastra merupakan sarana pendidikan yang memiliki
bermacam-macam bentuk, seperti puisi, cerpen, novel, gurindam, prosa dan drama. Dalam
hal ini penulis memfokuskan pada salah satu karya sastra berupa novel. Kata
novel berasal dari berasal dari Bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman:
novelle). Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan
kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.1Kamus Besar
Bahasa Indonesiamenyatakan bahwa novel adalah “karangan prosa yang panjang
mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya
dengan menonjolkan watak dan sifat setiap perilaku.2
Novel merupakan salah satu karya sastra imajinatif atau rekaan tetapi
ada pula novel yang diciptakan berlatar dari realita atau pengalaman di masa lalu
yang dituangkan oleh pengarang. Novel sebagai karya fiksi menawarkan sebuah
dunia yang diidealkan. Dunia tersebut merupakan dunia imajinatif yang dibangun
melalui berbagai unsur intirinsiknya seperti peristiwa, tokoh, latar, sudut pandang,
dan lain-lain yang tentu saja ke semuanya bersifat imajinatif.3
Oleh karena bentuknya yang panjang, novel tidak dapat mewarisi kesatuan
padat yang dipunyai cerpen. Novel juga tidak mampu menjadikan topiknya
menonjol seperti prinsip mikrokosmis cerpen. Sebaliknya, novel mampu
menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan
yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang
terjadi beberapa tahun silam yang lebih mendetil. Ciri khas novel ada pada
kemampuannya untuk menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus rumit.
Ini berarti bahwa novel lebih mudah sekaligus lebih sulit dibaca jika dibandingkan
1
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), hlm. 11
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm.788
3
dengan cerpen.4 Novel yang memiliki ciri lebih padat tentu memiliki isi cerita
yang lebih kompleks dibandingkan dengan cerpen. Dan karena kepadatannya,
isinya lebih mendetail.
Dari beberapa pendapat di atas, penulis membuat kesimpulan bahwa novel
adalah bentuk cerita prosa fiktif yang dapat menampung perkembangan satu
karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit
karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam yang
lebih mendetil dan bersifat imajinatif. Meskipun demikian, di dalam sebuah novel
memungkinkan mengangkat sebuah cerita kehidupan manusia secara mendalam.
B. Unsur-unsur intrinsik novel
Novel memilki unsur intrinsik atau yang biasa disebut unsur pembangun
karya sastra. Pada umumnya para ahli membagi unsur intrinsik prosa atas tema
dan amanat, sudut pandang/titik pandang pengarang, tokoh, watak, dan
penokohan, alur/plot, latar/setting, gaya bahasa, dan gaya penceritaan.5 Kepaduan
antar unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel terwujud.
a. Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema merupakan kaitan
hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh
pengarangnya. 6 Sedang pendapat lain mengatakan bahwa tema merupakan
gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra.7 Lalu
pendapat selanjutnya mengatakan bahwa tema adalah persoalan yang
diungkapkan dalam sebuah ciptarasa. Ia masih bersifat netral. Belum
punya tendensi (kecenderungan) memihak. 8Sehingga bisa dikatakan
bahwa tema adalah gagasan sentral yang diperjuangkan oleh pengarang
dalam karya sastranya. Tema jarang dituliskan secara tersurat oleh
4
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 90
5
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), hlm. 142
6
Ibid., hlm. 161
7
Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), hlm. 50
8
pengarangnya. Untuk menentukan tema dalam novel tidak bisa hanya
membaca sebagian dari novel tersebut.
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan „makna’ dalam
pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu
diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian
atau emosi yang dialami manusia sepertinya cinta, derita, rasa takut,
kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri,
disilusi atau bahkan usia tua. 9 Dari definisi di atas, dapat disimpulkan
bahwa tema adalah makna yang dapat merangkum seluruh isi cerita.
b. Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan sosok atau pelaku yang berada di dalam cerita
hingga peristiwa itu menjalin suatu cerita. Abrams mengemukakan tokoh
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya, yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki kualitas noral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan. 10
Perwatakan atau penokohan adalah pelukisan tokoh/pelaku cerita
melalui sifat-sifat dan tingkah laku dalam cerita. Penokohan dalam sebuah
karya sastra adalah cara pengarang untuk menampilkan para tokoh dengan
wataknya, yakni sifat, sikap, dan tingkah lakunya. Boleh juga dikatakan
bahwa penokohan itu merupakan cara penyerang untuk menampilkan
watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh,
sebuah cerita tidak terbentuk. Bentuk penokohan yang paling sederhana
ialah pemberian nama kepada para tokoh di dalam sebuah cerita11
Tokoh dalam cerita dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis
penamaan, berdasarkan peran dan pentingnya seorang tokoh dibedakan
9
Stanton, op. cit., hlm.36-37
10
Nurgiyantoro, op. cit., hlm.165
11
menjadi; tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari segi peranan atau
tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita ada tokoh yang tergolong
penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi
sebagian besar cerita. Sebaliknya, ada tokoh yang hanya dimunculkan
sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu ungkin dalam porsi
penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh
utama, sedang yang kedua adalah tokoh tambahan. 12
Dilihat dari watak yang dimiliki tokoh, dapat dibedakan menjadi
tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang
wataknya disukai pembaca. Biasanya berwatak baik dan positif.
