• Tidak ada hasil yang ditemukan

A Study of Carbon Emission from the Digging and Burning of Topogen Peat Soil in Humbang Hasundutan Regency North Sumatra Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "A Study of Carbon Emission from the Digging and Burning of Topogen Peat Soil in Humbang Hasundutan Regency North Sumatra Province"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAKARAN GAMBUT TOPOGEN

DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, PROVINSI

SUMATERA UTARA

RIO STEPANUS TARIGAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Emisi Karbon dari Galian dan Pembakaran Gambut Topogen di Kabupaten Humbang Hasunduntan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan di cantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Rio Stepanus Tarigan NRP E451080111

(4)
(5)

RIO STEPANUS TARIGAN. A Study of Carbon Emission from the Digging and Burning of Topogen Peat Soil in Humbang Hasundutan Regency North Sumatra Province. Under direction of LAILAN SYAUFINA and ISTOMO.

(6)
(7)

RIO STEPANUS TARIGAN. Kajian Emisi Karbon Dari Galian Dan Pembakaran Gambut Topogen di Kabupaten Humbang Hasunduntan Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA dan ISTOMO.

Lahan gambut sangat berperan sebagai penyangga (buffer) lingkungan serta memiliki cadangan karbon yang besar. Cadangan karbon yang besar pada lahan gambut menyebabkan tingginya jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer ketika lahan gambut mengalami pembakaran secara berulang yang pada akhirnya dapat memicu pemanasan global. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung potensi karbon yang terdapat di atas dan bawah permukaan lahan gambut topogen di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara dan memperoleh emisi karbon pada lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April tahun 2011 pada lahan yang terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Departemen Ilmu Tanah Sumberdaya Lingkungan IPB dan analisis bahan bakar dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan IPB.

Potensi karbon yang terdapat di atas permukaan diperoleh dari perhitungan total berat kering dari semua tumbuhan hidup termasuk herba dan rumput-rumputan. Simpanan karbon bawah permukaan diperoleh dari perhitungan Bulk density, ketebalan gambut, kandungan C-organik, dan luas tanah gambut. Sedangkan jumlah emisi CO2 diperoleh dari pengukuran emisi karena terbakarnya jaringan tanaman di atas permukaan tanah, emisi karena kebakaran gambut, emisi dari dekomposisi gambut, sequestrasi atau penambatan karbon oleh tanaman, dan perbedaan atau lamanya waktu yang diperhitungkan.

(8)

dapat diinterpretasi bahwa 7,9 ton akan teremisi dari 2,07 ha selama 5 tahun dan emisi per tahun sebesar 1,58 ton dengan efisiensi pembakaran sebesar 25%. Di daerah tropis, tanah gambut dapat melepaskan sekitar 26,9 juta ton C dengan emisi karbon (C yang hilang) sebesar 0,185 ton/ha per tahun. Sedangkan di daerah sub tropis tanah gambut dapat melepaskan sekitar 30,9 juta ton C dengan emisi karbon (C yang hilang) sebesar 1,897 ton/ha per tahun. Kata Kunci : Emisi Kabon, Potensi Karbon, Biomasa, Gambut.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, PROVINSI

SUMATERA UTARA

RIO STEPANUS TARIGAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Sumatera Utara Nama : Rio Stepanus Tarigan NRP : E451080111

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc Dr. Ir. Istomo, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Silvikultur Tropika

Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R., MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(14)
(15)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat kasih dan rahmat-Nya yang selalu menyertai penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Silvikultur Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pemilihan judul tesis “Kajian Emisi Karbon Dari Galian Dan Pembakaran Gambut Topogen di Kabupaten Humbang Hasunduntan Provinsi

Sumatera Utara” berangkat dari beralih fungsinya penatagunaan lahan gambut topogen yang merupakan salah satu ekosistem yang jarang ditemukan di tempat lain. Dan dampak negatif akibat pembakaran dan galian gambut di Kabupaten Humbang Hasunduntan.

Melalui tesis ini, penulis mencoba memberi beberapa masukan kepada warga di sekitar lokasi penelitian dalam pengambilan akar pohon dan penambangan gambut pada lapisan terbatas, sehingga perbaikan lahan gambut dapat dilakukan dengan penambahan unsur-unsur mineral untuk meningkatkan kesuburan tanah. Tanah-tanah bekas galian dapat dijadikan tanah pertanian yang lebih produktif terutama untuk tanaman holtikultural. Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini memberi manfaat bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2011

(16)

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang sangat berperan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan beliau-beliau mustahil tesis ini akan selesai. Oleh karena itu dengan tulus ikhlas penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan dukungan kepada penulis, khususnya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr, selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

2. Bapak Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R,. MS, selaku Ketua Mayor Silvikultur Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

3. Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc, selaku Pembimbing Pertama dengan segala kesabaran, perhatian dan kemurahan hatinya untuk membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini.

4. Bapak Dr. Ir. Istomo, MS, selaku Pembimbing Kedua atas segala kesabaran dan kemurahan hatinya dalam memberikan tambahan ilmu yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc, selaku Dosen Penguji atas segala masukannya yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

6. Bapak/Ibu Dosen dan seluruh Civitas Akademika Mayor Silvikultur Tropika yang selalu memberikan pelayanan ilmu pengetahuan kepada penulis.

7. Kedua orangtuaku Bukti Agustinus Tarigan, SPd dan Dra. Dahlia Purba atas dukungan semangat dan doanya.

8. Adik-adikku Joppie Immanuel Tarigan, SE dan Astri Novita Bernadeta Tarigan, SE serta seluruh keluarga atas dukungan semangat dan doanya.

9. Kantor Pertambangan dan Energi Kab. Humbang Hasunduntan, terutama Pak Munte,dan staf-staf lainnya atas bantuan dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian di lapangan.

(17)

2008 dan 2009 yang selalu memberikan semangat dan juga atas kebersamaannya selama melaksanakan tugas belajar.

(18)

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 23 Januari 1981 dari pasangan Bukti Agustinus Tarigan, SPd dan Dra. Dahlia Purba. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Untuk jenjang pendidikan SD, SLTP dan SMU, penulis menyelesaikan di Medan. Setelah tamat dari sekolah menengah umum, penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Sumatera Utara, Jurusan Kehutanan. Pada saat kuliah, penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan untuk ditekuni dan selesai pada tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke Program Magister Sains (M.Si) di Mayor Silvikultur Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(19)

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

1.5. Kerangka Pemikiran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Efisensi Pembakaran ... 7

2.2. Hasil Pembakaran... 8

2.3. Karbon ... 11

2.3.1. Karbon Tanah ... 12

2.3.2. Siklus Karbon ... 13

2.4. Emisi Gas Rumah Kaca Pada Lahan Gambut ... 16

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 19

3.1. Luas dan Lokasi Penelitian ... 19

3.2. Aksesibilitas ... 19

3.3. Kondisi Fisik Wilayah ... 20

3.4. Kondisi Biotik Wilayah ... 22

IV. METODE PENELITIAN ... 25

4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 25

(20)

4.5. Pengukuran Luas Lahan ... 26

4.6. Pembuatan Petak Contoh ... 26

4.7. Penentuan Karbon Tersimpan Dalam Gambut ... 27

4.7.1. Berat Volume... 27

4.7.2. Kandungan Karbon Gambut ... 27

4.7.3. Kematangan Gambut ... 28

4.7.4. Penentuan Ketebalan Gambut ... 29

4.8. Analisis Data ... 30

4.8.1. Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Atas Permukaan ... 30

4.8.2. Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Bawah Permukaan... 30

4.8.3. Perhitungan Jumlah Emisi CO2 ... 31

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

5.1. Hasil ... 33

5.1.1. Biomasa Atas Permukaan ... 33

5.1.2. Biomasa dan Cadangan Karbon Bawah Permukaan ... 37

5.1.2.1. Berat Volume Contoh ... 37

5.1.2.2. Kandungan Karbon Gambut Contoh ... 37

5.1.2.3. Kematangan Gambut Contoh ... 38

5.1.2.4. Ketebalan Gambut ... 38

5.1.2.5. Luas Tanah Gambut Contoh ... 39

(21)

5.2. Pembahasan ... 42

5.2.1. Biomasa Atas Permukaan ... 42

5.2.2. Biomasa dan Cadangan Karbon Bawah Permukaan ... 42

5.2.2.1. Berat Volume Contoh ... 42

5.2.2.2. Kandungan Karbon Gambut Contoh ... 43

5.2.2.3. Kematangan Gambut Contoh ... 43

5.2.2.4. Ketebalan Gambut ... 43

5.2.2.5. Pengukuran Tinggi Muka Air Saluran ... 44

5.2.2.6. Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Bawah Permukaan ... 45

5.2.3. Jumlah Emisi CO2 ... 45

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 47

6.1. Kesimpulan ... 47

6.2. Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 49

(22)
(23)
(24)
(25)

1.1 Latar Belakang

Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang mempunyai peran

penting sebagai penyangga (buffer) lingkungan. Hal ini berhubungan dengan

fungsi gambut dalam gatra hidrologis, biogeokimia dan ekologis. Gambut secara

hidrologis dapat menyimpan air dimana gambut yang masih mentah (fibrik) dapat

menyimpan air sangat besar antara 500% - 1000% bobot. Gambut rawa alami

selain sebagai daerah tampung air juga penyeimbang sistem tata air wilayah

(control water system). Gambut merupakan kawasan penyerap dan penyimpan air

(aquifer) selama musim hujan, tetapi pada saat curah hujan sedikit secara perlahan

melepaskan air simpanannya (Noor. 2001).

Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi gambut terbesar

keempat di dunia setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat dengan luasan

sekitar 17 juta hektar atau sekitar 10% luas daratan Indonesia. Luas lahan gambut

di Indonesia menempati separuh luas gambut tropik. Di kawasan Asia, negara

yang mempunyai gambut terluas setelah Indonesia (70%) adalah Malaysia

dengan luas 2,36 juta ha disusul Brunei Darussalam dengan luas 1,65 juta ha.

Lahan gambut di Indonesia terutama menyebar di tiga pulau besar yaitu

Kalimantan, Sumatera dan Papua (Notohadiprawiro. 1997). Kabupaten Humbang

Hasundutan adalah kabupaten baru yang terletak di Provinsi Sumatera Utara hasil

pemekaran dari kabupaten induk Tapanuli Utara pada tahun 2003 berdasarkan

Undang undang Nomor 9 tahun 2003. Luas lahan gambut di Kabupaten

Humbang Hasundutan diperkirakan seluas 2.358 ha (Istomo. 2006). Tipe lahan

gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan termasuk tipe gambut topogen yang

jarang terdapat di Pulau Sumatera termasuk Indonesia. Meskipun Indonesia

mempunyai lahan gambut tropika terbesar di dunia (seluas kurang lebih 17 juta

ha), namun umumnya lahan gambut tersebut berupa gambut ombrogen yang

berada di dataran rendah dan pada awalnya didominasi oleh hutan lebat. Lahan

(26)

di luar kawasan hutan dan tumbuhan yang mendomisasi di lahan gambut tersebut

berupa semak belukar (herba, paku-pakuan dan rumput).

Kejadian kebakaran hutan/lahan meningkat dalam sepuluh tahun

terakhir ini, sebagian besar terjadi pada lahan/hutan gambut. Kebakaran lahan

gambut ini tidak lepas dari sifat gambut itu sendiri yang rawan terbakar

sehingga menuntut pengelolaan dan perlindungan secara khusus. Kebakaran di

lahan gambut berlangsung lambat dan lama serta sangat sukar dikendalikan

karena api menjalar di bawah permukaan gambut.

Penelitian Wetlands International (2006) dalam Peace (2007),

menunjukkan dampak yang dahsyat atas perusakan lahan gambut terhadap

perubahan iklim. Setiap tahun 2.000 juta ton CO2 terlepas dari hutan, 600 juta

ton diantaranya disebabkan oleh dekomposisi dari lahan gambut kering

(sebuah proses yang akan terus berlanjut sampai seluruh gambut habis) dan

1.400 juta ton dihasilkan dari kebakaran tahunan. Selanjutnya sebuah studi

yang dilakukan Page (2002) menunjukkan bahwa kebakaran lahan gambut di

Indonesia pada tahun 1997 telah menyebabkan kehilangan karbon antara 810

sampai 2.470 juta ton. Nilai tersebut didukung oleh fakta antara lain bahwa

pada tahun tersebut telah tercatat peningkatan paling tinggi emisi CO2 di

atmosfer (Peace. 2007).

Kandungan karbon pada suatu vegetasi diduga berkorelasi positif dan

signifikan dengan besarnya biomassa suatu tegakan, namun saat ini belum

banyak penelitian mengenai kandungan karbon di bawah permukaan gambut.

Mengingat begitu pentingnya peran hutan terhadap penurunan emisi gas rumah

kaca dan kurangnya penelitian mengenai karbon di bawah permukaan gambut

maka diperlukan suatu kajian tentang emisi karbon dari kebakaran bawah

permukaan lahan gambut.

1.2 Perumusan Masalah

Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi gambut terbesar

keempat di dunia setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat dengan luasan

(27)

Indonesia terutama menyebar di tiga pulau besar yaitu Kalimantan, Sumatera dan

Papua (Notohadiprawiro. 1997). Seperti halnya di Pulau Sumatera tepatnya

Sumatera Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luasan gambut

yang cukup besar sekitar 2.358 ha. Tipe lahan gambut di Kabupaten Humbang

Hasundutan termasuk tipe gambut topogen yang jarang terdapat di Pulau

Sumatera termasuk Indonesia. Gambut dikenal kaya akan bahan organik dan

mempunyai cadangan karbon yang besar. Adanya aktivitas penggalian tanah

untuk diambil akar dan dilakukan pembakaran pada lahan gambut tersebut dapat

merusak dan mengganggu kestabilan areal gambut. Oleh karena itu perlu

dilakukan penelitian untuk mengestimasi potensi biomassa dan emisi karbon pada

lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan yang mengalami pembakaran

dan galian.

Dari uraian tersebut di atas dapat dikemukakan beberapa permasalahan

yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah :

1. Berapa potensi biomassa lahan gambut topogen di Kabupaten Humbang

Hasundutan yang telah mengalami pembakaran dan galian?

2. Berapa karbon yang diemisikan (C emisi) pada lahan gambut topogen di

Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah mengalami pembakaran dan

galian?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menghitung potensi karbon yang terdapat di atas dan bawah permukaan

lahan gambut topogen di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera

Utara.

2. Memperoleh emisi karbon pada lahan gambut di Kabupaten Humbang

Hasundutan, Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam menghitung

potensi dan emisi karbon yang terdapat di atas dan bawah permukaan lahan

(28)

1.5 Kerangka Pemikiran

Penyusunan model kajian emisi karbon di atas dan bawah permukaan

lahan gambut bekas terbakar dengan kerangka pemikiran seperti yang disajikan

(29)

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Lahan Gambut

Terjadi pembakaran dan galian

Peningkatan emisi gas rumah kaca

Kehilangan Cadangan karbon

Pengukuran Emisi karbon

Pengelolaan yang tepat Kerusakan lahan gambut

Aspek Lingkungan Lahan Gambut

Tata air/hidrologi

Cadangan karbon (C) tinggi

sebagai penambat dan penyimpan karbon 

sumber emisi gas rumah kaca 

aspek hidrologi dan subsiden  sumber potensi lahan

(30)
(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efisiensi Pembakaran

Efisiensi pembakaran menunjukkan sampai sejauh mana suatu bahan dapat

terbakar dalam satuan persen. Bila pembakaran tidak sempurna, sebagian dari

hasil pembakaran akan tetap mengendap sebagai tetesan cairan yang sangat kecil

(Pyne et al. 1996 dalam Syaufina. 2008). Dengan mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi efisiensi pembakaran maka pelaksanaan pembakaran terkendali

dapat berlangsung dengan baik karena dampak kebakaran dapat diminimalkan

(DeBano et al. 1998 dalam Syaufina. 2008). Terdapat beberapa faktor penting

yang berpengaruh pada efisiensi pembakaran sebagai berikut :

1. Kadar Air bahan bakar

Kandungan air bahan bakar meningkatkan jumlah panas yang diperlukan

untuk menaikkan suhu pada suatu titik dimana gas-gas yang mudah

terbakar dihasilkan. Air tersebut akan menyerap sebagian panas yang

tersedia untuk pirolisis dan melarutkan gas-gas yang dihasilkan. Oleh

karena itu, kadar air bahan bakar meningkatkan waktu penyalaan dan

menurunkan laju pembakaran (Countryman 1976b dalam DeBano et al.

1998). Pada dasarnya, bahan bakar kering akan terbakar sempurna dan

cepat, sementara bahan bakar basah mungkin lambat terbakar dengan suhu

yang rendah. Pengaruh kadar air dalam bahan bakar pada emisi total pada

pembakaran bisa berasal dari pembakaran sempurna (bersih) bahan kering

dengan tingkat emisi yang rendah sampai proses smoldering yang lebih

lama daripada bahan bakar basah yang bersamaan dengan tingkat emisi

yang lebih tinggi, tetapi juga bahan yang tidak terbakar dengan sempurna

juga mengarah pada tingkat emisi yang rendah.

2. Suplai Oksigen

Faktor utama yang mempengaruhi efisiensi proses pembakaran adalah

suplai udara. Apabila pergerakan udara ke dalam dan di sekitar

(32)

gas-gas yang mudah terbakar yang dilepaskan dengan pirolisis kurang baik

maka oksidasi menjadi tidak sempurna dan efisiensi pembakaran akan

menurun. Gejala ini menghasilkan produk emisi CO yang lebih besar.

