• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Pesantren dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy dan Implikasinya Pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas XI SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nilai Pesantren dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy dan Implikasinya Pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas XI SMA"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

DI KELAS XI SMA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi persyaratan memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh Naila Saadah NIM 11100013000094

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

i

ABSTRAK

Naila Saadah 1110013000094, Nilai Pesantren dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas XI SMA.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeksripsikan nilai pesantren yang terkandung dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy dan implikasi nilai pesantren dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kelas XI SMA.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskripsif untuk mendeskripsikan data yaitu berupa analisis nilai pesantren dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy. Teknik penelitian yang digunakan adalah analisis dokumen yaitu Geni Jora karya Abidah El Khalieqy dan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan data dari kepustakaan yang berupa buku-buku yang ada kaitannya dengan objek penelitian yaitu nilai pesantren.

Dari hasil penelitian ini, dapat ditemukan nilai-nilai pesantren antara lain: nilai kemandirian, kesederhanaan, tanggung jawab, ukhuwah Islamiyah, tawaduk, kesetaraan, kesabaran, kesungguhan dan keikhlasan. Nilai Pesantren yang terdapat dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI, dalam aspek membaca. Selain itu, nilai-nilai yang terdapat pada novel diharapkan dapat diterapkan pada siswa yang membahasnya.

(6)

ii

ABSTRACT

Naila Saadah 1110013000094, Pesantren Value in the Novel Geni Jora by Abidah El Khalieqy and Implications in Teaching Indonesian Language and Literature in Grade XI Senior High School.

The purpose of this study is to descreibe pesantren value in the novel Geni Jora by Abidah El Khalieqy and the implications of pesantren value in the novel

Geni Jora by Abidah El Khalieqy in Indonesian language and literature learning

in grade XI Senior High School.

The methode used in this research is descriptive qualitative methode to describe the analysis of data in the form of pesantren value in the novel Geni Jora by Abidah El Khalieqy. Techniques used in this research is the analysis of the novel documents, novel Geni Jora by Abidah El Khalieqy and literature, then find and collect all data which is have corelation with the object of research, that is pesantren value.

From these results, it can be found the value of pesantren, among others: independece value, unpretentious value, responsibility, ukhuwah islamiyah, modest value, equality, patience, earnestness, and sincerity. Pesantren Value in the novel Geni Jora by Abidah El Khalieqy can be implicated in learning Indonesian language and literature at the high school level class XI, in the aspect of reading. Beside of that, all values in the novel can be applied by all students hopefully.

(7)

iii

kepada-Nya kembali segala sanjungan, kepada-Nya kami memohon pertolongan dan

ampunan, dan atas ridho-Nya sehingga penulis mampu menyusun skripsi ini dengan baik,

yang merupakan persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari banyak mendapat bantuan dari berbagai

pihak. Maka atas terselesaikannya skripsi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih

kepada;

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan izin penulisan skripsi ini

2. Makyun Subuki, M. Hum. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasan dan Sastra

Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah yang telah memberikan izin dalam penulisan skripsi ini.

3. Dona Aji Karunia Putra, MA. Selaku sekretaris jurusan, serta seluruh dosen

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan izin

dalam penulisan skripsi ini.

4. Ahmad Bahtiar, M. Hum, selaku pembimbing skripsi yang selalu sabar memberikan

pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah

memberikan bekal ilmu kepada penulis.

6. Pimpinan dan staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah

yang senantiasa memberikan pelayanan serta sebagai media untuk sumber referennsi

penulis.

7. Kedua orang tua tercinta Imam Syafii dan ibunda Sofiyah yang telah memberikan

dukungan dan doa restunya dengan tak pernah putus asa memberikan semangat

kepada penulis.Kepada keempat adik penulis, Sufyan Syafii, Wahid Fuady, Akhsanul

Fikri, dan Ifsya Ussurur untuk selalu menegor tetehnya agar semangat menyelesaikan

(8)

iv

untuk selalu menyemangati penulis untuk selalu menyelesaikan skripsi ini.

9. Budiman Irhamsyah, yang mengembalikan semangat yang telah sirna untuk segera

menyelesaikan skripsi ini dan kemudian memberi support sampai akhir.

10.Teman-temanku seperjuangan PBSI kelas C angkatan 2010 yang telah memberikan

dukungan dan semangatnya.

11.Semua pihak yang telah mendukung dan membantu sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi ini.

Jakarta, 20 Juni 2016

(9)

v

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

ABSTRAK ...i

KATA PENGANTAR ...iii

DAFTAR ISI ...v

BAB 1 PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Identifikasi Masalah ...4

C. Pembatasan Masalah ...4

D. Perumusan Masalah ...5

E. Tujuan Penelitian ...5

F. Manfaat Penelitian ...5

G. Metode Penelitian...6

1. Sumber Data ...6

2. Teknik Pengumpulan Data ...7

3. Teknik Analisis Data ...7

BAB II LANDASAN TEORI ...9

A. Pengertian Novel ...9

B. Unsur-Unsur Intrinsik Novel ...10

a. Tema ...10

b. Tokoh dan Penokohan ...11

(10)

vi

d. Alur ...14

e. Sudut Pandang ...16

f. Gaya Bahasa ...17

C.Sosiologi Sastra ...18

D.Hakikat Pesantren ...19

1. Pengertian Pesantren ...19

2. Fungsi Pesantren ...20

3. Sistem Pendidikan Pesantren ...21

4. Nilai Pesantren ...21

E. Hakikat Pembelajaran Sastra ...34

F. Penelitian Relevan ...35

BAB III PROFIL PENGARANG DAN SINOPSIS GENI JORA ...38

A.Profil Abidah El Khalieqy ...38

B.Gagasan Abidah El Khalieqy ...38

C.Sinopsis Novel Geni Jora ...39

BAB IV PEMBAHASAN... ...41

A.Struktur Novel Geni Jora ...41

B.Nilai Pesantren ...66

C.Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ...81

BAB V PENUTUP ...97

A.Simpulan ...97

B.Saran ...97

DAFTAR PUSTAKA ...98

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tanggal 22 Oktober 2015 silam, Presiden Jokowi meresmikannya

menjadi Hari Santri Nasional. Penetapan Hari Santri Nasional

dilatarbelakangi karena pemerintah memberikan apresiasi kepada santri

terdahulu yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ulama atau

tokoh santri yang menjadi pejuang kemerdekaan salah satunya adalah

pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim As’yari yang juga pendiri pondok

pesantren Tebuireng.

Semenjak itu makin banyaknya identitas santri yang menggema ke

seluruh Indonesia. Mereka yang pernah menjadi santri bahkan memasang

profil santri di berbagai sosial media dan tak segan serta berani

mengatakan bahwa dirinya santri. Hal ini tidak banyak dilakukan oleh

santri sebelum diikrarkannya Hari Santri Nasional.

Dalam banyak hal, pesantren secara sosiologis dapat dikategorikan

sebagai subkultur dalam masyarakat karena ciri-cirinya yang unik, seperti

adanya cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti

secara hierarki kekuasaan tersendiri yang ditaati sepenuhnya.1 Sehingga

kehidupan pesantren berbeda dengan kehidupan masyarakat pada

umumnya.

Pesantren mengemban beberapa peran, utamanya sebagai lembaga

pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan Islam yang sekaligus juga

memainkan peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan,

kepelatihan, pengembangan masyarakat dan sekaligus menjadi simpul

budaya, maka itulah pondok pesantren. 2

1

Tim Penulis Rumah Kitab, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta: Rumah Kitab, 2014), hlm. 4

2M. Dian Nafi’,

(12)

Di dalam pesantren terdapat nilai-nilai pesantren yang terdapat pada

semua kegiatan yang berlangsung selama santri belajar di pesantren.

