• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sastra dalam Kehidupan Manusia

Dalam dokumen Skripsi Bahasa dan Sastra Arab. docx (Halaman 30-33)

BAB II SYAIR DAN AMR DALAM BALAGAH MA’ANI

A. Sastra dalam Kehidupan Manusia

Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun yang lalu. Kehadiran sastra di tengah peradaban manusia tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya. Hingga saat ini sastra tidak saja dinilai sebagai sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, tetapi telah dianggap sebagai suatu karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual di samping konsumsi emosi (M. Atar Semi, 1990: 1).

Sastra bukan sesuatu yang jatuh dari langit, ia memang ada bersama pengalaman hidup manusia. Bagaimana mungkin sastra tidak mengacu kepada realitasnya? Memang, tidak tiap ungkapan penyair merupakan realitas hidupnya yang dihadirkan kembali di dalam karyanya. Tetapi, membaca karya sastra tiada lain membaca sebuah dunia, membaca realitas alam maupun budaya. Justru sebab membaca realitas, kita juga membaca “dunia yang hidup”. Karenanya, kita digoda mengetahui lebih lanjut apa di balik yang tampak dicitrakan di dalam karya sastra itu. Ibarat di dalam sebuah rumah, kita ingin tahu sesuatu di luar, maka kita perlu jendela dan pintu. Dalam sastra “jendela dan pintu” itu kita dapatkan dari ungkapan-ungkapan sastrawan di luar karya sastranya, seperti melalui wawancara, dan esai-esainya sekalipun hal itu tidak seluruhnya dapat dijadikan “alat bantu” untuk memaknai karya sastra yang ia tulis (Abdul Wachid, 2005: 21).

Setiap kesusastraan yang baik memberi pencerahan kepada manusia, terutama pembacanya. Sekalipun hal itu pencerahan yang mungkin subjektif, di mana terjadi dialog antar sastra dan seorang yang membacanya, yang itu jelas banyak faktor turut menentukan proses membaca, diantaranya pengalaman hidup. Bukankah sastra juga muara dari pengalaman hidup seorang sastrawan? Namun, juga pencerahan dalam pengertian objektif, yang bisa dirasakan denyutnya oleh semua manusia yang membaca. Sastra lahir disebabkan dorongan dasar manusia

untuk mengugkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, dan menaruh minat terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang zaman. Sastra yang telah dilahirkan oleh para sastrawan diharapkan dapat memberi kepuasan estetik dan kepuasan intelek bagi khalayak pembaca. Tetapi seringkali karya sastra itu tidak mampu dinikmati dan dipahami sepenuhnya oleh sebagian besar anggota masyarakat (M. Atar Semi, 1990: 1).

Kemanusiaan kita kenal sebagai sesuatu yang universal. Cita-cita tentang kesejahteraan manusia dikenal oleh seluruh umat manusia di seantero dunia dengan cara masing-masing. Betapa pun beragam corak pelafalannya karena konteks setiap kelompok masyarakat banyak memberikan warna, tidak pelak lagi, semangat itu meruap dari naluri cinta kepada sesama.

Rasa kemanusiaan itu menyeberangi perbedaan budaya, warna kulit, agama, anutan, dan keyakinan, menembus batas suku dan negara, menyebrangi waktu dan jarak, serta menembus perbedaan strata sosial. Bahkan, tidak terhalangi oleh kekuasaan yang merupakan bagian yang sangat berpengaruh dalam berbagai sengketa dewasa ini. Sastra sejak awal sudah melihat kemanusiaan sebagai lahan yang sangat kaya dan luas jangkauannya. Sebagai upaya untuk menerobos segala barikade konteks manusia masing-masing pada desa-kala-patranya (tempat-waktu-suasananya), sastra telah memilih tema-tema terbaik, seperti kematian, kelahiran, kesakitan, kesedihan, kesenangan, kesangsian, penantian, persengketaan, persaudaraan, cinta, dan nafsu-nafsu bawah sadar yang sangat mendasar dan berserak pada setiap manusia di seluruh jagat raya.

