• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.7. Satuan Pengawasan Intern (SPI)

Tujuan, kewenangan dan tanggungjawab dari fungsi pengawasan intern harus dinyatakan secara formal dalan Charter Audit Internal, konsisten dengan standar profesi audit internal dan mendapat persetujuan dari pimpinan dan dewan pengawas perusahaan. Fungsi pengawasan intern harus independen dan objektif

Board of Directors Chief Executive Offi Senior Vice President, Finance Treasure Controller Internal Audit Subsidiaries and Division

yaitu tidak memihak dalam melaksanakan tugasnya yang memungkinkan fungsi tersebut dapat memenuhi tanggungjawabnya. Penanggung jawab fungsi pengawasan harus mengelola fungsinya secara efektif untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut memberikan nilai tambah bagi perusahaan.

Penanggungjawab fungsi pengawasan intern harus menyusun perencanaan yang berbasis risiko (risk-based plan) untuk menetapkan prioritas kegiatan pengawasan intern, konsisten dengan tujuan perusahaan. Rencana penugasan harus berdasarkan penilaian risiko yang dilakukan paling sedikit setahun sekali, rencana penugasan harus mempertimbangkan potensi untuk meningkatkan pengelolaan risiko, memberikan nilai tambah dan meningkatkan kegiatan perusahaan. Penanggung jawab fungsi pengawasan harus mengkomunikasikan rencana kegiatan dan kebutuhan sumber daya kepada pimpinan dan dewan pengawas perusahaan untuk mendapat persetujuan dan harus juga mengkomunikasikan dampak yang mungkin timbul karena adanya keterbatasan sumber daya. Sumber daya fungsi pengawasan intern harus sesuai, memadai dan dapat digunakan secara efektif untuk mencapai rencana-rencana yang telah disetujui.

2.1.7.1. Independensi

Menurut Tugiman (2000) yang dimaksud dengan independensi adalah : “Auditor internal harus mandiri dan terpisah dari berbagai kegiatan yang diperiksa. Auditor internal dianggap mandiri apabila dapat melaksanakan pekerjaannya secara bebas dan objektif. Kemandirian auditor internal sangat penting terutama dalam memberikan penilaian yang tidak memihak (netral)”.

Sedangkan pengertian independensi menurut Sukrisno (2009:146) adalah : “Independensi mencerminkan sikap tidak memihak serta tidak dibawah pengaruh atau tekanan pihak tertentu dalam mengambil keputusan dan tindakan.”

Pengertian Independensi menurut Rahayu dkk. (2009:51) dalam Nasution (2008) adalah sebagai berikut :

“Independensi dalam audit berarti cara pandang yang tidak memihak didalam pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan dan penyusunan laporan audit. Sikap mental independen tersebut harus meliputi Independence in fact dan

independence in appearance”. Independence in fact (independen dalam kenyataan) akan ada apabila pada kenyataan auditor mampu mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang pelaksanaan auditnya. Artinya sebagai suatu kejujuran yang tidak memihak dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya, hal ini berarti bahwa dalam mempertimbangkan fakta-fakta yang dipakai sebagai dasar pemberiaan pendapat, auditor harus objektif dan tidak berprasangka.

Independence in appearance (independen dalam penampilan) adalah hasil interpretasi pihak lain mengenai independensi ini. Auditor akan dianggap tidak independen apabila auditor tersebut memiliki hubungan tertentu (misalnya hubungan keluarga) dengan kliennya yang dapat menimbulkan kecurigaan bahwa auditor tersebut akan memihak kliennya atau tidak independen.

Mempertahankan perilaku independen bagi auditor dalam memenuhi tanggung jawab mereka adalah sangat penting, namun yang lebih penting lagi adalah bahwa pemakai laporan keuangan memiliki kepercayaan atas independensi itu sendiri. Independensi memiliki penilaian apabila auditor mengamati hasil audit, sehingga klien dapat menilai apakah auditor tersebut bersifat independen atau justru sebaliknya terhadap kualitas audit yang diperiksanya.

