• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISA KOMPARATIF PENAFISRAN

A. Sebab Turun Surat al-Mâidah ayat 67

Mengenai sebab turun ayat ini Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i mempunyai perbedaan pendapat yang sangat luas. Rasyîd Ridâ dalam pembahasan awal ayat ini sudah menjelaskan bahwa memang terjadi perbedaan pendapat oleh para mufassir tentang sebab turunnya ayat ini. Menurutnya terjadi perbedaan pendapat oleh para mufassir tentang sebab turunnya ayat ini, pendapat yang pertama mengatakan bahwa turunnya ayat ini terjadi pada masa awal Islam sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa ayat ini turun untuk ‘Ali bin Abî Tâlib pada hari Ghadîr Khum.1

Akan tetapi Rasyîd Ridâ dalam penjelasannya lebih sependapat dengan yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada permulaan Islam yaitu untuk Ahli Kitab sebagaimana pendapat ulama tafsir al-Ma’tsûr2. Beliau menyatakan

bahwa apabila ayat ini tidak menyangkut masalah Ahli Kitab maka tidak sesuai dengan ayat setelahnya, yaitu dengan pengertian bahwa Allah berkata: “Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu tentang perkara Ahli Kitab dan

1 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, (Beirut: Dar al-Ma’rifah), jilid 6, h. 463

2 Al-Ma’tsûr yang dimaksud disini adalah metode tafsir bil ma’tsur yaitu upaya menjelaskan al-Qur’an dengan mengutip penjelasan yang sudah ada. Jadi orang tidak mengemukakan pendapat dia, tapi hanya mengutip pendapat yang ada. Misalnya menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan sunah Nabi dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ucapan sahabat. Lihat Jalaludin Rahmat, Belajar Mudah Ulum al-Qur’an,

57

jika kamu bertanya apa yang harus disampaikan maka jawablah “Katakanlah: "Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu"... .”.3

Rasyîd Ridâ mengambil riwayat dalam memperkuat argumennya yaitu hadis Ibnu ‘Abbâs yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dan A-Diyâ’ yaitu:

“Rasulullah saw ditanya: Ayat apa yang diturunkan dari langit, yang paling menghawatirkan kamu? Nabi saw menjawab: Aku berada di Mina pada musim haji, ketika itu orang-orang musyrik Arab dan manusia yang tidak dikenal identitasnya berkumpul, kemudian turunlah Jibril dan menyampaikan ayat: “ كِبر ْ كْي إ ْأ ا ْغِب سَّ ا ا يأ اي ” , kemudian aku berdiri di ‘Aqobah dan berseru: “wahai manusia, siapa yang akan menolongku menyampaikan risalah Tuhanku dan Pemilik syurga? wahai manusia katakan: Tiada Tuhan selain Allah dan aku Rasul Allah, maka kalian akan beruntung dan behasil dan bagi kalian surga.” Dan Nabi berkata, maka tak tertinggal seorang pun laki-laki, wanita dan anak-anak, semuanya melempar dengan tanah dan batu, dan mereka meludahi mukaku, mereka sambil berkata, Pendusta, keluar dari agama. Kemudian Ali menyarankan dan berkata: Wahai Muhammad jika engkau Rasul Allah, maka sekaranglah waktu engkau harus mendoakan mereka sebagaimana Nuh berdo’a untuk kaumnya dengan kehancuran, maka Nabi saw berdo’a: “Ya Allah berilah petunjuk kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu dan tolonglah aku agar mereka mencintaiku dalam ketaatan kepadaMu”. Kemudian datanglah

pamannya Al-‘Abbas untuk meenyelamatkan beliau dari mereka dan menghalau mereka dari Nabi saw.” 4

Tabataba’i jelas berbeda dalam menjelaskan sebab turunnya ayat ini, dalam masalah ini beliau sangat panjang lebar membahasnya. Dan ini wajar saja karena ayat ini juga sebagai dalil bagi mazhabnya yaitu Syiah untuk

menunjukkan bahwa ayat ini turun untuk ‘Ali bin Abî Tâlib. Pada awal

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 467

4 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

58

penjelasan ayat beliau telah menyatakan bahwa jika diperhatikan secara teliti maka dapat dipastikan dan tidak perlu diragukan bahwa ayat ini (surat al- Mâidah ayat 67) tidak berkaitan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya (al- Mâidah ayat 66 dan 68) dari segi susunan ayat dan tidak mempunyai hubungan dengannya dalam untaian kalimatnya.5 Tabataba’i ingin memastikan bahwa ayat ini khusus dan sendiri.