3. Laju dan arah penjalaran api

Efisensi pembakaran juga dipengaruhi oleh laju dan arah penjalaran api.

Umumnya, semakin cepat nyala api menembus tumpukan bahan bakar,

semakin rendah efisiensi pembakaran. Pembakaran permukaan dapat

bergerak lebih cepat searah angin menembus permukaan bahan bakar yang

banyak akan menghasilkan zona smoldering yang besar di belakang zona

zona utama pembakaran. Sebaliknya, pembakaran terbalik biasanya

bergerak lambat ke arah angin, menghasilkan pembakaran bahan bakar

yang sempurna.

4. Tipe, susunan, dan muatan bahan bakar

Tipe, susunan, dan muatan bahan bakar merupakan faktor-faktor lain

yang mempengaruhi efisiensi pembakaran. Kebakaran yang terjadi pada

bahan bakar yang ringan seperti rerumputan dan serasah segar akan

lebih mudah menyala dan terbakar dengan sempurna daripada bahan

bakar yang berat seperti kayu. Kunci utamanya adalah ukuran bahan

bakar. Menurut (Pyne et al. 1996 dalam Syaufina. 2008), efisiensi

pembakaran dalam kebakaran hutan tidak akan pernah mencapai 100%

tetapi berkisar antara 50% sampai 95%. Pengukuran efisiensi pembakaran

didasarkan pada rasio karbon aktual yang terkandung dalam emisi karbon

dioksida terhadap nilai teori karbon yang mungkin dilepaskan dalam

bentuk karbon dioksida. Umumnya, efisiensi pembakaran terendah terjadi

pada pembakaran smoldering dan tertinggi terjadi pada pembakaran

dengan rongga udara yang baik dan pembakaran flaming.

2.2Hasil Pembakaran

Proses pembakaran menghasilkan produk utama berupa emisi asap yang

secara langsung atau tidak dapat berdampak pada lingkungan, baik lokal, nasional,

maupun global. Asap dapat menurunkan kualitas udara, memperburuk jarak

(33)

2008). Menurut Levine (1994) dalam Syaufina (2008), sebagai produk

pembakaran, asap dapat mengandung campuran gas dan partikel yang kompleks,

bergantung pada tipe bahan bakar, kandungan kimia bahan bakar, dan perilaku

api. Proses pembakaran yang sempurna menghasilkan karbondioksida (CO2) dan

uap air (H2O). Akan tetapi, proses pembakaran pada kebakaran hutan dan lahan

tidak pernah terjadi pembakaran sempurna.

Menurut Brown dan Davis (1973) dan Fuller (1991) dalam Syaufina

(2008), klasifikasi bahan bakar berdasarkan lokasinya di dalam hutan terdiri

dari :

1. Bahan Bakar Bawah (Ground Fuels)

Merupakan bahan bakar serasah (di bawah permukaan tanah), duff atau

humus, bagian-bagian kayu dan akar pohon, bahan organik yang

membusuk atau mati, gambut dan batu bara. Kebakaran dapat berjalan

terus dan berawal dari kebakaran permukaan.

2. Bahan Bakar Permukaan (Surface Fuels)

Merupakan bahan bakar yang berada di lantai hutan, antaralain berupa

bahan bakar mati, serasah, log-log sisa tebangan, tunggak pohon, kulit

kayu, cabang kecil dan tumbuhan bawah yang berada di lantai hutan.

3. Bahan Bakar Atas (Aerial Fuels)

Disebut juga crown fuels atau bahan bakar tajuk, yaitu bahan bakar

yang berada diantara tajuk tumbuhan bawah sampai tajuk tumbuhan

tingkat tinggi. Contohnya antara lain cabang-cabang pohon, daun

pohon dan semak pohon mati yang masih berdiri. Pohon atau semak

belukar lebih tinggi dari 1 - 2 meter di atas tanah.

Menurut Brown dan Davis (1973) dalam Saharjo (2003), terdapat tiga

kebakaran hutan berdasarkan atas tipe bahan bakarnya, yaitu:

1. Kebakaran Bawah (Ground Fire)

Tipe kebakaran bawah ini biasanya mengkonsumsi bahan bakar berupa

material organik yang terdapat di bawah permukaan tanah/lantai hutan.

(34)

hutan ini dipengaruhi oleh kecepatan angin. Tanda areal itu terbakar

adalah adanya asap putih yang keluar dari bawah permukaan tanah.

Kebakaran dengan tipe ini pada kebakaran tahun 1997/1998 yang

terjadi di lahan gambut yang terdapat di Jambi, Sumatera Selatan,

Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan

beberapa daerah lainnya. Karena berada di bawah permukaan tanah,

maka banyak pohon mati karena akarnya hangus terbakar. Kebakaran

ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran permukaan.

2. Kebakaran Permukaan (Surface Fire)

Kebakaran permukaan mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di

lantai hutan, baik berupa serasah, jatuhan ranting, dolok-dolok

bergelimpangan di lantai hutan, tumbuhan bawah, dan sebagainya yang

berada di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah. Tipe

kebakaran ini merupakan tipe kebakaran yang paling sering terjadi

dalam tegakan, hutan sekunder dan hutan alam, terkecuali di daerah

rawa gambut dimana yang dominan adalah kebakaran bawah.

Kebakaran permukaan biasanya merupakan langkah awal menuju

kebakaran tajuk, dengan cara terbakarnya tanaman pemanjat yang

menghubungkan sampai ke tajuk pohon atau akibat api loncat yang

mencapai tajuk pohon.

3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire)

Kebakaran tajuk biasanya bergerak dari satu tajuk ke tajuk pohon

lainnya dengan cara mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di tajuk

pohon tersebut baik berupa daun, cangkang biji, ranting bagian atas

pohon, dan sebagainya. Kebakaran tajuk ini biasanya bermula dari

adanya api loncat yang berasal dari tajuk tumbuhan bawah/semak yang

terbakar atau karena adanya tumbuhan epifit/liana sepanjang batang

pohon yang terbakar, kulit pohon yang berminyak, atau karena

pemanasan dari permukaan. Kadangkala bara api yang berasal dari

(35)

kebakaran permukaan. Kebakaran ini sangat sulit untuk ditanggulangi

karena menjalar sangat cepat.

2.3 Karbon

Umumnya karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman. Sejak

kandungan karbondioksida meningkat secara global di atmosfer dan dianggap

sebagai masalah lingkungan, berbagai ekolog tertarik untuk menghitung

jumlah karbon yang tersimpan di hutan. Hutan gambut merupakan salah satu

hutan yang memiliki potensi dalam penyimpanan karbon. Karbon dapat

tersimpan dalam material yang sudah mati sebagai serasah, batang pohon yang

jatuh kepermukaan tanah, dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah

(Whitmore. 1985).

Karbon juga merupakan komponen penting penyusun biomasa tanaman

melalui proses fotosintesis. Adanya peningkatan kandungan karbondioksida di

atmosfer secara global telah menyebabkan timbulnya masalah bagi lingkungan.

Hal ini mempengaruhi kebijakan negara-negara di dunia untuk

mempertahankan keberadaan hutan yang dianggap sebagai buffer terhadap

kandungan karbon. Karbondioksida merupakan penyerap inframerah yang kuat

dan sifat ini membantu mencegah radiasi inframerah meninggalkan bumi.

Dengan demikian CO2 memainkan peranan penting dalam mengatur suhu

permukaan bumi. Efek "rumah kaca" ini dipengaruhi oleh proporsi

karbondioksida dalam atmosfer bumi (Salim. 2005)

Semua tipe hutan mempunyai kemampuan untuk mengabsorpsi karbon.

Adapun lokasi utama cadangan karbon terbesar adalah di hutan tropika. baik di

permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah. Hutan tropika

merupakan tipe hutan yang mengandung biomassa dalam jumlah yang besar

sehingga memiliki cadangan simpanan karbon yang sangat penting. Pada

umumnya potensi pertumbuhan di hutan tropis lebih tinggi dan lebih cepat

dibandingkan dengan tipe hutan lain, sehingga dapat mempercepat akumulasi

karbon di dalam tanaman. Vegetasi hutan mempunyai kemampuan untuk

(36)

karbon selama 40 tahun melalui pertambahan bersih dari biomassa karbon dan

inventarisasi tegakan dan penyerapan melalui tegakan hutan (Whitmore. 1985).

Pada ekosistem daratan karbon tersimpan dalam tiga komponen pokok

(Hairiah dan Rahayu 2007) yaitu:

a. Biomasa yaitu masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk

pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim.

b. Nekromasa yaitu massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang

masih tegak di lahan atau telah tumbang tergeletak di permukaan

tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (serasah) yang

belum terlapuk.

c. Bahan organik tanah yaitu sisa makhluk hidup (tanaman. hewan dan

manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun

seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel

biasanya lebih kecil dari 2 mm.