Menurut Peraturan BPK RI Nomor 01 tahun 2007 tentang standar Pemeriksaan Keuangan Negara, Lampiran II pada Standar Pemeriksaan Pernyataan Nomor 01 Standar Umum menyebutkan, independensi dan

obyektifitas pelaksanaan suatu pemeriksaan dapat dipengaruhi gangguan ekstern, apabila terdapat :

a. Campur tangan atau pengaruh pihak ekstern yang membatasi atau mengubah lingkup pemeriksaan secara tidak semestinya.

b. Campur tangan pihak ekstern terhadap pemilihan dan penerapan prosedur pemeriksaan atau pemilihan sampel pemeriksaan.

c. Pembatasan waktu yang tidak wajar untuk penyelesaian suatu pemeriksaan.

d. Campur tangan pihak ekstern mengenai penugasan, penunjukan dan promosi pemeriksa.

e. Pembatasan terhadap sumber daya yang disediakan bagi organisasi pemeriksa yang dapat berdampak negatif terhadap kemampuan organisasi pemeriksa tersebut dalam pelaksanaan pemeriksaan.

f. Wewenang untuk menolak atau mempengaruhi pertimbangan pemeriksa terhadap isi suatu laporan terhadap hasil pemeriksaan.

g. Ancaman penggantian petugas pemeriksa atas ketidaksetujuan dengan isi laporan hasil pemeriksaan, simpulan pemeriksa atau penerapan suatu prinsip akuntansi.

h. Pengaruh yang membahayakan kelangsungan pemeriksa sebagai pegawai, selain sebab-sebab yang berkaitan dengan kecakapan pemeriksa atau kebutuhan pemeriksa.

Pemeriksa/auditor yang kompeten adalah pemeriksa yang mempunyai hak atau kewenangan untuk melakukan audit menurut hukum dan memiliki keterampilan yang cukup untuk melakukan tugas audit. Pemeriksa sebagai institusi mempunyai hak atau kewenangan melakukan audit berdasarkan dasar hukum pendirian organisasi atau penugasan.

Dalam semua hal yang berkaitan dengan pemeriksaan, pemeriksa harus independen dan para auditornya harus objektif dalam pelaksanaan tugasnya. Independensi serta objektivitas pemeriksa diperlukan agar kredibel dan hasil pekerjaannya berkualitas. Posisi pemeriksa ditempatkan secara tepat sehingga bebas dari intervensi dan memperoleh dukungan yang memadai dari pimpinan tertinggi organisasi sehingga dapat bekerjasama dengan auditee dan melaksanakan pekerjaan dengan leluasa (PER/05/M.PAN/03/2008).

Independensi merupakan standar umum nomor dua dari tiga standar auditing

yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang menyatakan bahwa dalam semua yang berhubungan dengan perikatan, independensi dan sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. Kode etik Pejabat Pengawas Pemerintah mengatur tentang independensi auditor internal. Kode etik dimaksudkan untuk memberikan pengertian dan penjabaran mengenai aturan perilaku sebagai pejabat pengawas pemerintah yang profesional dan sebagai pedoman bagi aparat pengawas dalam berhubungan dengan lembaga organisasinya, sesama pejabat pengawas pemerintah, pihak yang diawasi, pihak lain yang terkait dan masyarakat, agar terpenuhi prinsip-prinsip kerja yang sehat dan terlaksananya pengendalian pengawasan. Dengan demikian dapat terwujud kinerja yang tinggi dalam mempertahankan profesionalisme, integritas, objektivitas dan independensi serta memelihara citra organisasi dan masyarakat. Dalam norma pelaksanaan pemeriksaan pejabat pengawas pemerintah diwajibkan mengungkapkan permasalahan yang terjadi di daerah secara kronologis, obyektif, cermat dan independen maksudnya:

