• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resiliensi remaja yatim piatu di panti asuhan Mardi Siwi Kalasan Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Resiliensi remaja yatim piatu di panti asuhan Mardi Siwi Kalasan Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
266
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Cahaya Afriani Napitupulu

NIM : 049114010

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Cahaya Afriani Napitupulu

NIM : 049114010

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2009

(3)
(4)
(5)

Dan aku….tidak akan pernah menyerah lagi….”

Selesaikan pertandingan ini……sampai keringat

menjadi buah Yang manis……

Perjalanan yang hebat ini dimulai dengan keberanian

untuk mengambil sebuah langkah awal yang kecil..

sampai akhirnya bisa berlari…Dan keringat pun

telah menjadi….buah yang manis…..

(Yogyakarta, 19 Januari 2009, 00.20 WIB, maybe I’m not the LUCKIEST

people in this world….but I know.. I am THE BLESSED ONE”

)

“Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam

kesesakan, dan bertekunlah dalam doa”

Roma 12 : 12

(6)

Skripsi

ini dipersembahkan untuk:

Bapa, sahabat, dan sumber inspirasiku, Tuhan Yesus Kristus

Papa dan mama

Seseorang yang telah

m endukung, menemani dan

mengajari banyak hal…

(7)

membangun landasan yang kuat dengan

batubata yang dilemparkan orang lain

kepadanya...

(8)
(9)
(10)

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

ABSTRAK

Penelitian ini adalah penelitian mengenai resiliensi pada remaja yatim

piatu di panti asuhan. Resiliensi adalah kapasitas yang bersifat universal untuk

mencegah, meminimalisir atau melawan pengaruh yang merusak saat

mengalami kemalangan atau ketidakberuntungan. Resiliensi memberi

kemampuan untuk bangkit kembali dari hal yang tidak menyenangkan. Pada

remaja yatim piatu ada kondisi-kondisi yang bisa mneyebabkan mereka

mengalami banyak tekanan terkait dengan kondisi mereka sebagai remaja

dengan kondisi internal dan eksternalnya yang bergejolak secara bersamaan dan

kondisi tidak adanya orang tua. Penelitian dilakukan di panti asuhan dengan

asumsi bahwa kondisi di panti asuhan berbeda dengan kondisi di luar panti

asuhan dimana ada batasan, aturan, interaksi dan sistem yang berlaku.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan metode

deskriptif eksploratif. Penelitian kualitatif adalah suatu proses pendekatan

dengan pemahaman yang berdasarkan pada tradisi metodologis yang jelas untuk

mengangkat masalah sosial atau manusia. Peneliti membangun sesuatu yang

kompleks, gambaran secara keseluruhan, menganalisis kata, melaporkan secara

detil dari sudut pandang subyek dan melakukan penelitian dalam setting alami.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan resiliensi remaja yatim piatu di panti

asuhan.

Subyek penelitian ini adalah remaja yatim piatu yang tinggal di panti

asuhan Mardi Siwi, Kalasan, Yogyakarta. Subyek berjumlah 2 orang dengan

kriteria yaitu remaja berusia antara 15 – 19 tahun, berstatus yatim piatu dan

tinggal di panti asuhan. Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam

dengan tambahan observasi di lapangan. Wawancara dilakukan berdasarkan

panduan wawancara yang dibuat oleh peneliti dan berpatokan dari landasan

teori. Data berupa verbatim wawancara kemudian dikoding dan di analisis.

Hasil penelitian menggambarkan bahwa kedua subyek memiliki

kesamaan dan perbedaan dalam hal karakter resilien terkait diri, latar belakang

dan lingkungan di sekitar mereka. Penelitian juga menemukan pentingnya

dukungan sosial dalam memelihara dan mengembangkan resiliensi.

Kata Kunci: Resiliensi, remaja, yatim piatu, panti asuhan

(11)

Cahaya Afriani Napitupulu

Psychology Faculty

Sanata Dharma University

Yogyakarta

ABSTRACT

This research was about resilience of the teenage orphan in the

orphanage. Resilience is universal capacities to prevent, minimalize or againts

destructive influence when experiencing disaster or bad luck. Resilience gives

abilities to get up arise from unpleasant situation. There are many conditions

that can create pressure in life of teenage orphans in relation to their internal

and external conditions as teenagers and orphan. This research was conducted

in the orphanage with an assumption that conditions at the orphanage were

different from condition in the other home because there are roles, limitedness,

interaction and system applied.

This research was conducted using a qualitative approach. Qualitative

research is an inquiry process of understanding based on distinct

methodological traditions of inquiry that explored a social or human problem.

The researcher built a complex, holistic picture, analyzed words, reported

detailed views of informants, and conducted the study in a natural setting. The

aim of this research was to describe resilience of teenage orphans in the

orphanage.

The subjects in this research were teenage orphans who live in the

Mardi Siwi Orphanage, Kalasan, Yogyakarta. This research included 2

subjects. The criteria were teenagers with the age range between 15-19 years

old and had an orphan status.

The method used was in depth interviews accompanied by guided

interviews designed by the researcher based on the theoretical review. The

verbal data was decoded and analyzed.

The result of the research showed that both subjects had sameness and

diverge in their character of resilience in relation to their self, background and

circumstances around them. It also showed that it was very important to have a

social support to maintain and develop the resilience.

Key Words : Resilience, teenage, the orphan, orphanage

(12)

mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Resiliensi Remaja Yatim Piatu di

Panti Asuhan Mardi Siwi Kalasan Yogyakarta”.

Skripsi ini disusun untuk

memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Selama proses penulisan skripsi ini banyak pihak-pihak yang

sudah terlibat dalam menyumbangkan pikiran maupun waktunya kepada

penulis. Oleh karena itu penulis menghargai segala bantuan dan dukungan

yang telah diberikan tersebut. Pada kesempatan ini, penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapa yang penuh kasih dan pengampunan, Juruslamat yang hidup

Tuhanku Yesus Kristus. (“Skripsi ini bisa selesai bukan karena kuatku,

namun karena Engkau Tuhan yang memberi hikmat dan penyertaan..sgala

kemuliaan, hormat dan syukur hanya untuk Mu...”)

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S. Psi., M. Si. selaku Dekan Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan ijin kepada

penulis untuk melakukan penelitian.

3. Ibu Lusi Pratidarmanastiti, S.Psi, M. Si. selaku Dosen Pembimbing

Akademik yang telah memberi banyak dukungan dan semangat.

4. Ibu M . M Nimas Eki, S. Psi., Psi., M.Si. selaku Dosen Pembimbing

Skripsi, (“Trimakasih untuk bimbingan dan kesabaran ibu dalam

(13)

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma. (”Terima kasih telah memberi banyak pelajaran berharga selama

berproses di universitas ini) special thanks untuk ibu Sylvia

CMYM, S.

Psi., M. Si. (“Makasih bu untuk bantuan buku resiliensi karya Grotberg

tahun 1995, berharga banget....secara…nyari buku tentang resiliensi bagai

mencari jarum dalam jerami di tengah ujan badai…trims banget…” dan

juga untuk bapak V. Didik Suryo Hartoko, S. Psi., M. Si. (”Trimakasih

banyak untuk inspirasinya…mungkin bapak lupa…tapi ide tentang resiliensi

ini secara tidak langsung berasal dari bapak…”)

6. Seluruh staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Mas Gandung

(”Makasih mas, aku seneng banget sama mas ini coz slalu senyum dan

tampak amat sabaaaar, smangat!!!”), Mbak Nanik (”Makasih buat bantuan

slama ini”), Mas Dony (”Makasih untuk bantuannya di ruang baca..dan

viwernya yang oke banget pas ujian, hehehe”), Pak Gie (”Makasih untuk

selalu mengingat nama dan menyapa diriku bila bertemu, juga untuk

kehangatan dan senyuman bapak, Tuhan memberkati.. ), Mas Muji (makasih

untuk tawa yang lucu dan ucapan selamat siang nya..hehehehe”)

7. Pengasuh Panti Asuhan Mardi Siwi Kalasan Yogyakarta, ibu Esty…(”Hidup

ibu sungguh menjadi inspirasi dan berkat bagi saya, trimakasih untuk

mengajarkan saya arti kasih tanpa syarat, pengharapan dalam penderitaan

(14)

kalian mengajarkan saya untuk slalu ingat bersyukur dan mengasihi

sesama…nuhun yaaah…don’t worry, everything gonna be allright…”) dan

untuk semua teman-teman di panti asuhan yang tidak bisa penulis sebutkan

satu persatu (“I love u all!!!!)