Sedangkan, tokoh antagonis adalah tokoh yang wataknya dibenci
pembaca. Biasanya memiliki watak buruk dan negatif.13
Seseorang yang membaca sebuah novel, biasanya akan tertarik akan
persepsi, penafsiran dan pemahaman tokoh-tokoh yang dihadirkan
pengarang. Kadangkala perwatakan dalam sebuah novel dipaparkan dalam
dua golongan yang berlawanan, „baik’ dengan „buruk’ atau „simpatik’
dengan „tidak simpatik’. Bahkan sering pula nampak dikategorisasikan sebagai tingkatan-tingkatan „kebaikan’ dan „keburukan’, yang semuanya
itu menunjukkan kepada pembaca bahwa di antara kita tidak seorangpun
yang sempurna. 14
c. Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam
cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang
berlangsung. 15Latar di dalam sebuah karya sastra merupakan tempat
peristiwa sebuah cerita berlangsung. Latar dapat juga dapat diartikan
sebagai waktu atau masa berlangsungnya suatu peristiwa karena latar itu
sekaligus merupakan lingkungan yang dapat berfungsi sebaagai
12
Nurgiyantoro, op. cit., hlm. 258-267
13
Siswanto, op. cit., hlm. 143-144
14
Rahmanto, op. cit., hlm.71
15
metonomia atau metafora untuk mengekspresikan para tokoh.16 Latar atau
setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian
tempat dan hubungan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. Tahap awal suatu karya pada umumnya berupa pengenalan,
pelukisan, atau penunjukan latar, namun hal tersebut tak berarti bahwa
pelukisan dan penunjukan latar hanya dilakukan pada tahap awal cerita.
Cerita berkisah tentang seseorang atau beberapa orang tokoh.
peristiwa-peristiwa dalam cerita tentulah terjadi pada suatu waktu atau
dalam suatu rentang waktu tertentu dan pada suatu tempat tertentu. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan
yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa
dalam suatu karya sastra membangun latar cerita. 17
Pendapat Abrams yang dikutip dari buku Teori Pengkajian Fiksi, latar
disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. Stanton mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan
plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan
dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi18.
Latar sendiri dikategorikan menjadi tiga bagian, yakni latar tempat, latar
waktu, latar sosial.
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan
mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu,,
mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. 19 Latar waktu berhubungan
dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan
dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan
16
Rene Wellek dan Austin Warren, op. cit., hlm. 290-291
17
Sudjiman, op. cit., hlm. 44
18
Nurgiyantoro, op. cit.,hlm. 209
19
dengan peristiwa sejarah. 20 Sedang latar sosial menyaran pada hal-hal
yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu
tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. 21
Dapat disimpulkan, latar/ setting memberikan kesan realistis terhadap
pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah
sungguh-sungguh terjadi. Latar juga amat erat kaitannya dengan tokoh dan juga
plot/alur. Peristiwa-peristiwa yang dialami para tokoh tidak dapat
dilepaskan dari tempat, perjalanan waktu, dan keadaan sosial yang
melatarbelakangi peristiwa-peristiwa tersebut.
Dalam Nurgiyantoro, latar terbagi menjadi latar fisik dan latar
spiritual, latar netral dan latar fungsional. Latar fisik adalah latar tempat
secara jelas menunjuk pada lokasi tertentu, yang dapat dilihat dan
dirasakan kehadirannya, sedang latar spiritual adalah latar yang berwujud
tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat
yang bersangkutan. Latar netral adalah sebuah tempat hanya sekadar
sebagai tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan tidak lebih dari itu
dan tidak akan mempengaruhi pemplotan dan penokohan, sedang latar
fungsional adalah latar yang mampu mempengaruhi cerita dan bahkan ikut
menentukan perkembangan plot dan pembentukan karakter tokoh, karena
mempengaruhi perkembangan plot dalam sebuah cerita fiksi, latar
fungsional tidak dapat digantikan dengan latar lain tanpa mengganggu atau
bahkan merusak cerita.22
d. Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam
sebuah cerita. 23 Sudjiman dalam Melani Budianta berpendapat, alur
adalah rangkaian peristiwa direka dan dijalin dengan seksama membentuk
alur yang menggerakkan jalannya cerita melalui rumitan ke arah klimaks
20
Ibid.,hlm. 230
21
Ibid.,hlm. 233
22
Ibid.,hlm. hlm. 302-308
23
dan selesaian. 24 John Mullan berpendapat, alur atau plot adalah sebagai
berikut,
Does every novel have a plot? Colloquially the word „plot‟
is often used as if it were synonymous with „story‟ or
„narrative‟, as if it uncover some hidden design. Some novels are not much interested in plot it all. Some novelist have suspected that plot isinherently unrealistic, unlifelike. Others, meanwhile, are enjoyed especially for their plots. It is useful to distinguish between plot, narrative and story. We can think of novel‟s story as the material of its events
and characters-what happens in it.25
Apakah tiap novel mempunyai plot (alur)? Biasanya kata
„plot’ seringkali disamakan dengan kata „cerita’ atau „cerita’. Beberapa novel malah tidak begitu tertarik dengan jalan cerita sama sekali. Beberapa penulis novel bahkan menyangka bahwa plot itu tidak sesuatu yang penting, tidak realistic, dan tidak seperti kehidupan sebenarnya. Sedangkan yang lain malah menikmati jalan cerita. Ini sangat berguna untuk membedakan antara plot, narasi dan cerita. Kita bisa memikirkan cerita novel sebagai materi apa yang terjadi di dalamnya dan siapa saja karakternya.