Tabataba’i beragumen bahwa apabila ayat ini mempunyai hubungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya dalam satu kesatuan yang saling berkaitan tentang perkara Ahli Kitab, maka mempunyai kesimpulan bahwa perintah Nabi saw. yang terpenting adalah menyampaikan perintah Allah tentang masalah Ahli Kitab dan apa yang dimaksud “ كِبر ْ كْي إ ْأ ا “ dalam ayat ini (al-Mâidah: 67) adalah “apa yang diperintahkan untuk disampaikan

yang terkandung dalam ayat :































































“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; Maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 68)

5 Muhammad Husein al-Tabataba’i,

59

Dan dengan tegas beliau menyatakan bahwa dalam ayat 67 ini menolaknya, karena kalimat “ اَ ا ك صْعي هَ ا ” menunjukkan bahwa masalah yang harus disampaikan dalam ayat ini adalah masalah yang sangat penting dan mengandung kekhawatiran pada jiwa Nabi saw. atau agama Allah dari segi keselamatan penyampaiannya, sedangkan sesungguhnya keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi saw tidak menunjukkan sesuatu yang bahaya yang membolehkan nabi saw menunda penyampaian perintah atau mengakhirkannya pada suatu momen.

Menurutnya ayat tentang Ahli Kitab tidak mengandung perintah dan tantangan yang hebat dari perintah sebelumnya, Nabi saw telah diperintahkan menyampaikan sesuatu yang lebih berbahaya dari tantangan orang-orang Yahudi, seperti penyampaian masalah Tauhid dan penghancuran berhala- berhala di tengah-tengah kaum kafir Quraisy dan musyrikin Arab. Sehingga tantangan dan keangkuhan orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab tidak mengandung kekhawatiran dan bahaya untuk menyampaikan perintah kepada mereka dan tanpa janji pemeliharaan Allah dari gangguan mereka.6

Tabataba’i dalam kajian riwayat di tafsirnya banyak menyebutkan riwayat-riwayat tentang sebab turun ayat tersebut dan beliau juga mengkritik pendapat yang berbeda dengannya. Beberapa kitab yang disebutkan Thabathaba’i dalam tafsirnya mengenai sebab turun ini bahwa untuk perkara ‘Ali bin Abî Tâlib diantaranya dalam kitab Tafsir al-Ayyasy, kitab al-Bashâ’ir, tafsir al-Tsa’labi, tafsir al-Burhân, Tafsir Majma’ al-Bayân, kitab Nuzûl al-

6 Muhammad Husein al-Tabataba’i,

60

Qur’an oleh al-Hâfizh Abu Na’im, kitab Fushûl al-Muhimmah oleh al-Maliki, kitab al-Shimthin oleh al-Hamawaini dan juga tafsir al-Manar7. Dan menurutnya semuanya itu juga berdasarkan dari jalur periwayatan yang berbeda-beda.8 Bunyi redaksi riwayat tersebut antara lain adalah:9

Dari Ibn Abî Hâtim, Ibn Mardawaih dan Ibn ‘Asâkir dari Sa’id al- Khudrî berkata ayat ini turun (Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu) kepada Rasulullah saw pada hari Ghadîr Khum tentang ‘Ali bin Abi Tâlib.

Perbedaan Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i tentang sebab nuzul ayat tersebut kesemuanya berdasarkan beberapa riwayat hadis. Akan tetapi menurut pandangan pribadi Rasyîd Ridâ tidak ada keterkaitan masalah wasiat khilâfah

dalam ayat ini dengan perkara Ahli Kitab (ayat sebelum dan sesudahnya) karena ini tidak sesuai dengan balaghah al-Qur’an, dan seandainya saja

meninggalkan keterkaitan ayat ini dengan ayat sebelum dan sesudahnya, lalu ayat ini berdiri dengan sendirinya, dan kalimat “ ْ عْفت ْ ْ إ ” yang menjadi jumlah syarat setelah kalimat perintah “ ْغِب ”, kalimat tentang ‘ishmah dan

kalimat tentang peniadaan hidayah kepada orang-orang kafir, maka tetap saja

7 Tabataba’i dalam tafsirnya khususnya dalam kajian riwayat, banyak mengkritik pendapat Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar. Tabataba’i hidup setelah Rasyîd Ridâ wafat, maka dalam penulisan tafsir al-Mîzân beliau telah banyak membaca tentang tafsir al-Manâr, sehingga beliau mengkritik pendapat yang berbeda dengannya dalam Tafsir al-Manâr.