1. Pengungkapan permasalahan secara kronologis yaitu menguraikan latar belakang permasalahan, penanggungjawab kegiatan, pelaku/pelaksana kegiatan yang terlibat, permasalahan yang terjadi dan dibuktikan dengan

fakta/data secara akurat, lengkap dan sah sampai dengan kondisi nyata pada saat dilakukan pemeriksaan;

2. Pengungkapan permasalahan secara obyektif menempatkan pejabat pengawas pemerintah untuk bersikap dan bertindak berdasarkan alat bukti yang ditemukan;

3. Pengungkapan permasalahan secara cermat mengharuskan pejabat pengawas pemerintah harus selalu waspada menghadapi suatu kondisi, situasi, transaksi, kegiatan yang mengandung indikasi penyimpangan, penyelewengan, ketidakwajaran, pemborosan atau ketidakhematan dalam penggunaan sumber daya yang ada; dan

4. Pengungkapan permasalahan secara independen mengharuskan pejabat pengawas pemerintah dan/atau pejabat yang diawasi untuk mempertahankan independensinya sehingga tidak memihak kepada suatu kepentingan tertentu.

Independensi menurut Wilcox (1952) merupakan suatu standar auditing yang penting karena opini akuntan independen bertujuan untuk menambah kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen. Jika akuntan tersebut tidak independen terhadap kliennya, maka opininya tidak akan memberikan tambahan apapun (Mautz dan Sharaf, 1993).

Kode Etik Akuntan tahun 1994 dalam Tarigan (2010) menyebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam pelaksanaan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas.

Hasil penelitian Pany dan Reckers (1980) ini menunjukkan bahwa hadiah meskipun jumlahnya sedikit berpengaruh signifikan terhadap independensi auditor, sedangkan ukuran klien tidak berpengaruh secara signifikan. Penelitian oleh Knapp (1985) menunjukkan bahwa subjektivitas terbesar dalam teknik

standar mengurangi kemampuan auditor untuk bertahan dalam tekanan klien dan posisi keuangan yang sehat mempunyai kemampuan untuk menghasilkan konflik audit.

Mayangsari (2003) menemukan bahwa auditor yang memiliki keahlian dan independensi memberikan pendapat tentang kelangsungan hidup perusahaan yang cenderung benar dibandingkan auditor yang hanya memiliki salah satu karakteristik atau sama sekali tidak memiliki keduanya.

Menurut Taylor (1997) dalam Tarigan (2010) ada dua aspek independensi, yaitu:

1. Independensi sikap mental (independence of mind/independence of mental attitude), independensi sikap mental ditentukan oleh pikiran akuntan publik untuk bertindak dan bersikap independen.

2. Independensi penampilan (image projected to the public/appearance of independence), independensi penampilan ditentukan oleh kesan masyarakat terhadap independensi akuntan publik.

Dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dinyatakan dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya.

Menurut Harahap (1991) auditor harus bebas dari segala kepentingan terhadap perusahaan dan laporan yang dibuatnya. Kebebasan itu mencakup : Bebas secara nyata (Independent infact) yaitu ia benar-benar tidak mempunyai kepentingan ekonomis dalam perusahaan yang dilihat dari keadaan yang sebenarnya dan Bebas secara penampilan (Independent in appearance) yaitu kebebasan yang dituntut bukan secara fakta, tetapi juga harus bebas dari kepentingan yang kelihatannya cenderung dimilikinya dalam perusahaan tersebut.

