• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

5.2 Saran

1. Sebaiknya perlindungan hukum yang akan diterima franchisor dan franchisee dalam bisnis waralaba Restoran Khas Amerika A&W Plaza Medan Fair Medan, adalah perlindungan hukum yang bersifat timbal balik dengan titik berat franchiseenya.

2. Hendaknya regulasi Pemerintah memberikan perlindungan yang setimpal sehingga asas

3. Sebaiknya bisnis waralaba diatur secara khusus dalam UU sekalipun tidak ada masalah-masalah yang berkaitan dengan bisnis waralaba, karena bisnis waralaba telah menjadi bisnis yang cukup diminati oleh para pelaku usaha sekarang ini.

BAB II

KERANGKA TEORI

Dalam pengetahuan Ilmu Sosial, untuk mengkaji sebuah penelitian maka diperlukan teori untuk dipergunakan dalam membedah atau membahas permasalahan yang terdapat pada penelitian yang sedang dilakukan. Dalam membahas permasalahan pada penelitian ini, penulis menggunakan teori sebagai berikut:

2.1Teori Keadilan Menurut John Rawls

Pendekatan yang dilakukan oleh Rawls adalah dengan membayangkan sekelompok orang yang sedang memilih prinsip – prinsip untuk mengevaluasi keadilan sebagai strukur dasar masyarakat. Apabila prinsip yang dipilih adalah keadilan, maka yang terlebih dahulu dilihat adalah situasi keadilan yang terdapat dalam diri masing-masing orang. Artinya, tidak seorangpun diperbolehkan medominasi pilihan atau memanfaatkan kesempatan yang tidak adil seperti kelebihan dari anugerah alamiah atau posisi sosialny, untuk melemahkan atau merugikan pihak lain. 23 Karena itu, prinsip keadilan merupakan hasil dari pilihan yang setara “keadilan sebagai kesetaraan” (keseimbangan).24

Ketidaksetaraan dalam bidang sosial dan ekonomi merupakan salah satu ketidaksetaraan yang sering terjadi dalam kehidupan kemasyarakatan. Contohnya ketidaksetaraan dalam kekayaan dan penggunaan otoritas. Akan menjadi adil jika menghasilkan pengkompensasian keuntungan bagi setaip orang, khususnya bagi anggota – anggota masyarakat yang kurang

23 Karen Lebacqz, Teori –teori Keadilan,Nusa Media,1986 hal 50

beruntung.25 Prinsip ini disebut ‘prinsip pembedaan’ (difference principle), dan menjadi inti dari

substansi teori Rawls mengenai keadilan.

Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi disusun sedemikian rupa agar mereka dapat: memberi keuntungan terbesar bagi pihak yang kurang beruntung, sesuai prinsip penghematan yang adil, dan dilekatkan pada jawatan dan jabatan kepemerintahan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan kondisi kesetaraan yang adil terhadap kesempatan.26 Keadilan sebagai kesetaraan menghasilkan keadilan prosedural yang murni.

Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah kerja sama bisnis dibutuhkan sebuah keadilan, dimana agar kerja sama tersebut bisa mendapatkan hasil, yaitu mencapai target yang diharapkan oleh kedua belah pihak tanpa harus ada pihak yang merasa dirugikan, sehingga kerja sama bisnis dapat terjalin dengan baik untuk jangka panjang. Dalam bisnis waralaba, kelangsungan hidup perusahaan franchise banyak bergantung pada franchisor.

Terlebih lagi karena terjadinya perjanjian waralaba diserahkan sepenuhnya pada kesepakatan kedua pihak saja dan terkadang franchisor sebagai pihak yang lebih kuat cenderung mendikte keinginannya.27 Dalam hal ini maka diperlukan prinsip keadilan dalam menjalankan bisnis waralaba, kegunaanya adalah untuk terlindunginya kepentingan-kepentingan para pihak dalam praktik bisnis waralaba dimaksud. Dalam menjalankan bisnis usaha waralaba, kedua pihak terlebih dahulu membuat perjanjian sebagai aturan yang akan berguna untuk melindungi kepentingan-kepentingan franchisee dan franchisor pada laut bisnis waralaba tersebut dilaksanakan. Sehingga dikemudian hari tidak menimbulkan permasalahan bisnis yang pelik, dan

25Ibid, hal 50

26 Ibid, hal 57

apabila terdapat sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari maka dapat dipilih penyelesaian hukum sesuai dengan kehendak para pihak.