Abrams berpendapat, alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh
tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang
dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita. Dalam cerita modern,
alur tidak selalu dimulai dengan pengenalan dan diakhiri tahap
penyelesaiaan. Ada kemungkinan cerita dimulai dengan konflik. Ada
kemungkinan cerita yang dimulai dari penyelesaian.26
Sudjiman membagi atas alur utama dan alur bawahan. Alur utama
merupakan rangkaian peristiwa utama yang menggerakkan jalan cerita.
Alur bawahan adalah alur yang disusupkan di sela-sela bagian alur utama
sebagai variasi. Alur bawahan adalah lakuan tersendiri yang masih ada
hubungannya dengan alur utama.27
24
Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra, (Magelang: Penerbit Indonesia Tera, 2006), hlm. 86
25
John, Mullan, How Novel Works, (New York: Oxford University Press, 2006), hlm. 169.
26
Siswanto, op. cit.,hlm. 159
27
Dari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa alur
adalah suatu rangkaian cerita yang membangun cerita. Dimulai dengan
adanya permulaan cerita lalu dilanjutkan dengan sebuah peristiwa
sehingga memunculkan konflik lalu mencapai klimaks dan diakhiri dengan
penyelesaian.
e. Sudut Pandang
Unsur selanjutnya dari sebuah prosa, dalam hal ini novel adalah sudut
pandang (point of view). Sudut pandang pada dasarnya merupakan strategi
teknik, siasat, yang sengaja dipilih pengarang untuk mengungkapkan
gagasan dan ceritanya untuk menampilkan pandangan hidup dan
tafsirannya terhadap kehidupan yang semua ini disalurkan melalui sudut
pandang tokoh. 28
Istilah sudut pandang yang dalam bahasa Inggris point of view atau
viewpoint mengandung arti : suatu posisi di mana si pencerita berdiri,
dalam hubungan dengan ceritanya, yakni suatu sudut pandang di mana
peristiwa diceritakan : point of view is the position which the narrator
stands in relation to the story; the standpoint from which events are
narrated.29
Dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama.
Pada „orang pertama-utama’, sang karakter utama bercerita dengan
kata-katanya sendiri. Pada „orang pertama-sampingan’, cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan). Pada „orang ketiga-terbatas’,
pengarang mengacu pada semua karakter dan memosisikannya sebagai
orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat,
didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja. Pada „orang ketiga
-tidak terbatas’, pengarang mengacu pada setiap karakter dan
memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat membuat
28
Albertine, Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Yayasan Obor: Jakarta: 2011), hlm. 88
29
beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau saat ketika tidak
ada satu karakter pun hadir. 30
f. Gaya bahasa
Gaya bahasa mencakup berbagai figur bahasan antara lain; metafor,
simile, antitesis, hiperbola dan paradoks. Pada umumnya gaya bahasa
adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa digunakan
dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek.
Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi lebih
segar dan berkesan. 31
Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya Teori Pengkajian Fiksi
menyebut gaya bahasa dengan istilah style gaya. Gaya yang dikenal
dengan kata style diturunkan dari kata lain stilus, yaitu semacam alat untuk
menulis pada lempengan lilin. “kelak pada waktu penekanan
dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah
menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan
kata-kata secara indah.” Burhan Nurgiyantoro berpendapat mengenai gaya
(style) sebagai berikut:
“Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan
ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu dapat dilihat pada bentuk ungkapan bahasa
seperti yang dipergunakan dalam karya.”32
Stile sendiri ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahsa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain.
Dapat diartikan gaya bahasa bahasa adalah cara yang khas, yang dipakai pengarang untuk mengungkapkan sesuatu cerita dengan indah (dan sesuai khas seorang pengarang). Hal tersebut meliputi ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bahasa figuratif, dan penggunaan kohesi sehingga dapat menyentuh emosi dari pembaca cerita/
30
Stanton, op. cit., hlm. 53-54
31
Minderop, op. cit.,hlm. 88
32
karya si pengarang. Tentunya setiap pengarang memiliki gaya bahasa tersendiri dalam bercerita.
C. Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra merupakan disiplin ilmu tentang kehidupan
masyarakat yang objek kajiannya mencakup fakta sosial, definisi
sosial, dan perilaku sosial yang menunjukkan hubungan interaksi
sosial dalam suatu masyarakat. 33
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi
berasal dari akar kata sosio (Yunani) (Socius berarti bersama-sama,
bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan,
perumpaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna,
sosi/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi sosiologi
berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi)
masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan
hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional,
dan empiris. Sastra dari akar kata sas (sansekerta) berarti
mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau buku pengajaran yang
baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk
menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya
yang baik.
Ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu
dipertimbangkan, dalam rangka menemukan objektivitas hubungan
antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:
Pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.
Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkadnung di dalamnya.
Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangan.
Analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan seberapa jauh peranannya dalam mengubah struktur kemasyarakatan.
33
Analisis yang berkaitan dengan manfaat karya dalam membantu perkembangan masyarakat.
Analisis mengenai seberapa jauh kaitan langsung antara unsur-unsur karya dengan unsur-unsur masyarakat.
Analisis mengenai seberapa jauh keterlibatan langsung pengarang sebagai anggota masyarakat.
Sosiologi sastra adalah analisis institusi sastra
Sosiologi sastra adalah kaitan langsung antara karya sastra dengan masyarakat.
Sosiologi sastra adalah hubungan searah (positivistik)
Sosiologi sastra adalah hubungan dwiarah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat
Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Pemahaman yang berkaitan dengan aktivitas kreatif sebagai semata-mata proses sosiokultural.
Pemahaman yang berkaitan dengan aspek-aspek penerbitan dan pemasaran karya.
Analisis yang berkaitan dengan sikap-sikap masyarakat pembaca.34
Sebagai sebuah dunia miniatur, karya satra berfungsi untuk
menginventarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian, yaitu kejadian-kejadian
yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi. Pada
dasarnya, seluruh kejadian dalam karya, bahkan juga karya-karya yang termasuk
ke dalam genre yang paling absurd pun merupakan prototipe kejadian yang
pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ciri kreativitas
dan imajinasinya, sastra memiliki kemungkinan yang paling luas dalam
mengalihkan keragaman kejadian alam semesta ke dalam totalitas naratif
semantis, dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional. 35
D. Hakikat Pesantren
1. Pengertian Pesantren
Pesantren didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan
pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung
asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen. 36 Nama
34
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 1-3
35
Ibid.,hlm. 35
36
tempat pendidikan Islam tradisional ini, pesantren secara etimologis
asalnya pe-santri-an, berarti “tempat santri”. Santri atau murid
(umumnya sangat berbeda-beda) mendapat pelajaran dari pemimpin
pesantren (Kyai) dan oleh para guru (ulama atau ustad). Pelajarannya
mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan Islam. 37
Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, selama ini pesantren
dikenal sebagai pencetak para ulama andal di Indonesia. Ini terkait
dengan misi utama pesantren sebagai lembaga pencetak thaifah
mutafaqqihina fiddin (para ahli agama). Tak terhitung jumlahnya
ulama yang telah lahir dari pesantren. Kita mengenal nama-nama
seperti Imam Nawawi Al-Bantani, HOS Tjokroaminoto, Buya Hamka,
KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Imam Zarkasyi, KH. Abdurrahman Wahid. Mereka adalah sebagian kecil dari para
alumni pesantren yang menjadi ulama di kemudian hari.
Pengertian lain, pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa
dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem
pendidikan nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik
dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian
Indonesia (indigenous).38
2. Fungsi Pesantren
Menurut Ma’shum, fungsi pesantren semula mencakup tiga aspek
yaitu fungsi religius (diniyyah), fungsi sosial (ijtimaiyyah), dan fungsi
edukasi (tarbawiyyah). Ketiga fungsi ini masih berlangsung hingga
sekarang. Fungsi lain adalah sebagai lembaga pembinaan moral dan
kultural. A. Wahid Zaeni menegaskan bahwa di samping lembaga
pendidikan, pesantren juga sebagai lembaga pembinaan moral dan
kultural, baik di kalangan para santri maupun santri dengan
37
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta : Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1986), hlm.16
38
masyarakat. Kedudukan ini memberikan isyarat bahwa
penyelenggaraan keadilan sosial melalui pesantren lebih banyak
menggunakan pendekatan kultural. 39
3. Sistem Pendidikan Pesantren
Pesantren adalah sistem pendidian yang melakukan kegiatan setiap
hari. Santri tinggal di asrama dalam satu kawasan bersama guru, kiai,
dan senior mereka. Oleh karena itu, hubungan yang terjalin antara
santri-guru-kiai dalam proses pendidikan berjalan intensif, tidak
sekadar hubungan formal ustad-santri di dalam kelas. Dengan
demikian kegiatan pendidikan berlangsung sepanjang hari, dari pagi
hingga malam hari.40
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak bisa lepas dari
beberapa unsur dasar yang membangunnya. Dalam sistem pendidikan
pesantren unsur yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Aktor atau pelaku, kiyai, ustad, santri, dan pengurus.
b. Sarana perangkat keras: masjid, rumah kiyai, rumah dan
asrama pesantren, gedung atau madrasah dan sebagainya.
c. Sarana perangkat lunak: tujuan, kurikulum, kitab, penilaian,
tata tertib, perpustakaan, pusat dokumentasi dan penerangan,
cara pengajaran, keterampilan, pusat pengembangan
masyarakat dan alat-alat pendidikan lainnya. 41
4. Nilai Pesantren
Pola kehidupan pesantren termanifestasikan dalam istilah “panca
jiwa” yang di dalamnya memuat “lima jiwa” yang harus diwujudkan
dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri. Kelima jiwa
39
Qomar, op. cit.,hlm.23
40
Ibid.,hlm.64
41
Nur Inayah, Sistem Pendidikan Formal di Pondok Pesantren, (dalam jurnal
tersebut adalah jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa
kemandirian, jiwa ukhuwah Islamiyah, dan jiwa kebebasan yang
bertanggung jawab. Adapun uraiannya sebagai berikut.