Auditor independen tidak hanya memberikan jasa untuk menguji laporan keuangan (audit), tetapi juga melakukan jasa lain selain audit. Pemberian jasa selain audit ini merupakan ancaman potensial bagi independensi auditor, karena manajemen dapat meningkatkan tekanan agar auditor bersedia untuk mengeluarkan laporan yang dikehendaki oleh manajemen, yaitu wajar tanpa syarat (Knapp, 1985). Pemberian jasa selain audit berarti auditor telah terlibat dalam aktivitas manajemen klien. Jika pada saat dilakukan pengujian pelaporan keuangan klien ditemukan kesalahan yang terkait dengan jasa yang diberikan auditor tersebut, maka auditor sukar untuk melaporkan kesalahan tersebut. Auditor tidak mau reputasinya buruk karena dianggap memberikan alternatif yang tidak baik bagi kliennya.

Hendro dan Aida (2006) di Kota Malang, Jawa Timur dengan judul pengaruh profesionalisme auditor terhadap tingkat materialitas dalam pemeriksaan laporan keuangan, yang menjelaskan profesionalisme merupakan syarat utama bagi seorang auditor, baik auditor intern maupun ekstern. Sebab dengan profesionalisme yang tinggi maka kebebasan auditor akan semakin terjamin. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengabdian pada profesi, kemandirian, kepercayaan pada profesi, hubungan dengan sesama rekan seprofesi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat materialitas sedangkan kewajiban sosial tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat materialitas.

Susiana dan Arleen (2003) menganalisis pengaruh independensi, mekanisme corporate governance dan kualitas audit terhadap integritas laporan keuangan. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa independensi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap integritas laporan keuangan sedangkan mekanisme corporate governance dan kualitas audit tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap integritas laporan keuangan.

2.1.7.2. Integritas

Integritas mengharuskan seorang auditor untuk bersikap jujur dan transparan, berani, bijaksana dan bertanggung jawab dalam melaksanakan audit. Keempat unsur itu diperlukan untuk membangun kepercayaan dan memberikan dasar bagi pengambilan keputusan yang andal. Dengan integritas yang tinggi, maka auditor dapat meningkatkan kualitas hasil pemeriksaannya (Pusdiklatwas BPKP, 2005).

Integritas adalah unsur karakter yang mendasar bagi pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang menjadikan timbulnya kepercayaan masyarakat dan tatanan nilai tertinggi bagi anggota profesi dalam menguji semua keputusannya. Integritas mengharuskan auditor dalam berbagai hal jujur dan terus terang dalam batasan kerahasiaan obyek pemeriksaan. Pelayanan dan kepercayaan masyarakat tidak dapat dikalahkan demi kepentingan dan keuntungan pribadi.

Sunarto (2003) dalam Tarigan (2010) menyatakan bahwa integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan prinsip. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan bagi anggota dalam menguji semua keputusannya.

Alim dkk. (2007) menyatakan bahwa kualitas audit dapat dicapai jika auditor memiliki kompetensi yang baik dan hasil penelitiannya menemukan bahwa kompetensi berpengaruh terhadap kualitas audit. Auditor sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas audit harus senantiasa meningkatkan pengetahuan yang telah dimiliki agar penerapan pengetahuan dapat maksimal dalam praktiknya.

2.1.7.3. Kompetensi

Kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja superior. Aspek-aspek pribadi ini mencakup sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan dan ketrampilan di mana kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : PER/05/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah menyatakan kompetensi teknis yang harus dimiliki oleh pemeriksa adalah auditing, akuntansi, administrasi dan komunikasi. Disamping wajib memiliki keahlian tentang standar audit, kebijakan, prosedur dan praktik-praktik audit, auditor harus memiliki keahlian yang memadai tentang lingkungan pemerintahan sesuai dengan tupoksi unit yang dilayani oleh APIP.

Dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia No. 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan pemeriksaan serta penyusunan laporan hasil pemeriksaan, pemeriksa wajib menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama. Selanjutnya dalam Standar Profesi Audit Internal (1200;9) dinyatakan bahwa auditor internal harus memiliki pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tanggung jawab perorangan. Guna melaksanakan fungsinya, audit internal secara kolektif harus memiliki atau memperoleh pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tanggung jawabnya.