8 Lihat Muhammad Husein al-Tabataba’i,

Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 53-61

9 Muhammad Husein al-Tabataba’i,

61

tidak sesuai dan tidak dapat diterima maksud dari tugas penyampaian kepada manusia tersebut tentang kekuasaan ‘Ali, karena seharusnya makna yang terkandung dalam ayat ini sesuai dengan dzatnya secara jelas bukan karena sebatas taklid.10

Pandangan Rasyîd Ridâ ini menampik pernyataan mazhab Syiah termasuk Tabataba’i yang menjadikan ayat ini berdiri dengan sendirinya – tanpa ada keterkaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya – dan ayat ini untuk perkara wasiat kepada ‘Ali bin Abî Tâlib.

Apabila melihat perbedaan sebab turun yang dijelaskan di atas maka terjadi perbedaan tempat sebab turun ayat tersebut. Rasyîd Ridâ yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada awal kenabian, mempunyai pengertian bahwa ayat ini turun di Makkah, dengan kata lain ini adalah ayat Makkiyyah.

Berbeda dengan pendapat Tabataba’i yang mengatakan bahwa ayat ini turun di

Ghadîr Khum untuk ‘Ali bin Abî Tâlib, yang berarti ayat ini turun di Madinah

atau dengan kata lain ayat ini adalah Madaniyyah.

Dalam kitab al-Durr al-Mantsûr karya karya Jalâluddin al-Suyûti, beliau menyebutkan beberapa riwayat tentang sabab turun ayat ini. Jalâluddin al-Suyûti seolah mengakui bahwa memang banyak perbedaan dalam sabab turunnya ayat ini berdasarkan berbagai periwayatannya,11 beberapa diantara riwayat yang disebutkannya juga terdapat dalam tafsir Rasyîd Rida dan

10 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 466

11 Lihat Jalâluddin al-Suyûti,

al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr, (Dar al-Kutub

62

Tabataba’i yang dijadikan sebagai dalil bagi keduanya tentang sebab turun ayat ini sebagaimana yang dijelaskan di atas.

Riwayat-riwayat tentang sabab turun ayat ini diantaranya adalah:12

Dari Abû al-Syaikh dari al-Hasan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mengutusku untuk menyampaikan risalah, lalu aku merasa khawatir dan aku tahu bahwa manusia akan mendustakanku; kemudian Allah memberi jaminan kepadaku untuk menyampaikan risalah atau mengazabku, lalu Allah menurunkan “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.

Dari Ibn Abî Hâtim, Ibn Mardawaih dan Ibn ‘Asâkir dari Sa’id al- Khudrî berkata ayat ini turun (Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu) kepada Rasulullah saw pada hari Ghadîr Khum tentang ‘Ali bin Abi Tâlib.

12Lihat Jalâluddin al-Suyûti,

al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr, (Dar al-Kutub

63

Dari Ibn Mardawaih, al-Diyâ’ dalam al-Mukhtâroh dari Ibn ‘Abbâs berkata : “Rasulullah saw ditanya: Ayat apa yang diturunkan dari langit, yang paling menghawatirkan kamu? Nabi saw menjawab: Aku berada di Mina pada musim haji, ketika itu orang-orang musyrik Arab dan manusia yang tidak dikenal identitasnya berkumpul, kemudian turunlah Jibril dan menyampaikan ayat: “ كِبر ْ كْي إ ْأ ا ْغِب سَّ ا ا يأ اي ” , kemudian aku berdiri di ‘Aqobah dan berseru: “wahai manusia, siapa yang akan menolongku menyampaikan risalah Tuhanku dan Pemilik syurga? wahai manusia katakan: Tiada Tuhan selain Allah dan aku Rasul Allah, maka kalian akan beruntung dan behasil dan bagi kalian surga.” Dan Nabi berkata, maka tak tertinggal seorang pun laki-laki, wanita dan anak-anak, semuanya melempar dengan tanah dan batu, dan mereka meludahi mukaku, mereka sambil berkata, Pendusta, keluar dari agama. Kemudian Ali menyarankan dan berkata: Wahai Muhammad jika engkau Rasul Allah, maka sekaranglah waktu engkau harus mendoakan mereka sebagaimana Nuh berdo’a untuk kaumnya dengan kehancuran, maka Nabi saw berdo’a: “Ya Allah berilah petunjuk kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu dan tolonglah aku agar mereka mencintaiku dalam ketaatan kepadaMu”. Kemudian datanglah

