• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. PENUTUP

B. Saran

1. Bagi pihak panti asuhan

Bagi pihak panti asuhan yang merawat remaja yatim piatu diharapkan agar dapat memberikan dukungan sosial dan bimbingan, karena berdasarkan penelitian, dapat dilihat bahwa adanya dukungan yang ditandai dengan kehangatan dan kasih sayang dari orang-orang di sekitar individu akan membantu mengembangkan resiliensi.

2. Bagi peneliti lain

Di masa yang akan datang diharapkan ada penelitian lanjutan mengenai resiliensi sehingga didapat temuan-temuan baru terkait tema tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, D. (2000). Kualitas Pengasuhan pada Usia Awal Kehidupan Anak. Diakses 27 September 2008 dari (http://paud-usia-dini.blogspot.com) Ali, L. (1994). Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ke-2.). Jakarta: Balai

Pustaka.

Arikunto, Suharsimi. (1998). Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineke Cipta

Banaag, C. G. (2002). Resiliency, street Children, and substance abuse prevention. Prevention Preventif, Nov. 2002, Vol 3.

Buhari, S. (2006). Fenomena Bunuh Diri di Kalangan Remaja. Diakses 8 Maret 2008 darihttp://www.republika.co.id

Cloninger, S. C (1996). Theories of Personality: Understanding persons (2nd ed). New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Conger, J.J. (1991). Adolescence and Youth (4nd ed). New York: Harper Collins

Creswell, J. (1998). Qualitative Inqury and Research Design. London: Sage Publication, Inc.

Dariyo, Agoes. (2007). Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama. Bandung: Erlangga

Garrisson K. C. (1975). Psychology off Adolescence. New Jersey: Englewood Cliffs.

Gordon, Thomas (1984). Menjadi Orang Tua Efektif, Petunjuk Terbaru Mendidik Anak Yang Bertanggung Jawab. Terjemahan Subardja Farida Lestira, dkk., PT. Gramedia, Jakarta

Grotberg, E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening The Human Spirit. Benard Van Leer Foundation.

Gunarsa, S. D. & Gunarsa, S. D. (1995). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Hurlock, E.B. (1981). Child Development. (6nd ed). McGraw Hill Kogakusha International Student.

Hurlock, E. B. (1993). Psikologi Perkembangan (edisi ke-5). Jakarta: Erlangga

Klohnen, E.C. (1996). Conseptual Analysis and Measurement of The Construct of Ego Resilience. Journal of Personality and Social Psychology, Volume. 70 No 5, p 1067 – 1079

Kristinawati, W. (2007) Anak dan Ketahanan terhadap Stres. Diakses 5 Maret 2008 dari http://mrezanailham.blogspot.com/2007/06/anak-dan-ketahanan-terhadap-stres.html

Liquanti, R. (1992). Using Community-wide Collaboration to Foster Resiliency in Kids: A Conceptual Framework Western Regional Center For Drugs-Free School and Communities, Far West Laboratory for Educational Research and Development. San Fransisco. Diakses 3 Maret 2008 dari http://www.ncrel.org/sdrs/cityshool/city11bbtm

Mack, D. (1997). The assault on parenthood: now our culture undermines the family. New York: Simon & Schuster.

Megawangi, Ratna. (2003). Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation.

Monks, F.J., Knoers, A. M. P., Haditono, S. R. (1993). Psikologi perkembangan : Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogya: Gajah Mada University Press.

Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. (2001). Human development (8nd ed). Boston: McGraw-Hill

Poerwandari, E.K (1998). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Depok: LPSP3-UI

Pudji. (2008).Waspadai Depresi Pada Remaja. Diakses 3 Maret 2008 dari http://www.e-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=481

Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The resilience factor: 7 essential skill for overcoming life is inevitable obstacles: New York: Broadway Books Resiliency In Action (2002). What is resiliency. Diakses 3 Maret 2008 dari

Rutter, M. (2000). Resilience reconsidered: Conseptual considerations, empirical findings, and policy implications. In J. P. Shonkoff & S. J. Meisels (Eds.), Handbook of early childhood intervention (2nd ed., pp. 651-682). New York: Cambridge University Press.