9. Papa sayang

(“Terimakasih pah…untuk semua harapan dan doa yang

pernah teriring,…maybe I never gonna be good enough for u and I can’t be

perfect…but I just want to make u proud and I LOVE U SO MUCH

DAD…really, dengan sepenuh hati…”) dan u n t u k mama ku tercinta

(“Terimakasih banget buat ketulusan doa mamah, untuk semua dukungan

di saat aku terjatuh, di saat semua yang ada pergi meninggalkan, mama

selalu ada di sana untuk aku…and I always turn to u…kasih dan semua hal

dari mama menginspirasi hidupku… I LOVE U so much… 4 juta kali!!!!!”)

10. Untuk Embak alias Dylfa (“Thanks udah dibantuin nyari panti

asuhan…untuk semangat yang diberi selama aku ngerjain skripsi

ni…juga untuk kerupuk setannya yang dahsyat pedasnya, hehehe dan

untuk semua kebaikan kamu, Luv u and God blez u...btw sekarang

kayaknya rada feminine ya semenjak....ehem..nice move...)

11. Untuk Yonathan Supriadi alias Joe (baca: Jowe “Timor Leste”…)

“Makasih we dah menyumbangkan pikiran dan tenaga, pe berkali-kali

ke kos ku cuma buat ngasih komentar untuk skripsiku ini, thanks untuk

(15)

terus kaya waktu di Timles, hehe, kapan ke Bandung lagi we???

pemandu yang aneh!!!!, hehehe, smangat!! Tuhan Yesus memberkati..”

12. Untuk Yuyie, Tyas dan Mitha yang menghimbur ketika selesai ujian skripsi

hehehe dan semua teman-teman angkatan 2004, adik dan kakak kelas

(“Trimakasih untuk pengalaman dan pelajaran hidup selama berproses

bersama di fakultas ini, mari kita benar-benar menggunakan ilmu yang kita

sudah dapat untuk menjadi ‘sesuatu yang berguna’ bagi bangsa ini dan

sesama…Rock ‘n Roll guys..this world need our help!! (cieeeeeeeh)”)

13. Teman-teman guru sekolah minggu di GKI Gejayan, ka Yohan, ka

Rian, ka Corry, ka Dodo, ka Tata, ka Naris, bu Ina, ka Wellie, ka Deny,

ka Jerrie dan semua-muanya deh…(“Makasih untuk selalu mendukung

skripsi, keluarga dan hidupku dalam doa, tetaplah melayani

dimanapun kjita berada walaupun suatu saat kita akan

berpencar-pencar ke penjuru dunia..i won’t forget u all..love u..”)

14. Untuk sahabat-sahabat terkasih di gereja GKI Gejayan semacam Ka

Siska, Papi ka Jean, bang Vando, bang Chen, Rina, Harie, Henly, ka Jo,

ka Dio, Benny, Joice, Monna, Iyo, Herro, Nino, Steve, ka Ratna, ka

Mita, ka Hadyan, Harrie, dan semua penghuni GKI yang amat sangat

banyak itu dan tidak bisa disebutkan satu persatu, termasuk para koster,

pak satpam, majelis, pendeta dan sebagainya..”Hehehe, MAKASIH

(16)
(17)

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN...iv

MOTTO...vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA

ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS……….….….. viii

ABSTRAK...ix

ABSTRACT...x

KATA PENGANTAR...xi

DAFTAR ISI………..xvi

DAFTAR TABEL...xix

DAFTAR SKEMA……….….xx

DAFTAR LAMPIRAN...xxi

BAB I. PENDAHULUAN...1

A.

Latar Belakang...1

B.

Rumusan Masalah...6

C.

Tujuan Penelitian...7

D.

Manfaat Penelitian...7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...8

A.

Resiliensi……….……8

1.

Pengertian...8

2.

Faktor-faktor……….………..…….……11

B.

Remaja yatim piatu di panti asuhan…….………..……...16

1.

Remaja………...16

(18)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN...32

A.

Jenis Penelitian...32

B.

Fokus Penelitian...32

C.

Batasan Istilah...32

D.

Subyek Penelitian...33

E.

Metode Pengambilan Data……….….34

F.

Proses Pengumpulan Data………..…….36

G. Pemeriksaan Keabsahan Data……….….41

1.

Kredibilitas...41

2.

Dependability...42

H.

Analisis Data...43

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...44

A.

Persiapan Penelitian...44

B.

Survei Pertama………...……..45

C.

Survei Kedua………45

D.

Survei Ketiga………..………..46

E.

Survey Keempat………..47

F.

Survei Kelima………..47

G.

Pelaksanaan Penelitian...48

H.

Pembentukan Rapport……….………....49

I.

Waktu dan Tempat Penelitian………..………...51

J.

Hasil Penelitian...52

1.

Deskripsi Panti Asuhan Mardi Siwi Kalasan Yogyakarta

…...52

2.

Subyek Pertama .………..54

a. Latar Belakang ………...………..54

(19)

4. Faktor yang Mempengaruhi………..………..71

K.

Pembahasan...84

BAB V. PENUTUP...95

A.

Kesimpulan...95

B.

Saran...96

DAFTAR PUSTAKA...97

LAMPIRAN………

(20)

2.

Tabel 2 : Pedoman Umum Wawancara

3.

Tabel 3 : Waktu dam Tempat Penelitian

(21)

1.

Skema Penelitian

2.

Skema Gambaran Resiliensi Kedua Subyek (Ririn dan Sinta)

3.

Skema resiliensi subyek pertama (Ririn)

4.

Skema resiliensi subyek kedua (Sinta)

(22)

2.

Catatan Lapangan Subyek Kedua Sinta (Lampiran II)

3.

Verbatim dan Koding Subyek Pertama Ririn (Lampiran III)

4.

Verbatim dan Koding Subyek kedua Sinta (Lampiran IV)

5.

Verbatim Pendamping / Pengasuh (Lampiran V)

6.

Verbatim Sahabat Subyek Pertama (Lampiran VI)

7.

Verbatim Sahabat Subyek Kedua (Lampiran VII)

8.

Surat Keterangan Penelitian

(23)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Remaja masa kini mengalami banjir stres yang datang dari

perubahan sosial yang cepat dan membingungkan. Mereka dihadapkan pada

lingkungan dimana segala sesuatu seperti informasi, teknologi, dunia mode

dan sebagainya berubah secara cepat dan terlalu banyak untuk diserap.

Ketidakmampuan remaja mengikuti perkembangan dan perubahan yang

sedemikian cepat dapat membuat remaja merasa gagal, malu, kehilangan

harga diri, dan putus asa.

Kegagalan untuk mengikuti tuntutan lingkungan dapat

menyebabkan kekecewaan pada remaja dan menimbulkan depresi. Dalam

kondisi depresi, remaja bisa kehilangan kekuatan dan menjadi mudah rentan

terhadap kriminalitas atau pergaulan yang negatif dan hal itu menjadi sebuah

indikasi adanya ketidakmampuan remaja dalam beradaptasi, mengatasi

masalah/ tekanan yang dialami dan bangkit dari masalahnya.