Adanya kekuatan aturan-aturan akan memberikan jaminan kepada franchisor bahwa usaha waralaba yang dimilikinya benar-benar legal. Sedangkan dari pihak franchisee, sistem waralaba akan melindungi dari praktik monopoli.28 Untuk mencapai keadilan yang memberikan perlindungan bagi kedua pihak maka, disamping ketentuan hukum, yang terdapat dalam perjanjian antara franchisee dan franchisor juga diperlukan pranata hukum yang memadai untuk mengatur praktik pelaksanaan perjanjian bisnis waralaba dalam suatu negara, agar tercipta kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak yang terlibat dalam bisnis tersebut.

Perkembangan bisnis waralaba yang semakin marak dan kompleks dalam praktiknya telah memunculkan fenomena – fenomena baru baik dari aspek bisnis, maupun hukum, khususnya yang menghendaki adanya pengaturan yang lebih kompherensif untuk terciptanya kepastian hukum, perlindungan hukum dan kerja sama yang saling menguntungkan, diantara franchisee dan franchisor.

2.2Teori Ekonomi Neo Klasik oleh William Beveridge

William mendefinisikan ekonomi sebagai suatu kajian mengenai berbagai cara manusia untuk bekerjasama dalam upaya mendapatkan keperluan material.29

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat dipisahkan dari komunitasnya dan setiap orang didunia ini tidak ada yang dapat berdiri sendiri melakukan segala aktivitas untuk memenuhi

28 Ibid, hal 128

29http://obrolanekonomi.blogspot.com/2013/03/definisi-teori-ekonomi-dan-tokoh-tokohnya.html di akses pada tanggal 24 April 2013, jam 20.30 Wib

kebutuhannya, tanpa bantuan orang lain. Secara alamiah, manusia melakukan interaksi dengan lingkungannya, baik sesama manusia maupun dengan lingkungan sosialnya.Di dalam interaksi antar manusia dengan lingkungannya maka terjalin sebuah bentuk kerja sama yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.

Kerja sama sangat diperlukan agar dapat memenuhi kebutuhan masing – masing pihak, terutama untuk mencapai tujuan bisnis. Kerja sama pada intinya menunjukkan adanya kesepakatan antara dua orang atau lebih yang saling menguntungkan. Kerja sama dapat juga disebut sebagai sebuah kemitraan, artinya suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama.

Melalui kerja sama tersebut upaya untuk meraih kebutuhan material diharapkan dapat tercapai. Sebagaimana dikatakan dalam teori William di atas. Kebutuhan material adalah kebutuhan berupa alat – alat yang dapat diraba, dilihat, dan mempunyai bentuk. Kebutuhan material berwujud nyata dan dapat dinikmati langsung. Dari uraian diatas sangat jelas terlihat bahwa hukum mutlak diperlukan dalam pelaksanaan bisnis waralaba. Dimana peran hukum dalam hal ini adalah untuk mengatur, merencanakan kegiatan bisnis, serta melindungi kepentingan pihak-pihak yang diarahkan kepada kemajuan dan kesejahteraan seluruh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah

Dewasa ini dengan kehidupan manusia yang semakin canggih disertai pengaruh perkembangan modernisasi, menimbulkan tuntutan kebutuhan hidup yang semakin besar. Di era globalisasi sekarang ini, kemajuan di berbagai bidang berkembang dengan pesat. Secara umum globalisasi merupakan suatu proses pengintegrasian manusia dengan segala macam aspek-aspeknya ke dalam satu kesatuan masyarakat yang utuh dan yang lebih besar. Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kesatuan yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa.1

Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif.

Dampak postif globalisasi antara lain, mudah memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan, mudah melakukan komunikasi, mobilitas tinggi, menumbuhkan sikap kosmopolitan dan toleran, memacu untuk meningkatkan kualitas diri, mudah memenuhi kebutuhan. Adapun dampak negatif dari globalisasi adalah informasi yang tidak tersaring, membuat tidak kreatif karena perilaku konsumtif, membuat sikap menutup diri atau bepikiran sempit, banyak meniru perilaku yang buruk, mudah terpengaruh oleh hal yang tidak sesuai dengan kebiasaan atau kebudayaan suatu negara.