2.3.1 Karbon Tanah

Kandungan karbon tanah secara umum akan menurun sejalan dengan

kedalaman tanah. Kecenderungan ini disebabkan oleh masukan bahan organik

yang terutama disimpan di permukaan tanah atau topsoil. Hendri (2001)

melaporkan bahwa kandungan karbon tanah di KPH Cepu pada kedalaman 60 cm

lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan karbon pada kedalaman 20 cm.

Van Noordwijk et al. (1997) melaporkan kecenderungan yang sama yakni

kandungan karbon tanah bagian atas (topsoil) lebih tinggi dibandingkan bagian

bawah (subsoil) di daerah dataran rendah Sumatera. Adapun variabel-variabel

yang berpengaruh pada kandungan karbon tanah antara lain : kedalaman tanah,

kerapatan massa tanah (bulk density) dan konsentrasi karbon organik (Eggleston

et al. 2006).

Jumlah CO2 di atmosfer tetap sangat stabil pada tingkat sekitar 280

µmol/mol selama ribuan tahun belakangan ini, dan cukup stabil antara 200 dan

300 µmol/mol selama 150.000 tahun sebelum itu. Sejak sekitar tahun 1850,

(37)

µmol/mol pada tahun 1990. CO2 meningkat sekitar 1,4 µmol/mol/tahun selama

15 tahun terakhir tetapi pada tahun 1988 peningkatannya lebih dari 2

µmol/mol, sebuah lompat terbesar dan lebih dari 0.5% dari kandungan CO2

saat ini. Alasan utama peningkatan sejak tahun 1850 ini ialah pembakaran

bahan bakar fosil, tetapi pembukaan lahan khususnya pembakaran hutan

tropika juga ikut berperan (Salisbury. 1995).

Peningkatan CO2 di atmosfer di seluruh dunia mendapat perhatian

karena CO2 dan beberapa gas lainnya yang disebut gas rumah kaca seperti

metan, menyerap lebih banyak energi cahaya pada panjang gelombang panjang

daripada panjang gelombang pendek. Panjang gelombang pendek terdapat

dominan pada cahaya matahari dan menembus atmosfer, memanaskan bumi

dan apa saja yang ada di atas bumi. Bumi kemudian memancarkan panjang

gelombang yang lebih panjang (karena bumi jauh lebih dingin daripada

matahari) yang diserap oleh gas rumah kaca, yang selanjutnya memancarkan

sebagian energi (pada panjang gelombang panjang) kembali ke bumi, sehingga

lebih memanaskan bumi lagi (Salisbury. 1995).

2.3.2 Siklus Karbon

Karbon yang berada di atmosfer bumi bagian terbesarnya adalah gas

karbon dioksida (CO2). Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang

sangat kecil dari seluruh gas yang ada di atmosfer (hanya sekitar 0.04% dalam

basis molar, meskipun sedang mengalami kenaikan), namun memiliki peran

yang penting dalam menyokong kehidupan. Gas-gas lain yang mengandung

karbon di atmosfer adalah metan dan kloroflorokarbon atau CFC (CFC ini

merupakan gas artifisial atau buatan). Gas-gas tersebut adalah gas rumah kaca

yang konsentrasinya di atmosfer telah bertambah dalam dekade terakhir ini dan

berperan dalam pemanasan global.

Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua bagian siklus penting, di darat

dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase

antara. Hutan mempunyai peranan penting sebagai salah satu reservoir karbon di

(38)

sebesar 428 Pg (1Pg = Petagram = 1 milyar ton) yang disimpan dalam vegetasi

dan tanah. Di kawasan tropis Asia, dapat diperkirakan bahwa penanaman hutan,

agroforestry, regenerasi dan kegiatan-kegiatan menghindari deforestasi

mempunyai potensi menyerap karbon yang bervariasi dari 0,50;2,03;3,8 – 7,7 dan

3,3 – 5,8 Pg antara 1995 sampai 2050 (Brown el al. 1996).

Tempat penyimpanan karbon adalah biomasa (meliputi batang, daun,

ranting, bunga, buah dan akar), bahan organik mati (nekromas) dan tanah.

Atmosfer berperan sebagai media perantara dalam siklus karbon. Aliran C biotik

antara atmosfer dan hutan adalah fiksasi netto C melalui proses fotosintesis dan

respirasi. Fotosintesis disebut juga asimilasi zat karbon, dimana zat-zat CO2 di

udara dan di air diubah menjadi molekul C6H12O6 dengan bantuan cahaya

matahari dan klorofil. Fotosintesis didefinisikan sebagai proses pembentukan gula

dari dua bahan baku sederhana yaitu karbondioksida dan air dengan

bantuanklorofil dan cahaya matahari sebagai sumber energy (Gardner et al. 1991

dalam Hariyadi. 2005). Secara umum produksi berbagai macam gula pada proses

fotosintesis diwakili oleh persamaan sebagai berikut :

6CO2 + 12H2O C6H12O6 + 6H2O + O2

cahaya dengan pigmen

Proses fotosintesis di atas hanya menggunakan sebagian kecil radiasi

matahari yang diterima oleh tumbuhan tingkat tinggi, karena sebagian besar

radiasi tersebut segera ditransformasi ke dalam bentuk panas (Packham dan

Harding. 1982). Karbohidrat stabil yang pertama diproduksi dalam proses

fotosintesis adalah glukosa yang biasanya dikonversi ke dalam bentuk pati sebagai

produk yang disimpan sementara.

Siklus karbon di daratan dapat dikontrol oleh proses fotosintesis, respirasi

dan dekomposisi. Siklus karbon tersebut berbeda-beda tergantung tipe ekosistem

serta faktor lingkungan seperti suhu, curah hujan, radiasi matahari dan kecepatan

angin (Forseth dan Norman. 1993).

Siklus karbon mempunyai empat reservoir karbon utama yang

(39)

biosfer terestial (biasanya termasuk pula freshwater system dan material

non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon), lautan (termasuk karbon

anorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk

bahan bakar fosil). Pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses

kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermacam-macam. Secara umum, siklus

karbon disampaikan dalam Gambar 2 .

Gambar 2. Siklus Karbon (IPCC. 2001)

Gambar di atas merupakan siklus karbon yang terjadi pada 3 lapisan yaitu

atmosfer, biosfer, dan laut. Jumlah karbon di atmosfer diperkirakan sebesar 750

GtC, di biosfer diperkirakan sebesar 1900 GtC, dan jumlah karbon yang

terkandung di lautan diperkirakan sebesar 38000 GtC. Jumlah karbon di laut

diperkirakan 50 kali lebih besar dibandingkan jumlah karbon yang ada di

atmosfer. Pertukaran karbon di laut dan atmosfer terjadi dalam skala waktu

(40)

2.4 Emisi Gas Rumah Kaca Pada Lahan Gambut

Pemanfaatan lahan gambut tropis, khususnya di Indonesia sangat

dipengaruhi oleh meningkatnya kebutuhan penduduk akan lahan, pangan, kayu

bakar dan bahan bangunan. Pemanfaatan tersebut sangat terkait dengan

kebijakan pemerintah dalam kegiatan konversi hutan, industry perkayuan,

transmigrasi dan pemukiman penduduk serta perluasan lahan pertanian.

Praktek yang biasanya dilakukan adalah dengan melakukan deforestrasi yang

diikuti dengan pembangunan kanal atau saluran drainase untuk mengeringkan

air yang tertahan di lahan gambut (Murdiyarso et al. 2004).

Lahan gambut berpotensi nyata dalam menghasilkan gas rumah kaca

seperti CO2 dan CH4 (Aerts dan Caluwe. 1999). Apabila gambut terbakar atau

mengalami kerusakan karena dikelola tanpa memperhatikan sifat gambut,

maka bahan gambut akan mengeluarkan gas terutama CO2, N2O, dan CH4

(Sabiham. 2006), yang akan diemisikan ke udara yang dikenal sebagai gas

rumah kaca.

Kehilangan C-organik melalui oksidasi menghasilkan CO2.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan C-organik antara lain temperatur, O2,

pH, dan Eh gambut. Temperatur gambut merupakan pengendali utama

terhadap laju dekomposisi gambut, dan peranannya akan sangat dominan bila

berinteraksi dengan O2 (Chapman et al. 1996) suhu dan kelembaban baik udara

maupun tanah gambut di kawasan tropik sangat dipengaruhi oleh jenis dan

kerapatan vegetasi yang menutupinya. Suhu udara hutan gambut alami di

Sumatra berkisar 22 0C – 34,5 0C. Pada keadaan tertutup hutan, suhu gambut

berkisar 27,5 0C – 29,0 0C dan jika keadaan terbuka berkisar 40,0 0C – 42,5 0C.

Suhu yang tinggi pada keadaan terbuaka akan merangsang aktifitas

mikroorganisme sehingga perombakan gambut lebih cepat (Noor. 2001).