Beberapa nilai pesantren di antaranya, nilai kesungguhan, keikhlasan,

tanggung jawab, kejujuran dan sebagainya.

Sastra sebagai cabang seni merupakan bagian integral dari

kebudayaan. Ditinjau dari segi pencipta, karya sastra merupakan

pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam

suatu kurun waktu dan situasi budaya tertentu. 3Sehingga pengalaman

hidup sangat berperan besar terhadap proses penciptaan karya sastra.

Karya sastra adalah ciptaan sang penulis dengan tujuan tertentu.

Karya-karya yang ditulis penulis sering menceritakan sebuah kisah, baik dalam

sudut pandang pertama atau bahkan orang ketiga, dengan plot dan melalui

penggunaan berbagai perangkat sastra. Karya sastra selalu

mengungkapkan masalah manusia dan kemanusiaan, baik tentang

pemaknaan hidup ataupun kehidupan. Sastra juga membicarakan tentang

nilai-nilai kehidupan yang menjadi dasar kita dalam berinteraksi, baik itu

nilai-nilai agama, sosial, maupun nilai pendidikan yang dianggap sangat

penting untuk generasi anak bangsa dalam membentuk kepribadian yang

cerdas, unggul, terampil dan peka terhadap lingkungannya. Melalui karya

sastra, sastrawan menampilkan nilai-nilai kehidupan, yang biasanya

terdapat dalam amanat suatu karya sastra.

Karya sastra memiliki banyak genre, salah satunya adalah novel.

Novel karya Abidah El Khalieqy yang berjudul Geni Jora ini merupakan

salah satu novel yang memiliki isi cerita yang menarik. Novel yang

memiliki latar budaya pesantren ini bercerita tentang seorang santri

perempuan bernama Kejora. Dia digambarkan sebagai sosok santri ideal.

Ia yang berpikiran moderat kerap kali mendebat para ustazahnya terutama

untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya. Kejora tumbuh menjadi

sosok wanita yang memiliki pengetahuan yang luas dan sangat taat agama.

3

(13)

Kehidupannya selama menjadi santri di pesantren telah sedikit banyak

mempengaruhi pola pikirnya.

Geni Jora karya Abidah El Khalieqy ini penulis anggap layak untuk

menjadi media bahan ajar. Karya sastra ini dinobatkan sebagai pemenang

dalam Sayembara Novel 2003 DKJ. Beberapa karya Abidah El Khalieqy

pun sudah mendapat pengakuan dari kalangan penulis. Tema yang

diangkat oleh Abidah dalam novel ini memang lebih banyak menyinggung

masalah feminisme. Beberapa karya Abidah pun demikian. Abidah sering

mengangkat isu gender dengan latar kehidupan pondok pesantren atau

pendidikan Islam lainnya. Sebut saja novel dengan judul Perempuan

Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy. Namun, nilai kepesantrenan

yang ada menjadi hal yang menarik untuk dibahas.

Nilai pesantren yang akan digali, kelak bisa menjadi panutan untuk

menjadi peserta didik yang lebih santun dan beradab. Nilai pesantren juga

dianggap lebih layak untuk digali dibanding menggali latar pesantren

karena beberapa alasan. Pertama, latar pesantren sudah banyak yang

meneliti. Kedua, dengan judul nilai pesantren diharapkan siswa atau

peserta didik maupun pengajar akan semakin memiliki pengetahuan

tambahan tentang pendidikan karakter melalui nilai-nilai pesantren yang

terdapat dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy.

Pada hakikatnya pembelajaran sastra dapat membantu pendidikan

secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: membantu

keterampilan bahasa, meningkatkan pengetahuan budaya,

mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan

watak.4Peserta didik diharapkan mendapat empat manfaat tersebut melalui

penjelasan unsur instrinsik dan ekstrinsik dalam karya sastra. Selama ini

pembelajaran sastra hanya menggunakan media ajar yang terdapat di buku

pelajaran yang menjadi panduan di kelas. Padahal dengan menggunakan

karya sastra berupa novel, dapat membuat peserta didik semakin

4

(14)

menambah pengetahuan yang bisa digalinya bersama guru dan teman di

kelasnya.

Melalui novel ini, diharapkan adanya pembentukan watak yang lebih

baik setelah mempelajari nilai pesantren yang terdapat di dalam novel

Geni Jora karya Abidah El Khalieqy. Sehingga berdasarkan pemaparan di

atas, penulis menggunakan novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy

sebagai objek penelitian. Adapun judul yang akan peneliti ajukan adalah “Nilai Pesantren dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy dan Implikasinya Pada Pembelajaran Bahasa Indonesia dan Sastra di Kelas XI SMA”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini dapat

timbul beberapa masalah sebagai berikut:

1. Belum banyaknya pengajar yang menggunakan novel Geni Jora

karya Abidah El Khalieqy sebagai media ajar. Pengajar lebih

banyak menggunakan novel teenlit yang mempunyai bahasa yang

lebih dekat dengan usia peserta didik.

2. Belum banyaknya yang menganalisis nilai pesantren dari suatu

novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy

3. Belum banyaknya pendidik yang menjadikan nilai pesantren

sebagai nilai teladan untuk pembentukan watak para peserta didik

C. Pembatasan Masalah

Pembahasan suatu masalah dalam suatu penelitian sangat penting agar

permasalahan yang akan diteliti lebih terarah dan tidak menyimpang

dari masalah yang diterapkan. Peneliti lebih berfokus pada nilai

pesantren dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy dan

implikasinya pada pembelajaran bahasa Indonesia dan sastra di kelas

(15)

D. Perumusan Masalah

1. Bagaimana nilai pesantren yang digambarkan dalam novel Geni

Jora karya Abidah El Khalieqy?

2. Bagaimana implikasi pembelajaran novel Geni Jora karya Abidah

El Khalieqy pada pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di kelas

XI SMA?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian diharapkan jelas agar tepat sasaran dan tujuan sesuai

dengan input dan pengetahuan yang bersifat teoritis dan praktis, antara

lain sebagai berikut:

1. Mengetahui nilai pesantren yang digambarkan dalam novel Geni

Jora karya Abidah El Khalieqy

2. Mengetahui implikasi pembelajaran novel Geni Jora karya Abidah

El Khalieqy pada pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di kelas

XI SMA

F. Manfaat Penelitian

Penelitian yang efektif dan efisien harus memberi manfaat. Adapun

manfaat yang dapat diberikan oleh penelitian ini sebagai berikut:

1. Akademis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dalam ranah

pendidikan dan tentunya untuk penulis sebagai calon guru yang

akan menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia serta dapat

mengambil nilai-nilai yang baik yang terkandung dalam novel

Geni Jora karya Abidah El Khalieqy.

2. Praktis

a. Dapat menambah referensi penelitian karya sastra Indonesia

dan menambah wawasan kepada penikmat karya sastra yang

memiliki latar pesantren.

b. Dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran bahasa dan sastra

(16)

G. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang

membicarakan atau mempersoalkan cara-cara melaksanakan penelitian

(yaitu meliputi kegiatan-kegiatan mencari, mencatat, merumuskan,

menganalisis sampai menyusun laporannya) berdasarkan fakta-fakta atau

gejala-gejala secara ilmiah.5 Metode yang dipakai oleh peneliti adalah

metode deskriptif kualitatif,

Sesuai dengan namanya, penelitian kualitatif mempertahankan hakikat nilai-nilai. Oleh karena itu, penelitian kualitatif dipertentangkan dengan penelitian kuantitaif yang bersifat bebas nilai. Dalam ilmu sosial sumber datanya adalah masyarakat, data penelitiannya adalah tindakantindakan, sedangkan ilmu sastra sumber datanya adalah karya, naskah, data penelitiannya sebagai data formal adalah kata-kata, kalimat, dan wacana.6

Oleh karena itu, metode kualitatif ini sangat tepat digunakan untuk

pembahasan skripsi ini.