Santrock, J.W. (2001). Adolescence (8nd ed). North America: McGraw-Hill. Santrock., John W, (2003). Life-span development (6nd ed). Alih bahasa

Saragih, Sherly. Jakarta: Penerbit Erlangga

Sarwono. (1991). Psikologi remaja. Jakarta: Rajawali Pers

Siebert. (1996). 5 level resiliency. Diakses 3 Maret 2008 dari http://www.resiliencycenter.com/articles/5levels.shtml

s.n. (2007). Seseorang yang Berguna: Kualitas Pengasuhan di Panti Sosial Asuhan Anak Indonesia. Diakses 4 Maret 2008 dari http://www.depsos.go.id/ Steinberg. Laurence. (1993). Adolesence (8nd ed). New York: Mc Graw-Hill

Inc.

Tugade M.M & B.L Fredrickson. (2004). Resilient Individual Use Positive Emotions to Bounce Back From Negative Emotional Experinces. Journal of Personality and Social Psychology, Volume 24, no 2. 320-333

Vasta, R., Haith, M. M. & Miller, S. A. (1992). Child psychology: The modern science. Toronto: John Wiley & sons Inc.

http://id.wikipedia.org/wiki/Panti_asuhan www.balipost.com

Melakukan wawancara dengan kedua subyek sebanyak dua kali dan satu kali wawancara kroscek

Rapport

Wawancara dengan subyek pendamping yaitu pengasuh dan sahabat kedua subyek

Data kasar disortir, koding verbatim, klasifikasi koding Konfirmasi data hasil penelitian Menganalisis data berdasar teori Laporan hasil analisis data terakhir Laporan Akhir penelitian

Mengalami perubahan biologis, kognitif & sosial, menuntut penyesuaian secara sosial & psikologik

Banyak tantangan&konflik (storm&distress)

Sedang mencari identitas sehingga masa ini

rawan

Daya fantasi berlebihan

Idealistis

Tidak memiliki ayah

dan ibu

Tidak ada fungsi

pengasuhan dari orang tua

Tidak ada orangtua atau keluarga yang mampu

mengasuh

Ada aturan & batasan yang harus dipatuhi seperti jadwal belajar, jadwal piket, jadwal berdoa dan sebagainya

Kurang ada kesempatan bergaul di luar panti

asuhan dan diluar jam sekolah

Jumlah pengasuh cenderung tidak sebanding

dengan jumlah anak / remaja dip anti asuhan

PROTEKTIF Bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan Kognitif berkembang dengan baik, kreatif&kritis Ada kesempatan untuk mengenali diri sendiri (kekuatan&kelem ahan diri RESILIENSI FAKTOR RISIKO

Kehilangan model positif

dari orang tua

Tidak terpenuhi kebutuhan

fisik, stimulasi emosional dan dukungan sosial berupa bimbingan, perhatian & penerimaan

Kurang dukungan eksternal

orang dewasa yang bisa dipercaya PROTEKTIF Mandiri, hidup lebih tertata, teratur, disiplin dan terjadwal FAKTOR RISIKO Tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik karena ada tuntutan-tuntutan dari lingkungan secara bersamaan Emosi

berubah-ubah, labil, mudah stres, depresi, merasa tidak berdaya,

FAKTOR RISIKO

Sangat bergantung

pada pengasuh, tidak mandiri, kecil kemungkinan

memperileh stimulasi emosional & sosial

Hubungan

pengasuh&remsja panti asuhan tidak intim, ada keseganan, kurang keterikatan mengembangkan

kemampuan interpersonal

Pernah diasuh ibu dengan penuh kehangatan sejak bayi sampai kelas 3 SD, setelah ibu meninggal, diasuh nenek sampai SMP

Remaja

Aktif, percaya diri, terbuka, konsep diri baik, mempunyai harga diri (akar-akar resiliensi)

Tinggal di panti asuhan

Mampu mengatur perasaan, mampu mencari hubungan terpercaya, memiliki kemampuan berkomunikasi, mampu mengukur temperamen sendiri dan orang lain, mampu memecahkan masalah (I can)

Pengasuh dan nenek sebagai orang yang memberi semangat, aturan, batasan dan hubungan terpercaya dengan sahabat. Pengasuh, nenek dan sahabat adalah dukungan sosial dan sumber motivasi bagi subyek (I Have)

Kekuatan diri meliputi bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai, penuh harapan, iman dan kepercayaan, empati dan senang membantu orang lain, mandiri dan bertanggungjawab (I am)

Mendapat dukungan sosial di panti asuhan, memiliki kekuatan diri dan keterampilan sosial. Kondisi dan sistem-sistem di panti asuhan membantu memelihara dan mengembangkan resiliensi subyek.