Menurut Pudjie (www.e-psikologi.com) pada remaja yang

mengalami depresi terdapat banyak risiko buruk yang bisa terjadi dan yang

paling membahayakan adalah

munculnya ide atau usaha bunuh diri. Dalam

pemberitaan Bali Post terbitan Januari 2005 sampai dengan September 2006

terjadi 185 kasus bunuh diri dan 22 kasus di antaranya dilakukan oleh remaja

(24)

Syamsul Buhari, M.Psi (www.republika.co.id) mengungkapkan bahwa remaja

paling rentan terhadap upaya bunuh diri.

Hinton (1989) mengatakan bahwa meskipun depresi yang diderita

tidak parah namun risiko untuk bunuh diri bisa tetap ada.

Depresi yang

dirasakan sebenarnya terjadi dalam tempo yang cukup panjang namun

orangtua, keluarga, dan lingkungan sekitar korban terkadang tidak menyadari

kondisi psikologis anak/ remajanya. Depresi remaja sangat spesifik, berbeda

dengan yang dialami oleh orang dewasa. Misalnya hanya karena diejek

temannya, kecewa atas sesuatu yang menimpanya atau perlakuan orang lain

dan karena merasa tidak diperhatikan.

Substance Abuse and Mental Health Services Administration

(

www.korantempo.com

) menyampaikan, secara keseluruhan jumlah remaja AS

berusia 16-17 tahun yang menderita depresi pada tahun 2004 mencapai 12

persen. Di Indonesia sendiri belum ada data yang jelas untuk remaja, namun

pakar kesehatan jiwa dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo/ Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia Irmansyah memperkirakan bahwa jumlah

depresi remaja dari tahun ke tahun akan terus meningkat.

Berdasarkan survei Harian Bali Post (www.balipost.com), rasa

depresi remaja berasal dari kegagalan mewujudkan keinginan, faktor ekonomi,

ketidakmampuan mengatasi stres karena krisis hidup atau trauma, kehilangan

orang yang dicintai, tak kuat menghadapi kenyataan antara banyaknya

tuntutan lingkungannya dengan kemampuan diri, menganggap diri rendah dan

(25)

situasional, dan hubungan sosial yang kurang serasi baik secara vertikal

dengan orang dewasa maupun secara horisontal dengan teman sebaya.

Risiko-risiko yang dialami remaja tersebut dapat diantisipasi jika

ada perlindungan dan bimbingan dari keluarga terutama dari orang tua atau

orang dewasa lain yang mampu memberi dukungan berupa petunjuk,

informasi serta perhatian penuh kasih sayang. Keluarga merupakan

lingkungan primer bagi individu. Sebelum anak mengenal lingkungan yang

luas terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya dan menyerap norma

serta nilai yang berlaku dalam keluarga untuk dijadikan bagian dari

kepribadiannya.

Orang tua berperan penting dalam kehidupan anak dan remaja baik

dalam memberi efek positif maupun negatif. Dalam berbagai penelitian yang

telah dilakukan, dikemukakan bahwa risiko anak/ remaja mengalami depresi,

gangguan kepribadian dan perilaku menyimpang akan kecil jika mereka

dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang baik/ sehat yang mampu

memberikan dukungan sebagai perlindungan.

Dukungan yang tepat disertai kehangatan dari orang tua dapat

membantu remaja dalam mengembangkan rasa otonomi dan tanggungjawab

pada dirinya sendiri sehingga remaja dapat mengontrol dirinya dan diharapkan

mampu mengatasi tekanan-tekanan yang terjadi dengan baik. Orang tua juga

menjadi sumber kasih sayang, perhatian dan model positif bagi remaja

sehingga meskipun banyak tekanan yang dialami remaja, orang tua mampu

(26)

Pada remaja yang tidak memiliki orang tua (yatim piatu)

tekanan-tekanan yang dialami akan semakin banyak terkait dengan tidak adanya orang

tua sebagai sumber kasih sayang, perlindungan, dan dukungan. Ketiadaan

orang tua merupakan kondisi yang sangat kompleks bagi remaja. Margareth

(dalam Hurlock, 1993) melaporkan bahwa selain pemenuhan kebutuhan

fisiologis, anak membutuhkan kasih sayang bagi perkembangan psikis yang

sehat. Diketahui juga bahwa remaja dapat bertahan dengan baik dari situasi

yang menekan bila remaja mempunyai hubungan yang dekat dan penuh kasih

sayang dengan orang tua terutama ibu.

Dalam kondisi yatim piatu, hubungan yang intim dengan ayah dan

ibu tidak mungkin lagi diperoleh. Dalam situasi tanpa orang tua ini, ada

kondisi mereka harus tinggal di tempat selain rumah seperti yayasan atau panti

asuhan karena tidak ada lagi orang yang bisa merawat mereka.

Berdasarkan survei peneliti di lima panti asuhan di Yogyakarta

yaitu Panti Asuhan Atap Langit, Panti Asuhan Rekso Putra bagian putri, Panti

Asuhan Putri Islam, Panti Asuhan Santa Maria Ganjuran dan Panti Asuhan

Mardi Siwi Kalasan ditemukan adanya beberapa kesamaan karakter khas yang

dimiliki oleh panti asuhan tersebut antara lain kurangnya pengasuh sehingga

jumlah pengasuh tidak sebanding dengan jumlah anak di panti asuhan. Hal ini

menimbulkan keseganan dan hubungan yang kurang akrab antara pengasuh

dengan anak/ remaja di panti asuhan. Karakter lainnya adalah adanya batasan

(27)

asuhan meliputi jadwal belajar, ibadah, berdoa, piket, dan jadwal

keluar-masuk panti asuhan.

Kondisi panti asuhan dengan jumlah pengasuh yang tidak

sebanding dengan remaja di panti asuhan dapat menjadi salah satu faktor

risiko. Remaja di panti asuhan menjadi kurang bisa mendapat perhatian, kasih

sayang atau bimbingan dari pengasuh secara mendalam. Dengan sedikit

bimbingan, remaja yatim piatu harus mengatur hidupnya sendiri.

Pengalaman-pengalaman di panti asuhan akan berpengaruh terhadap konsep diri dan

kepribadian remaja yang tinggal di sana. Selain jumlah pengasuh yang tidak

sebanding, panti asuhan sering dianggap sebagai lembaga yang hanya

menampung dan memenuhi kebutuhan fisik saja sehingga kebutuhan lain

seperti kebutuhan emosional tidak terpenuhi dengan baik. Kondisi ini juga

bisa menjadi faktor risiko bagi remaja di panti asuhan. Remaja yatim piatu

diasumsikan memiliki masalah psikologis yang lebih banyak jika

dibandingkan dengan remaja pada umumnya yang masih memiliki orang tua

utuh dan keluarga yang dipenuhi kehangatan.

Hal-hal tersebut dapat menyebabkan mereka menjadi tidak mampu

beradaptasi dan bertahan dari hal-hal negatif yang merusak. Oleh karena itu,

pada situasi seperti inilah dibutuhkan kemampuan untuk melakukan adaptasi

yang tinggi dan luwes agar bisa bangkit dari situasi buruk yang dikenal

dengan istilah resiliensi dimana resiliensi akan melindungi individu dari

(28)

Remaja yang resilien adalah remaja yang mampu menghargai diri

sendiri, mencari seseorang untuk berbagi ketika ia membutuhkannya dan

mencari kekuatan yang positif dari dirinya agar bisa bangkit dari masalah.

sehingga ketika remaja mengalami tekanan-tekanan, risiko buruk yang

membahayakan dapat dihindari karena resiliensi akan membantu melindungi

untuk mampu bertahan serta bangkit dari masalah yang di alami.