Arus modernisasi dan globalisasi adalah sesuatu yang pasti terjadi dan sulit untuk dikendalikan, terutama karena begitu cepatnya informasi yang masuk keseluruh belahan dunia, hal ini membawa pengaruh bagi seluruh bangsa di dunia, termasuk di dalamnya bangsa indonesia . Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, maka dunia menjadi sempit, ruang dan waktu menjadi sangat relatif, dan dalam banyak hal batas-batas negara sering menjadi kabur bahkan tidak relevan.2

Modernisasi adalah proses perubahan masyarakat beserta dengan kebudayaannya dari hal-hal yang bersifat tradisional menuju modern. Globalisasi pada hakikatnya merupakan suatu kondisi meluasnya budaya yang seragam bagi seluruh masyarakat di dunia. Modernisasi dan globalisasi sebagai suatu perkembangan baru memunculkan pengaruh-pengaruh yang menguntungkan maupun merugikan. Melalui modernisasi dan globalisasi akan terjadi suatu aliran ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya-budaya khususnya dari negara-negara maju menuju ke negara-negara berkembang dan terbelakang.

Dengan munculnya modernisasi di era globalisasi sekarang ini, menimbulkan sebuah konsekuensi persaingan dari segi ekonomi. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan perekonomian adalah dengan melakukan sebuah usaha atau bisnis. Bisnis adalah suatu kerja sama dengan pihak lain untuk mencapai suatu tujuan bersama yaitu profit yang setinggi–tingginya, dimana dalam hal ini tentunya ada sebuah hubungan yang terjalin dengan pihak lain. Dalam melakukan hubungan dengan pihak lain diperlukan ketentuan agar kerja sama bisa terjalin dengan baik, dan tujuan dapat tercapai sesuai harapan. Oleh karena itu, dengan adanya ketentuan–ketentuan, maka diperlukan peran hukum dalam lalu lintas bisnis.

Hukum bisnis atau Business Law (dalam bahasa Inggris), menurut Kwik Kian Gie adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang

mengatur hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian–perjanjian maupun perikatan–perikatan yang terjadi dalam praktik bisnis.3 Modernisasi turut mempengaruhi dinamika hukum bisnis di Indonesia. Salah satu objek kajian hukum bisnis tersebut adalah timbulnya objek kajian hukum bisnis mengenai bisnis waralaba.

Beberapa tahun belakangan ini konsep bisnis waralaba telah menjadi salah satu trend yang memberi warna baru dalam dinamika perekonomian Indonesia. Pewaralabaan adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan dalam rangka penyediaan dan atau penyediaan barang atau jasa.4 Secara sederhana, waralaba adalah penjualan paket usaha yang komprehensif yang siap pakai yang mencakup merk dagang, material dan pengelolaan manajemen.5

Salah satu faktor yang melatar belakangi pengusaha untuk memilih model bisnis waralaba di Indonesia adalah perilaku konsumen. Adapun perilaku konsumen secara umum di indonesia adalah:

1. Berpikir jangka pendek, sebagian besar konsumen Indonesia hanya berpikir jangka pendek dan sulit untuk diajak berpikir jangka panjang, salah satu cirinya adalah dengan mencari yang serba instant.

2. Tidak terencana, hal ini tercermin pada kebiasaan impulse buying, yaitu membeli produk yang kelihatannya menarik (tanpa perencanaan sebelumnya).

3. Suka berkumpul, masyarakat Indonesia mempunyai kebiasaan suka berkumpul (sosialisasi).

3 Kwik Kian Gie, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,Hal 6

4Informasi Waralaba, http://www.waralabaku.com/regulasi.php?reg=3, PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006,di akses pada tanggal 24 April 2013, Jam 19.30 Wib

5http://Franchise-Indonesia.com/on epidemi-tren-konsep-bisnis-waralaba-2006, diakses pada tanggal 21 April 2013, Jam 10.00 Wib

4. Berorientasi pada konteks, konsumen indonesia cenderung menilai dan memilih sesuatu dari tampilan luarnya. Dengan begitu, konteks-konteks yang meliputi suatu hal justru lebih menarik dibandingkan hal itu sendiri.