Gambaran Resiliensi Ririn

Mendapat rasa aman, dorongan dan kesempatan dari orangtua

Sejak bayi tidak pernah diasuh oleh orangtua, identitas orangtua tidak diketahui, tidak pernah merasa kasih sayang dan pengasuhan dari orangtua terutama ibu

Tidak mendapat rasa aman, stimulasi emosi, dukungan dan kesempatan dari orangtua

Kurang aktif, pendiam, minder dengan keadaannya, tertutup, kurang percaya diri, konsep diri kurang baik, harga diri rendah, kurang mampu mencari hubungan terpercaya, kurang terampil dalam berkomunikasi, kurang memercayai orang lain, merasa kurang dicintai

Usia lima tahun tinggal di panti asuhan

Remaja

Subyek mendapat dukungan sosial di panti asuhan sehingga ia memiliki kekuatan diri dan keterampilan sosialnya bisa berkembang. Kondisi dan sistem-sistem di panti asuhan membantu memelihara dan mengembangkan resiliensi subyek. Subyek mampu mengguanakan kapasitas yang ada pada dirinya untuk mengatasi tekanan secara efektif

Gambaran Resiliensi Sinta Mendapat dukungan sosial dari pengasuh dan teman-teman di panti asuhan dan di kampus, sistem panti asuhan mengharuskan subyek berpegang pada ajaran agama (I Have)

Mandiri, memiliki motivasi, berpegang pada iman dan kepercayaan, memiliki kekuatan di dalam Tuhan , bangga pada apa yang dicapai (I am)

Wawancara pertama dilakukan kepada subyek pertama (Ririn) Subyek ingin wawancara dilakukan di beranda rumah pengasuh dengan alasan lebih nyaman dan santai. Di saat wawancara hanya ada subyek dan interviewer yang duduk berhadapan dengan santai. Wawancara dilakukan di tempat terbuka sehingga banyak kendaraan umum yang lalu lalang. Namun hal itu tidak menjadi gangguan dalam wawancara karena suara subyek jelas terdengar dan posisi duduknya tidak menghadap ke jalan. Subyek dan interviewer saling berhadapan duduk di lantai yang bersih. Suasana lingkungan yang nyaman dengan pepohonan dan bunga-bungaan membuat sejuk. Suasana dan cuaca hari itu cukup nyaman untuk wawancara. Awalnya subyek terlihat agak tegang dan sedikit kaku, namun semakin lama subyek mulai terlihat santai. Ada beberapa pertanyaan yang bisa dijawab subyek dengan lancar, namun ada beberapa pertanyaan juga yang agak sulit dipahami olehnya. Subyek sangat terbuka dan tidak segan menceritakan tentang diri dan masalahnya. Di awal wawancara terkadang subyek kesulitan mengungkapkan apa yang ia maksud, namun dengan sedikit tersendat-sendat hal-hal itu bisa tersampaikan dan cukup dimengerti oleh interviewer. Subyek adalah orang yang mudah diajak bekerjasama. Ia tidak tampak lelah atau bosan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari interviewer.

kepalanya. Subyek adalah orang yang cukup senang bercerita, namun terkadang ia hanya menjawab singkat suatu pertanyaan. Tetapi ketika interviewer menanyakan maksud jawaban subyek lebih dalam baru ia bercerita panjang lebar. Dalam wawancara pertama ini secara umum subyek terlihat sangat serius.

Wawancara kedua dilakukan di ruang tamu panti asuhan Mardi Siwi. Wawancara kedua ini terasa lebih tenang dan santai karena dilakukan di dalam ruangan tertutup. Kebetulan ibu pengasuhnya pergi meninggalkan panti asuhan karena harus menghadiri suatu acara di suatu tempat dan ia membolehkan kami melakukan wawancara tertutup di ruang tamu. Semua pintu tertutup sehingga bisa lebih fokus untuk berbicara dan tidak ada gangguan yang berarti selama wawancara berlangsung.

Subyek masih memakai seragam sekolah karena ia baru saja pulang dari sekolah dan baru selesai makan siang. Wawancara berlangsung kurang lebih 1 jam. Ruangan cukup terang dan nyaman. Interviewer dan subyek saling berhadapan. Kami duduk di bangku kayu yang nyaman dan bisa saling memandang. Suasana lebih akrab, santai dan subyek terlihat lebih lepas dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari interviewer. Pada dasarnya subyek adalah orang yang menyenangkan, terbuka, spontan, komunikatif, cerdas dan ceria. Ia

berarti. Ada pertanyaan-pertanyaan yang membuat dia senang dan tersenyum terutama pertanyaan terkait dirinya sebagai remaja. Tampaknya subyek sangat menikmati masa remajanya dan baginya sekolah dan panti asuhan adalah tempat yang menyenangkan. Wawancara diakhiri dengan ucapan terimakasih.