Kelembaban relatif hutan gambut cukup tinggi pada musim hujan,

yakni berkisar 90% - 96%. Pada musim kemarau, kelembaban menurun

menjadi 80% (Rieley et al. 1996). Reklamasi atau pembukaan lahan gambut

(41)

meningkat dan kelembaban yang menurun merupakan dampak dari perubahan

komposisi vegetasi alami karena pembukaan lahan (Noor. 2001).

Di daerah tropis, tanah gambut hutan dapat melepaskan sekitar 26,9 juta

ton CH4 dan tanah gambut budidaya sebesar 30,9 juta ton CH4 sementara pada

tanah alluvial sebesar 5,0 juta ton CH4 (Barlett dan Harris. 1993). Kuantitas C

yang hilang dari lahan-lahan gambut di dunia akibat konversi lahan dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Estimasi kehilangan C pada lahan gambut Penggunaan

Sumber : Maltby dan Immirzi (1993)

Kebakaran hutan dan gangguan lahan lainnya telah menempatkan

Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia.

Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi

yang dihasilkan mencapai 2 miliar ton CO2 per tahunnya atau menyumbang

10% dari emisi CO2 di dunia (Hooijer et al. 2006)

Kebakaran hutan pada lahan gambut yang terjadi di Indonesia tahun

1997 – 1998 di estimasi sekitar 10 juta hektar lahan yang rusak atau terbakar,

(42)

ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca sebanyak 0,81 – 2,57 Gigaton

karbon ke atmosfer (setara dengan 13 – 40% total emisi karbon dunia yang

dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah

kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global (WWF Indonesia).

Penghasil emisi karbon terbesar dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Sepuluh negara pengahasil emisi terbesar dunia

No Negara Emisi Karbon (ton) Persentase (%) 1 Amerika Serikat 1.614 21,2 2 China 1.405 18,5 3 Rusia 468 6,2 4 Jepang 348 4,6 5 India 312 4,1 6 Jerman 230 3 7 Kanada 161 2,1 8 Inggris 159 2,1 9 Korsel 139 1,8 10 Italy 132 1,7

(43)

BAB III

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Luas dan Lokasi

Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas

2.335,33 km2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2ol'-2o28' Lintang Utara dan

98o10'-98o58' Bujur Timur berada di barat daya Danau Toba. Batas wilayah

Humbang Hasundutan, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Samosir,

sebelah timur dengan Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah selatan dengan

Kabupaten Tapanuli Tengah dan sebelah barat dengan Kabupaten Pakpak Barat.

Kabupaten Humbang terdiri dari 10 Kecamatan dengan 117 desa dan satu

kelurahan. Kecamatan yang paling luas adalah Kecamatan Parlilitan seluas 598,70

m2 atau 26 % dari luas kabupaten dan kecamatan yang paling kecil adalah

Kecamatan Bhakti Raja sekitar 50,36 km2 (atau 2 % dari luas kabupaten).

3.2 Aksesibilitas

Aksesibilitas wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan termasuk lancar.

Mengingat Kabupaten Humbang Hasundutan berada di tengah-tengah wilayah

Provinsi Sumatera Utara bagian barat, maka wilayah Kabupaten Humbang

Hasundutan dibelah oleh jalan provinsi yang menghubungkan wilayah bagian

selatan (Kabupaten Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah) ke arah utara

(Kabupaten Samosir dan Dairi) dan wilayah bagian timur (Kabupaten Tapanuli

Utara) ke barat (Kabupaten Pakpak Barat), jalur-jalur perjalanan tersebut bertemu

di perempatan jalan di ibu kota kabupaten (Dolok Sanggul). Aksesibilitas Ibu

Kota Kabupaten (Dolok Sanggul) dari Ibu Kota Provinsi (Medan) dapat ditempuh

dari dua arah, yaitu arah utara melalui Kabanjahe (sebelah utara Danau Toba)

selama kurang lebih 6 jam (dengan jalan bergunung-gunung) atau dari arah

selatan melalui Tebing Tinggi dan Balige (sebelah selatan Danau Toba) selama

(44)

3.3Kondisi Fisik Wilayah

Wilayah kabupaten Humbang Hasundutan sebagian besar berada pada

wilayah pegunungan dengan ketinggian 330-2.075 m dari permukaan laut,

sebagian besar wilayah berupa pegunungan terjal/kemiringan tinggi (69 %), 20 %

areal berada di wilayah yang landai dan hanya 11 % areal berada pada wilayah

yang datar (Humbang Hasundutan dalam Angka. 2004).

Seperti halnya di wilayah pulau Sumatera pada umumnya jenis tanah

sebagian besar dataran pulau Sumatera terdiri dari tanah Podsolik Merah Kuning

yang terbentuk dari berbagai bahan induk. Tanah-tanah di daerah pegunungan

(seperti halnya di Kabupaten Humbang Hasundutan) mempunyai penyebaran

yang sangat rumit, tetapi umumnya masih terdiri dari berbagai bentuk tanah

Podsolik Merah Kuning yang berasosiasi dengan Latosol dan Litosol. Daerah

berbatu kapur ditutupi oleh tanah Podsolik Coklat dan tanah Renzina. Tanah

Andosol dan tanah Podsolik Coklat Kelabu dijumpai di atas batuan vulkanik.

Iklim di Sumatera ditandai dengan curah hujan yang banyak dan

penyebarannya cukup merata sepanjang tahun dan tidak jelas batas antara musim

hujan dan musim kering seperti di Jawa atau di daerah Indonesia bagian timur.

Curah hujan di Sumatera sangat bervariasi menurut letak topografi yang berbeda.

Besarnya berkisar lebih 6000 mm/tahun di sebelah barat Bukit Barisan, sampai

kurang dari 1500 mm/tahun di beberapa daerah seperti daerah sebelah timur Aceh.

Dari 594 stasiun pencatat curah hujan di Sumatera, 70 % diantaranya mencatat

curah hujan lebih dari 2500 mm. Di sebagian besar pulau Sumatera bulan-bulan

kering biasanya terjadi bersamaan dengan angin timur laut yang terjadi antara

bulan Desember dan Maret. Musim hujan utama biasanya terjadi selama periode

peralihan sebelum angin timur taut dan sesudah angin barat daya yaitu pada akhir

bulan Mei sampai September. Musim hujan yang kurang lebat (pada bulan April)

terjadi sebelum musim angin barat daya. Bagian selatan Sumatera mempunyai

pola curah hujan yang serupa dengan pola hujan di Jawa yaitu dengan satu musim

(45)

Berdasarkan Oldeman et al. (1979) berdasarkan jumlah bulan-bulan basah

dan bulan-bulan kering wilayah Pulau Sumatera dibagi kedalam 5 zone iklim dari

Zone A - Zone E. Wilayah studi Kabupaten Humbang dan sekitarnya berada pada

Zone A di bagian barat-utara dan B di bagian timur-selatan :

1. Zone A: daerah dengan bulan-bulan basah selama sembilan bulan

berturut-turut dan dua bulan atau kurang dari dua bulan berberturut-turut-berturut-turut masa kering.

2. Zone B: daerah dengan bulan-bulan basah selama tujuh sampai sembilan

bulan berturut-turut per tahun, dan bulan kering selama tiga bulan berturut-

turut atau kurang.

Gambar 3. Peta lokasi penelitian berdasarkan tata guna lahan kabupaten Humbang Hasundutan (Istomo. 2006)

Mengingat letak geografi Kabupaten Humbang Hasundutan sebagian besar

terletak di wilayah pegunungan (yang merupakan bagian dari pegunungan Bukit

Barisan) sehingga wilayah ini memang penting bagi penyangga tata air baik untuk

Kabupaten Humbang Hasundutan sendiri maupun wilayah di bawahnya.

(46)

dan sebagian berbentuk plato (dataran luas di pegunungan) dan sebagian

berbentuk perbukitan dan di beberapa tempat terdapat cekungan-cekungan yang

membentuk danau-danau dan lahan gambut. Wilayah yang berupa cekungan baik

berupa danau, persawahan dan lahan gambut berfungsi sebagai penyimpan air.

Oleh karena itu wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan menjadi sebagian

hulu-hulu sungai besar.

3.4 Kondisi Biotik Wilayah

Sebagian besar penutupan vegetasi berupa kawasan hutan (68 %) baik

berupa hutan produksi dan hutan lindung, belum termasuk hutan rakyat. Jenis

utama pohon baik secara alam maupun hasil penanaman adalah jenis Pinus

merkusii. Jenis ini memang jenis asli Sumatera dan kadang-kadang dijumpai pada

ketinggian 1000-1600 m dpl. Batang pohon ini di habitat alamnya dapat mencapai

diameter satu meter, lebih besar dari pohon-pohon hasil penanaman. Di sekitar

Danau Toba pohon ini ditanam pada tahun 1927 (Alphen de Veer. 1953).

Sedangkan jenis pohon yang sekarang banyak ditanam baik kawasan hutan

produksi maupun hutan rakyat melalui sistem PIR adalah jenis Eucalyptus alba.