Ditinjau secara teknis penulisannya berdasarkan pada buku

pedoman penulisan skripsi, tesis dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta 2007 dengan beberapa perubahan sesuai dengan petunjuk dari

pembimbing.

1. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses

langsung dari sumbernya tanpa lewat perantara. Sumber data primer

dalam penelitian ini adalah novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy

terbitan Qanita, Bandung, tahun 2009 cetakan 1.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak

langsung atau lewat perantara, tetapi masih berdasar pada kategori

5

I Made Wirartha, Metode Penelitian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Andi Offset, 2006), hlm. 68

6

(17)

konsep yang akan dibahas. Sumber data sekunder yang digunakan

dalam penelitian ini adalah buku-buku pendukung dalam penelitian ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dengan teknik

simak dan catat. Teknik studi pustaka menggunakan sumber-sumber

tertulis mengenai teori yang berkaitan dengan masalah penelitian guna

untuk memperoleh data penelitian. Selanjutnya dengan melakukan

kegiatan menyimak secara cermat dan terfokus pada sumber data.

Peneliti melalui kegiatan menyimak dan mencatat secara cermat

terhadap sumber primer agar dapat mendeskripsikan dan memaparkan

masalah dalam penelitian.

3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan pembacaan

heuristik dan hermeneutik yang tergolong dalam model pembacaan

semiotik. Kegiatan pembacaan ini diawali dengan pembacaan heuristik

lalu dilanjutkan dengan tahapan pembacaan hermeneutik. Pembacaan

heuristik merupakan pembacaan karya sastra dalam semiotik tingkat

pertama, yaitu berupa pemahaman makna sebagaimana dikonvensikan

oleh bahasa (yang bersangkutan). Pembacaan heuristik menghasilkan

pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat, actual meaning. 7

Hermeneutik adalah ilmu atau teknik memahami karya sastra

dengan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut

maksudnya. Cara kerja hermeneutik untuk penafsiran karya sastra,

dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan

unsur-unsurnya, dan sebaliknya pemahaman unsur-unsur berdasarkan

keseluruhannya. 8 Model pembacaan heuristik berdasarkan teksnya

sedangkan hermeneutik dilihat dari konteksnya di masyarakat atau di

kehidupan nyata.

7

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), hlm. 33

8

(18)

Langkah-langkah untuk menganalisis novel Geni Jora dalam

penelitian ini adalah melalui pembacaan secara heuristik untuk

mengetahui secara keseluruhan dan makna yang tersurat di dalam novel

Geni Jora. Selanjutnya, melalui pembacaan hermeneutik untuk

mengetahui unsur intrinsik yang terdapat di dalam novel dan

mengetahui nilai pesantren dalam novel Geni Jora. Kemudian,

pembahasan analisis unsur intrinsik novel dan diimplikasikan dalam

pembelajaran bahasa Indonesia dan sastra di kelas XI SMA. Langkah

(19)

9

Karya sastra merupakan sarana pendidikan yang memiliki

bermacam-macam bentuk, seperti puisi, cerpen, novel, gurindam, prosa dan drama. Dalam

hal ini penulis memfokuskan pada salah satu karya sastra berupa novel. Kata

novel berasal dari berasal dari Bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman:

novelle). Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan

kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.1Kamus Besar

Bahasa Indonesiamenyatakan bahwa novel adalah “karangan prosa yang panjang

mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya

dengan menonjolkan watak dan sifat setiap perilaku.2

Novel merupakan salah satu karya sastra imajinatif atau rekaan tetapi

ada pula novel yang diciptakan berlatar dari realita atau pengalaman di masa lalu

yang dituangkan oleh pengarang. Novel sebagai karya fiksi menawarkan sebuah

dunia yang diidealkan. Dunia tersebut merupakan dunia imajinatif yang dibangun

melalui berbagai unsur intirinsiknya seperti peristiwa, tokoh, latar, sudut pandang,

dan lain-lain yang tentu saja ke semuanya bersifat imajinatif.3

Oleh karena bentuknya yang panjang, novel tidak dapat mewarisi kesatuan

padat yang dipunyai cerpen. Novel juga tidak mampu menjadikan topiknya

menonjol seperti prinsip mikrokosmis cerpen. Sebaliknya, novel mampu

menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan

yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang

terjadi beberapa tahun silam yang lebih mendetil. Ciri khas novel ada pada

kemampuannya untuk menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus rumit.

Ini berarti bahwa novel lebih mudah sekaligus lebih sulit dibaca jika dibandingkan

1

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), hlm. 11

2

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm.788

3

(20)

dengan cerpen.4 Novel yang memiliki ciri lebih padat tentu memiliki isi cerita

yang lebih kompleks dibandingkan dengan cerpen. Dan karena kepadatannya,

isinya lebih mendetail.

Dari beberapa pendapat di atas, penulis membuat kesimpulan bahwa novel

adalah bentuk cerita prosa fiktif yang dapat menampung perkembangan satu

karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit

karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam yang

lebih mendetil dan bersifat imajinatif. Meskipun demikian, di dalam sebuah novel

memungkinkan mengangkat sebuah cerita kehidupan manusia secara mendalam.

B. Unsur-unsur intrinsik novel

Novel memilki unsur intrinsik atau yang biasa disebut unsur pembangun

karya sastra. Pada umumnya para ahli membagi unsur intrinsik prosa atas tema

dan amanat, sudut pandang/titik pandang pengarang, tokoh, watak, dan

penokohan, alur/plot, latar/setting, gaya bahasa, dan gaya penceritaan.5 Kepaduan

antar unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel terwujud.

a. Tema

Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema merupakan kaitan

hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh

pengarangnya. 6 Sedang pendapat lain mengatakan bahwa tema merupakan

gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra.7 Lalu

pendapat selanjutnya mengatakan bahwa tema adalah persoalan yang

diungkapkan dalam sebuah ciptarasa. Ia masih bersifat netral. Belum

punya tendensi (kecenderungan) memihak. 8Sehingga bisa dikatakan

bahwa tema adalah gagasan sentral yang diperjuangkan oleh pengarang

dalam karya sastranya. Tema jarang dituliskan secara tersurat oleh

4

Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 90

5

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), hlm. 142

6

Ibid., hlm. 161

7

Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), hlm. 50

8

(21)

pengarangnya. Untuk menentukan tema dalam novel tidak bisa hanya

membaca sebagian dari novel tersebut.

Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan „makna’ dalam

pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu

diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian

atau emosi yang dialami manusia sepertinya cinta, derita, rasa takut,

kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri,

disilusi atau bahkan usia tua. 9 Dari definisi di atas, dapat disimpulkan

bahwa tema adalah makna yang dapat merangkum seluruh isi cerita.

b. Tokoh dan Penokohan

Tokoh merupakan sosok atau pelaku yang berada di dalam cerita

hingga peristiwa itu menjalin suatu cerita. Abrams mengemukakan tokoh

adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya, yang oleh

pembaca ditafsirkan memiliki kualitas noral dan kecenderungan tertentu

seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam

tindakan. 10

Perwatakan atau penokohan adalah pelukisan tokoh/pelaku cerita

melalui sifat-sifat dan tingkah laku dalam cerita. Penokohan dalam sebuah

karya sastra adalah cara pengarang untuk menampilkan para tokoh dengan

wataknya, yakni sifat, sikap, dan tingkah lakunya. Boleh juga dikatakan

bahwa penokohan itu merupakan cara penyerang untuk menampilkan

watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh,

sebuah cerita tidak terbentuk. Bentuk penokohan yang paling sederhana

ialah pemberian nama kepada para tokoh di dalam sebuah cerita11

Tokoh dalam cerita dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis

penamaan, berdasarkan peran dan pentingnya seorang tokoh dibedakan

9

Stanton, op. cit., hlm.36-37

10

Nurgiyantoro, op. cit., hlm.165

11

(22)

menjadi; tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari segi peranan atau

tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita ada tokoh yang tergolong

penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi

sebagian besar cerita. Sebaliknya, ada tokoh yang hanya dimunculkan

sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu ungkin dalam porsi

penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh

utama, sedang yang kedua adalah tokoh tambahan. 12

Dilihat dari watak yang dimiliki tokoh, dapat dibedakan menjadi

tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang

wataknya disukai pembaca. Biasanya berwatak baik dan positif.