Susanto (2000) menyatakan bahwa definisi tentang kompetensi yang sering dipakai adalah karakteristik-karakteristik yang mendasari individu untuk mencapai kinerja superior. Kompetensi juga merupakan pengetahuan,

ketrampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan non-rutin. Definisi kompetensi dalam bidang auditing juga sering diukur dengan pengalaman (Mayangsari, 2003).

Ashton (1991) dalam Tarigan (2010) menunjukkan bahwa pengetahuan spesifik dan lama pengalaman bekerja sebagai faktor penting untuk meningkatkan kompetensi. Ia juga menjelaskan bahwa ukuran kompetensi tidak cukup hanya pengalaman tetapi diperlukan pertimbangan-pertimbangan lain dalam pembuatan keputusan yang baik karena pada dasarnya manusia memiliki sejumlah unsur lain selain pengalaman. Pendapat ini didukung oleh Schmidt (1988) yang memberikan bukti empiris bahwa terdapat hubungan antara pengalaman bekerja dengan kinerja yang dimoderasi dengan lama pengalaman dan kompleksitas tugas. Selain itu, penelitian yang dilakukan Bonner (1990) dalam Tarigan (2010) menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai spesifikasi tugas dapat meningkatkan kinerja auditor berpengalaman, walaupun hanya dalam penetapan risiko analitis. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat auditor yang baik akan tergantung pada kompetensi dan prosedur audit yang dilakukan oleh auditor (Hogarth, 1991).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Murtanto (1998) dalam Mayangsari (2003) menunjukkan bahwa komponen kompetensi untuk auditor di Indonesia terdiri atas:

1. Komponen pengetahuan, yang merupakan komponen penting dalam suatu kompetensi. Komponen ini meliputi pengetahuan terhadap fakta-fakta, prosedur-prosedur dan pengalaman. Kanfer dan Ackerman (1989) juga mengatakan bahwa pengalaman akan memberikan hasil dalam menghimpun dan memberikan kemajuan bagi pengetahuan.

2. Ciri-ciri psikologi, seperti kemampuan berkomunikasi, kreativitas, kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Gibbin’s dan Larocque’s (1990) dalam Tarigan (2010) juga menunjukkan bahwa kepercayaan, komunikasi dan kemampuan untuk bekerja sama adalah unsur penting bagi kompetensi audit. 2.1.7.4. Objektivitas

Pengertian objektivitas menurut Sawyer et al. (2006:103) adalah :

“Objektivitas adalah suatu hal yang langka dan hendaknya tidak dikompromikan. Seorang audior hendaknya tidak pernah menempatkan diri atau ditempatkan dalam posisi di mana objektivitas mereka dapat dipertanyakan. Kode etik dan standar auditor internal telah menetapkan aturan-aturan tertentu yang harus diikuti agar terhindar dari kemungkinan pandangan akan kurangnya objektivitas atau munculnya bias. Pelanggaran atas aturan-aturan ini akan menyebabkan munculnya kritikan dan pertanyaan mengenai kurangnya objektivitas yang dimiliki oleh audit internal.”

Laporan hasil pemeriksaan yang memiliki kriteria objektivitas menurut Tugiman (2006:191) adalah :

“Suatu laporan pemeriksaan yang objektif membicarakan pokok persoalan dalam pemeriksaan, bukan perincian prosedural atau hal-hal lain yang diperlukan dalam proses pemeriksaan. Objektivitas juga harus dapat memberikan uraian mengenai dunia auditee dengan tidak menunjuk pada pribadi tertentu dan tidak menyinggung perasaan orang lain.”

Untuk memperoleh sikap seorang auditor yang objektif menurut Sawyer et al. (2006:11) adalah :

“Objektivitas dipastikan melalui struktur organisasi, pelatihan, dan penugasan personel dengan pertimbangan yang seksama.”