Resiliensi sangat penting diteliti untuk mengetahui potensi yang

ada di dalam diri dan lingkungan individu ketika menghadapi masalah yang

terjadi sehingga ia dapat mengatasi hal-hal buruk dari tekanan yang terjadi.

Remaja yang resilien akan tumbuh menjadi orang dewasa yang resilien pula.

Remaja yang tidak resilien akan sulit untuk bangkit dari masalahnya dan tidak

mampu mengontrol dirinya sendiri.

Dengan mendasarkan diri pada pendapat beberapa ahli, penelitian

yang telah banyak dilakukan, serta kondisi-kondisi khas dengan sistem yang

ada di panti asuhan, peneliti tertarik melihat resiliensi remaja yatim piatu di

panti asuhan secara lebih mendalam walau hanya dalam skala yang kecil

terkait dengan kondisi khas mereka sebagai remaja tanpa orang tua dan

keberadaan mereka di lingkungan panti asuhan.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana resiliensi pada remaja yatim piatu yang tinggal di panti

(29)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana resiliensi

pada remaja yatim piatu yang tinggal di panti asuhan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan manfaat bagi ilmu

pengetahuan khususnya psikologi perkembangan sehingga dapat

digunakan sebagai bahan literatur untuk penelitian yang sejenis di masa

yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberi informasi kepada

semua pihak yang terkait mengenai resiliensi remaja yatim piatu di panti

(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Resiliensi

1. Pengertian

Ada individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif

secara efektif sedangkan individu lain gagal karena mereka tidak berhasil

keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Kemampuan untuk

melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami

tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan, tetapi hal tersebut

menggambarkan adanya kemampuan tertentu pada individu yang dikenal

dengan istilah resiliensi (Tugade & Fredrikson, 2004).

Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam

Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience yang diartikan sebagai

kemampuan umum berupa kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan

luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.

Istilah resiliensi kemudian mengalami perluasan yang diawali

dengan penelitian Rutter & Garmezy (dalam Klohnen, 1996) tentang

anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan sehingga

resiliensi digunakan sebagai label deskriptif untuk menggambarkan

anak-anak yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam

(31)

Wolff (dalam Banaag, 2002), memandang resiliensi sebagai trait

yang merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul untuk melawan

kehancuran individu dan melindungi individu dari segala rintangan

kehidupan.

Trait juga bisa menjadi faktor pelindung (protective factor)

yang dapat digunakan untuk melawan perilaku bermasalah seperti agresi,

kekerasan dan kriminal. Faktor pelindung adalah segala sesuatu yang

mampu mengurangi risiko yang membahayakan atau merusak. Individu

yang resilien adalah individu yang mempunyai intelegensi yang baik,

mampu beradaptasi, memiliki kemampuan sosial dan kepribadian yang

baik. Itu semua pada akhirnya memberikan kontribusi secara konsisten

pada diri individu sehingga ia mampu menghargai dirinya sendiri,

berkompetensi, dan merasa bahwa ia beruntung meskipun berada dalam

situasi yang tidak menguntungkan.

Di sisi lain dijelaskan bahwa resiliensi merupakan kapasitas yang

bersifat universal dan dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok

ataupun komunitas mampu mencegah, meminimalisir ataupun melawan

pengaruh yang bisa merusak saat mereka mengalami kemalangan atau

ketidakberuntungan. Resiliensi juga merupakan kekuatan manusia untuk

menghadapi, mengatasi dan menjadi kuat atau bahkan mengubah bentuk

kesengsaraan dalam hidup (Grotberg, 1995). Dengan kata lain, resiliensi

memberi kemampuan seseorang untuk bangkit kembali dari hal yang tidak

menyenangkan seperti stressor berupa tekanan hidup, masalah-masalah

(32)

Individu belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya, untuk

membantu kesuksesan proses beradaptasi dengan segala keadaan dan

mengembangkan seluruh kemampuannya, walau berada dalam kondisi

hidup tertekan, baik secara eksternal atau internal.

Ada beberapa faktor spesifik yang dapat membangun resiliensi

seperti hubungan persahabatan dalam kepercayaan dan komitmen,

dukungan emosional yang penuh kasih di dalam maupun di luar keluarga,

penghargaan terhadap diri, keberanian untuk mandiri, kepercayaan diri,

harapan, berani bertanggungjawab dan menerima risiko atas hal/

keputusan yang diambil, rasa dicintai, prestasi yang baik, percaya pada

Tuhan dan bermoral dan cinta yang tidak bersyarat untuk orang lain

(Grotberg, 1995). Dalam penelitian di buku ini juga ditemukan bahwa

anak yang tidak resilien melakukan penolakan-penolakan berupa menarik

diri dari lingkungan sosial dan cenderung depresi.

Dari pengertian-pengertian tersebut, disimpulkan bahwa resiliensi

adalah kemampuan menyesuaikan diri yang tinggi sehingga mampu

bertahan dan bangkit kembali dari hal yang tidak menyenangkan dalam

situasi penuh tekanan baik masalah internal maupun eksternal seperti

stressor berupa tekanan hidup, masalah-masalah personal ataupun

perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri individu. Resiliensi

melindungi dari segala tekanan kehidupan sehingga individu tetap mampu

berfungsi secara baik walaupun lingkungan di sekitarnya buruk dan penuh

(33)

mengurangi serta melawan pengaruh negatif yang muncul dari kesulitan

atau pengaruh yang bisa merusak saat individu mengalami kemalangan

dan ketidakberuntungan.

2. Faktor-faktor Resiliensi

2.1. Dukungan Sosial (I Have)

Grotberg (1995) menyatakan bahwa faktor dukungan sosial dapat

mengembangkan perasaan aman. Faktor dukungan sosial terdiri dari :

a. Trusting relationship meliputi orang-orang di sekitar individu

yang bisa dipercaya dan yang mengasihi individu

bagaimanapun keadaannya.

b. Structure and rules meliputi orang yang bisa memberi batasan

atas perilaku individu sehingga individu tersebut mengetahui

kapan saat untuk berhenti sebelum ada bahaya atau masalah.

c. Role Models meliputi orang yang menunjukkan bagaimana

cara melakukan sesuatu yang benar, model moralitas, orang

yang ingin memberikan pembelajaran/ informasi tentang

bagaimana melakukan segala sesuatu dengan cara sendiri dan

orang yang menolong ketika sakit, dalam bahaya atau disaat

butuh bimbingan.

d.

Encouragement to be autonomous meliputi orang yang

mendorong untuk berani melakukan sesuatu sendiri dan

(34)

2.2 Kekuatan Diri (I Am)

Grotberg (1995) juga menyatakan bahwa faktor kekuatan dari

dalam diri (personal strength) yang dibangun dari perasaan, sikap, dan

kepercayaan seseorang dapat mempengaruhi resiliensi sesorang. Faktor

kekuatan diri terdiri dari :

a. Perasaan dicintai dan sikap yang menarik meliputi keyakinan

pada diri sendiri bahwa dirinya adalah orang yang bisa

disukai dan dicintai, sensitif pada perasaan orang lain dan

tahu cara menghargai diri sendiri dan orang lain

b.