Jenis pohon berumur pendek ini ditanam untuk keperluan industri pulp

dan kertas PT. TPL. Jenis tumbuhan semak yang telah lama dipelajari oleh Janzen

(1973) di daerah pegunungan Sumatera dalam kaitannya dengan kabakaran hutan

adalah jenis Vaccinium dan Hypericum. Jenis semak Vaccinium merupakan jenis

yang dominan pula di lahan gambut Kabupaten Humbang Hasundutan. Setelah

kebakaran tunas-tunas dari kedua jenis tersebut terus tumbuh pada pangkal batang

tumbuhan yang berada di atas permukaan tanah. Secara rata-rata tunas-tunas ini

tumbuh kurang dari 50 cm selama tiga tahun. Tiga tahun setelah kebakaran

batang kayu tidak menunjukkan membusuk. Hal ini disebabkan karena suhu yang

rendah, sedikitnya pengurai dan tingginya kelembaban tanah yang tidak pernah

manjadi cukup panas untuk mendukung kehidupan mikroorganisme pengurai.

Pada sub-sektor kehutanan, berdasarkan fungsi kawasan hutan, kawasan

hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan pada tahun 2004 tercatat seluas

(47)

yang terdiri dari hutan produksi seluas 84.540 ha dan hutan lindung seluas 74.852

ha. Berdasarkan penyebarannya kawasan hutan tersebut terdapat di sembilan

kecamatan dari sepuluh kecamatan yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan.

Kecamatan yang tidak mempunyai hutan adalah Kecamatan Tarabintang.

Kecamatan yang mempunyai kawasan hutan terluas adalah Kecamatan Parlilitan

seluas 61.490 ha (37.590 ha hutan produksi dan 23.900 ha hutan lindung).

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, Peternakan dart Perikanan Kebupaten

Humbang Hasundutan (2004) produksi hasil hutan terdiri dari : log kayu

Eucalyptus alba (PT. TPL) 17.403,25 m3; log kayu rakyat campuran 82.370,05

m3; kayu pinus hutan rakyat 45.366,58 m3 dan hasil hutan ikutan berupa rotan 100

(48)
(49)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April tahun

2011 di lahan gambut yang terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi

Sumatera Utara. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Departemen

Ilmu Tanah Sumberdaya Lingkungan IPB, analisis bahan bakar dilakukan di

Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan IPB, serta analisis karbon dilakukan di

Laboratorium Terpadu IPB.

4.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompas, GPS (Global

Positioning System) Garmin 60CSx, bor gambut, ring contoh, phi band,

parang/golok, meteran, timbangan, timbangan analitik, kamera serta perlengkapan

alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan adalah sampel tanaman, tanah

gambut, tali rafia, kertas koran, ring sampel, alkohol 70%, kantong plastik (2 kg),

kertas label, amplop, sealed plastic untuk menyimpan sampel, serta tally sheet.

4.3 Jenis Data

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Data Primer : data yang diperoleh langsung dari kegiatan di lapangan yaitu

jenis dan potensi vegetasi pada lahan gambut bekas terbakar, sifat fisik dan

kimia tanah serta kandungan karbon.

b. Data sekunder : kondisi umum lokasi penelitian meliputi luas dan lokasi,

aksesibilitas, kondisi fisik, cuaca (suhu, kelembaban dan curah hujan),

biotik wilayah, serta kejadian kebakaran.

4.4 Survey Lokasi Penelitian

Survey pendahuluan lokasi penelitian dilakukan pada Bulan April 2010,

(50)

pengambilan sampel penelitian. Pada kegiatan tersebut dilakukan pengamatan

terhadap kondisi vegetasi pada lahan gambut bekas terbakar.

4.5 Pengukuran Luas Lahan

Penentuan luas lahan dilakukan dengan menggunakan GPS (Global

Positioning System) dan pita meteran melalui perekaman titik deliniasi sesuai

dengan bentuk bentang lahan yang ada di lapangan.

4.6 Pembuatan Petak Contoh

Petak yang digunakan untuk penelitian adalah petak lahan gambut bekas

pembakaran dan galian. Pembuatan petak ini sesuai dengan prosedur analisis

vegetasi (Soerianegara dan Indrawan. 2008) yaitu dilakukan dengan metode jalur

berpetak. Jalur yang dibuat sebanyak 5 jalur dengan jumlah plot sebanyak 45 plot.

Pengukuran dilakukan pada petak ukuran 2 m x 2 m (Gambar 4). Pemilihan petak

berukuran 2 m x 2 m dikarenakan pada lokasi penelitian didominasi oleh

tumbuhan bawah.

a. Sub-petak ukuran 2 m x 2 m untuk analisis vegetasi tumbuhan bawah,serasah dan nekromasa

(51)

4.7. Penentuan Karbon Tersimpan Dalam Gambut

Pada umumnya parameter yang diamati adalah:

1. Berat volume (Bulk density) [g cm-3 atau kg dm-3 atau t m-3]

2. Kandungan karbon [% berat]

3. Tingkat kematangan gambut

4. Ketebalan gambut

5. Luas lahan gambut

4.7.1 Berat Volume

Berat volume (Db) adalah masa fase padat tanah (Ms), dibagi dengan

volume total tanah (Vt). Volume total tanah adalah jumlah volume dari fase padat

tanah dalam keadaan di lapangan. Nilai Db yang umum untuk tanah gambut

berkisar antara 0.05-0.3 g cm-3, namun kadangkala bisa sampai <0.01 dan >0.4 g

cm-3. Berbeda dengan tanah mineral, tanah gambut tidak membentuk bongkahan

dan mudah terbakar. Dengan demikian penentuan berat volume dengan metode

bongkahan (clod method) yang memerlukan keberadaan bongkahan dan proses

pembakaran bongkahan, tidak dapat diberlakukan untuk tanah gambut.

Db (berat volume) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (dimodifikasi dari

Agus et al. 2007):

          Dimana :

Ms = Berat kering contoh tanah

Vt = Volume contoh tanah

Db = Berat volume (Bulk density) [g cm-3 atau kg dm-3 atau t m-3]

4.7.2 Kandungan Karbon Gambut

Kandungan karbon gambut dapat ditentukan dengan salah satu dari

beberapa metode yaitu, pengabuan kering (lost in ignition), Walkley and Black

(pengabuan basah), atau C analyzer. Metode yang paling sederhana, namun

memberikan angka yang cukup akurat adalah metode pengabuan kering. Dengan

(52)

semua bahan organik dalam analisisnya. Penggunaan auto analyzer merupakan

metode langsung (mengukur carbon atau CO2), namun dengan sangat sedikitnya

(15-30 mg) contoh yang dianalisis maka pengambilan contoh yang paling

mewakili merupakan bagian yang kritis metode ini.

Kerapatan karbon (C density, Cd) yaitu berat karbon per satuan volume,

dapat dihitung dengan persamaan (Agus etal. 2007):

Cd = Db x C

Dimana :

Cd = Kerapatan karbon

Db = Berat volume (Bulk density) [g cm-3 atau kg dm-3 atau t m-3]

C = Kandungan karbon dalam persen

Kisaran Db gambut adalah sekitar 0,02 kg dm-3 pada gambut mentah dan

pada bagian gambut yang berongga (hollow) sampai 0,40 kg dm-3 pada gambut

matang yang sudah mengalami pemadatan atau bercampur liat. Kisaran

kandungan C gambut adalah 30-58%.

4.7.3 Kematangan Gambut

Pengamatan kematangan gambut berguna untuk menaksir kesuburan dan

kandungan C gambut. Gambut yang lebih matang biasanya lebih subur, walaupun

banyak faktor lain yang menentukan kesuburan gambut, misalnya campuran liat

dan abu. Gambut yang lebih matang juga mempunyai kerapatan karbon, Cd, lebih

tinggi. Pengamatan kematangan gambut dapat dilakukan di lapangan atau di

laboratorium berdasarkan kadar seratnya.

Penetapan Kematangan Gambut di Lapangan

1) Segenggam gambut diambil lalu diperas di telapak tangan.

(53)

• Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila

diremas kandungan seratnya yang tertinggal di telapak tangan < sepertiga

jumlah semula.

• Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah matang,

sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila

diremas kandungan seratnya yang tertinggal di telapak tangan antara

sepertiga dan dua pertiga jumlah semula.

• Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas kandungan

seratnya yang tertinggal di telapak tangan > dua pertiga jumlah semula.

4.7.4 Penentuan Ketebalan Gambut

Pengambilan Contoh Gambut

Bentuk contoh tanah gambut dilakukan dengan cara menggunakan bor

gambut (contoh hampir tidak terganggu). Dengan menggunakan bor gambut

contoh gambut dapat diambil dari permukaan sampai ke dasar (substratum)

gambut tergantung jumlah batang besi penyambung (extension rod) yang

dipunyai. Bahkan gambut yang berada dalam keadaan terendam airpun dapat

diambil contohnya dengan menggunakan bor gambut. Contoh gambut yang

diambil dengan bor gambut dapat digunakan untuk analisis berat volume (Db),

kadar air (% volume), dan sifat kimia termasuk kandungan karbon (C).