Sedangkan, tokoh antagonis adalah tokoh yang wataknya dibenci

pembaca. Biasanya memiliki watak buruk dan negatif.13

Seseorang yang membaca sebuah novel, biasanya akan tertarik akan

persepsi, penafsiran dan pemahaman tokoh-tokoh yang dihadirkan

pengarang. Kadangkala perwatakan dalam sebuah novel dipaparkan dalam

dua golongan yang berlawanan, „baik’ dengan „buruk’ atau „simpatik’

dengan „tidak simpatik’. Bahkan sering pula nampak dikategorisasikan sebagai tingkatan-tingkatan „kebaikan’ dan „keburukan’, yang semuanya

itu menunjukkan kepada pembaca bahwa di antara kita tidak seorangpun

yang sempurna. 14

c. Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam

cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang

berlangsung. 15Latar di dalam sebuah karya sastra merupakan tempat

peristiwa sebuah cerita berlangsung. Latar dapat juga dapat diartikan

sebagai waktu atau masa berlangsungnya suatu peristiwa karena latar itu

sekaligus merupakan lingkungan yang dapat berfungsi sebaagai

12

Nurgiyantoro, op. cit., hlm. 258-267

13

Siswanto, op. cit., hlm. 143-144

14

Rahmanto, op. cit., hlm.71

15

(23)

metonomia atau metafora untuk mengekspresikan para tokoh.16 Latar atau

setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian

tempat dan hubungan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang

diceritakan. Tahap awal suatu karya pada umumnya berupa pengenalan,

pelukisan, atau penunjukan latar, namun hal tersebut tak berarti bahwa

pelukisan dan penunjukan latar hanya dilakukan pada tahap awal cerita.

Cerita berkisah tentang seseorang atau beberapa orang tokoh.

peristiwa-peristiwa dalam cerita tentulah terjadi pada suatu waktu atau

dalam suatu rentang waktu tertentu dan pada suatu tempat tertentu. Secara

sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan

yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa

dalam suatu karya sastra membangun latar cerita. 17

Pendapat Abrams yang dikutip dari buku Teori Pengkajian Fiksi, latar

disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat,

hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat peristiwa-peristiwa yang

diceritakan. Stanton mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan

plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan

dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi18.

Latar sendiri dikategorikan menjadi tiga bagian, yakni latar tempat, latar

waktu, latar sosial.

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang

diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan

mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu,,

mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. 19 Latar waktu berhubungan

dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan

dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan

dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan

16

Rene Wellek dan Austin Warren, op. cit., hlm. 290-291

17

Sudjiman, op. cit., hlm. 44

18

Nurgiyantoro, op. cit.,hlm. 209

19

(24)

dengan peristiwa sejarah. 20 Sedang latar sosial menyaran pada hal-hal

yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu

tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. 21

Dapat disimpulkan, latar/ setting memberikan kesan realistis terhadap

pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah

sungguh-sungguh terjadi. Latar juga amat erat kaitannya dengan tokoh dan juga

plot/alur. Peristiwa-peristiwa yang dialami para tokoh tidak dapat

dilepaskan dari tempat, perjalanan waktu, dan keadaan sosial yang

melatarbelakangi peristiwa-peristiwa tersebut.

Dalam Nurgiyantoro, latar terbagi menjadi latar fisik dan latar

spiritual, latar netral dan latar fungsional. Latar fisik adalah latar tempat

secara jelas menunjuk pada lokasi tertentu, yang dapat dilihat dan

dirasakan kehadirannya, sedang latar spiritual adalah latar yang berwujud

tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat

yang bersangkutan. Latar netral adalah sebuah tempat hanya sekadar

sebagai tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan tidak lebih dari itu

dan tidak akan mempengaruhi pemplotan dan penokohan, sedang latar

fungsional adalah latar yang mampu mempengaruhi cerita dan bahkan ikut

menentukan perkembangan plot dan pembentukan karakter tokoh, karena

mempengaruhi perkembangan plot dalam sebuah cerita fiksi, latar

fungsional tidak dapat digantikan dengan latar lain tanpa mengganggu atau

bahkan merusak cerita.22

d. Alur

Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam

sebuah cerita. 23 Sudjiman dalam Melani Budianta berpendapat, alur

adalah rangkaian peristiwa direka dan dijalin dengan seksama membentuk

alur yang menggerakkan jalannya cerita melalui rumitan ke arah klimaks

20

Ibid.,hlm. 230

21

Ibid.,hlm. 233

22

Ibid.,hlm. hlm. 302-308

23

(25)

dan selesaian. 24 John Mullan berpendapat, alur atau plot adalah sebagai

berikut,

Does every novel have a plot? Colloquially the word „plot‟

is often used as if it were synonymous with „story‟ or

„narrative‟, as if it uncover some hidden design. Some novels are not much interested in plot it all. Some novelist have suspected that plot isinherently unrealistic, unlifelike. Others, meanwhile, are enjoyed especially for their plots. It is useful to distinguish between plot, narrative and story. We can think of novel‟s story as the material of its events

and characters-what happens in it.25

Apakah tiap novel mempunyai plot (alur)? Biasanya kata

„plot’ seringkali disamakan dengan kata „cerita’ atau „cerita’. Beberapa novel malah tidak begitu tertarik dengan jalan cerita sama sekali. Beberapa penulis novel bahkan menyangka bahwa plot itu tidak sesuatu yang penting, tidak realistic, dan tidak seperti kehidupan sebenarnya. Sedangkan yang lain malah menikmati jalan cerita. Ini sangat berguna untuk membedakan antara plot, narasi dan cerita. Kita bisa memikirkan cerita novel sebagai materi apa yang terjadi di dalamnya dan siapa saja karakternya.

Abrams berpendapat, alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh

tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang

dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita. Dalam cerita modern,

alur tidak selalu dimulai dengan pengenalan dan diakhiri tahap

penyelesaiaan. Ada kemungkinan cerita dimulai dengan konflik. Ada

kemungkinan cerita yang dimulai dari penyelesaian.26

Sudjiman membagi atas alur utama dan alur bawahan. Alur utama

merupakan rangkaian peristiwa utama yang menggerakkan jalan cerita.

Alur bawahan adalah alur yang disusupkan di sela-sela bagian alur utama

sebagai variasi. Alur bawahan adalah lakuan tersendiri yang masih ada

hubungannya dengan alur utama.27

24

Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra, (Magelang: Penerbit Indonesia Tera, 2006), hlm. 86

25

John, Mullan, How Novel Works, (New York: Oxford University Press, 2006), hlm. 169.