pamannya Al-‘Abbas untuk meenyelamatkan beliau dari mereka dan menghalau mereka dari Nabi saw.”

‘Ubaid bin Humaid, al-Tirmidzi, Ibn Jarîr, Ibn al-Mundzir, Ibn Abî Hâtim, Abû Syaikh, al-Hâkim, Abû Nu’aim, al-Baihaqi keudanya dalam kitab al-Dalâil dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dari ‘Âisyah berkata, " Nabi saw selalu berada dalam kawalan ketat, sehingga

64

turunlah ayat, (Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia) kemudian beliau keluar menampakkan kepalanya dari dalam mesjid Quba seraya berseru, 'Hai manusia! Pergilah kamu sekalian, sesungguhnya Allah telah memelihara diriku.

Tabrani, Abû al-Syaikh dan Abu Naim meriwayatkan dalam kitab al- Dalâil, Ibnu Mardawaih dan Ibnu ‘Asâkir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi saw perlu pendamping untuk menjaganya, maka diutuslah Abu Thalib untuk mendampinginya. Setiap hari tokoh- tokoh dari Bani Hasyim menjaganya. Kemudian Nabi saw bersabda: Wahai pamanku, Allah telah menjagaku sehingga aku tidak perlu lagi pendamping untuk menjagaku.

Ibnu Abî Hâtim meriwayatkan dari Jâbir bin ‘Abdullah, ia berkata: Ketika Rasulullah saw berada dalam peperangan Bani Anmar, beliau berhenti di Dzat Ar-Riqa’. Ketika beliau sedang duduk di dekat sumur dan menyelonjorkan kedua kakinya, Ghaurits bin Harits berkata: Aku akan membunuh Muhammad. Kemudian para sahabatnya berkata kepadanya: Bagaimana mungkin kamu bisa membunuhnya? Aku berkata kepadanya: Berikan pedangmu padaku, jika ia memberikan pedangnya kepadaku aku akan membunuhnya. Kemudian ia mendatangi Rasulullah saw dan berkata: Wahai Muhammad, berikan pedangmu padaku, aku ingin melihatnya. Rasulullah saw memberikannya, dan ia gemetar tangannya. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Kekuatan Allah berada di antara aku dan keinginanmu.” Ketika itulah Allah menurunkan ayat “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.”

65

Demikianlah diatas beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini yang penulis kutip dalam kitab al-Durr al-Mantsûr karya karya Jalâluddin al-Suyûti. Sebenarnya riwayat yang terdapat dalam kitab tersebut masih banyak sesuai dengan jalur periwayatannya, akan tetapi penulis melihat beberapa riwayat tersebut mewakili dari perbedaan tentang riwayat-riwayat lainnya.

Penulis mengutip apa yang disampaikan M. Quraish Shihab tentang ayat ini dalam tafsirnya Al-Misbâh. Di dalam tafsirnya beliau mengutip pendapat Tâhir Ibn ‘Âsyûr yang menilai penempatan ayat ini di sini (di antara ayat 66 dan 68) merupakan sesuatu yang musykil, karena surat al-Mâidah merupakan salah satu surat terakhir yang turun, sedangkan ketika itu Rasul saw telah menyampaikan seluruh ajaran agama yang turun hingga ketika itu, Seandainya ayat ini turun pada awal masa kenabian, maka apa yang yang diperintahkan di sini dapat dimengerti dan dipahami sebagai mengukuhkan Nabi saw dan meringankan beban mental beliau. Tetapi, karena surat ini merupakan salah satu surat terakhir yang turun, dan beliau sendiri telah melaksanakan tugas penyampaian risalah, agamapun telah disempurnakan, maka sebenarnya pada saat turunnya tidak ada lagi yang diperintahkan untuk disampaikan. Karena itu hanya ada dua kemungkinan yang dapat dikemukakan menyangkut penempatan ayat ini dalam surat ini dan sesudah uraian ayat-ayat sebelumnya yaitu:13

13 M. Quraish Shihab,

Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol.