Loving, emphatic and altruistic (mencintai, empatik dan

altruistik) meliputi cinta pada orang lain yang diekspresikan

dengan berbagai cara, senang melakukan sesuatu yang baik

untuk orang lain dan senang menunjukkan perhatian, peduli

pada apa yang terjadi pada orang lain dan mengekspresikan

perasaan dengan bertindak atau berkata-kata, ingin

melakukan sesuatu untuk menghentikan atau berbagi

penderitaan/ memberikan kenyamanan

c. Proud of self (bangga pada diri sendiri) meliputi menghargai

diri sendiri, merasa diri berharga dan bangga dan percaya

pada diri sendiri atas apa yang bisa dilakukan dan sudah

dicapai diri. Ketika individu mempunyai masalah dalam

(35)

membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi

masalah tersebut.

d. Autonomous and responsible (mandiri dan bertanggungjawab)

artinya individu dapat melakukan berbagai macam keinginan

dan menerima berbagai konsekuensi perilakunya. Individu

merasa bisa mandiri dan bertanggungjawab atas hal tersebut

karena mengerti batasan kontrol, memiliki jati diri, cekatan

dalam mencari pertolongan, berwawasan dan memiliki

motivasi terhadap tujuan.

e. Filled with hope, faith and trust (dipenuhi harapan, iman dan

kepercayaan) meliputi percaya bahwa selalu ada harapan,

mengetahui hal yang benar dan salah, setia pada hal-hal yang

baik, dan mau mengekspresikan hal itu sebagai kepercayaan

dalam Tuhan/ spiritual

2.3 Kemampuan Sosial/ interpersonal (I Can)

Grotberg (1995) mengemukakan bahwa faktor kemampuan

sosial dibangun dengan cara berinteraksi dengan orang lain. Faktor

kemampuan/ kecakapan sosial terdiri dari :

a.

Communicate. Individu yang resilien adalah individu yang

tetap mampu berkomunikasi dengan baik, berperilaku positif

(36)

tersebut berada dalam tekanan hidup yang berat baik internal

maupun eksternal. Kemampuan ini meliputi :

1) Kemampuan mengekspresikan pikiran dan perasaan pada

orang lain atau kemauan berbicara kepada orang lain

tentang hal-hal yang membuat takut /mengganggu,

kemampuan untuk tahu kapan waktu yang tepat untuk

berbicara kepada seseorang/ berdiskusi, berbagi perasaan

untuk memecahkan masalah personal maupun

interpersonal/ konflik dan mengambil tindakan, mampu

menemukan orang yang tepat untuk membantu di saat

diperlukan, mau mendengarkan apa yang orang lain

sarankan, mengkomunikasikan perbedaan, memahami,

melakukan hasil dari diskusi yang sesuai.

2) Kemampuan meniru perilaku positif orang lain, dan

penyesuaian diri.

3) Kemampuan mengontrol diri ketika merasa melakukan

sesuatu yang tidak benar atau berbahaya bagi dirinya.

b. Problem solve/ kemampuan menyelesaikan masalah. Individu

yang resilien adalah individu yang mampu menguasai

masalah dengan berpikir kritis khususnya ketika berada

dalam situasi yang penuh tekanan dan segera mencoba

mengatasi masalahnya dengan pikiran-pikiran positif serta

(37)

dengan orang lain. Pikiran-pikiran positif misalnya merasa

dicintai dan disukai, senang berbuat baik dan menunjukkan

perhatian kepada orang lain, respek kepada diri sendiri dan

orang lain, dan merasa semua akan baik-baik saja, meskipun

berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan.

c.

Critical Consciousness/

kesadaran kritikal. Individu yang

resilien mampu segera mengetahui tekanan/ masalah apa

yang sedang dialaminya dan mampu memahami bagaimana

cara yang tepat untuk mengatasi perasaan-perasaan dan

dorongan yang negatif. Kesadaran kritikal meliputi:

1) Kemampuan mengenali stres/ tekanan yang dihadapi.

Individu mampu mengenali perasaan dan

mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang

baik dan benar kepada orang lain atau kepada diri sendiri

2) Kemampuan mencari strategi yang sesuai untuk

memecahkannya dan mampu mengatasi (handle)

pikiran-pikiran, perasaan dan dorongan untuk berperilaku negatif

yang bisa merusak sesuatu atau diri sendiri dengan cara

yang baik.

Faktor-faktor tersebut digunakan untuk melihat resiliensi

(38)

B.

Remaja yatim piatu yang tinggal di panti asuhan

1.

Remaja

Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa

kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12

atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua

puluhan tahun. Remaja pada umumnya memiliki rasa ingin tahu yang

besar, dinamis dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru. Dan bila tidak

diarahkan secara tepat dapat mengakibatkan tindakan berisiko (Papalia &

Olds, 2001).

Santrock (2001) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa

yang penuh gejolak. Pada masa ini suasana hati bisa berubah dengan

sangat cepat. Ciri lainnya adalah mengalami kegoncangan jiwa, timbulnya

emosi yang tak terkendalikan dan penghayatan kurang mendalam.

Cita-cita tidak menentu dan berubah-berubah, egois, mudah konflik dan frustasi

serta selalu resah dan merasa tertekan batinnya.

Dalam hal kesadaran diri, remaja mengalami perubahan yang

dramatis. Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena

mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu

mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka

sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka

dan citra yang direfleksikannya (self-image). Remaja cenderung

menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka

(39)

atas, keeksentrikan remaja akan berkurang dengan sendirinya jika ia sering

dihadapkan dengan dunia nyata dan tantangan untuk menyesuaikan impian

mereka dengan realita (Santrock, 2001).

Masa remaja juga merupakan masa belajar meninggalkan sesuatu

yang bersifat kekanak-kanakan dan pada saat yang bersamaan pula di

masa ini remaja mempelajari perubahan pola perilaku dan sikap baru

orang dewasa. Pada masa-masa ini, remaja sangat memerlukan keluarga

atau orang dewasa untuk membimbing/ mendidik mereka agar mandiri dan

bertanggungjawab atas masa depannya, serta memberi dukungan

emosional dan kasih sayang. Bimbingan orang yang lebih tua sangat

dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah

sebagai “seseorang yang mulai berkembang dan mengalami banyak sekali

perubahan”. Remaja dihadapkan pada banyak pilihan dan tantangan

(Gordon, Thomas, 1984).

Pada masa remaja juga berlangsung proses-proses perubahan pada

aspek biologis, kognitif dan sosial (Steinberg, 1993). Perubahan yang

dimaksud adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan (Papalia

& Olds, 2001). Perubahan itu dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya

pertambahan tinggi atau berat tubuh; dan kualitatif, misalnya perubahan

cara berpikir secara konkret menjadi abstrak (Papalia dan Olds, 2001).

Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental

seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam

(40)

kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah

sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi

memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Dalam pandangan Jean

Piaget, kognitif remaja merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam

tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations) dimana

idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha

memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak (Santrock,

2001).

Remaja juga mengalami perubahan dalam hal jaringan/ lingkungan

sosialnya. Remaja cenderung membentuk kelompok sendiri yang terdiri

dari teman-teman sebayanya. Dengan demikian, pada masa remaja peran

kelompok teman sebaya adalah besar (Conger, 1991; Papalia & Olds,

2001). Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku

diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan

kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun

penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh

kelompok teman sebaya (Conger, 1991).

Perubahan-perubahan ini menuntut remaja untuk menyesuaikan

diri secara sosial dan psikologik, dan tidak jarang mereka mengalami

kegoncangan dalam menentukan sikap. Kondisi internal dan eksternal

yang bergejolak secara bersamaan menyebabkan masa remaja menjadi

rawan (Sarwono, 1991). Kondisi-kondisi khas dan perubahan yang dialami

(41)

Remaja mengalami disequilibrum yaitu ketidakseimbangan emosi,

sehingga emosi remaja mudah berubah, bergejolak dan tidak menentu

(Sarwono, 1991).

Kekhasan remaja yang lain antara lain adanya keinginan untuk

dapat mandiri, berprestasi, mendapat pengakuan dari orang lain atau

lingkungannya sebagai wujud memperoleh prestise diri, keinginan untuk

dihargai, dan memperoleh falsafah hidup. Semua kebutuhan itu menjadi

bagian dari kehidupan masa remaja (Karl C.Garrison, 1975).