5. Suka buatan luar negeri, sebagian konsumen Indonesia juga lebih menyukai produk luar negeri daripada produk dalam negeri.

6. Gengsi, konsumen Indonesia banyak yang ingin cepat naik “status” walau belum waktunya. Saking pentingnya urusan gengsi, mobil-mobil mewah pun tetap laris terjual di negeri kita pada saat krisis ekonomi sekalipun.

Masyarakat kita mengukur kesuksesan dengan materi dan jabatan sehingga mendorong untuk saling pamer6

Karena bisnis waralaba begitu menarik dan menguntungkan bagi pengusaha kecil atau pengusaha lokal. Pemerintah memandang perlu mengatur bisnis tersebut. Waralaba di definisikan sebagai hak istimewa (privilege) yang terjalin dan atau diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor) kepada penerima waralaba (franchisee) dengan sejumlah kewajiban atau pembayaran . Dalam format bisnis, pengertian waralaba adalah pengaturan bisnis dengan sistem pemberian hak pemakaian nama dagang oleh franchisor kepada pihak independen atau

franchisee untuk menjual produk atau jasa sesuai dengan kesepakatan.7

Waralaba adalah suatu sistem kerjasama antara produsen dengan jasa yang sangat kuat. Amerika menciptakan sistem ini dan saat ini telah berkembang hampir keseluruh negara di dunia. Peluang yang diberikan kepada para pengusaha kecil dari waralaba adalah untuk bertahan dan memperoleh kesejahteraan pada pasar yang lebih kompetitif. Caranya adalah dengan

6http://forum.kompas.com/urban-life/34622-10-perilaku-konsumen-indonesia.html diakses pada tanggal 16 Mei 2013, jam 19.30

menggabungkan kekuatan dan keunggulan yang dimiliki dengan dedikasi dan inisiatif para pemilik bisnis individu.

Banyak faktor yang mendorong pengusaha untuk melakukan konsep waralaba dalam usahanya, salah satunya karena bisnis waralaba memberikan beberapa keunggulan seperti dapat memperluas jaringan usaha dengan cepat, menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan, meningkatkan lapangan kerja baru, mampu mempercepat alih teknologi dan meningkatkan peluang berusaha bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM), serta merupakan pilihan berwiraswasta dengan risiko yang kecil.8

Konsep waralaba atau franchise muncul sejak 200 tahun sebelum Masehi. Saat itu, seorang pengusaha Cina memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk mendistribusikan produk makanan dengan merk tertentu. Kemudian, di Prancis pada tahun 1200-an, penguasa negara dan penguasa gereja mendelegasikan kekuasaan mereka kepada para pedagang dan ahli pertukangan melalui apa yang dinamakan “diartes de franchise”, yaitu hak untuk menggunakan atau mengolah hutan yang berada di bawah kekuasaan negara atau gereja. Sebagai imbalannya, penguasa negara atau penguasa gereja menuntut jasa tertentu atau uang. Pemberian hak tersebut diberikan juga kepada para pedagang dan ahli pertukangan untuk penyelenggaraan pasar dan pameran, dengan imbalan sejumlah uang9. Namun, sebenarnya waralaba dengan pengertian yang kita kenal saat ini berasal dari Amerika Serikat.

Konsep Waralaba dalam pengertian modern pertama kali muncul di Amerika oleh Singer

Sewing Machine Company produsen mesin jahit di Amerika Merek Singer pada Tahun 1851.