Wawancara pertama kepada subyek kedua (Sinta) dilakukan di panti asuhan Mardi Siwi Kalasan. Wawancara dilakukan di ruangan dekat kamar-kamar remaja panti asuhan. Subyek merasa segan dan malu bila wawancara dilakukan di rumah pengasuh karena sedang ada banyak keluarga pengasuh yang datang. Maka wawancara dilakukan di dekat kamar-kamar tersebut. Interviewer mengikuti keinginan subyek dan ia bersedia diwawancara di ruangan itu. Ruangan itu sepi, tidak ada satu orang pun yang terlihat karena banyak remaja yang masih sekolah. Hanya ada satu orang remaja yang berada di kamarnya sambil mendengarkan radio. Radio tersebut berbunyi sangat keras sehingga wawancara menjadi sedikit terganggu. Interviewer meminta kesediaan subyek untuk meminta temannya itu mengecilkan volume radionya sedikit agar tidak mengganggu jalannya wawancara. Subyek memberitahu temannya dan temannya mengecilkan sedikit volume radionya. Dalam wawancara, subyek terlihat sedikit malu dan sedikit tertutup. Wawancara dilakukan kurang lebih 100 menit. Subyek dan interviewer duduk bersampingan agar bisa lebih terasa akrab.

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut dirinya, subyek terlihat agak tertutup dan ia tampak kesulitan menyampaikan pikirannya. Hal itu terlihat dari lamanya waktu ia menjawab pertanyaan. Seringkali ia diam,

sesuai dengan pertanyaan dari interviewer atau memberikan jawaban yang tidak berhubungan dengan pertanyaan. Seringkali subyek salah menangkap maksud pertanyaan dari interviewer sehingga interviewer merasa sedikit kesulitan menggali data lebih banyak dari subyek. Subyek juga tampak bersemangat menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang masalah orang lain, namun subyek lebih terlihat kesulitan menjawab pertanyaan yang menyangkut dirinya. Jawabannya pun seringkali tidak jelas maksudnya dan terlihat rancu. Terkadang subyek mengatakan hal yang berkebalikan dari apa yang ia katakana sebelumnya. Misalnya ketika ia berkata tentang dirinya yang lebih senang memikirkan dan menyelesaikan masalahnya sendiri namun kemudian ia mengatakan sangat tergantung pada orang lain.

Subyek terlihat agak tertutup. Bila tidak dipancing dengan pertanyaan-pertanyaan, subyek tidak akan melanjutkan ceritanya atau menjelaskan maksud dari ceritanya tersebut.. seringkali ia tampak tegang, malu dan tidak percaya diri ketika ditanya tentang dirinya. Jawaban-jawabannya pun mengarah pada sikapnya yang cenderung tertutup. Mata subyek seringkali tidak melihat kepada interviewer. Ia sering berpikir cukup lama kemudian urung menjawab. Terkadang ia tampak ragu pada jawabannya dan menunduk. Setiap kali menjawab

pengasuhnya, subyek memang tergolong remaja yang agak tertutup. Subyek cukup bisa diajak bekerjasama walau seringkali interviewer terlalu menhgarahkan pertanyaan agar ia bisa memahami dengan baik. Dalam beberapa minggu interviewer melakukan pendekatan kepadanya, subyek memang terlihat tidak terlalu senang bercerita. Ia hanya menjawab sedikit sambil tersenyum. Hampir tidak pernah ia memulai pembicaraan bila tidak dimulai oleh orang lain. Hal itu diketahui peneliti dari pengamatan-pengamatan peneliti di panti asuhan tersebut (peneliti setiap hari berkunjung dan bergabung dengan penghuni panti asuhan selama kurang lebih dua minggu sejak tanggal 11 Agustus 2008 sampai setelah wawancara berlangsung). Subyek dikenal pendiam dan terlihat sopan. Dia tidak spontan dan jarang berbicara. Di wawancara ini subyek masih sangat terlihat tertutup dan tidak lepas dalam bercerita, terkadang ia tampak tertekan dan kesulitan menyampaikan pikirannya. Namun wawancara bisa berlangsung dengan baik dan lancar.