a. Jiwa keikhlasan
Jiwa ini tergambar dalam ungkapan “sepi ing pamrih”, yaitu
perasaan semata-mata untuk beribadah yang sama sekali tidak
dimotivasi oleh keinginan memperoleh keuntungan-keuntungan
tertentu. 42
Jiwa keikhlasan dalam kehidupan pesantren diterapkan pada
hal-hal yang kecil, misalnya dalam hal-hal beribadah. Santri diharapkan akan
terbiasa untuk melakukan ibadah-ibadah yang wajib sampai sunnah
dengan cara mewajibkannya terlebih dahulu menjadi bagian dari
keseharian santri, kemudian tujuan akhir yang pesantren harapkan
adalah keikhlasan santri untuk menganggap ibadah sebagai kebutuhan.
b. Jiwa kesederhanaan
Kehidupan di pesantren diliputi suasana kesederhanaan yang
bersahaja. Sederhana di sini bukan berarti pasif, melarat, nrimo, dan
miskin, melainkan mengandung kekuatan hati, ketabahan, dan
pengendalian diri di dalam menghadapi berbagai macam rintangan
hidup sehingga diharapkan akan terbit jiwa yang besar, berani,
bergerak maju, dan pantang mundur dalam segala keadaan. 43
Kesederhanaan dalam praktiknya di pesantren dapat dilihat dari hal
yang paling pokok bagi manusia, yaitu sandang, pangan, dan papan.
c. Jiwa kemandirian
Berdikari, yang biasanya dijadikan akronin dari “berdiri di atas kaki sendiri”, bukan hanya berarti bahwa seorang santri harus belajar
42
Abdul Halim, Modernisasi Pesantren Studi Transformasi Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2013), hlm. 44
43
mengurus keperluannya sendiri, melainkan telah menjadi semacam
prinsip bahwa sedari awal pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
tidak pernah menyandarkan kelangsungan hidup dan
perkembangannya pada bantuan dan belas kasihan pihak lain. 44
Kemandirian diterapkan sejak awal santri bermukim di pesantren.
Jauh dari orang tua mengharuskan santri untuk berjuang sendiri.
Contoh sederhananya santri harus mengelola kebutuhan hidupnya dari
mulai belanja sabun mandi, merapikan kasur dan lemari serta mengatur
keuangan dari kiriman orang tua.
d. Jiwa ukhuwah islamiyah
Suasana kehidupan di pesantren selalu diliputi semangat
persaudaraan yang sangat akrab sehingga susah dan senang tampak
dirasakan bersama tentunya, terdapat banyak nilai-nilai keagamaan
yang melegimitasinya. 45
Penerapan ukhuwah islamiyah dalam pesantren dapat terlihat dari
kebersamaan yang santri jalani sehingga tercipta keakraban di antara
mereka. Kegiatan-kegiatan yang berlangsung bersama-sama misalnya
salat berjamaah, tidur pada kamar yang sama, jam makan yang
bersamaan, mengantri pada kamar mandi yang sama, serta berada
dalam satu kelompok mengaji. Kebersamaan inilah yang akhirnya
menimbulkan kasih sayang di antara para santri. Ketika salah satu
santri sakit, maka teman santri yang lainnya lah yang pertama kali tahu
dan merawatnya. Ketika teman belum mendapat kiriman dari orang
tua, maka masih ada teman santri yang bisa meminjamkan uang. Hal
ini terlebih karena mereka berada pada posisi yang sama dan adanya
kasih sayang di antara mereka.
44
Ibid.,hlm. 45
45
e. Jiwa kebebasan
Para santri diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya kelak di
tengah masyarakat. Mereka bebas menentukan masa depannya-dengan
berbekal jiwa yang besar dan optimisme yang mereka dapatkan selama
ditempa di pesantren.46
Pesantren di masa sekarang tidak mewajibkan santrinya kelak
hanya untuk menjadi ulama. Santri dibebaskan menjadi apapun selama
bermanfaat bagi orang lain. Hal ini terlihat dari kebebasan santri untuk
memilih menjadi apapun dan pesantren dapat mengakomodirnya.
Misal ketika santri ingin menjadi atlet, maka pesantren tidak akan
melarang santri tersebut untuk mengejar prestasinya dan bahkan
mengakomodirnya dengan cara mengikutkan santri tersebut ke
berbagai kompetisi, salah satunya Pospenas (Pekan Olahraga dan Seni
antar Pondok Pesantren Tingkat Nasional).
Selain nilai-nilai di atas, terdapat nilai-nilai lainnya menurut pendapat
Lanny Octavia dkk dalam buku Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi
Pesantren, sebagai berikut:
1. Cinta Tanah Air
Para ulama pesantren telah merumuskan konsep persaudaraan yang
terjalin antar sesama Muslim (ukhuwaah Islamiyah), antar sesama
anak bangsa (ukhuwwah wathoniyyah) dan antar sesama manusia
(ukhuwah basyariyyah). Konsep persaudaraan ini dirumuskan oleh
KH. Achmad Siddiq, pimpinan Pondok Pesantren As-Siddiqiyah di
Jember, mantan Ketua Rais Suriyah PBNU dan sekretaris pribadi KH.