Pada saat itu, di Amerika Serikat timbul apa yang dinamakan sistem waralaba Amerika generasi

8 Ibid, hal 127

pertama, yang disebut Straight Product Franchinsing (waralaba produk murni). Pada mulanya sistem ini berjalan dengan memberikan lisensi kepada franchisee bagi penggunaan nama pada industri Coca–Cola, kemudian berkembang sebagai sistem pemasaran pada industri mobil

(General-Motors Industry). Kemudian, sistem waralaba ini dikembangkan oleh produsen bahan

bakar, yang memberikan hak waralaba kepada pemilik pompa bensin sehingga terbentuk jaringan penyediaan untuk memenuhi suplai bahan bakar dengan cepat 10.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya pada tahun 60–70 an, waralaba mengalami

booming di Amerika Serikat. Hal ini mendorong terbentuknya International Franchise Asociation (IFA) untuk melakukan dan menciptakan iklim industri bisnis waralaba yang dapat

dipercaya dengan cara menciptakan kode etik waralaba sebagai pedoman bagi anggota– anggotanya. Kode etik ini dibuat karena seringnya terjadi penipuan bisnis yang mengaku sebagai waralaba. Upaya tersebut dilanjutkan dengan membuat perangkat hukum yang memberikan perlindungan kepada para pihak yaitu dengan membentuk Federal Trade Commission (FTC) pada tahun 1978 .

Waralaba pada tahun 2000 mencapai 50% dari total bisnis retail yang ada di Amerika. Untuk menciptakan dominasi kolektif beberapa agen pemasaran independen seperti, Century 21, ERA dan Ray White ikut bergabung dan juga membentuk organisasi waralaba yang sangat kuat. Tak jarang perusahaan konvensional merubah jaringan yang dimiliki menjadi usaha waralaba. Menyadari bahwa keuntungan yang diberikan oleh waralaba begitu besar, perusahaan-perusahaan besar dan para pemilik bisnis independen mengikuti trend ini.

Di Indonesia konsep bisnis waralaba mulai dikenal sejak tahun 1970-an yaitu dengan masuknya Shaky Pisa, Wendy, KFC, Swensen, dan Burger King membuka bisnis waralaba di

Indonesia . Konsep waralaba juga mulai berkembang untuk perusahaan lokal seperti Es Teler 77 yang berhasil mengembangkan usahanya dengan lebih dari 70 cabang, Pertamina, Perusahaan Jamu Nyonya Meneer, Salon Rudi Hadisuwarno,dan masih banyak lagi yang lainnya.

Berbagai sumber menyatakan bahwa dapat dianggap sebagai pelopor Fanchise di Indonesia ialah Pertamina, yang menjual minyak bumi (antara lain: bensin, solar) melalui pompa-pompa bensin. Selain itu, perusahaan jamu Nyonya Meneer dapat dikategorikan pula mengembangkan bisnisnya dengan pola Franchise. Akan tetapi, baik Pertamina maupun perusahaan jamu Nyonya Meneer tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemasaran mereka dilakukan secara Franchise.11

Waralaba merupakan suatu perjanjian yang bertimbal balik karena, baik pemberi waralaba maupun penerima waralaba, keduanya berkewajiban untuk memenuhi prestasi tertentu.12 Oleh karena itu perlu suatu peraturan hukum mengenai waralaba, tentang perlindungan hukum antara

franchisee dan franchisor.

Di Indonesia ketentuan mengenai waralaba terdapat dalam:

1. Peraturan Pemerintah RI No.16 Tahun 1997 tanggal 18 Juni 1997 tentang Waralaba, dan telah diubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2007 tanggal 23 Juli 2007. 2. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

No.259/MPP/Kep/7/1997 tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba dan telah diubah dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No 12/M-DAG/PER/3/2006.

3. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor:31/M-DAG/PER/8/2008 Tentang Penyelenggaraan Waralaba dan telah diubah menjadi Peraturan Menteri

11 Lindawaty, Franchise Pola Bisnis Spektakuler Dalam Perspektif Hukum&Ekonomi, CV Utomo, Bandung, 2004, Hal18

Perdagangan Republik Indonesia Nomor:53/M-DAG/PER/8/2012 tanggal 24 agustus 2012.