26

Siswanto, op. cit.,hlm. 159

27

(26)

Dari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa alur

adalah suatu rangkaian cerita yang membangun cerita. Dimulai dengan

adanya permulaan cerita lalu dilanjutkan dengan sebuah peristiwa

sehingga memunculkan konflik lalu mencapai klimaks dan diakhiri dengan

penyelesaian.

e. Sudut Pandang

Unsur selanjutnya dari sebuah prosa, dalam hal ini novel adalah sudut

pandang (point of view). Sudut pandang pada dasarnya merupakan strategi

teknik, siasat, yang sengaja dipilih pengarang untuk mengungkapkan

gagasan dan ceritanya untuk menampilkan pandangan hidup dan

tafsirannya terhadap kehidupan yang semua ini disalurkan melalui sudut

pandang tokoh. 28

Istilah sudut pandang yang dalam bahasa Inggris point of view atau

viewpoint mengandung arti : suatu posisi di mana si pencerita berdiri,

dalam hubungan dengan ceritanya, yakni suatu sudut pandang di mana

peristiwa diceritakan : point of view is the position which the narrator

stands in relation to the story; the standpoint from which events are

narrated.29

Dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama.

Pada „orang pertama-utama’, sang karakter utama bercerita dengan

kata-katanya sendiri. Pada „orang pertama-sampingan’, cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan). Pada „orang ketiga-terbatas’,

pengarang mengacu pada semua karakter dan memosisikannya sebagai

orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat,

didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja. Pada „orang ketiga

-tidak terbatas’, pengarang mengacu pada setiap karakter dan

memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat membuat

28

Albertine, Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Yayasan Obor: Jakarta: 2011), hlm. 88

29

(27)

beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau saat ketika tidak

ada satu karakter pun hadir. 30

f. Gaya bahasa

Gaya bahasa mencakup berbagai figur bahasan antara lain; metafor,

simile, antitesis, hiperbola dan paradoks. Pada umumnya gaya bahasa

adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa digunakan

dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek.

Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi lebih

segar dan berkesan. 31

Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya Teori Pengkajian Fiksi

menyebut gaya bahasa dengan istilah style gaya. Gaya yang dikenal

dengan kata style diturunkan dari kata lain stilus, yaitu semacam alat untuk

menulis pada lempengan lilin. “kelak pada waktu penekanan

dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah

menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan

kata-kata secara indah.” Burhan Nurgiyantoro berpendapat mengenai gaya

(style) sebagai berikut:

“Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan

ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu dapat dilihat pada bentuk ungkapan bahasa

seperti yang dipergunakan dalam karya.”32

Stile sendiri ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahsa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain.

Dapat diartikan gaya bahasa bahasa adalah cara yang khas, yang dipakai pengarang untuk mengungkapkan sesuatu cerita dengan indah (dan sesuai khas seorang pengarang). Hal tersebut meliputi ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bahasa figuratif, dan penggunaan kohesi sehingga dapat menyentuh emosi dari pembaca cerita/

30

Stanton, op. cit., hlm. 53-54

31

Minderop, op. cit.,hlm. 88

32

(28)

karya si pengarang. Tentunya setiap pengarang memiliki gaya bahasa tersendiri dalam bercerita.

C. Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra merupakan disiplin ilmu tentang kehidupan

masyarakat yang objek kajiannya mencakup fakta sosial, definisi

sosial, dan perilaku sosial yang menunjukkan hubungan interaksi

sosial dalam suatu masyarakat. 33

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi

berasal dari akar kata sosio (Yunani) (Socius berarti bersama-sama,

bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan,

perumpaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna,

sosi/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi sosiologi

berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi)

masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan

hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional,

dan empiris. Sastra dari akar kata sas (sansekerta) berarti

mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau buku pengajaran yang

baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk

menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya

yang baik.

Ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu

dipertimbangkan, dalam rangka menemukan objektivitas hubungan

antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:

Pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.

Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkadnung di dalamnya.

Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangan.

Analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan seberapa jauh peranannya dalam mengubah struktur kemasyarakatan.

33

(29)

Analisis yang berkaitan dengan manfaat karya dalam membantu perkembangan masyarakat.

Analisis mengenai seberapa jauh kaitan langsung antara unsur-unsur karya dengan unsur-unsur masyarakat.

Analisis mengenai seberapa jauh keterlibatan langsung pengarang sebagai anggota masyarakat.

Sosiologi sastra adalah analisis institusi sastra

Sosiologi sastra adalah kaitan langsung antara karya sastra dengan masyarakat.

Sosiologi sastra adalah hubungan searah (positivistik)

Sosiologi sastra adalah hubungan dwiarah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat

Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.

Pemahaman yang berkaitan dengan aktivitas kreatif sebagai semata-mata proses sosiokultural.

Pemahaman yang berkaitan dengan aspek-aspek penerbitan dan pemasaran karya.

Analisis yang berkaitan dengan sikap-sikap masyarakat pembaca.34

Sebagai sebuah dunia miniatur, karya satra berfungsi untuk

menginventarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian, yaitu kejadian-kejadian

yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi. Pada

dasarnya, seluruh kejadian dalam karya, bahkan juga karya-karya yang termasuk

ke dalam genre yang paling absurd pun merupakan prototipe kejadian yang

pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ciri kreativitas

dan imajinasinya, sastra memiliki kemungkinan yang paling luas dalam

mengalihkan keragaman kejadian alam semesta ke dalam totalitas naratif

semantis, dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional. 35

D. Hakikat Pesantren

1. Pengertian Pesantren

Pesantren didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan

pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung

asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen. 36 Nama

34

Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 1-3

35

Ibid.,hlm. 35

36

(30)

tempat pendidikan Islam tradisional ini, pesantren secara etimologis

asalnya pe-santri-an, berarti “tempat santri”. Santri atau murid

(umumnya sangat berbeda-beda) mendapat pelajaran dari pemimpin

pesantren (Kyai) dan oleh para guru (ulama atau ustad). Pelajarannya

mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan Islam. 37

Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, selama ini pesantren

dikenal sebagai pencetak para ulama andal di Indonesia. Ini terkait

dengan misi utama pesantren sebagai lembaga pencetak thaifah

mutafaqqihina fiddin (para ahli agama). Tak terhitung jumlahnya

ulama yang telah lahir dari pesantren. Kita mengenal nama-nama

seperti Imam Nawawi Al-Bantani, HOS Tjokroaminoto, Buya Hamka,

KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Imam Zarkasyi, KH. Abdurrahman Wahid. Mereka adalah sebagian kecil dari para

alumni pesantren yang menjadi ulama di kemudian hari.

Pengertian lain, pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa

dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem

pendidikan nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik

dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian

Indonesia (indigenous).38

2. Fungsi Pesantren

Menurut Ma’shum, fungsi pesantren semula mencakup tiga aspek

yaitu fungsi religius (diniyyah), fungsi sosial (ijtimaiyyah), dan fungsi

edukasi (tarbawiyyah). Ketiga fungsi ini masih berlangsung hingga

sekarang. Fungsi lain adalah sebagai lembaga pembinaan moral dan

kultural. A. Wahid Zaeni menegaskan bahwa di samping lembaga

pendidikan, pesantren juga sebagai lembaga pembinaan moral dan

kultural, baik di kalangan para santri maupun santri dengan

37

Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta : Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1986), hlm.16

38

(31)

masyarakat. Kedudukan ini memberikan isyarat bahwa

penyelenggaraan keadilan sosial melalui pesantren lebih banyak

menggunakan pendekatan kultural. 39

3. Sistem Pendidikan Pesantren

Pesantren adalah sistem pendidian yang melakukan kegiatan setiap

hari. Santri tinggal di asrama dalam satu kawasan bersama guru, kiai,

dan senior mereka. Oleh karena itu, hubungan yang terjalin antara

santri-guru-kiai dalam proses pendidikan berjalan intensif, tidak

sekadar hubungan formal ustad-santri di dalam kelas. Dengan

demikian kegiatan pendidikan berlangsung sepanjang hari, dari pagi

hingga malam hari.40

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak bisa lepas dari

beberapa unsur dasar yang membangunnya. Dalam sistem pendidikan

pesantren unsur yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Aktor atau pelaku, kiyai, ustad, santri, dan pengurus.