66

1. Ayat ini turun untuk sebab tertentu, yang mengundang adanya ayat yang mengukuhkan beliau agar menyampaikan sesuatu yang berat untuk beliau sampaikan.

2. Ayat ini turun sebelum turunnya surat al-Maidah, dan ini didukung oleh banyak riwayat.

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Ibn ‘Âsyûr menolak kemungkinan kedua, karena menurut Ibn ‘Âsyûr berarti ayat ini telah turun bertahun-tahun dan dibaca tanpa ada tempatnya dan dengan demikian semua riwayat yang menguraikan sebab turunnya ayat ini pada masa-masa sebelum turunnya surat al-Mâidah kesemuanya tertolak. Pendapat Ibn ‘Âsyûr ini kemudian dibahas oleh M. Qurais Shihab, menurut beliau sepanjang yang diketahuinya, tidak mutlak satu ayat dalam satu surat otomatis turun pada tahun yang sama dengan turunnya ayat-ayat yang lain.14

Kemudian M. Quraish Shihab memberikan dua contoh alasan, salah satunya adalah tentang lima ayat surat Iqra’, menurutnya merupakan wahyu

pertama yang diterima. Ayat keenam dan seterusnya turun jauh sesudah turunnya kelima ayat pertama itu. Ini terbukti dari kandungan ayat-ayat itu yang menguraikan pembakangan Abû Jahl dan upayanya melarang Nabi saw. shalat, dan tentu saja hal itu baru terjadi setelah Nabi saw. secara terang- terangan menyebarkan dakwah. Hal ini baru terjadi sekitar tiga tahun setelah turunnya kelima ayat pertama itu.15

14 M. Quraish Shihab,

Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol.

3, h. 150

15 M. Quraish Shihab,

Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol.

67

Penjelasan M. Quraish Shihab tersebut ingin menegaskan bahwa ada hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Beliau sependapat dengan al- Biqâ’i, Fakhruddin al-Râzi, Sayyid Quthb dan pada prinsipnya juga sejalan dengan Ibn ‘Âsyur, yang menjelaskan bahwa ayat ini tentang pemeliharaan Nabi saw dari gangguan dan tipu daya orang-orang Yahudi dan Nasrani – karena ayat-ayat yang mendahuluinya demikian juga sesdudahnya, berbicara tentang mereka.16

Apabila Rasyîd Ridâ menolak pendapat mazhab Syiah – termasuk pendapat Tabataba’i – tentang sebab turunnya ayat ini untuk ‘Ali bin Abî Tâlib dan ayat ini juga berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan ayat sebelum dan sesudahnya, maka M. Quraish Shihab pun menolak pendapat tersebut.

Menurut M. Quraish Shihab apa yang dikemukakan oleh Tabataba’i masih timbul persoalan, selain alasan yang kurang jelas tentang mengapa ayat ini tidak ada keterkaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, di sisi lain juga mengapa objek yang ingin disampaikan tidak disebut, kalau hal tersebut sedemikian penting?.17

Penulis melihat apa yang dikemukakan oleh Rasyîd Ridâ – demikian pula dengan M. Quraish Shihab – sebenarnya telah dijawab oleh Tabataba’i dalam tafsirnya. Menurut Tabataba’i tentang objek yang disampaikan adalah tentang ‘Ali bin Abî Tâlib, dan ini didukung oleh riwayat-riwayat tentang sebab turun ayatnya. Objek yang dimaksud Tabataba’i dan penganut mazhab

16 M. Quraish Shihab,

Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol.

3, h. 152

17 Lihat, M. Quraish Shihab,

Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,

68

Syiah tersebut adalah hadis wilâyah atau terkenal pula dengan hadis Ghadîr Khum, yang berkenaan dengan pengangkatan ‘Ali bin Abî Tâlib sebagai

pemimpin pasca wafat Nabi saw. Untuk mengantar pada penjelasan ini, penulis membahas dalam sub bab berikutnya, dan masih dalam bingkai komparatif penafsiran Rasyîd Ridâ dengan Tabataba’i.

Dokumen terkait