Wawancara kedua ini dilakukan di tempat yang sama dengan wawancara kedua dengan subyek pertama yaitu di ruang tamu rumah pengasuh. Wawancara dilakukan bergantian. Wawancara berlangsung kurang lebih satu jam. Ruangan terlihat rapi, tertutup dan penerangannya baik karena hari masih siang. Ketika

anaknya sedang menghadiri suatu acara.

Pada wawancara kedua ini subyek terlihat lebih santai, lebih mau terbuka dan sedikit lebih lancar bercerita dibandingkan wawancara yang pertama. Namun dalam berbicara subyek masih jarang melihat mata interviewer, subyek cenderung sering melihat ke arah lain atau ke lantai. Tidak ada gangguan yang berarti selama wawancara. Masih ada jawaban subyek yang kurang sesuai dengan pertanyaan interviewer namun masih tidak begitu jauh keluar dari hal yang ingin interviewer ketahui. Di wawancara kedua ini subyek lebih mudah diajak bekerjasama, suasana lebih santai dan wawancara berlangsung menyenangkan.

Nama : Ririn (disamarkan)

Tempat / tanggal lahir : Sukoharjo, 24 Juli 1991 Usia : 18 tahun

Pendidikan : Kelas 2 SMA Imanuel Kalasan

Verbatim wawancara I subyek pertama (WI S1)

Catatan NO VERBATIM KODING

Kondisi dan kesulitan subyek, masalah ekonomi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

“Hai Aria…bisa cerita sedikit tentang diri kamu…dan kenapa ada di sini?”

“Mmm..(terlihat berpikir dan mata menerawang)...Awal..awalnya aku masuk sini, itu tu mulai dari lulus SD, mulai dari kelas 1 SMP. Ini tu..masuk ke panti ini tu karna pertamanya waktu SD tu kan ikut nenek di Solo, lulus SD tu nenek udah gak ada biaya buat ngelanjutin sekolah. Terus akhirnya ada anak STII yang ngasih tahu kalo di sini tu ada panti asuhan..terus ya langsung..aku langsung di daftarin ke sini..terus ya masuk ke sini. Di sini tu mulai dari SMP ya sampai kelas 2 SMA ini (bercerita dengan lancar)”.

“Lalu bagaimana dengan keluarga, selain ibumu meninggal, bapakmu bagaimana ceritanya?”

“Awalnya itu dulu, awalnya kan aku di Jakarta sama mamah, terus sekitar pas (matanya kesana kemari) itu..pas mama masih ada itu..(menengok

Ibu subyek sudah meninggal dunia, subyek sebagai anak yatim karena ketidakberadaan ibu

Kondisi subyek sebagai anak piatu karena

ketidakberadaan ayah, ayah subyek tidak diketahui keberadaannya

(berdasar wawancara dengan pengasuh, ayah subyek sudah meninggal)

Subyek masih memiliki keluarga selain orang tua yaitu kakak namun subyek

tidak bisa mengandalkan

kakaknya itu untuk membantu masalah ekonominya 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37

berlangsung kaya gitu terus sampai aku kelas 3 SD (menunduk), mamah meninggal karena sakit liver, terus..(tersendat-sendat)..langsung..aku..dijemput sama nenek ke Solo itu, terus tadinya disitu yo komunikasi dari papah tu masih..kadang ya masih suka ngirim uang ke nenek itu.. terus gak tau awal-awal mau naik kelas enam itu hilang komunikasi dan sampai sekarang..itu..apa..nggak diketahui lagi keberadaannya, hilang komunikasi terus gak tau dimana, gimana kabarnya, dia juga nggak pernah ngasih kabar…ya terus akhirnya ya cuma sama nenek di Solo itu (lancar) terus aku juga punya satu kakak, itupun lulus SMP karma nggak ada biaya untuk SMA, dia tak ajak ke panti ini nggak mau, terus dia dari SMP tu langsung kerja..sampai sekarang ini masih kerja, kadang..nganggur, kadang ada kerjaan, kerja gitu..(menunduk)”

“Terus masih sering menghubunngi kakak..?”

“Masih…(mengangguk) sekarang kerja di Kerawang”

“Nenek bagaimana? Sudah tua atau gimana?”

”Udah tua (suara memelan)”

“Brarti kesana ngerawat nenek?”