b. Sarana perangkat keras: masjid, rumah kiyai, rumah dan

asrama pesantren, gedung atau madrasah dan sebagainya.

c. Sarana perangkat lunak: tujuan, kurikulum, kitab, penilaian,

tata tertib, perpustakaan, pusat dokumentasi dan penerangan,

cara pengajaran, keterampilan, pusat pengembangan

masyarakat dan alat-alat pendidikan lainnya. 41

4. Nilai Pesantren

Pola kehidupan pesantren termanifestasikan dalam istilah “panca

jiwa” yang di dalamnya memuat “lima jiwa” yang harus diwujudkan

dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri. Kelima jiwa

39

Qomar, op. cit.,hlm.23

40

Ibid.,hlm.64

41

Nur Inayah, Sistem Pendidikan Formal di Pondok Pesantren, (dalam jurnal

(32)

tersebut adalah jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa

kemandirian, jiwa ukhuwah Islamiyah, dan jiwa kebebasan yang

bertanggung jawab. Adapun uraiannya sebagai berikut.

a. Jiwa keikhlasan

Jiwa ini tergambar dalam ungkapan “sepi ing pamrih”, yaitu

perasaan semata-mata untuk beribadah yang sama sekali tidak

dimotivasi oleh keinginan memperoleh keuntungan-keuntungan

tertentu. 42

Jiwa keikhlasan dalam kehidupan pesantren diterapkan pada

hal-hal yang kecil, misalnya dalam hal-hal beribadah. Santri diharapkan akan

terbiasa untuk melakukan ibadah-ibadah yang wajib sampai sunnah

dengan cara mewajibkannya terlebih dahulu menjadi bagian dari

keseharian santri, kemudian tujuan akhir yang pesantren harapkan

adalah keikhlasan santri untuk menganggap ibadah sebagai kebutuhan.

b. Jiwa kesederhanaan

Kehidupan di pesantren diliputi suasana kesederhanaan yang

bersahaja. Sederhana di sini bukan berarti pasif, melarat, nrimo, dan

miskin, melainkan mengandung kekuatan hati, ketabahan, dan

pengendalian diri di dalam menghadapi berbagai macam rintangan

hidup sehingga diharapkan akan terbit jiwa yang besar, berani,

bergerak maju, dan pantang mundur dalam segala keadaan. 43

Kesederhanaan dalam praktiknya di pesantren dapat dilihat dari hal

yang paling pokok bagi manusia, yaitu sandang, pangan, dan papan.

c. Jiwa kemandirian

Berdikari, yang biasanya dijadikan akronin dari “berdiri di atas kaki sendiri”, bukan hanya berarti bahwa seorang santri harus belajar

42

Abdul Halim, Modernisasi Pesantren Studi Transformasi Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2013), hlm. 44

43

(33)

mengurus keperluannya sendiri, melainkan telah menjadi semacam

prinsip bahwa sedari awal pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam

tidak pernah menyandarkan kelangsungan hidup dan

perkembangannya pada bantuan dan belas kasihan pihak lain. 44

Kemandirian diterapkan sejak awal santri bermukim di pesantren.

Jauh dari orang tua mengharuskan santri untuk berjuang sendiri.

Contoh sederhananya santri harus mengelola kebutuhan hidupnya dari

mulai belanja sabun mandi, merapikan kasur dan lemari serta mengatur

keuangan dari kiriman orang tua.

d. Jiwa ukhuwah islamiyah

Suasana kehidupan di pesantren selalu diliputi semangat

persaudaraan yang sangat akrab sehingga susah dan senang tampak

dirasakan bersama tentunya, terdapat banyak nilai-nilai keagamaan

yang melegimitasinya. 45

Penerapan ukhuwah islamiyah dalam pesantren dapat terlihat dari

kebersamaan yang santri jalani sehingga tercipta keakraban di antara

mereka. Kegiatan-kegiatan yang berlangsung bersama-sama misalnya

salat berjamaah, tidur pada kamar yang sama, jam makan yang

bersamaan, mengantri pada kamar mandi yang sama, serta berada

dalam satu kelompok mengaji. Kebersamaan inilah yang akhirnya

menimbulkan kasih sayang di antara para santri. Ketika salah satu

santri sakit, maka teman santri yang lainnya lah yang pertama kali tahu

dan merawatnya. Ketika teman belum mendapat kiriman dari orang

tua, maka masih ada teman santri yang bisa meminjamkan uang. Hal

ini terlebih karena mereka berada pada posisi yang sama dan adanya

kasih sayang di antara mereka.

44

Ibid.,hlm. 45

45

(34)

e. Jiwa kebebasan

Para santri diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya kelak di

tengah masyarakat. Mereka bebas menentukan masa depannya-dengan

berbekal jiwa yang besar dan optimisme yang mereka dapatkan selama

ditempa di pesantren.46

Pesantren di masa sekarang tidak mewajibkan santrinya kelak

hanya untuk menjadi ulama. Santri dibebaskan menjadi apapun selama

bermanfaat bagi orang lain. Hal ini terlihat dari kebebasan santri untuk

memilih menjadi apapun dan pesantren dapat mengakomodirnya.

Misal ketika santri ingin menjadi atlet, maka pesantren tidak akan

melarang santri tersebut untuk mengejar prestasinya dan bahkan

mengakomodirnya dengan cara mengikutkan santri tersebut ke

berbagai kompetisi, salah satunya Pospenas (Pekan Olahraga dan Seni

antar Pondok Pesantren Tingkat Nasional).

Selain nilai-nilai di atas, terdapat nilai-nilai lainnya menurut pendapat

Lanny Octavia dkk dalam buku Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi

Pesantren, sebagai berikut:

1. Cinta Tanah Air

Para ulama pesantren telah merumuskan konsep persaudaraan yang

terjalin antar sesama Muslim (ukhuwaah Islamiyah), antar sesama

anak bangsa (ukhuwwah wathoniyyah) dan antar sesama manusia

(ukhuwah basyariyyah). Konsep persaudaraan ini dirumuskan oleh

KH. Achmad Siddiq, pimpinan Pondok Pesantren As-Siddiqiyah di

Jember, mantan Ketua Rais Suriyah PBNU dan sekretaris pribadi KH.

Wahid Hasyim pada tahun 1950. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

kemudian menyebarluaskan, memberi pemaknaan lebih mendalam dan

46

(35)

menerapkan konsep tersebut dalam pergaulan yan lebih luas, di mana

seluruh ulama pesantren pun ikut mengamini langkah tersebut. 47

2. Kasih Sayang

Sebagai lembaga pendidikan agama, pesantren memiliki peran dan

tanggung jawab dalam pengembangan kasih sayang kepada santri.

Dalam praktiknya pendidikan kasih sayang di pesantren dilakukan

dengan cara-cara berikut:

Pertama, para kiai dan ustaz memberikan kesempatan dan

mendorong para santri dengan berbagai cara dan momentum untuk

menunjukan kepedulian terhadap orang lain. Kedua, menciptakan

suasana emosional; yang kondusif seperti saling menghargai,

menerima, menyayangi, menghibur dan membantu teman dan

sebagainya. Ketiga, pesantren menyediakan model perilaku sosial yang

positif. Kiai mencontohkan hal-hal yang baik yang bisa diteladani

santrinya. Keempat, memberikan dukungan dan penguatan pada para

santri. Kelima, pesantren menyediakan sarana yang mendorong

tumbuhnya kasih sayang di dalam jiwa para santri, seperti kitab-kitab,

kegiatan-kegiatan keagamaan, diskusi bertema sosial, dan latihan

merespon permasalahan atau kesulitan yang dialami orang lain secara

positif. 48

3. Kedamaian

Kedamaian dalam tradisi pondok pesantren terdapat pada gaya

hidup keseharian, dan cara pandang keagamaan dalam merespon dan

menyikapi persoalan kemanusian. Pertama, kedamaian dalam konteks

gaya hidup kiai dan para santri hidup secara damai, senantiasa dalam

suasana belajar dan mengaji atau tafaqquh fi al-din

(belajar-mengajarseputar agama), jauh dari hiruk pikuk kehidupan duniawi.