Wahid Hasyim pada tahun 1950. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
kemudian menyebarluaskan, memberi pemaknaan lebih mendalam dan
46
menerapkan konsep tersebut dalam pergaulan yan lebih luas, di mana
seluruh ulama pesantren pun ikut mengamini langkah tersebut. 47
2. Kasih Sayang
Sebagai lembaga pendidikan agama, pesantren memiliki peran dan
tanggung jawab dalam pengembangan kasih sayang kepada santri.
Dalam praktiknya pendidikan kasih sayang di pesantren dilakukan
dengan cara-cara berikut:
Pertama, para kiai dan ustaz memberikan kesempatan dan
mendorong para santri dengan berbagai cara dan momentum untuk
menunjukan kepedulian terhadap orang lain. Kedua, menciptakan
suasana emosional; yang kondusif seperti saling menghargai,
menerima, menyayangi, menghibur dan membantu teman dan
sebagainya. Ketiga, pesantren menyediakan model perilaku sosial yang
positif. Kiai mencontohkan hal-hal yang baik yang bisa diteladani
santrinya. Keempat, memberikan dukungan dan penguatan pada para
santri. Kelima, pesantren menyediakan sarana yang mendorong
tumbuhnya kasih sayang di dalam jiwa para santri, seperti kitab-kitab,
kegiatan-kegiatan keagamaan, diskusi bertema sosial, dan latihan
merespon permasalahan atau kesulitan yang dialami orang lain secara
positif. 48
3. Kedamaian
Kedamaian dalam tradisi pondok pesantren terdapat pada gaya
hidup keseharian, dan cara pandang keagamaan dalam merespon dan
menyikapi persoalan kemanusian. Pertama, kedamaian dalam konteks
gaya hidup kiai dan para santri hidup secara damai, senantiasa dalam
suasana belajar dan mengaji atau tafaqquh fi al-din
(belajar-mengajarseputar agama), jauh dari hiruk pikuk kehidupan duniawi.
47
Lanny, Octavia, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta: Renee Book, 2014), hlm.32-33
48
Kedua, kedamaian dalam konteks cara-pandang keagamaan. Dengan
penguasaan atas kekayaan khazanah kitab kuning, kiai dan santri tidak
memahami Islam secara sempit, literalis, dan kaku. Mereka
menyuguhkan pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin (kasih
sayang bagi seluruh alam), anti kekerasan dan cinta damai.
Pemahaman keislaman inilah yang diajarkan pada para santri di
pondok pesantren. 49
4. Toleransi
Di pesantren, tradisi toleransi terbentuk oleh pengaruh kitab fikih
klasik yang membahas suatu persoalan dari berbagai sudut pandang
yang berbeda. Perbedaan pendapat ulama (ikhtilaf al – ulama)
mendorong para kiai dan santri untuk fleksibel dalam menyikapi
perbedaan dan tidak mudah menyalahkan pihak lain. Kemajemukan
pandangan dalam tradisi fikih pesantren merasuk ke dalam alam
bawah sadar kiai dan santri dan membuat mereka tidak fanatik karena
terbiasa mendapati banyak pandangan dalam kehidupan. Dalam
lingkup mazhab Syafi’i saja hukum fikih tidak tunggal, apalagi jika dibandingkan dengan fikih mazhab lainnya. Realitas perbedaan ini
biasanya dibahas secara bersama secara musyawarah dalam bentuk
diskusi atau batsul masa‟il. Sementara itu, orang yang terdoktrin
dengan pemahaman tunggal dalam menafsirkan ayat cenderung
beragama keras (radikal).50
5. Kesetaraan
Kesetaraan berasal dari kata tara, yang berarti sama (tingkatan dan
kedudukan). Dengan demikian, kesetaraan menunjukan adanya
tingkatan atau kedudukan yang sama. Kesetaraan diperoleh melalui
sikap dan perlakuan yang sama terhadap sesama manusia, tanpa
49
Ibid.,hlm. 70-71
50
membedakan warna kulit, suku, agama, jenis kelamis, kelas
sosial-ekonomi dan sebagainya.51
KH. Muhammad Nashih Sachal, Lc., salah satu pimpinan Pondok
Pesantren Syaichona Moch. Cholil Bangkalan Madura, mengutip dalil
Al-Quran, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah
adalah yang bertakwa kepada-Nya,” yang mengaskan bahwa semua
manusia sama dalam pandangan Allah, baik kaya ataupun miskin,
pejabat ataupun rakyat kecil. Jika dalam konteks agama yang
membedakan mereka adalah kadar ketakwaannya saja, maka dalam
konteks negara yang menjadi ukuran adalah moral dan etika dalam
berhubungan dengan berbagai kelompok. 52
6. Musyawarah
Dalam sebuah kalam hikmah dikatakan, “Separuh akalmu terdapat
pada saudaramu. Maka bermusyawarahlah agar engkau memiliki akal
yang utuh dan sempurna.” Kalam hikmah inilah yang barangkali
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kegiatan pembelajaran
santri-santri di pesantren. Selain menggunakan metode sorogan,
bandongan, atau weton, pendidikan di pesantren juga diajarkan
menggunakan metode musyawarah atau dalam bahasan yang lebih
dikenal dengan istilah batsul masail. Forum ini pada dasarnya
memfasilitasi para santri dalam penguatan keilmuan dan peningkatan
kecakapan retorika berbicara. Di samping memiliki muatan luhur
yakni para santri diajak berpikir, berpendapat, berdebat dan
berpolemik secara argumentatif dan sistematis. Dalam lain ungkapan,
melalui forum inilah para santri juga dilatih untuk menyampaikan
statemen, ide, gagasan, wacana atau pandangannya secara teratur,
tertata, lugas dan mudah dipahami. Capaian pendidikan santri melalui
metode musyawarah atau batsul masail inilah pda gilirannya dapat
51
Ibid.,hlm. 111
52
mengantarkan mereka secara sosiologis-akademik memiliki keilmuan
Islam yang memadai dan kecakapan dalam berkomunikasi. 53
7. Tradisi „Roan’ : Gotong Royong di Pesantren
Salah satu istilah yang populer digunakan untuk menunjukan
aktivitas gotong royong atau kerja bakti yang melibatkan banyak santri
di pesantren adalah kegiatan „roan’. Istilah ini banyak digunakan di
beberapa pesantren, terutama di daerah Cirebon. Di Pondok Pesantren
Babakan, Ciwaringin, Cirebon, misalnya, kegiatan ini dilakukan pada
hari Jumat pagi. Selain dianggap efektif karena kegiatan pendidikan di
pesantren diliburkan, kegiatan di madrasah-madrasah juga libur. Bagi
para santri, kegiatan roan ini memiliki pelajaran tersendiri, terutama
memupuk mereka dalam kebersamaan dan kepedulian terhadap hal-hal
yang baik. Mereka menyadari arti penting bahwa kesulitan apa pun
dalam bebankerja jika dilakukan dalam kebersamaan atau
bersama-sama akan terasa mudah dan relatif lebih cepat selesai. 54
8. Kepedulian Sosial
Salah satu bentuk kepedulian ditunjukkan oleh para eksponen
Pondok Pesantren Rakha, yang memiliki visi mengurangi angka
kemiskinan. Salah satu pengurusnya KH. Zainal Abidin, yang juga
merupakan Direktur Eksekutif LSM Yayasan Dinamika Inovasi
Swadaya, turut mengadvokasi masyarakat dayak di Kotabaru dalam
mempertahankan hutan sakral tempat pemujaan mereka dari ancaman
eksploitasi pengusaha. Sementara itu, pemihakan terhadap warga
sekitar juga ditunjukkan oleh Pesantren Darussalam, khususnya terkait
dengan kesempatan mencari nafkah melalui sektor informal.
Keberadaan pesantren ini dengan ribuan santrinya, menumbuhkan
perekonomian lokal. Saat istirahat, para santri mengunjungi deretan
53
Ibid.,hlm. 144-145
54
kios makanan yang diberi tempat di area halaman pesantren. Dengan
demikian keberadaan pesantren secara nyata ikut memberi berkah
rezeki kepada warga di sekitarnya. 55
9. Tanggung Jawab
Pesantren merupakan sebuah wilayah yang memiliki budayanya
tersendiri, sebagai sub-kultur di tengah kultur nusantara lainnya.
Proses interaksi dan afiliasi di pesantren berbeda dengan lingkungan
non-pesantren. Pesantren memiliki cara tersendiri dalam melaksanakan
pembelajaran dan menanamkan jiwa agamis dan nasionalis pada
santri.
Salah satu nilai yang menonjol di pesantren adalah tanggung jawab,
baik terhadap diri sendiri, lingkungan, orang tua, masyarakat, bangsa
dan negara. Para kiai/ nyai dan ustaz/ ustazah bertanggung jawab
memberikan pendidikan keagamaan kepada para santri, baik melalui
kajian kitab maupun teladan nyata. Sementara santri bertanggung
jawab untuk belajar dan mengaji secara sungguh-sungguh serta
mengamalkan ilmu yang diperolehnya dalam kehidupan. 56
Selain itu, para santri juga dididik menjadi manusia bertanggung
jawab melalui organisasi, di mana masing-masing bagian mempunyai
tugas dan tanggung jawab sendiri. Hukuman –atau dalam istilah
pesantren disebut ta‟zir– juga merupakan salah satu metode memupuk
kesadaran para santri supaya bertanggung jawab.
10.Penghargaan
Penghargaan bukanlah sekadar norma yang diajarkan di pesantren,
tetapi juga dicontohkan oleh para kiai/nyai, ustaz/ustazah, dan para
santriwan/wati. Para kiai dan ustaz adalah suri teladan bagi santri dan
masyarakat di sekitarnya. Penghargaan mereka terhadap ilmu-ilmu
55
Ibid.,hlm. 174
56
keagamaan ditunjukkan melalui pengalamannya dalam kehidupan
sehari-hari. Mereka pun menghargai para santri sebagai penuntut ilmu
(thalib al-ilm). Perhatian dan kasih sayang mereka terhadap santri
ditunjukkan dengan nasihat dan doa agar mereka kelak menjadi
orang-orang yang bermanfaat dan berkah ilmunya serta bisa mengajarkannya
kepada masyarakat.