“Iya..(mengangguk)”

bisa membantu kebutuhan subyek

Bagi subyek kesulitan di sekolah

adalah masalah kecil namun ketiadaan ibu menjadi masalah berat dan membuat subyek merasa tertekan (masalah subyek terkait ketidakberadaan orang tua) Kondisi subyek sebagai yatim piatu membuatnya harus tinggal di panti asuhan dan awalnya subyek jatuh sakit namun ia bisa kuat karena mendapat dukungan dari pengasuh dan teman-teman 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61

biayain aku sekolah..(suara pelan lagi dan menunduk)” “Menurut kamu..masalah itu apa sih?”

“Masalah?(berpikir sebentar dan langsung menjawab) ya..kalau menurut aku sih masalah tu..kayak apa ya…hal yang…aku tu susah nemuin gimana cara penyelesaiannya gitu lho..umpamanya kayak aku kesulitan ngerjain tugas dari sekolah buat aku masalah tapi kan kecil..terus kayak mungkin kadang..(matanya menerawang) aku tu juga kepikiran..masih keingetan mamahku, apa kadang aku suka mikir keluargaku dulu kok kayak gini ya terus kadang (lancar) aku suka tu kok masalah ku tu kayak gini ya, tu buat aku masalah”.

“Apakah kamu merasa terganggu?”

“Awalnya sih dulu aku suka terganggu mikir kaya gitu bahkan awal tinggal di sini tu sampai sakit gitu lah terus dibilangin sama mami (pengasuh) gini-gini kan..terus di sini juga banyak teman, terus mulai dari itu lah..ya di sini udah sama temen, terus aku juga mikir..oh nggak aku sendiri (senyum sebentar) temanku juga ada yang kayak gitu, malahan juga ada yang lebih..kayak mbak Eny tu..malah sama sekali dari kecil udah nggak ada orang tuanya, terus aku udah mulai mikir..ya banyaklah yang sama kayak aku gitu…”

“Terus kalau misalnya kamu punya masalah, masalah apapun, misal

Dukungen sosial dari pengasuh (faktor 2.1.b, 2.1.c, 2.1.c, 2.1.d), dukungan dari teman (faktor 2.1.a)

Merasa keadaannya sama di panti asuhan, merasa ada yang kondisinya lebih sulit, dari dirinya, berpikir positif merasa lebih beruntung, respek dan peduli terhadap orang lain, meniru perilaku positif orang lain (2.2.b, 2.2.c)

menceritakan masalahnya dan ia mendapat masukan

Terkadang subyek masih merasa terganggu dan memikirkan masalahnya, namun subyek memiliki strategi lain yaitu berdoa sendiri atau berdoa dalam kegiatan rutin di panti asuhan

Subyek memiliki teman akrab di panti asuhan Bila ada masalah berat, subyek memilih bercerita dengan temannya karena ia tidak ingin membebani pengasuh, karena menurut subyek pengasuh sudah memiliki banyak masalah

Hubungan subyek dengan saudara kandungnya tidak akrab, ia tidak mendapat dukungan dari saudaranya 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85

gini-gini terus ntar dia mesti ngasih tahu gini-gini..terus emang sih lega dikit kaya gitu (tangannya memegang bolpen dan sambil memainkan)…. tapi kan mesti masih agak mikir dikit lah tentang masalah itu,terus kadang aku kayak gitu..ya doa lah..pas sebelum tidur itu mesti doa, terus kalo di sini doa pagi, doa malam gitu pasti aku nyertain masalah itu (tersenyum)”

“Bisa ceritain nggak temen-temen akrab kamu itu gimana gitu?”

“Temenku yang paling akrab sih ya di panti ini..”

“Di panti asuhan ya?”

“Iya”

“Kalau sama mami gimana?”

“Mami kalo aku untuk masalah berat, ya kayak gitu aku kadang gak sama mami, ya..aku kan tahu sendiri mami juga masalahnya banyak”

“Kalau sama kakak gimana?”

“Aku sama kakak sendiri malah nggak begitu akrab ya (senyum sinis)..kan setelah mamah meninggal itu, terus dari kelas 3 sampe kelas 6 tinggal sama dia di rumah nenek, terus abis itu sampai berapa tahun..lima tahun ini udah terpisah (matanya fokus ke interviewer), nggak bareng gitu, ya mungkin nggak akrab”

“Kalau sama nenek nggak pernah cerita”

Dokumen terkait