47

Lanny, Octavia, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta: Renee Book, 2014), hlm.32-33

48

(36)

Kedua, kedamaian dalam konteks cara-pandang keagamaan. Dengan

penguasaan atas kekayaan khazanah kitab kuning, kiai dan santri tidak

memahami Islam secara sempit, literalis, dan kaku. Mereka

menyuguhkan pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin (kasih

sayang bagi seluruh alam), anti kekerasan dan cinta damai.

Pemahaman keislaman inilah yang diajarkan pada para santri di

pondok pesantren. 49

4. Toleransi

Di pesantren, tradisi toleransi terbentuk oleh pengaruh kitab fikih

klasik yang membahas suatu persoalan dari berbagai sudut pandang

yang berbeda. Perbedaan pendapat ulama (ikhtilaf al – ulama)

mendorong para kiai dan santri untuk fleksibel dalam menyikapi

perbedaan dan tidak mudah menyalahkan pihak lain. Kemajemukan

pandangan dalam tradisi fikih pesantren merasuk ke dalam alam

bawah sadar kiai dan santri dan membuat mereka tidak fanatik karena

terbiasa mendapati banyak pandangan dalam kehidupan. Dalam

lingkup mazhab Syafi’i saja hukum fikih tidak tunggal, apalagi jika dibandingkan dengan fikih mazhab lainnya. Realitas perbedaan ini

biasanya dibahas secara bersama secara musyawarah dalam bentuk

diskusi atau batsul masa‟il. Sementara itu, orang yang terdoktrin

dengan pemahaman tunggal dalam menafsirkan ayat cenderung

beragama keras (radikal).50

5. Kesetaraan

Kesetaraan berasal dari kata tara, yang berarti sama (tingkatan dan

kedudukan). Dengan demikian, kesetaraan menunjukan adanya

tingkatan atau kedudukan yang sama. Kesetaraan diperoleh melalui

sikap dan perlakuan yang sama terhadap sesama manusia, tanpa

49

Ibid.,hlm. 70-71

50

(37)

membedakan warna kulit, suku, agama, jenis kelamis, kelas

sosial-ekonomi dan sebagainya.51

KH. Muhammad Nashih Sachal, Lc., salah satu pimpinan Pondok

Pesantren Syaichona Moch. Cholil Bangkalan Madura, mengutip dalil

Al-Quran, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah

adalah yang bertakwa kepada-Nya,” yang mengaskan bahwa semua

manusia sama dalam pandangan Allah, baik kaya ataupun miskin,

pejabat ataupun rakyat kecil. Jika dalam konteks agama yang

membedakan mereka adalah kadar ketakwaannya saja, maka dalam

konteks negara yang menjadi ukuran adalah moral dan etika dalam

berhubungan dengan berbagai kelompok. 52

6. Musyawarah

Dalam sebuah kalam hikmah dikatakan, “Separuh akalmu terdapat

pada saudaramu. Maka bermusyawarahlah agar engkau memiliki akal

yang utuh dan sempurna.” Kalam hikmah inilah yang barangkali

menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kegiatan pembelajaran

santri-santri di pesantren. Selain menggunakan metode sorogan,

bandongan, atau weton, pendidikan di pesantren juga diajarkan

menggunakan metode musyawarah atau dalam bahasan yang lebih

dikenal dengan istilah batsul masail. Forum ini pada dasarnya

memfasilitasi para santri dalam penguatan keilmuan dan peningkatan

kecakapan retorika berbicara. Di samping memiliki muatan luhur

yakni para santri diajak berpikir, berpendapat, berdebat dan

berpolemik secara argumentatif dan sistematis. Dalam lain ungkapan,

melalui forum inilah para santri juga dilatih untuk menyampaikan

statemen, ide, gagasan, wacana atau pandangannya secara teratur,

tertata, lugas dan mudah dipahami. Capaian pendidikan santri melalui

metode musyawarah atau batsul masail inilah pda gilirannya dapat

51

Ibid.,hlm. 111

52

(38)

mengantarkan mereka secara sosiologis-akademik memiliki keilmuan

Islam yang memadai dan kecakapan dalam berkomunikasi. 53

7. Tradisi „Roan’ : Gotong Royong di Pesantren

Salah satu istilah yang populer digunakan untuk menunjukan

aktivitas gotong royong atau kerja bakti yang melibatkan banyak santri

di pesantren adalah kegiatan „roan’. Istilah ini banyak digunakan di

beberapa pesantren, terutama di daerah Cirebon. Di Pondok Pesantren

Babakan, Ciwaringin, Cirebon, misalnya, kegiatan ini dilakukan pada

hari Jumat pagi. Selain dianggap efektif karena kegiatan pendidikan di

pesantren diliburkan, kegiatan di madrasah-madrasah juga libur. Bagi

para santri, kegiatan roan ini memiliki pelajaran tersendiri, terutama

memupuk mereka dalam kebersamaan dan kepedulian terhadap hal-hal

yang baik. Mereka menyadari arti penting bahwa kesulitan apa pun

dalam bebankerja jika dilakukan dalam kebersamaan atau

bersama-sama akan terasa mudah dan relatif lebih cepat selesai. 54

8. Kepedulian Sosial

Salah satu bentuk kepedulian ditunjukkan oleh para eksponen

Pondok Pesantren Rakha, yang memiliki visi mengurangi angka

kemiskinan. Salah satu pengurusnya KH. Zainal Abidin, yang juga

merupakan Direktur Eksekutif LSM Yayasan Dinamika Inovasi

Swadaya, turut mengadvokasi masyarakat dayak di Kotabaru dalam

mempertahankan hutan sakral tempat pemujaan mereka dari ancaman

eksploitasi pengusaha. Sementara itu, pemihakan terhadap warga

sekitar juga ditunjukkan oleh Pesantren Darussalam, khususnya terkait

dengan kesempatan mencari nafkah melalui sektor informal.

Keberadaan pesantren ini dengan ribuan santrinya, menumbuhkan

perekonomian lokal. Saat istirahat, para santri mengunjungi deretan

53

Ibid.,hlm. 144-145

54

(39)

kios makanan yang diberi tempat di area halaman pesantren. Dengan

demikian keberadaan pesantren secara nyata ikut memberi berkah

rezeki kepada warga di sekitarnya. 55

9. Tanggung Jawab

Pesantren merupakan sebuah wilayah yang memiliki budayanya

tersendiri, sebagai sub-kultur di tengah kultur nusantara lainnya.

Proses interaksi dan afiliasi di pesantren berbeda dengan lingkungan

non-pesantren. Pesantren memiliki cara tersendiri dalam melaksanakan

pembelajaran dan menanamkan jiwa agamis dan nasionalis pada

santri.

Salah satu nilai yang menonjol di pesantren adalah tanggung jawab,

baik terhadap diri sendiri, lingkungan, orang tua, masyarakat, bangsa

dan negara. Para kiai/ nyai dan ustaz/ ustazah bertanggung jawab

memberikan pendidikan keagamaan kepada para santri, baik melalui

kajian kitab maupun teladan nyata. Sementara santri bertanggung

jawab untuk belajar dan mengaji secara sungguh-sungguh serta

mengamalkan ilmu yang diperolehnya dalam kehidupan. 56

Selain itu, para santri juga dididik menjadi manusia bertanggung

jawab melalui organisasi, di mana masing-masing bagian mempunyai

tugas dan tanggung jawab sendiri. Hukuman –atau dalam istilah

pesantren disebut ta‟zir– juga merupakan salah satu metode memupuk

kesadaran para santri supaya bertanggung jawab.