Namun perlu diketahui, bahwa ternyata tingkat kesuksesan waralaba di Indonesia hanya mencapai 60% saja, sedangkan di negeri asalnya, Amerika mencapai 90%. Selain itu, menurut Amir Karamoy, Ketua Waralaba dan Lisensi Indonesia menyatakan bahwa terjadi perbedaan tingkat kegagalan yang sangat mencolok antara waralaba lokal dibanding waralaba asing. Tingkat kegagalan waralaba lokal berkisar antara 50-60%,sedangkan tingkat kegagalan waralaba asing di Indonesia hanya berkisar 2%-3% saja.13 Berdasarkan survey yang pernah dilakukan oleh Kantor konsultan franchise IFBM (International Franchise Business Management) pada tahun 2011 mendapatkan hasil bahwa rata-rata hanya 20% jaringan outlet franchise yang gagal dari para pengusaha bisnis franchise (franchisor) yang memfranchisekan bisnisnya.14

Adapun faktor penyebab kurang langgengnya waralaba lokal adalah bisa dari faktor

franchisor ataupun franchisee-nya atau faktor akumulasi dari kedua belah pihak. Dari sisi franchisor, terkadang bisnis yang dia tawarkan belum terbukti menguntungkan, tapi sudah

ditawarkan konsep waralaba kepada calon investor. Beberapa faktor utama penyebab kegagalan waralaba adalah kegagalan dalam meraih target penjualan yang memadai, hal ini biasanya terjadi antara lain dikarenakan: tempat usaha yang kurang strategis, konsep pemasaran terhadap konsumen yang belum terarah.

Faktor-faktor lainnya adalah kurangnya support dari franchisor kepada franchisee misalnya dalam dukungan promosi, manajemen dan lain-lain, sehingga terkesan franchisee berjalan sendirian, selain itu ada juga yang disebabkan karena naiknya harga bahan baku dan inflasi yang berimbas pada lemahnya daya beli masyarakat secara umum. Selain itu, faktor yang tak kalah

13http://indocashregister.com/waralaba/ diakses pada tanggal 08 Mei 2013 jam 17.52 Wib

pentingnya adalah “mindset” franchisee yang berpikir bahwa membeli waralaba itu artinya

tinggal terima untung saja dan “terlalu mengharapkan” franchisor yang bekerja, atau berharap

pada sistem yang bekerja. Padahal seharusnya franchisee itu juga ikut bekerja keras memajukan gerainya, dan mengawasi sistem apakah sudah berjalan dengan baik atau tidak.15

Kebanyakan dari para pengusaha bisnis franchise, yang hanya berkonsentrasi pada peningkatan teknis operasional bisnisnya saja dan sangat kurang melakukan peningkatkan dan pengembangan entrepreneurship dari para franchisee -nya (penerima waralaba).Beberapa

franchisor lokal dengan merek yang sudah terkenal bahkan tidak mempunyai training center.

Ada juga yang tidak pernah mengunjungi outlet franchisee-nya lagi setelah pembukaan outletnya.16 Hal yang dikemukakan diatas menjadi salah satu faktor penyebab mengapa waralaba asing lebih cepat terkenal dan berkembang daripada waralaba lokal.

Pada penelitian ini, penulis mencoba mencari referensi yang mendukung dan berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Beberapa penelitian terdahulu yang telah pernah dilakukan adalah:

a. “Perlindungan Hukum Terhadap Franchisee Dalam Perjanjian Franchise Di

Indonesia” (Bambang, 2007). Dalam penelitian ini, peneliti tertarik dengan dua aspek

pokok yang menyangkut campur tangan pemerintah/negara, kaitannya untuk melindungi secara hukum keberadaan franchisee dalam suatu perjanjian franchise dengan membuat peraturan tentang franchise secara khusus, mencakup aspek internal dan aspek internal17.

b. ”Pelaksanaan Perjanjian Bisnis Waralaba Serta Perlindungan Hukumnya Bagi Para

Pihak” (Nurin Dewi, 2008). Menegaskan bahwa pemerintah sebagai pemegang otoritas

15http://indocashregister.com/waralaba/ diakses pada tanggal 08 Mei 2013 jam 17.52 Wib

16http://www.konsultanwaralaba.com/about/ diakses pada tanggal 08 Mei 2013 Jam 17.54 Wib

17 Tesis,Bambang Tjatur Iswanto, Perlindungan Hukum Terhadap Franchisee Dalam Perjanjian Franchise Di Indonesia,

Dalam dokumen Perlindungan Hukum Dalam Bisnis Waralaba (Halaman 60-89)

Dokumen terkait