Kebutuhan-kebutuhan khas itu diawali dengan adanya kebutuhan

akan kasih sayang. Kebutuhan ini bertumpu pada keinginan untuk

diperhatikan selayaknya yang diberikan oleh orang-orang terdekat mereka

terutama orang tua atau orang dewasa yang sebaiknya lebih bisa

mencurahkan kasih sayangnya agar remaja tak salah langkah dalam

menentukan arah hidup karena sebenarnya remaja masih membutuhkan

perlindungan dan tempat bergantung.

Remaja juga mengalami krisis identitas. Dengan terbentuknya

identitas diri, seorang individu telah dapat memahami dirinya sendiri,

kemampuan dan kelemahan dirinya serta peranan dirinya dalam

lingkungannya. Sebelum identitas diri terbentuk, pada umumnya akan

terjadi suatu krisis identitas. Setiap remaja harus mampu melewati

(42)

2. Yatim Piatu

Yatim piatu adalah keadaan dimana tidak ada lagi orang tua (ayah

dan ibu) dikarenakan meninggal dunia atau tidak diketahui keberadaannya

(Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, Balai Pustaka, 1994).

Dalam sebuah penelitian, digambarkan secara teoritik tentang

karakteristik remaja yatim piatu yang tinggal di panti asuhan. Kondisi

remaja yatim piatu ialah tidak mendapatkan kebutuhan-kebutuhan baik

secara fisik dan emosional yang seharusnya diperoleh dari orang tua.

Stimulasi emosional dan sosial kurang didapat, terkait dengan tidak

adanya fungsi/ figur orangtua padahal sumbangan keluarga terutama orang

tua sangat berpengaruh bagi perkembangan anak (Vasta & Miller, 1992).

Orang tua adalah orang yang dapat diandalkan anak dalam

memenuhi kebutuhan fisik maupun psikologisnya, sumber kasih sayang

dan penerimaan, sumber bimbingan, orang yang dapat diharapkan

bantuannya dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam setiap

penyesuaian kehidupan, perangsang kemampuan untuk mencapai

keberhasilan di sekolah dan kehidupan sosial serta menjadi sumber

persahabatan sampai anak cukup besar untuk mendapatkan teman atau

menjadi sahabat baginya (Santrock, 2001).

3. Panti asuhan

Panti asuhan merupakan lembaga sosial yang menampung,

(43)

yang dialami orangtua berupa masalah sosial dan ekonomi, kematian

orangtua, maupun perceraian orangtua. Salah satu penyebab remaja berada

di panti asuhan adalah karena tidak ada lagi keluarga yang merawat anak/

remaja baik karena orangtua sudah meninggal atau karena tidak mampu

secara ekonomi sehingga satu-satunya cara adalah menyerahkan mereka

pada panti asuhan dengan harapan ada perlindungan yang diperoleh di

sana (

www.wikipedia.com

).

Kebanyakan anak-anak ditempatkan di panti asuhan oleh

keluarganya yang mengalami kesulitan ekonomi dan juga secara sosial

dalam konteks tertentu, dengan tujuan untuk memastikan anak-anak

mereka mendapatkan pendidikan (s.n, 2007).

Panti asuhan juga merupakan suatu lembaga pelayanan pengganti

fungsi keluarga yang bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan

fisik, mental dan sosial kepada anak asuh serta memberikan bekal dasar

yang dibutuhkan anak asuh untuk perkembangannya. Tujuan pengasuhan

di dalam keluarga dan di panti asuhan sesungguhnya adalah sama, namun

cara pengasuhan dapat berbeda. Jika di rumah, orang tua melakukan

pengasuhan terhadap anak dalam jumlah yang kecil (1 – 6 orang), maka

pengasuhan di panti asuhan dilakukan oleh pengasuh terhadap anak dalam

(44)

C.

Resiliensi remaja yatim piatu di panti asuhan

Menurut Liquanti (www.ncrel.org) resiliensi sangat diperlukan di

setiap tahap kehidupan manusia tidak terkecuali pada masa remaja. Secara

khusus Liquanti memaparkan bahwa resiliensi pada remaja merupakan

kemampuan yang dimiliki remaja di mana mereka tetap mampu bertahan saat

menghadapi tekanan dan kesulitan dalam lingkungan. Ketika situasi tertekan,

sulit atau ada pengalaman traumatis, remaja yang memiliki resiliensi adalah

remaja yang tetap dapat menjalankan fungsinya dengan baik dengan mampu

mengatur diri dan menjalankan rutinitas sehari-hari serta berkembang

sebagaimana tugas perkembangannya.

Liquanti juga menyebutkan ketika remaja dihadapkan pada kondisi

yang tidak menyenangkan, ada karakteristik yang dapat membantu mereka

bertahan dan membuat mereka mampu menjadi resilien. Ada beberapa faktor

yang dapat membantu remaja agar dapat menjadi resilien antara lain

tersedianya dukungan eksternal seperti ayah, ibu, kakek, nenek, guru, sahabat,

tetangga bahkan struktur institusional seperti agen pengasuhan atau apapun

yang bisa dipercaya oleh remaja. Faktor tersebut dikenal dengan istilah

dukungan sosial yang ditandai dengan adanya kehangatan, keterikatan satu

sama lain dan penuh perhatian. Reaksi orang lain di sekitar seseorang

merupakan faktor yang tidak dapat dilepaskan dari daya tahan individu itu

sendiri.

Faktor kedua adalah kekuatan dalam diri, berupa keterampilan

(45)

kemampuan interpersonal. Masing-masing faktor tersebut berpengaruh

terhadap pemaknaan dan daya tahan individu dalam menghadapi masalah

hidup.

Remaja yatim piatu adalah remaja yang sudah tidak memiliki orang

tua yang bisa mengasuh mereka karena berbagai alasan (Balai Pustaka, 2003).

Karena sudah tidak ada lagi yang bisa mengasuh mereka, maka mereka

ditempatkan di panti asuhan. Ketiadaan orang tua menjadi suatu kesulitan

tersendiri bagi remaja karena lingkungan keluarga memungkinkan

terpenuhinya segala kebutuhannya, baik kebutuhan fisik, psikologis maupun

soisalnya.

Ketidakberadaan orang tua merupakan kondisi yang sangat kompleks

terutama bagi remaja. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1995), kehadiran orang

tua memegang peranan penting dalam perkembangan fisik dan psikis anak

khususnya antara usia 10 – 12 tahun (masa sebelum memasuki usia remaja)

dimana anak memerlukan dukungan terutama secara emosional jika ia

mengalami masalah sehingga ia dapat mengembangkan kehidupan sosialnya

dengan baik. Di dalam keluarga, orang tua lah yang berperan sebagai model

penanaman nilai positif bagi anak baik secara verbal maupun melalui contoh

konkret sehari-hari. Mengingat masa anak-anak dan remaja merupakan masa

yang penting dalam proses perkembangan, maka pemahaman dan kesempatan

yang diberikan orangtua kepada anak-anaknya menjadi sangat krusial.

Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama

(46)

PBB (dalam Megawangi, 2003), fungsi utama keluarga adalah ”sebagai

wahana untuk mendidik, mengasuh, membimbing, membantu mengarahkan,

mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya

agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta

memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga

sejahtera”.

Faktor keluarga khususnya orang tua dan faktor lingkungan sangat

berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter, perkembangan fisik

maupun emosional remaja. Perkembangan karakter pada setiap individu

dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture).

Setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanisfestasi setelah dia

dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai

kebaikan. Potensi ini sebaiknya diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi

(Megawangi, 2003).