Sastra tertulis, yang kemudian membuat bahasa menjadi halangan untuk mencapai manusia secara serentak, tidak sepenuhnya bisa menghalangi penjelajahan sastra sebagai pengembaraan spiritual manusia sejagat. Dalam waktu-waktu yang tertentu suara-suara kemanusiaan itu secara estafet meloncat dari satu bahasa ke bahasa yang lain, sehingga cepat atau lambat, seperti air, suara yang mau digemakannya merembes ke seluruh dunia. Sastra lisan yang kemudian merupakan kelanjutan kalau tidak bisa dikatakan pasukan khusus, dari sastra, secara informal menusukkan peluru-peluru kemanusiaan itu, langsung kepada

manusia lain dengan bahasa ibunya. Akhirnya, tidak berkelebihan kalau dikatakan bahwa sastra adalah jembatan ajaib yang menghubungkan manusia dengan manusia tanpa perlu melalui petugas pabean apalagi harus menunjukkan paspor.

Sastra menjadi warga negara dunia yang bebas masuk ke mana saja karena dia kelihatan, tetapi tidak tampak seluruhnya. Ia adalah imajinasi yang hanya akan tertangkap oleh mata hati yang peka. Ia berwujud, tetapi tidak seluruhnya bertubuh karena ia adalah sebuah pengalaman spiritual. Sastra sudah menjadi sebuah jaringan internasional yang tidak terkendali lagi kemampuan jangkauannya, tidak terhalang-halangi lagi oleh batas-batas negara dan politik. Ia begitu ampuh, tetapi juga begitu halus, tidak ubahnya seperti yang dilakukan oleh jaringan internet dewasa ini. Sastra sudah membebaskan manusia dari berbagai batasan. Sastra dengan demikian bukan hanya tulisan dan bukan hanya buku-buku. Sastra adalah bentuk pengalaman spiritual yang diungkapkan dengan kata-kata yang plastis sehingga memiliki daya magis yang dikemas melalui bentuk-bentuk cerita rekaan atau semi rekaan sehingga merupakan lukisan-lukisan kehidupan yang merupakan cerminan dari kehidupan nyata manusia sehari-hari sehingga penikmatnya menjadi percaya. Sastra adalah cerita tentang manusia atau cerita tentang apa saja yang memberikan kepada manusia sebuah pengalaman spiritual untuk merenungi kehidupan masa lalu, masa kini, dan masa datang untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih membahagiakan manusia bersama-sama.

Manusia melakoni realitas budaya, dan sastra menyentuh realitas budaya itu, maka sastra yang agung dihidupi oleh suara kemanusiaan yang hakiki. Maka sastra secara niscaya terlibat di dalam kehidupan manusia. Dengan sentuhan estetiknya, sastra memberi katarsis sehingga menjadi inspirasi pencerahan manusia untuk membebaskan keterjajahan dirinya dari kekuasaan yang mengingkari hakikat manusia (Abdul Wachid B.S., 2005: 79-80)

Karenanya, bercermin kepada sastra demikian menjadi referensi manusia untuk mengolah masa depan sejarah. Sastra demikian sebagaimana Mahabharata yang disusun oleh Mpu Wiyasa pada periode Timur Klasik, atau di jaman modern

seperti halnya Javid Namah (Kitab Keabadian) karya Muhammad Iqbal. Inilah sebabnya Y.B. Mangunwijaya berkesimpulan bahwa sastra yang baik selalu

religius sebab selalu mengandung “dimensi kedalaman” manusia. Karena, tatkala membacanya kita tergetar hati sebab hidup yang dihidupi dalam sastra yang demikian pada hakikatnya ada di dalam setiap diri manusia (Abdul Wachid B.S., 2005: 78).

Dalam dokumen Skripsi Bahasa dan Sastra Arab. docx (Halaman 30-33)

Dokumen terkait