Dalam Standar Profesi Audit Internal standar 1120 digariskan bahwa auditor internal harus memiliki sikap yang tidak memihak, tidak bias dan menghindari konflik kepentingan. Lebih lanjut IIA memberikan panduan sebagai berikut:

1. Dengan objektivitas individual dimaksudkan auditor internal melakukan penugasan dengan keyakinan yang jujur dan tidak membuat kompromi dalam hal kualitas yang signifikan. Auditor internal tidak boleh ditempatkan dalam situasi-situasi yang dapat mengganggu kemampuan mereka dalam membuat penilaian secara objektif profesional.

2. Objektivitas individual melibatkan kepala eksekutif audit (CAE) untuk memberikan penugasan staf sedemikian rupa sehingga mencegah konflik kepentingan dan bias, baik yang potensial maupun aktual. CAE juga perlu secara berkala mendapatkan informasi dari staf audit internal mengenai potensi konflik kepentingan dan bias serta bila memungkinkan memberlakukan rotasi tugas.

3. Reviu terhadap hasil pekerjaan audit internal sebelum laporan penugasan diterbitkan, akan membantu memberikan keyakinan yang memadai bahwa pekerjaan auditor internal yang bersangkutan telah dilakukan secara objektif. 4. Objektivitas auditor internal tidak terpengaruh secara negatif ketika auditor

merekomendasikan standar pengendalian untuk sistem tertentu atau melakukan reviu terhadap prosedur tertentu sebelum dilaksanakan. Objektivitas auditor dianggap terganggu jika auditor membuat desain, menerapkan, mendrafkan prosedur atau mengoperasikan sistem tersebut.

5. Pelaksanaan tugas sesekali di luar audit oleh auditor internal, bila dilakukan pengungkapan penuh dalam pelaporan tugas itu, tidak serta merta mengganggu objektivitas. Namun hal tersebut membutuhkan pertimbangan

cermat, baik oleh manajemen maupun auditor internal untuk menghindari dampak negatif terhadap objektivitas auditor internal.

Dalam Standar Profesi Audit Internal standar 1100 digariskan bahwa aktivitas auditor internal harus bersikap independen dan auditor internal harus bersikap objektif dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Objektivitas dalam standar 1100 adalah :

“Sikap mental yang tidak bias yang memungkinkan auditor internal untuk melakukan penugasan dengan sedemikian rupa sehingga mereka meyakini hasil pekerjaan mereka dan meyakini tidak ada kompromi. Objektivitas mensyaratkan bahwa auditor internal tidak menundukkan penilaian mereka dalam masalah-masalah audit terhadap orang lain. Ancaman terhadap objektivitas harus dikelola pada masing-masing tingkat auditor, penugasan, fungsional dan tingkat organisasi.”

2.1.7.5. Pengalaman Kerja

Choo dan Trotman (1991) memberikan bukti empiris bahwa pemeriksa/ auditor berpengalaman lebih banyak menemukan item-item yang tidak umum

(atypical) dibandingkan auditor yang kurang berpengalaman tetapi antara pemeriksa yang berpengalaman dengan yang kurang berpengalaman tidak berbeda dalam menemukan item-item yang umum (typical). Penelitian serupa dilakukan oleh Tubbs (1992) yang menunjukkan bahwa subyek yang mempunyai pengalaman audit lebih banyak maka akan menemukan kesalahan yang lebih banyak dan item-item kesalahannya lebih besar dibandingkan auditor yang pengalaman auditnya lebih sedikit.

Yudhi dan Meifida (2006) meneliti pengaruh pengalaman auditor terhadap penggunaan bukti tidak relevan dalam auditor judgment. Penelitian ini

mengungkapkan bahwa auditor berpengalaman tidak terpengaruh oleh adanya informasi tidak relevan dalam membuat going concern judgment.

2.1.8. Prinsip-prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Baik ( Good Corporate

Dokumen terkait