Pengambilan contoh gambut menggunakan bor gambut

Bor gambut terdiri dari tangkai, tiang sambungan (extension rod) dan

sampler. Sampler terdiri atas sayap penutup dan setengah tabung silinder yang

mempunyai satu sisi yang tajam untuk memotong gambut. Bagian-bagian dari bor

ini dapat dihubungkan dengan mudah satu sama lainnya dengan menggunakan

dua buah kunci pas nomor 23.

Bila bor diputar 180o searah jarum jam maka sayap akan tetap pada

posisinya sehingga menutup tabung silinder yang berisi contoh tanah gambut.

(54)

tabung bor adalah 60 mm dan diameter contoh 52 mm, sehingga volume contoh

yang diambil adalah 500 cm3. Tangkai bor panjangnya 60 cm dan dibalut dengan

karet sintetis insulasi arus listrik.

4.8 Analisis Data

4.8.1 Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Atas Permukaan

Karbon di atas permukaan tanah, meliputi: biomassa tumbuhan bawah,

nekromsa, dan serasah.Tumbuhan bawah yang diambil sebagai contoh adalah

semua tumbuhan hidup termasuk herba dan rumput-rumputan.

Total berat kering tumbuhan bawah per kuadran dengan rumus sebagai berikut

(Hairiah K dan Rahayu S. 2007):

Dimana :

BK = berat kering dan

BB = berat basah

Konsentrasi C dalam bahan organik biasanya sekitar 46%, oleh karena

itu estimasi jumlah C tersimpan per komponen dapat dihitung dengan mengalikan

total berat masanya dengan konsentrasi C, sebagai berikut (Hairiah dan Rahayu,

2007) :

Estimasi C = Total BK x 0.46

Dimana :

Total BK = Biomasa Total (ton ha-1)

4.8.2 Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Bawah Permukaan

Parameter yang digunakan dalam perhitungan pendugaan simpanan karbon

bawah permukaan adalah luas lahan gambut, kedalaman tanah gambut, bobot isi

(Db) dan simpanan karbon (C-Organik) pada setiap jenis tanah gambut. Dengan

diketahui parameter-parameter tersebut, maka simpanan karbon bawah permukaan

(55)

Persamaan yang digunakan (Murdiyarso et al. 2004) adalah :

KC = B x A x D x C

Dimana :

KC = Simpanan karbon dalam ton

B = Bobot isi (Db) tanah gambut dalam g/cc atau ton/m3

A = Luas tanah gambut dalam m2

D = Ketebalan gambut dalam m

C = Kadar karbon (C-Organik) dalam persen (%)

4.8.3 Perhitungan Jumlah Emisi CO2

Jumlah emisi dari tanah gambut untuk selang waktu tertentu dapat

dihitung berdasarkan perubahan karbon tersimpan pada tanah gambut.

Simpanan karbon terbesar pada lahan gambut adalah pada gambut itu

sendiri dan yang kedua adalah pada jaringan tanaman dan pada seresah.

Masing-masing simpanan karbon tersebut dapat bertambah atau berkurang tergantung

pada faktor alam dan campur tangan manusia.

Dengan demikian jumlah emisi CO2 pada selang waktu tertentu dapat

diperkirakan dengan rumus (Agus etal. 2007) sebagai berikut:

  Dimana :

Ea = Emisi karena terbakarnya jaringan tanaman di atas permukaan tanah.

Ea = C tanaman yang terbakar x 3,67 (Angka 3,67 adalah faktor

konversi dari C menjadi CO2).

Ebb = Emisi karena kebakaran gambut.

Ebb = volume gambut yang terbakar (m3) x Cd (t C m-3) x 3,67 CO2/C.

Ebo = Emisi dari dekomposisi gambut.

Pendugaan berdasarkan penurunan permukaan gambut (subsiden)

Sa = Sequestrasi atau penambatan karbon oleh tanaman = rata-rata waktu

simpanan pertambahan kandungan karbon pada jaringan tanaman (t/ha)

x 3,67.

(56)
(57)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1Hasil

5.1.1 Biomasa Atas Permukaan

Pada areal penelitian ditemukan beberapa vegetasi yang tumbuh di atas

lahan gambut berupa semak belukar dengan tinggi rata-rata satu meter tumbuh

jarang dan tersebar bercampur dengan tumbuhan herba, paku-pakuan dan

rumput. Hasil identifikasi jenis tumbuhan yang terdapat di lokasi penelitian

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Daftar jenis tumbuhan yang terdapat di lahan gambut Kab. Humbang Hasundutan

No Jenis Suku Kategori

1 Vaccinium varingifolium Ericaceae Semak

2 Neprolepis biserrata Polypodiaceae Paku-pakuan

3 Melastoma malabathricum. Melastomataceae Herba

4 Daphniphyllum glaucescens Daphniphyllaceae Semak

5 Ficus deltoidea Moraceae Herba

6 Lepinoria mucronata Cyperaceae Rumput

7 Leptospermum flavescens Myrtaceae Semak

8 Cycas rumphii Cycadaceae Pakis

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa ada delapan jenis tumbuhan yang

tumbuh dominan pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan yang

dibagi menjadi empat kelompok yaitu semak (tumbuhan kecil berkayu), herba,

rumput dan paku-pakuan. Jenis semak yang paling banyak dijumpai adalah

Vaccinium varingifolium, Daphniphyllum glaucescens, dan Leptospermum

flavescens. Dimana ketiga jenis tersebut mempunyai perakaran besar dan rapat

dan selama ini yang digali oleh masyarakat di Lintongnihuta untuk dibuat arang.

Gambaran umum penutupan vegetasi di lokasi penelitian dapat dilihat pada

Gambar 5. Sedangkan foto beberapa jenis tumbuhan yang umum dijumpai di

(58)

Gambar 5. Kondisi penutupan vegetasi di lahan gambut Kab. Humbang Hasundutan yang didominasi oleh semak dan paku-pakuan.

Neprolepis biserrata Daphniphyllum glaucescens (Polypodiaceae) (Daphniphyllaceae)

Vaccinium varingifolium (Ericaceae) Leptospermum flavescens (Myrtaceae)

Gambar 6. Foto-foto jenis tumbuhan yang dijumpai pada lahan gambut di

(59)

Ficus deltoidea (Moraceae) Lepinoria mucronata (Cyperaceae)

Melastoma malabathricum Cycas rumphii (Melastomataceae) (Cycadaceae)

Gambar 6. Foto-foto jenis tumbuhan yang dijumpai pada lahan gambut di

Kab. Humbang Hasundutan (Istomo. 2006)

(60)

Tabel 4. Potensi biomasa tumbuhan bawah di lokasi penelitian

tumbuhan bawah pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan. Biomasa

tumbuhan bawah yang terdapat pada lahan gambut di Kab. Humbang

(61)

ton ha-1. Sedangkan estimasi C tumbuhan bawah yang terdapat pada lahan

gambut di Kab. Humbang Hasundutan berkisar antara 0,60 – 1,70 ton ha-1

dengan rata-rata sebesar 1,03 ton ha-1.

5.1.2 Biomasa dan Cadangan Karbon Bawah Permukaan

5.1.2.1 Berat Volume (Bulk density) Contoh

Berat volume (Db) adalah masa fase padat tanah (Ms), dibagi dengan

volume total tanah (Vt). Volume total tanah adalah jumlah volume dari fase padat

tanah dalam keadaan di lapangan. Nilai Db yang umum untuk tanah gambut

berkisar antara 0,05-0,3 g cm-3, namun kadangkala bisa sampai <0,01 dan >0,4 g

cm-3. Berbeda dengan tanah mineral, tanah gambut tidak membentuk bongkahan

dan mudah terbakar.

Pada Tabel 5 dapat dilihat hasil dari berat volume (Bulk density) dari

beberapa jenis tanah gambut pada lahan gambut di Kab. Humbang

Hasundutan. Pengambilan contoh gambut pada lahan gambut di Kab.

Humbang Hasundutan dilakukan pada tiga tipe penutupan lahan yaitu tanah

bervegetasi, tanah tidak bervegetasi dan tanah bekas galian. Volume contoh

tanah (Vt) dari ring contoh sebesar 254,82 cm3. Sehingga diperoleh Bulk density

di lokasi penelitian berkisar antara 0,274 - 0,286 g cm-3 (tanah bekas galian

dengan tanah bervegetasi), sedangkan Bulk density pada tanah tidak bervegetasi

sebesar 0,282 g cm-3.

Tabel 5. Berat volume (Bulk density) dari beberapa jenis tanah gambut pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan

No Tipe Penutupan Lahan Bulk Density

(g cm-3)

1 Tanah bervegetasi 0,286

2 Tanah tidak bervegetasi 0,282

3 Tanah bekas galian 0,274

5.1.2.2 Kandungan Karbon Gambut Contoh

Data kandungan karbon (%C) gambut merupakan variabel utama untuk

menentukan total karbon (cadangan karbon) yang tersimpan pada lahan gambut.