Di sisi lain, para santri pun tentunya menghargai kiai yang
mengasuh mereka di pesantren. Di Pesantren Bali Bina Insani,
misalnya, para santri menyebut sang kiai (KH. Ketut Jama) dengan
panggilan “ayah”. Para santri merasakan ikatan batin yang kuat dengan kiai yang dianggap sebagai orangtua sendiri. Selain menghormati kiai,
para santri juga menghormati keluarga kiai. Di Jawa misalnya,
panggilan “Gus” adalah salah satu bentuk penghormatan para santri
terhadap putra kiai, dan “Ning” sebagai penghormatan terhadap kiai
putri kiai. Ketika berhadapan dengan kiai dan keluarganya, para santri
akan menggunakan bahasa halus (kromo inggil, bebasan, Sunda
lemes). Para santri pun mendengarkan dan mematuhi perkataan kiai,
sam‟an wa tha‟atan. Begitu pentingnya arahan kiai, sehingga para
alumnus pesantren rata-rata tetap bersilaturahmi dan sowan kepada
kiai-kiai mereka.
Selain itu, penghargaan juga diwujudkan antar sesama santri
walaupun mereka datang dari berbagai macam daerah, suku, bahasa
dan budaya yang berbeda. Keragaman dianggap sebagai kekayaan
yang harus dijaga, dihargai dan dirayakan. Jaringan dan pergaulan
nasional tersebut berlanjut setelah mereka terjun di tengah masyarakat.
Santri yang ideal bukanlah mereka yang cerdas dan pandai menguasai
pelajaran dan pengajian, melainkan mereka yang berakhlak mulia dan
yang lebih tua dan santri yang lebih lama mengenyam pendidikan di
pesantren. 57
11.Kemandirian
Sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia,
pesantren memberikan perhatian penting terhadap nilai dan praktik
kemandirian. Para santri sejak dini dididik untuk menjadi pribadi yang
mandiri agar bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan dan
masa depan kehidupannya. Masa-masa penanaman nilai kemandirian
di pesantren inilah yang sering kali disebut banyak kalangan
memberikan kontribusi pada pembentukan kepribadian manusia yang
bertanggung jawab. 58
12.Kejujuran
Tujuan fundamental pendidikan adalah menanamkan nilai
kejujuran kepada peserta didiknya. Kejujuran bukan hanya dimilki
wilayah kognisi semata, melainkan dipraktikkan dalam kenyataan
kehidupan. Hal yang paling menonjol nilai kejujuran di pesantren
diwujudkan dengan sikap jujur pada diri sendiri. Para santri hidup
menampilkan diri sendiri dengan apa adanya, dalam istilah pesantren
tidak „neko-neko’ atau „ita-itu’. Sehingga terkesan kehidupannya penuh dengan kesederhanaan, tak mengenal gengsi, dan tak menghias
diri secara berlebihan. Para santri pun jika ada yang bersalah,
melanggar tata-tertib pesantren atau madrasah, mereka mengakui
kesalahan, tidak menghindar atau mencari-cari alasan dan siap
menerima sangsi sebagai konsekuensi dari perbuatannya itu. 59
57
Ibid.,hlm.201-202
58
Ibid.,hlm. 214
59
13.Sikap Tawaduk
Tawaduk atau rendah hati kerap ditemui di kalangan pesantren. Hal
ini ditunjukan dengan tidak mengemukakan pendapat jika tidak
mengerti atau tidak meraa cukup argumentasi. Ketika mengajar dalam
sebuah pengajian, seorang ustaz tidak akan menganggap pendapatnya
sebagai yang paling benar. Di akhir pengajian selalu diucapkan sebuah
kata-kata yang mendeklarasikan bahwa hanya Allah yang Maha Tahu.
“Wallahu a‟lam bi al-shawab”60
14.Kesabaran
Di antara sekian banyak akhlak yang harus ada di dalam diri setiap
Muslim, kesabaran adalah yang paling banyak disebutkan dalam
Al-Quran, bahkan disebutkan lebih dari seratus kali. Hal ini tidak lain
karena kesabaran merupakan pusat dari segala macam akhlak baik.
Kalau kita menelisik lebih dalam mengenai suatu kebaikan, kita akan
menemukan bahwa landasannya adalah kesabaran; iffah (menjaga
kesucian diri) adalah menahan diri dari nafsu syahwat dan menahan
pandangan dari suatu yang diharamkan. Zuhd (tidak suka pada
keduniawian) adalah menahan diri dari kehidupan yang berlebihan.
Qanaah (merasa puas dengan apa yang dimilikinya) adalah menahan
diri dari berlebih-lebihan dan merasa puas dengan apa yang dimiliki.
Hilm (lemah lembut) adalah menahan diri dari amarah. Waqr (bersikap
tenang) adalah tidak tergesa-gesa dan tidak kurang akal. Berani adalah
menahan diri dari hal-hal yang mendorong untuk melarikan diri.
Memaafkan adalah menahan diri untuk tidak melakukan balas dendam.
Dermawan adalah menahan diri untuk tidak memenuhi panggilan
kekikiran. Semangat adalah menahan diri dari sesuatu yang mengajak
pada kelemahan atau kemalasan. 61
60
Ibid.,hlm. 258
61