Menurut Thomas Lichona (Megawangi, 2003), pendidikan karakter

perlu dilakukan sejak usia dini. White (dalam Hurlock, 1981) menyatakan

bahwa usia dua tahun pertama dalam kehidupan adalah masa kritis bagi

pembentukan pola penyesuaian personal dan sosial. Bagi remaja, apabila

mereka mampu beradaptasi dan menerima perubahan yang setiap waktu dapat

terjadi disekitarnya, maka mereka dapat berhasil melewati fase pertumbuhan

ini menuju fase dewasa.

Bagaimanapun alasan dan sebab hilangnya pemeliharaan ibu pada

(47)

mendukung perkembangan kepribadiannya di masa mendatang. Karena

berakibat tidak baik terhadap pertumbuhannya, baik fisik, perasaan,

kecerdasan, atau sosialnya. Di sini tampak jelas pentingnya peranan orang tua

terutama ibu dalam mengembangkan kepribadian yang sehat bagi anak. Di sisi

lain Rutter (Monks, et. al., 1993) menyatakan bahwa kasih sayang ibu

merupakan syarat mutlak yang diperlukan untuk menjamin suatu

perkembangan psikis yang sehat pada anak. Pemberian kasih sayang ini tidak

harus berasal dari ibu biologis, bisa juga dari orang lain (ibu pengganti). Jadi

keempat macam perkembangan itu harus berjalan secara serasi dan seimbang

serta tidak berat sebelah.

Dalam situasi di panti asuhan, pengasuh bisa berperan sebagai orang

tua pengganti, namun karena begitu banyak anak yang di asuh, pengasuh

kesulitan memperhatikan dan mengasuh setiap anak di panti asuhan secara

seksama (berdasakan survei peneliti di beberapa panti asuhan). Oleh karena

itu, hubungan antara pengasuh dengan remaja/ anak di panti asuhannya kurang

ditandai keterikatan satu sama lain. Dalam keadaan demikian, panti asuhan

tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka yang tinggal di sana

dengan harapan perkembangan remaja tetap sehat.

Perkembangan yang sehat antara perkembangan fisik, psikologis dan

sosial seorang individu akan menghasilkan suatu kepribadian yang utuh dan

dewasa. Individu yang dewasa secara psikis akan mampu menerima

kehidupan yang dihadapi, keluar dari masalah berat yang terus ada, serta

(48)

individu mampu hidup di tengah-tengah masyarakat luas secara harmonis.

Dalam menjadi individu yang utuh, individu tersebut juga memiliki sikap

resilien sehingga ia tidak kesulitan dalam mengahadapi tantangan hidup.

Salah satu keadaan yang sering menyebabkan perkembangan

kepribadian yang kurang optimal menurut Hurlock (1993) adalah ketidak

adaan orang tua baik karena meninggal, tidak diketahui keberadaannya

ataupun anak yang tidak dikehendaki (unwanted children).

Kehilangan orang tua mempengaruhi banyak aspek kehidupan

remaja. Pada hakikatnya, setiap orang berusaha memahami dunianya lewat

semacam kerangka rujukan. Anak pun membutuhkan suatu kerangka untuk

mengevaluasi situasi baru. Mereka yang memiliki orang tua utuh yang

memberi kehangatan, memiliki kerangka yang sarat informasi dari kedua

orang tuanya. Pemrosesan informasi yang efektif bisa menolong anak mencari

alternatif pemecahan masalah, mengatur perilaku, melindungi diri sendiri, dan

belajar dari pengalaman. Anak/ remaja membutuhkan nilai-nilai penuntun saat

mengambil keputusan, atau memaknai kehidupannya. Biasanya anak akan

meniru apa yang diperbuat orang tuanya dalam banyak hal. Ketika kedua

orang tua tiada, maka kerangka rujukannya berubah menjadi tidak adanya

informasi dan anak kehilangan model positif seperti orang tua yang bisa

membangkitkan rasa percaya diri anak.

Ketidaknyamanan terhadap orang tua (baik kandung ataupun yang

mengasuh) dalam mendidik bisa membuat remaja mencoba untuk bergaul

(49)

tidak mengontrol dan tidak mengetahui karakter atau tabiat anaknya dalam

bergaul, bisa saja remaja tersebut menjadi terlibat hal-hal yang tidak baik.

Dalam kondisi di panti asuhan, remaja kurang bisa dekat dengan pengasuhnya,

pengasuh pun terkadang sulit mengontrol setiap kegiatan remajanya, bila tidak

dikontrol dengan baik, maka besar kemungkinkan remaja di panti asuhan

terlibat hal-hal yang kurang baik di luar lingkungan panti asuhan. Hal itu

disebabkan karena masa remaja merupakan masa yang amat kritis sehingga

kontrol yang cukup sangat diperlukan. Masa remaja ini mungkin dapat

merupakan masa terbaik atau menjadi masa terburuk seseorang. G. Stanley

Hall menafsirkan masa remaja sebagai masa storm and drang/ badai dan topan

(Santrock, 2001).

Dalam hal masalah-masalah terkait kondisi internal dan eksternalnya

sebagai remaja yatim piatu, bila orang yang dewasa tidak tahu banyak

mengenai dirinya, maka besar pula kemungkinannya ia akan memendam

masalahnya sendiri. Berdasarkan survei peneliti di lima panti asuhan di

Yogyakarta, dalam kondisi di panti asuhan, ada keseganan antara pengasuh

dengan remaja di panti asuhan. Bila remaja memiliki teman di panti atau di

luar panti yang baik, maka tidaklah menjadi masalah, namun bila teman itu

bukanlah teman yang baik dan pengawasan dari pengasuh kurang,

kemungkinan remaja bisa menjadi tidak resilien. Akan sangat memprihatinkan

bila remaja sampai mengalami depresi tanpa diketahui oleh pengasuh karena

(50)

Akibat depresi yang hebat, remaja bisa menjadi kurang resilien dan

dalam kondisi di panti asuhan, besar kemungkinan remaja depresi bila banyak

orang di sekitarnya yang tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya atau

karena ada rasa berbeda dengan teman sebayanya yang masih memiliki orang

tua. Remaja yang depresi bisa melampiaskan kekesalannya pada tindakan

yang salah seperti penyalahgunaan obat terlarang sampai bunuh diri.

Dikalangan remaja sebagian besar mereka meminta perhatian, ingin mencoba

sesuatu yang justru dilarang, rasa ingin tahu dan cepat tersinggung.

Gejolak jiwa remaja yang pada hakekatnya mencari identitas diri,

ingin dihargai, ingin didengar pendapatnya, ingin diakui kelompok, dan ingin

dianggap dewasa bisa menjadi bumerang bagi remaja yatim piatu. Bila pola

pikir remaja yatim piatu cenderung negatif, ia akan mudah kecewa dengan

kondisinya yang berbeda dengan remaja yang masih memiliki orang tua. Bila

ia tidak menggali kekuatan dirinya dan mencari dukungan dari orang-orang di

sekitarnya, maka ia bisa menjadi tidak resilien.

Dalam hal pengasuhan remaja yatim piatu, stimulasi emosional dan

sosial kecil kemungkinannya diperoleh, terkait dengan kurang adanya fungsi

dan figur orangtua. Jalinan komunikasi antara anak/ remaja dan orang tua agar

masing-masing pihak belajar memahami berbagai situasi juga sudah tidak

mungkin mereka dapat dalam kondisi yatim piatu. Pada dasarnya, setiap

manusia ingin membuktikan bahwa ia mampu menghadapi setiap persoalan

kehidupan. Perasaan mampu ini amat bergantung pada perkambangan

(51)

dalam mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut. Dalam situasi ini,

remaja yatim piatu tidak bisa memperoleh dukungan sosial dari orang tua

kandungnya. Namun demikian orang-orang yang bisa dipercaya oleh mereka

sebaiknya mampu memberi dukungan sosial karena dukungan sosial

memainkan peranan yang sangat penting dalam mencegah remaja melakukan

tindakan yang salah ketika banyak tekanan yang terjadi..

Menurut Hughes, Power dan Francis (dalam Santrock, 2001)

hubungan yang positif dan dukungan dari dengan orang tua/ orang lain

menjadi hal yang penting untuk mengurangi penggunaan obat terlarang pada

remaja. Pada penelitian yang serupa juga dikatakan oleh Newcomb dan

Bentler bahwa dukungan sosial berupa hubungan yang baik dan positif dengan

orang tua, saudara, orang dewasa atau teman sebaya yang diterima selama

masa remaja dapat mengurangi penyalahgunaan obat-obatan (Santrock, 2001).

Dukungan dari orang tua bukan lagi menjadi pilihan bagi remaja yatim piatu.

Teman sebaya bisa menjadi orang yang dipercaya, namun karena salah satu

kondisi khas remaja adalah labil, maka kehadiran orang dewasa selain orang

tua masih sangat diperlukan untuk memberikan bimbingan dan arahan agar

tidak sampai terjadi berbagai risiko buruk

Kondisi yatim piatu ini menyebabkan mereka harus tinggal di panti

asuhan karena sudah tidak ada orang tua dan sanak saudara yang mampu/

bersedia mengasuh mereka.

Menurut Wahyuni Kristinawati Psi (www.blogspot.com), semakin

(52)

mengatasi stres yang dihadapi. Salah satu faktor risiko ini adalah pengalaman

tinggal di panti asuhan. Pengalaman tinggal di panti asuhan merupakan

pengalaman yang berbeda dengan situasi di luar panti asuhan. Untuk memiliki

resiliensi, remaja harus memiliki perisai pelindung.

Dalam hal pengasuhan, pengasuhan di panti asuhan dilakukan

dengan jumlah pengasuh yang lebih sedikit dibandingkan jumlah anak/ remaja

yang di asuh. Remaja yatim piatu yang tinggal di panti asuhan akan merasa

segan karena hubungan antara mereka dan pengasuh tidak bisa seintim

hubungan orang tua dan anak-anak karena kurang adanya keterikatan satu

sama lain. Padahal sebaiknya remaja dekat dengan pengasuh, atau orang

dewasa lain yang cukup kompeten menghadapi mereka selain dengan teman

sebaya.

Teman sebaya adalah teman seumuran yang juga memiliki kondisi

khas sebagai remaja yaitu labil. Bila teman bisa menjadi model positif maka

hubungan saling percaya pun akan terjalin dengan baik dan membawa hal

yang positif namun bila teman sebaya justru memberi tuntutan dan membawa

pengaruh yang kurang baik, remaja masih memerlukan orang dewasa untuk

memberi batasan atas perilaku mereka dan memberi informasi mengenai

hal-hal di sekitar mereka.

Berdasarkan survei peneliti di beberapa panti asuhan, pengasuh

bukan merupakan orang yang bisa mereka percaya karena kurangnya

keterikatan dan kehangatan di antara mereka. Ketika remaja di panti asuhan

(53)

apa yang sedang terjadi pada setiap remaja di panti asuhan. Hal itu disebabkan

karena keterbatasan pengasuh yang harus mengurusi begitu banyak anak dan

tidak memungkinkan untuk mengamati remaja panti asuhan satu persatu

secara detil.

Hal tersebut menyebabkan kurang adanya orang dewasa yang bisa

dipercaya oleh remaja yatim piatu di lingkungan panti asuhan. Kurangnya

figur orang dewasa menyebabkan minimnya contoh positif yang bisa ditiru

oleh remaja dari orang dewasa terutama dalam penyelesaian masalah mereka.

Kurangnya dukungan yang diperoleh dari orang dewasa yang bisa memberi

dorongan remaja untuk mampu keluar dan bangkit dari masalah dapat

membuat remaja merasa putus asa dan menjadi tidak resilien. Remaja masih

(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan

menggunakan metode deskriptif eksploratif yaitu jenis penelitian non hipotesis

yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan tertentu untuk diangkat dan

dipaparkan hasilnya dengan perolehan data berupa data kualitatif (Arikunto,

1998).

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini ialah resiliensi.

C. Batasan Istilah

1. Remaja Yatim Piatu di Panti Asuhan

Remaja adalah suatu masa dalam tahap perkembangan sepanjang

rentang hidup yang unik, dinamis, penuh harapan dan tantangan dimana

pada masa ini berlangsung proses-proses perubahan pada aspek biologis,

kognitif dan sosial (Steinberg, 1993). Remaja mengalami disequilibrum

yaitu ketidakseimbangan emosi, sehingga emosi remaja mudah berubah,

bergejolak dan tidak menentu (Sarwono, 1991).

Yatim piatu adalah kondisi di mana individu sudah tidak berayah dan

(55)

ke-2, 1994, halaman 766). Remaja yatim piatu yang tinggal di panti asuhan

adalah remaja tanpa ayah dan ibu yang diasuh di suatu lembaga yang disebut

panti asuhan karena orang tua mereka meninggal dunia atau tidak diketahui

keberadaannya serta tidak ada lagi orang lain yang mampu merawat dan

mendidik anak tersebut.

2. Resiliensi

Dalam penelitian ini resiliensi dipahami sebagai kemampuan

menyesuaikan diri yang tinggi sehingga mampu bertahan dalam situasi

penuh tekanan baik terhadap masalah internal maupun eksternal. Resiliensi

juga merupakan kemampuan seseorang untuk bangkit kembali dari hal yang

tidak menyenangkan karena resiliensi melindungi dari segala tekanan

kehidupan sehingga individu tetap mampu berfungsi secara baik walaupun

lingkungan di sekitarnya buruk dan penuh tekanan.

D. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah remaja yatim piatu yang tinggal di panti

asuhan. Remaja dipilih peneliti dengan pertimbangan bahwa masa remaja adalah

masa yang dinamis dan unik dimana pada masa ini terjadi banyak tekanan dan

tuntutan dari lingkungan serta perubahan-perubahan dalam diri remaja.

Kriteria subyek adalah usia remaja (13 – 21 tahun), yatim piatu (sudah

Gambar

Tabel 2. Pedoman Umum Wawancara
Tabel 3. Waktu dan tempat pengambilan data

Referensi

Dokumen terkait

Bahan Alginat merupakan bahan yang sering dipakai untuk bahan cetak gigi, setelah dilakukan pengujian dengan menggunakan pesawat CT-Scan diperoleh bahwa bahan ini

Dunia penerbangan saat ini benar-benar menjadi sorotan mass media, hal ini yang menjadi faktor mengapa dunia transportasi udara kita yang kurang baik dan tidak memiliki

Bahwa dalam Pasal 2 ayat (2) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dinyatakan bahwa ”Apabila belum diatur dalam ketentuan perundang- undangan atau

Mempunyai tugas pokok membantu Kepala Dinas dalam pelaksanaan penyusunan petunjuk teknis pengelolaan kegiatan bidang pengawasan, pengendalian, evaluasi dan pelaporan meliputi

Pergandaan protoplasma (bahan hidup sel) merupakan ukuran pertumbuhan yang paling tepat, karena dalam tanaman yang sedang tumbuh seperti bibit tanaman, sebagian besar

Mikrobia yang berada pada zona rizosfer mempunyai kemampuan untuk membentuk mantel di daerah perakaran, berperanan juga sebagai hara tanaman misalnya penyedia N,

H 1 : Bagi kelompok n1 (nasabah muslim yang hanya menabung di bank syariah) suku bunga bank konvensional tidak berpengaruh positif mau- pun negatif terhadap probabilitas menabung

Ia mengatakan bahwa “sembilan kelompok bisnis mengendalikan separuh media cetak di Indonesia” dan bahwa para pemilik media “melihat media sebagai pasar belaka.” Yanuar Nugroho