Secara umum, cadangan karbon yang tersimpan pada hamparan tanah gambut

dapat diketahui berdasarkan ketersediaan data: ketebalan gambut, kandungan

(62)

gambut dapat ditentukan dengan salah satu dari beberapa metode yaitu,

pengabuan kering (lost in ignition), Walkley and Black (pengabuan basah), atau C

analyzer. Pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan, kandungan C

gambut diperoleh pada tanah bervegetasi, tanah tidak bervegetasi dan tanah

bekas galian.

Tabel 6. Hasil penilaian sifat kimia tanah gambut di lokasi penelitian di Kab. Humbang Hasundutan

Pada Tabel 6 dapat dilihat kandungan C yang terbesar terdapat pada

tanah bervegetasi adalah 56,81 %. Sedangkan kandungan C terkecil terdapat

pada tanah bekas galian adalah 56,58 %.

5.1.2.3 Kematangan Gambut Contoh

Pengamatan kematangan gambut berguna untuk menaksir kesuburan dan

kandungan C gambut. Gambut yang lebih matang biasanya lebih subur, walaupun

banyak faktor lain yang menentukan kesuburan gambut, misalnya campuran liat

dan abu. Gambut pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan merupakan

gambut hemik, yang mempunyai ciri-ciri yaitu sebagian bahan asalnya masih bisa

dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas kandungan seratnya yang tertinggal di

telapak tangan antara sepertiga dan dua pertiga jumlah semula.

Pada Lampiran 2 dapat dilihat tingkat kematangan gambut yang

terdapat pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan yang terdiri atas

tiga tipe penutupan lahan dari jumlah plot yang diukur.

5.1.2.4 Ketebalan Gambut

Bentuk contoh tanah gambut dilakukan dengan cara menggunakan bor

(63)

contoh gambut dapat diambil dari permukaan sampai ke dasar (substratum)

gambut tergantung jumlah batang besi penyambung (extension rod) yang

dipunyai. Bahkan gambut yang berada dalam keadaan terendam airpun dapat

diambil contohnya dengan menggunakan bor gambut. Contoh gambut yang

diambil dengan bor gambut dapat digunakan untuk analisis berat volume (Db),

kadar air (% volume), dan sifat kimia termasuk kandungan karbon (C).

Ketebalan gambut yang diukur rata-rata sebesar 2,5 meter (Istomo. 2006).

Gambut di lokasi penelitian merupakan gambut topogen yang memiliki akar-akar

pohon yang tersusun sangat rapat (lebih rapat bila dibandingkan dengan gambut

ombrogen) (Istomo. 2006).

Pada Lampiran 3 dapat dilihat ketebalan gambut yang terdapat pada

lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan yang terdiri atas tiga tipe

penutupan lahan dari jumlah plot yang diukur.

5.1.2.5 Luas Tanah Gambut Contoh

Luas keseluruhan lahan gambut di desa Nagasaribu Kec. Lintongnihuta

Kab. Humbang Hasundutan sebesar 97,99 ha. Lokasi lahan gambut tersebut

dipisah oleh jalan besar. Lokasi lahan gambut tersebut dibagi menjadi tiga

bagian yaitu tanah bervegetasi, tanah tidak bervegetasi dan tanah bekas digali.

Luas tanah bervegetasi 0,06 ha (600 m2), luas tanah tidak bervegetasi sebesar

0,01 ha (100 m2)dan luas tanah bekas galian sebesar 2 ha (20.000 m2). Tidak

semua luas lahan dipergunakan untuk melakukan penelitian ini karena

sebagian lahan gambut ini tidak memungkinkan untuk dilakukan analisa

vegetasi.

Tabel 7. Luas tanah gambut yang dibagi atas tiga jenis tanah pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan

No Tipe Penutupan Lahan Luas areal (ha)

1 Bervegetasi 0,06

2 Tidak Bervegetasi 0,01

(64)

5.1.2.6 Pengukuran Tinggi Muka Air Saluran

Tinggi muka air di saluran drainase di lahan gambut Kab. Humbang

Hasunduntan berkisar antara 25 - 55 cm.Tinggi muka air tanah pada lahan gambut

yang didrainase dipengaruhi oleh dalam saluran drainase, sedangkan jenis

vegetasi tidak terlihat berpengaruh terhadap tinggi muka air tanah (Finn . 1983).

Hasil penelitian Andrie et al. (2010) juga menemukan bahwa pembuatan saluran

drainase yang berlebihan menyebabkan perubahan sifat-sifat fisika, kimia dan

biologi gambut, dampaknya dalam muka air tanah pada musim kemarau letaknya

jauh dari permukaan tanah, sedangkan pada musim hujan berada dekat permukaan

tanah.

5.1.3 Perhitungan Pendugaan Simpanan Karbon Bawah Permukaan

Dengan diperolehnya luas lahan gambut, kedalaman tanah gambut, berat

volume (Bulk density) dan Simpanan karbon (C-Organik) pada setiap jenis tanah

gambut pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan maka dapat dihitung

Biomasa bawah permukaan gambut.

Pada Tabel 8 dapat dilihat hasil dari potensi biomasa bawah permukaan

pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan. Simpanan karbon terbesar

terdapat pada jenis tanah tidak bervegetasi sebesar 0,400 ton. Sedangkan

simpanan karbon terkecil terdapat pada jenis tanah bervegetasi sebesar 0,333

ton. Total simpanan karbon bawah permukaan pada luas areal 2,07 ha sebesar

1,118 ton..

Tabel 8. Potensi biomasa bawah permukaan pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan

(65)

5.1.4 Perhitungan Jumlah Emisi CO2

Gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan (diemisikan) lahan gambut

adalah CO2, CH4 (metan), dan N2O. Di antara ketiga gas tersebut CO2 merupakan

GRK terpenting karena jumlahnya yang relatif besar, terutama dari lahan gambut

yang sudah berubah fungsi dari hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman.

Pada Tabel 9 dapat dilihat hasil dari jumlah emisi CO2 pada lahan

gambut di Kab. Humbang Hasundutan.

Tabel 9. Emisi CO2 pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan

Dari hasil yang diperoleh bahwa emisi karena terbakarnya jaringan

tanaman di atas permukaan tanah (Ea) sebesar 25,55 t CO2. Emisi karena

kebakaran gambut (Ebb) sebesar 7122,09 t CO2. Emisi dari dekomposisi gambut

(Ebo) sebesar 769,18 t CO2 dimana pendugaan berdasarkan penurunan

permukaan gambut (subsiden). Dimana Ea, Ebb dan Ebo dikalikan 25 % (efisiensi

pembakaran). Tidak ada terjadi Sequestrasi (Sa) atau penambatan karbon oleh

tanaman pada lahan gambut di Kab. Humbang Hasundutan sehingga dianggap 0.

Sedangkan perbedaan atau lamanya waktu yang diperhitungkan (Δt) selama 5

tahun.

Sehingga emisi CO2 dapat dihitung dengan menggunakan rumus diatas, yaitu:

E = (25,55 t CO2 + 7.122,09 t CO2 + 769,18 t CO2 – 0 )/5 th

E = 7.916,82 t CO2/5 th

E = 7,9 ton/5 thn

Dari perhitungan diatas dapat diinterpretasi bahwa 7,9 ton akan teremisi dari

2,07 ha di Kab. Humbang Hasundutan selama 5 tahun dan emisi per tahun

Gambar

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
Gambar 2. Siklus Karbon (IPCC. 2001)
Tabel 1. Estimasi kehilangan C pada lahan gambut
Tabel 2. Sepuluh negara pengahasil emisi terbesar dunia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Faktor utama yang mempengaruhi rentabilitas ekonomi adalah profit margin, yang menunjukkan efisiensi biaya perusahaan pada penjualan tertentu yaitu dengan membagi laba

Soalan 28 hingga Soalan 30 Pilih jawapan yang paling sesuai bagi pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan peribahasa di bawah ini.. Televisyen yang kamu baiki asalnya rosak

Tata busana sudah mengalami perkembangan, dahulu penari prajuritan dalam berbusana sangat sederhana sekali bahkan ada ngligo (tidak pakai baju) mereka hanya

Menurut Sugiyono (2012) variabel penelitian adalah suatu atribut sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

Dengan memperhatikan adanya peningkatan permintaan akan bahan karet alami di negara ‐ negara industri terhadap komoditas karet dimasa yang akan datang, maka upaya

Fokus penelitian ini adalah melakukan simulasi untuk mengetahui aliran daya pada jaringan distribusi 20 KV untuk kondisi beban tak seimbang, hasil simulasi tersebut

SMP Swasta Katolik Asisi Medan : Lulus Tahun 20101. SMK Negeri 1 Tanjung Pandan : Lulus

berupa video pembelajaran terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam kelas VIII di MTs Negeri 2 Kota Blitar. Tidak ada pengaruh yang