10.Penghargaan

Penghargaan bukanlah sekadar norma yang diajarkan di pesantren,

tetapi juga dicontohkan oleh para kiai/nyai, ustaz/ustazah, dan para

santriwan/wati. Para kiai dan ustaz adalah suri teladan bagi santri dan

masyarakat di sekitarnya. Penghargaan mereka terhadap ilmu-ilmu

55

Ibid.,hlm. 174

56

(40)

keagamaan ditunjukkan melalui pengalamannya dalam kehidupan

sehari-hari. Mereka pun menghargai para santri sebagai penuntut ilmu

(thalib al-ilm). Perhatian dan kasih sayang mereka terhadap santri

ditunjukkan dengan nasihat dan doa agar mereka kelak menjadi

orang-orang yang bermanfaat dan berkah ilmunya serta bisa mengajarkannya

kepada masyarakat.

Di sisi lain, para santri pun tentunya menghargai kiai yang

mengasuh mereka di pesantren. Di Pesantren Bali Bina Insani,

misalnya, para santri menyebut sang kiai (KH. Ketut Jama) dengan

panggilan “ayah”. Para santri merasakan ikatan batin yang kuat dengan kiai yang dianggap sebagai orangtua sendiri. Selain menghormati kiai,

para santri juga menghormati keluarga kiai. Di Jawa misalnya,

panggilan “Gus” adalah salah satu bentuk penghormatan para santri

terhadap putra kiai, dan “Ning” sebagai penghormatan terhadap kiai

putri kiai. Ketika berhadapan dengan kiai dan keluarganya, para santri

akan menggunakan bahasa halus (kromo inggil, bebasan, Sunda

lemes). Para santri pun mendengarkan dan mematuhi perkataan kiai,

sam‟an wa tha‟atan. Begitu pentingnya arahan kiai, sehingga para

alumnus pesantren rata-rata tetap bersilaturahmi dan sowan kepada

kiai-kiai mereka.

Selain itu, penghargaan juga diwujudkan antar sesama santri

walaupun mereka datang dari berbagai macam daerah, suku, bahasa

dan budaya yang berbeda. Keragaman dianggap sebagai kekayaan

yang harus dijaga, dihargai dan dirayakan. Jaringan dan pergaulan

nasional tersebut berlanjut setelah mereka terjun di tengah masyarakat.

Santri yang ideal bukanlah mereka yang cerdas dan pandai menguasai

pelajaran dan pengajian, melainkan mereka yang berakhlak mulia dan

(41)

yang lebih tua dan santri yang lebih lama mengenyam pendidikan di

pesantren. 57

11.Kemandirian

Sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia,

pesantren memberikan perhatian penting terhadap nilai dan praktik

kemandirian. Para santri sejak dini dididik untuk menjadi pribadi yang

mandiri agar bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan dan

masa depan kehidupannya. Masa-masa penanaman nilai kemandirian

di pesantren inilah yang sering kali disebut banyak kalangan

memberikan kontribusi pada pembentukan kepribadian manusia yang

bertanggung jawab. 58

12.Kejujuran

Tujuan fundamental pendidikan adalah menanamkan nilai

kejujuran kepada peserta didiknya. Kejujuran bukan hanya dimilki

wilayah kognisi semata, melainkan dipraktikkan dalam kenyataan

kehidupan. Hal yang paling menonjol nilai kejujuran di pesantren

diwujudkan dengan sikap jujur pada diri sendiri. Para santri hidup

menampilkan diri sendiri dengan apa adanya, dalam istilah pesantren

tidak „neko-neko’ atau „ita-itu’. Sehingga terkesan kehidupannya penuh dengan kesederhanaan, tak mengenal gengsi, dan tak menghias

diri secara berlebihan. Para santri pun jika ada yang bersalah,

melanggar tata-tertib pesantren atau madrasah, mereka mengakui

kesalahan, tidak menghindar atau mencari-cari alasan dan siap

menerima sangsi sebagai konsekuensi dari perbuatannya itu. 59

57

Ibid.,hlm.201-202

58

Ibid.,hlm. 214

59

(42)

13.Sikap Tawaduk

Tawaduk atau rendah hati kerap ditemui di kalangan pesantren. Hal

ini ditunjukan dengan tidak mengemukakan pendapat jika tidak

mengerti atau tidak meraa cukup argumentasi. Ketika mengajar dalam

sebuah pengajian, seorang ustaz tidak akan menganggap pendapatnya

sebagai yang paling benar. Di akhir pengajian selalu diucapkan sebuah

kata-kata yang mendeklarasikan bahwa hanya Allah yang Maha Tahu.

Wallahu a‟lam bi al-shawab”60

14.Kesabaran

Di antara sekian banyak akhlak yang harus ada di dalam diri setiap

Muslim, kesabaran adalah yang paling banyak disebutkan dalam

Al-Quran, bahkan disebutkan lebih dari seratus kali. Hal ini tidak lain

karena kesabaran merupakan pusat dari segala macam akhlak baik.

Kalau kita menelisik lebih dalam mengenai suatu kebaikan, kita akan

menemukan bahwa landasannya adalah kesabaran; iffah (menjaga

kesucian diri) adalah menahan diri dari nafsu syahwat dan menahan

pandangan dari suatu yang diharamkan. Zuhd (tidak suka pada

keduniawian) adalah menahan diri dari kehidupan yang berlebihan.

Qanaah (merasa puas dengan apa yang dimilikinya) adalah menahan

diri dari berlebih-lebihan dan merasa puas dengan apa yang dimiliki.

Hilm (lemah lembut) adalah menahan diri dari amarah. Waqr (bersikap

tenang) adalah tidak tergesa-gesa dan tidak kurang akal. Berani adalah

menahan diri dari hal-hal yang mendorong untuk melarikan diri.

Memaafkan adalah menahan diri untuk tidak melakukan balas dendam.

Dermawan adalah menahan diri untuk tidak memenuhi panggilan

kekikiran. Semangat adalah menahan diri dari sesuatu yang mengajak

pada kelemahan atau kemalasan. 61

60

Ibid.,hlm. 258

61

Gambar

gambaran puncak dominasi laki-laki yang pada akhirnya bisa
Gambaran hukuman yang tertera pada kutipan di atas adalah salah satu

Referensi

Dokumen terkait

[1] Dita Monita, “Sistem Pendukung Keputusan Penerima Bantuan Langsung Tunai Dengan Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process,” Pelita Informatika Budhi Darma,

[r]

Kinerja enzim terhadap setiap bahan berbeda, tergantung dari kadar karbohidrat dan komposisi senyawa lain, sehingga perlu dilakukan penentuan konsentrasi optimum

Tujuan Penelitian ini adalah (1) Untuk mendeskripsikan hubungan pers dan pemerintah di masa Orde Baru, (2) Untuk mendeskripsikan penyebab pem- bredelan koran

Pada uji F secara simultan menjelaskan bahwa keseluruhan dari variabel independen dalam penelitian ini, yaitu tingkat pendidikan dan upah minimum kabupaten/kota memiliki

Hasil penelitian menunjukkan kesulitan yang dialami oleh guru biologi kelas XI dalam pemahaman struktur kurikulum adalah memahami penjabaran struktur kurikulum,

LPH yang tinggi pada perlakuan B diduga bahwa pemberian mikrokapsul probiotik sebanyak 1% dalam pakan merupakan komposisi optimal untuk tumbuh dalam saluran pencernaan

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK PEREMPUAN (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Klaten dan Pengadilan Negeri Sragen).. Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat