• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

Kegiatan penambangan akar pohon dan pengambilan lahan gambut secara terbatas disarankan hanya dilakukan pada kawasan budidaya (produksi). Penambangan diutamakan hanya pada pengambilan akar-akar pohon yang rapat agar kegiatan budidaya tanaman dapat dilakukan.

Setelah pengambilan akar pohon dan penambangan gambut pada lapisan terbatas dilakukan perbaikan lahan gambut dengan penambahan unsur-unsur mineral untuk meningkatkan kesuburan tanah sehingga tanah-tanah bekas galian dapat dijadikan tanah pertanian yang lebih produktif terutama untuk tanaman holtikultural. Sehingga perlu adanya penelitian lanjutan untuk mengetahui ambang batas toleransi ekspolitasi lahan gambut di lokasi penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Adger NE dan Brown K. 1995. Land use and the causes of global warning. John Wiley & Sons. New York. P.96 – 111.

Aerts R dan Caluwe H. 1999 Nitrogen Deposition Effects on Carbon Dioxide and Methane Emissions Temperate Peatland Soils. Oikos. 84 (1): 44-54.

Agus F, Yustika RD, Haryati U. 2007. Penetapan berat volume tanah. Hal 25-34 dalam Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Balai Penelitian Tanah, Bogor.

Alphen de Veer. 1953 Plantations of Pinus merkusii as means of reafforestion in Indonesia, Tectona 43 :119-130.

Andrie E et al. 2010. The depth of ground water table dynamics and charackeristic of peatland near drainage canal ex, mega rice project in Central-Kalimantan. Makalah Seminar Ilmiah VI Lingkungan Tropis IATPI. Bartlett KB, Harris RC. 1993. Review and assessment of methane emissions from

weatlands. Chemosphere. 26: 261-320.

BPS Kabupaten Humbang Hasundutan. 2004. Humbang Hasundutan Dalam Angka. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Utara.

Brown AA dan Davis KP. 1973. Forest Fire Control and Use. USA: Mc Graw Hill Book Company, Inc.

Brown, S., and G. Gaston. 1996. Estimates of biomass density for tropical forest. In: Levine, J.S. (Ed.). Biomass burning and global change. Vol. 1:133-139. MIT Press. Cambridge.

Chandler C. P Cheney, L Trabaud, D Williams. 1983. Fire in Forest Vol I Forest Fire Behaviour and Effects. USA: Jhon Wiley and Sons, Inc. Canada.

Chapman SB. 1996. Method in Plant Ecology. 2n ed. Osford: Blackwell Scientific Publisher. 145 - 120 p.

Cristensen TR, Jonasson , Callaghan , Havstrom. 1999. On the potential CO2 release from tundra soils in a changing climate. Appl. Soil Ecol. 11:127-134.

De Bano LF, .Neary DG dan Ffolliott PF. 1998. Fire’s Effects on Ecosystem. John Wiley and Sons. USA. 303 pp.

Eggleston HS, Buendia L, Miwa, Ngara T,Tanabe K [Editors]. 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme. ICES. Japan.

Fatimah SB. 2009. Pendugaan Cadangan Karbon Dan Emisi Gas Rumah Kaca Pada Tanah Gambut Di Hutan Dan Semak Belukar Yang Telah Didrainase [tesis]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Finn HB. 1983. Water table levels at different drainage intensities on deep peat in

Notrthern Norway. Forest ecology and management volume 5, Issue 3 : 169-192.

Forseth IN dan Norman JM. 1993. Modeling of Solar Irradiance, Leaf Energy Budget and Canopy Photosynthesis. In D.O.Hall. J.M.O. Scurlock. H.R. Bolhilr-Nordenkampf, R.C. Leegood, and S.P. Long [Editors]. Photosynthesis and Productivity in a Changing Environment. pp. 207-219. Chapman & Hall. London.

Fuller M. 1991. Forest Fire An introduction to Wildland Fire Behavior. Management. Firefighting and Prevention. Canada: Hohn Wiley & Sons, Inc

Hairiah K dan Rahayu S. 2007. Petunjuk Praktis Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor : World Agroforestrvy Center ICRAF_SEA Regional Office, University of Brawijaya, Unibraw. Indonesia.

Hariyadi. 2005. Kajian potensi Cadangan Karbon Pada Pertanaman The (Camelia sinensis (L) O. Kuntze) dan Berbagai Penggunaan Lahan di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, Kecamatan Nanggung. Kabupaten Bogor [Disertasi]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Haygreen JG, Bowyer JL. 1982. Hasil Hutan Dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar.

Hadikusumo SA. Penerjemah; Prawirohatmodjo S, Editor. Yogyakarta: Gadjah Mada

Hendri. 2001. Analisis Kimia dan Penyerapan Gas Rumah Kaca (baseline) dan Evaluasi Teknologi Mitigasi Karbon di Wilayah Perum Perhutani [Tesis], Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hooijer A, Silvius M, Wotsen H, dan Page S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Wageningen: Delft Hydraulics report Q3943.

IPCC 2001. The carbon cycle and atmospheric carbon dioxida. The Scientific Basis. In Climate change 2001: 185-237

Istomo. 2006. Peningkatan Sumberdaya Bahan Tambang Gambut: Penelitian Eksploitasi Bahan Tambang Gambut Di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara. Sumatera Utara: Kerjasama antara Dinas Pertambangan dan kehutanan Kabupaten Humbang hasundutan Provinsi Sumatera Utara dengan Fakultas Kehutanan IPB

Janzen DH, 1973, Rate of regeneration after a tropical high-elevation fire, Biotropica 5: 117-122,

Klemedtsson AK, Klemedtsson L, Berglund K, Martikainen P, Silvola J, dan Oenema O. 1997. Greenhouse gas emissions from farmed organic soils: a review. Soil Use and Mangement, 13:245-250.

Levine JS. 1994. Biomass Burning and The Production of The Greenhouse Gases. hhtp://asd-www.larc.nasa.gov/biomass_burn/biomass.html. [3 Mei 2003].

Maltby dan Immirizi. 1993. Carbon Dinamics in Peatlands and Other Weatland Soils:regional and global perspective.

Moore TR, Dalva M. 1993. The influence of temperature and water table position on carbon dioxide and methane emission from laboratory columns of peatland soil. J. Soil Sci. 44: 651-664.

Murdiyarso D, Rosalina U, Hairiah K, Muslihat L, Suryadiputra INN, dan Jaya A. 2004. Petunjuk Lapangan Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Proyek CCFPI, WI-IP dan Wildlife Habitat Canada, Bogor.

Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Yogyakarta: Kanisius.

Notohadiprawiro T. 1997. Twenty-five years experience in peatland development for agriculture in Indonesia. In J. O. Rieley and S. E. Page eds. Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of tropical Peat and Peatlands. Biodiversity and sustainability of tropical peatlands. Palangkaraya-Indonesia, 4-8 September 1995. Samara Publishing Ltd. UK. P. 301-310.

Nyman JA, DeLaune RD.1991. CO2 emission and soil Eh responses to different hydrological conditions in fresh, brackish, and saline marsh soils. Limnol. Oceanogr. 36 (7): 1406-1414.

Oechel WC et al. 2000. Aclimation of ecosystem CO2 exchange in the Alaskan Arctic in response to decadal climate warming. Nature. 406:978-980. Oldeman LR, Las I, dan Darwis. 1979, An Agroclimatic Map of Sumatra. Contr,

Packham JR dan Harding DJL. 1982 Ecology of Woodland Processes. Edward Arnold. London.

Peace. 2007. Indonesia dan Perubahan Iklim: Status Terkini dan Kebijakannya. [www.peace.co.id].

Pyne SJ, Andrews PL, Laven RD. 1996. Introduction to Wildland Fire. 2nd ed. John Wiley and Sons. New York. 769 pp.

Rieley JO, Page SE, Limin SH, Winarti S. 1997. The peatland resources of Indonesia and the Kalimantan peat swamp forest research project. Proc. Int’l. Symp. Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and Peatland. Samara publ.

Sabiham S. 2006. Pengelolaan Lahan Gambut Indonesia berbasis Keunikan Ekosistem. IPB. Bogor.

Saharjo BH. 2003. Pengetahuan Dasar Kebakaran Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB

Salim. 2005. Profil Kandungan Karbon Pada tegakan Puspa (Schima wallichii Korth) [tesis]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan (Jilid 2). Bandung: ITB.. Soerianegara I dan Indrawan A. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Fakultas

Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Strom L, Mastepanov M, Cristensen TR. 2005. Species-specific effects of vascular plants on carbon turnover and methane emissions from weatlands Biogeochem. 75:65-82.

Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia : Perilaku Api Penyebab dan Dampak Kebakaran. Malang: Bayumedia Publishing

van Noordwijk M dan Grouwer B. 1997. Root as sinks and sources nutrients and carbon in agricultural systems. In L. Brussard, and R. Ferrera-Cerato [Editors]. Soil Ecology in Sustanable Agricultural System. CRC Lewis Publication. Boca Raton.

Weatlands. 2008. Biomassa, Bukan Bahan Bakar Nir-Emisi Saatnya perubahan dalam kebijakan Iklim. [http://www.google.co.id/search?hl=id&q= bimassa+ karbon&start=10&sa=N] [21 Oktober 2008]

Whitmore TC. 1985. Tropical Rain Forest of The Far East. Oxford University Press.

Lampiran 1. Metode penelitian secara garis besar disajikan pada matriks di bawah ini

No Tujuan Parameter Pengukuran Alat yang digunakan Sumber data 1 2 Menghitung potensi karbon (Bawah permukaan) (Atas permukaan) Memperoleh emisi karbon - Berat volume (Bulk density; Db) - Kandungan karbon - Kematangan gambut - Ketebalan gambut - Biomassa tumbuhan bawah, nekromasa, dan serasah. - Jaringan tanaman yang terbakar di atas permukaan - Tanah yang terbakar - Pendugaan penurunan permukaan gambut Pengambilan sampel tanah dengan menggunakan ring 20 cm di lapangan Di analisa di laboratorium Diambil segenggam gambut lalu diperas di telapak tangan dan dianalisa di laboratorium Dengan menggunakan bor gambut Digunakan kuadran berukuran 0,5 m x 0,5 m pada sub-plot. Lalu diambil tumbuhan bawah, nekromasa tidak berkayu (serasah kasar, serasah dan akar halus) dan ditimbang berat basahnya. Kemudian dianalisa di laboratorium dengan menimbang berat keringnya. Mengukur volume kayu

(tinggi dan diameter) Menggali tanah berbentuk kubus dengan ukuran 1 m x 1 m x 1 m, lalu

dipisahkan akar dan tanah. Kemudian diukur masing-masing volumenya Pencarian data penurunan gambut (subsiden)

Ring contoh, cawan aluminium

Lumpung porselin, Cawan porselin, tanur pemanas

Pompa syringe, Botol semprot, ayakan dengan ukuran lobang 150 μm atau 0.0059 inc.

Bor gambut

Kuadran, Pisau atau gunting rumput, Timbangan, Spidol permanen, Kantong plastik, Kantong kertas semen, Ayakan dengan ukuran lubang 2 mm, Nampan, Ember, Kuadran baja, Palu besar Meteran, Caliper Cangkul, Sekop Alat tulis Data Primer Data Primer Data Primer Data Primer Data Primer Data Primer Data Primer Data Sekunder

Lampiran 2. Tingkat kematangan gambut

Tipe Penutupan Lahan Plot Kematangan gambut

Bekas galian  1 hemik

Bekas galian  2 hemik

Bekas galian  3 hemik

Bekas galian  4 hemik

Bekas galian  5 hemik

Bekas galian  6 hemik

Bekas galian  7 hemik

Bekas galian  8 hemik

Bekas galian  9 hemik

Bekas galian  10 hemik

Bekas galian  11 hemik

Bekas galian  12 hemik

Bekas galian  13 hemik

Bekas galian  14 hemik

Bekas galian  15 hemik

Bekas galian  16 hemik

Bekas galian  17 hemik

Bekas galian  18 hemik

Bekas galian  19 hemik

Bekas galian  20 hemik

Bekas galian  21 hemik

Bervegetasi 22 hemik

Bervegetasi 23 hemik

Bervegetasi 24 hemik

Bekas galian  25 hemik

Bekas galian  26 hemik

Bekas galian  27 hemik

Bekas galian  28 hemik

Lampiran 2 (lanjutan). Tingkat kematangan gambut

Tipe Penutupan Lahan Plot Kematangan gambut

Bekas galian  30 hemik

Bervegetasi  31 hemik

Bervegetasi  32 hemik

Bervegetasi  33 hemik

Tidak Bervegetasi  34 hemik

Bekas galian  35 hemik

Bekas galian  36 hemik

Bekas galian  37 hemik

Bekas galian  38 hemik

Bekas galian  39 hemik

Bekas galian  40 hemik

Bekas galian  41 hemik

Bekas galian  42 hemik

Bekas galian  43 hemik

Bekas galian  44 hemik

Lampiran 3. Ketebalan gambut

Tipe Penutupan Lahan Plot Ketebalan gambut (m)

Bekas galian 1 2,5 Bekas galian  2 2,5  Bekas galian  3 2,5  Bekas galian  4 2,5  Bekas galian  5 2,5  Bekas galian  6 2,5  Bekas galian  7 2,5  Bekas galian  8 2,5  Bekas galian  9 2,5  Bekas galian  10 2,5  Bekas galian  11 2,5  Bekas galian  12 2,5  Bekas galian  13 2,5  Bekas galian  14 2,5  Bekas galian  15 2,5  Bekas galian  16 2,5  Bekas galian  17 2,5  Bekas galian 18 2,5  Bekas galian 19 2,5  Bekas galian 20 2,5  Bekas galian 21 2,5  Bervegetasi 22 2,5  Bervegetasi 23 2,5  Bervegetasi 24 2,5  Bekas galian  25 2,5  Bekas galian  26 2,5  Bekas galian  27 2,5  Bekas galian  28 2,5  Bekas galian  29 2,5  Sumber: Istomo (2006)

Lampiran 3 (lanjutan). Ketebalan gambut

Tipe Penutupan Lahan Plot Ketebalan gambut (m) 

Bekas galian  30 2,5 Bervegetasi  31 2,5  Bervegetasi  32 2,5  Bervegetasi  33 2,5  Tidak Bervegetasi  34 2,5  Bekas galian  35 2,5  Bekas galian  36 2,5  Bekas galian  37 2,5  Bekas galian  38 2,5  Bekas galian  39 2,5  Bekas galian  40 2,5  Bekas galian  41 2,5  Bekas galian  42 2,5  Bekas galian  43 2,5  Bekas galian  44 2,5  Bekas galian  45 2,5  Sumber: Istomo (2006)

Lampiran 4. Perhitungan Emisi CO2 • Ea = 13,46 t C ha-1 x 3,67 CO2/C = 49,39 t CO2 ha-1 Ea = 49,39 t CO2 ha-1 x 2,07 ha = 102,23 t CO2 Ea = 102,23 t CO2 x 25% = 25,55 t CO2 Ebb = 2,5 m x 20.700 m2 = 51.750 m3 Cd = Db x C = 0,274 ton m-3 x 0.56 = 0,15 ton m-3 Ebb = 51.750 m3 x 0,15 ton C m-3 x 3,67 CO2/C = 28.488,37 t CO2 Ebb = 28.488,37 t CO2 x 25% = 7.122,09 t CO2Ebo = 0,27 m x 0,15 ton C m-3 x 3,67 t CO2/t C x 2,07 ha x 10000 m2 ha-1 = 3.076,74 t CO2 Ebo = 3.076,74 t CO2 x 25% = 769,18 t CO2Sa = 0 Δt = 5 th E = (25,55 t CO2 + 7.122,09 t CO2 + 769,18 t CO2 – 0 )/5 E = 7.916,82 t CO2/5 th

RIO STEPANUS TARIGAN. A Study of Carbon Emission from the Digging and Burning of Topogen Peat Soil in Humbang Hasundutan Regency North Sumatra Province. Under direction of LAILAN SYAUFINA and ISTOMO.

This research aimed to get carbon emission and to count the carbon potential on and under the surface of topogen peat soil area in Humbang Hasundutan, North Sumatera. The research was conducted in two stages: (1) to count the carbon potential (above ground and below ground), which involved the counting of weight volume (bulk density), C content, peat soil thickness and the size of peat soil area, and (2) to count the carbon emission. The below ground biomass was covering 1,43 until 3,71 tons/ha. The biggest carbon reserve was in non-vegetation soil which reached 0,.400 tons, while the smallest carbon reserve was in vegetation soil which reached 0,333 tons. The average of below ground carbon reserve in peat soil areas in Humbang Hasundutan regency was 0,180 tons. The CO2 emission in peat soil areas in Humbang Hasundutan regency could be predicted that 7,9 tons would be emitted out of 2,07 ha of peat soil areas in Humbang Hasundutan regency for 5 years, with a burning efficiency of 25%. Keywords: carbon emission, carbon potential, burning efficiency

1.1 Latar Belakang

Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang mempunyai peran penting sebagai penyangga (buffer) lingkungan. Hal ini berhubungan dengan fungsi gambut dalam gatra hidrologis, biogeokimia dan ekologis. Gambut secara hidrologis dapat menyimpan air dimana gambut yang masih mentah (fibrik) dapat menyimpan air sangat besar antara 500% - 1000% bobot. Gambut rawa alami selain sebagai daerah tampung air juga penyeimbang sistem tata air wilayah (control water system). Gambut merupakan kawasan penyerap dan penyimpan air (aquifer) selama musim hujan, tetapi pada saat curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan air simpanannya (Noor. 2001).

Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi gambut terbesar keempat di dunia setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat dengan luasan sekitar 17 juta hektar atau sekitar 10% luas daratan Indonesia. Luas lahan gambut di Indonesia menempati separuh luas gambut tropik. Di kawasan Asia, negara yang mempunyai gambut terluas setelah Indonesia (70%) adalah Malaysia dengan luas 2,36 juta ha disusul Brunei Darussalam dengan luas 1,65 juta ha. Lahan gambut di Indonesia terutama menyebar di tiga pulau besar yaitu Kalimantan, Sumatera dan Papua (Notohadiprawiro. 1997). Kabupaten Humbang Hasundutan adalah kabupaten baru yang terletak di Provinsi Sumatera Utara hasil pemekaran dari kabupaten induk Tapanuli Utara pada tahun 2003 berdasarkan Undang undang Nomor 9 tahun 2003. Luas lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan diperkirakan seluas 2.358 ha (Istomo. 2006). Tipe lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan termasuk tipe gambut topogen yang jarang terdapat di Pulau Sumatera termasuk Indonesia. Meskipun Indonesia mempunyai lahan gambut tropika terbesar di dunia (seluas kurang lebih 17 juta ha), namun umumnya lahan gambut tersebut berupa gambut ombrogen yang berada di dataran rendah dan pada awalnya didominasi oleh hutan lebat. Lahan gambut yang terdapat di Kabupaten Humbang Hasundutan sebagian besar berada

di luar kawasan hutan dan tumbuhan yang mendomisasi di lahan gambut tersebut berupa semak belukar (herba, paku-pakuan dan rumput).

Kejadian kebakaran hutan/lahan meningkat dalam sepuluh tahun terakhir ini, sebagian besar terjadi pada lahan/hutan gambut. Kebakaran lahan gambut ini tidak lepas dari sifat gambut itu sendiri yang rawan terbakar sehingga menuntut pengelolaan dan perlindungan secara khusus. Kebakaran di lahan gambut berlangsung lambat dan lama serta sangat sukar dikendalikan karena api menjalar di bawah permukaan gambut.

Penelitian Wetlands International (2006) dalam Peace (2007), menunjukkan dampak yang dahsyat atas perusakan lahan gambut terhadap perubahan iklim. Setiap tahun 2.000 juta ton CO2 terlepas dari hutan, 600 juta ton diantaranya disebabkan oleh dekomposisi dari lahan gambut kering (sebuah proses yang akan terus berlanjut sampai seluruh gambut habis) dan 1.400 juta ton dihasilkan dari kebakaran tahunan. Selanjutnya sebuah studi yang dilakukan Page (2002) menunjukkan bahwa kebakaran lahan gambut di Indonesia pada tahun 1997 telah menyebabkan kehilangan karbon antara 810 sampai 2.470 juta ton. Nilai tersebut didukung oleh fakta antara lain bahwa pada tahun tersebut telah tercatat peningkatan paling tinggi emisi CO2 di atmosfer (Peace. 2007).

Kandungan karbon pada suatu vegetasi diduga berkorelasi positif dan signifikan dengan besarnya biomassa suatu tegakan, namun saat ini belum banyak penelitian mengenai kandungan karbon di bawah permukaan gambut. Mengingat begitu pentingnya peran hutan terhadap penurunan emisi gas rumah kaca dan kurangnya penelitian mengenai karbon di bawah permukaan gambut maka diperlukan suatu kajian tentang emisi karbon dari kebakaran bawah permukaan lahan gambut.

1.2 Perumusan Masalah

Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi gambut terbesar keempat di dunia setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat dengan luasan sekitar 17 juta hektar atau sekitar 10% luas daratan Indonesia. Lahan gambut di

Indonesia terutama menyebar di tiga pulau besar yaitu Kalimantan, Sumatera dan Papua (Notohadiprawiro. 1997). Seperti halnya di Pulau Sumatera tepatnya Sumatera Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luasan gambut yang cukup besar sekitar 2.358 ha. Tipe lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan termasuk tipe gambut topogen yang jarang terdapat di Pulau Sumatera termasuk Indonesia. Gambut dikenal kaya akan bahan organik dan mempunyai cadangan karbon yang besar. Adanya aktivitas penggalian tanah untuk diambil akar dan dilakukan pembakaran pada lahan gambut tersebut dapat merusak dan mengganggu kestabilan areal gambut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengestimasi potensi biomassa dan emisi karbon pada lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan yang mengalami pembakaran dan galian.

Dari uraian tersebut di atas dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah :

1. Berapa potensi biomassa lahan gambut topogen di Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah mengalami pembakaran dan galian?

2. Berapa karbon yang diemisikan (C emisi) pada lahan gambut topogen di Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah mengalami pembakaran dan galian?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menghitung potensi karbon yang terdapat di atas dan bawah permukaan lahan gambut topogen di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

2. Memperoleh emisi karbon pada lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam menghitung potensi dan emisi karbon yang terdapat di atas dan bawah permukaan lahan gambut topogen sebagai masukan untuk pengelolaan hutan yang baik.

1.5 Kerangka Pemikiran

Penyusunan model kajian emisi karbon di atas dan bawah permukaan lahan gambut bekas terbakar dengan kerangka pemikiran seperti yang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Lahan Gambut

Terjadi pembakaran dan galian

Peningkatan emisi gas rumah kaca

Kehilangan Cadangan karbon

Pengukuran Emisi karbon

Pengelolaan yang tepat Kerusakan lahan gambut

Aspek Lingkungan Lahan Gambut

Tata air/hidrologi

Cadangan karbon (C) tinggi

sebagai penambat dan penyimpan karbon 

sumber emisi gas rumah kaca 

aspek hidrologi dan subsiden  sumber potensi lahan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efisiensi Pembakaran

Efisiensi pembakaran menunjukkan sampai sejauh mana suatu bahan dapat terbakar dalam satuan persen. Bila pembakaran tidak sempurna, sebagian dari hasil pembakaran akan tetap mengendap sebagai tetesan cairan yang sangat kecil (Pyne et al. 1996 dalam Syaufina. 2008). Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pembakaran maka pelaksanaan pembakaran terkendali dapat berlangsung dengan baik karena dampak kebakaran dapat diminimalkan (DeBano et al. 1998 dalam Syaufina. 2008). Terdapat beberapa faktor penting yang berpengaruh pada efisiensi pembakaran sebagai berikut :

1. Kadar Air bahan bakar

Kandungan air bahan bakar meningkatkan jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu pada suatu titik dimana gas-gas yang mudah terbakar dihasilkan. Air tersebut akan menyerap sebagian panas yang tersedia untuk pirolisis dan melarutkan gas-gas yang dihasilkan. Oleh karena itu, kadar air bahan bakar meningkatkan waktu penyalaan dan menurunkan laju pembakaran (Countryman 1976b dalam DeBano et al. 1998). Pada dasarnya, bahan bakar kering akan terbakar sempurna dan cepat, sementara bahan bakar basah mungkin lambat terbakar dengan suhu yang rendah. Pengaruh kadar air dalam bahan bakar pada emisi total pada pembakaran bisa berasal dari pembakaran sempurna (bersih) bahan kering dengan tingkat emisi yang rendah sampai proses smoldering yang lebih lama daripada bahan bakar basah yang bersamaan dengan tingkat emisi yang lebih tinggi, tetapi juga bahan yang tidak terbakar dengan sempurna juga mengarah pada tingkat emisi yang rendah.

2. Suplai Oksigen

Faktor utama yang mempengaruhi efisiensi proses pembakaran adalah suplai udara. Apabila pergerakan udara ke dalam dan di sekitar pembakaran flaming tidak cukup memadai untuk pencampuran O2 dengan

gas-gas yang mudah terbakar yang dilepaskan dengan pirolisis kurang baik maka oksidasi menjadi tidak sempurna dan efisiensi pembakaran akan menurun. Gejala ini menghasilkan produk emisi CO yang lebih besar. 3. Laju dan arah penjalaran api

Efisensi pembakaran juga dipengaruhi oleh laju dan arah penjalaran api. Umumnya, semakin cepat nyala api menembus tumpukan bahan bakar, semakin rendah efisiensi pembakaran. Pembakaran permukaan dapat bergerak lebih cepat searah angin menembus permukaan bahan bakar yang banyak akan menghasilkan zona smoldering yang besar di belakang zona zona utama pembakaran. Sebaliknya, pembakaran terbalik biasanya bergerak lambat ke arah angin, menghasilkan pembakaran bahan bakar yang sempurna.

4. Tipe, susunan, dan muatan bahan bakar

Tipe, susunan, dan muatan bahan bakar merupakan faktor-faktor lain yang mempengaruhi efisiensi pembakaran. Kebakaran yang terjadi pada bahan bakar yang ringan seperti rerumputan dan serasah segar akan lebih mudah menyala dan terbakar dengan sempurna daripada bahan bakar yang berat seperti kayu. Kunci utamanya adalah ukuran bahan bakar. Menurut (Pyne et al. 1996 dalam Syaufina. 2008), efisiensi pembakaran dalam kebakaran hutan tidak akan pernah mencapai 100% tetapi berkisar antara 50% sampai 95%. Pengukuran efisiensi pembakaran

Dokumen terkait