• Tidak ada hasil yang ditemukan

studi komparatif penafsiran Rasyid Rida dan Taba Taba'i tehadap surat al-Maidah ayat 67

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "studi komparatif penafsiran Rasyid Rida dan Taba Taba'i tehadap surat al-Maidah ayat 67"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN

TABATABÂ

’I TERHADAP SURAT AL

-MÂIDAH AYAT 67

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th. I)

Penulis: Ahmad Hazami NIM. 106034001215

JURUSAN TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN

TABATABÂ

’I TERHADAP SURAT AL

-MÂIDAH AYAT 67

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th. I)

Penulis: Ahmad Hazami NIM. 106034001215

Dibawah Bimbingan:

Dr. M. Suryadinata, MA

NIP. 19600908 198903 1 005

JURUSAN TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Studi Komparatif Penafsiran Rasyîd Ridâ Dan

Tabatabâ’i Terhadap Surat Al-Mâidah Ayat 67” telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana program strata satu ( S1 ) pada jurusan Tafsir-Hadis.

Jakarta, 23 Juni 2011

Sidang Munaqasyah

Ketua,

Dr. Bustamin, M.Si. NIP. 19630703 199803 1 003

Sekretaris,

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M. A NIP. 19711003 199903 2 001

Penguji I,

Dr. Bustamin, M.Si. NIP. 19630703 199803 1 003

Anggota,

Penguji II,

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M. A NIP. 19711003 199903 2 001 Pembimbing,

(4)

iv ABSTRAKSI

Skripsi ini membahas tentang perbandingan atau komparasi terhadap dua orang mufassir yaitu Muhammad Rasyîd Ridâ dengan kitab tafsirnya Tafsir al-Manâr dan Muhammad Husain al-Tabataba’i dengan kitabnya Al -Mîzân fî Tafsîr al-Qur’an mengenai tafsirannya tentang surat al-Mâidah ayat 67. Kedua mufassir tersebut mewakili golongan mazhab aqidahnya masing-masing, Rasyîd Ridâ mewakili golongan Ahlu Sunnah sedangkan Tabataba’i mewakili Syiah Itsnâ ‘Asyariyah. Perbedaan mazhab menjadi menarik dalam meguraikan perbandingan penafsiran keduanya, sehingga keduanya banyak mengemukakan argumen secara naqliyah juga ‘aqliyyah.

Perbedaan yang sangat signifikan adalah tentang sabab turun ayat 67 surat al-Mâidah ini, karena berawal dari perbedaan sebab turun ayat tersebut maka penafsiran mengenai kandungan makna dalam keseluruhan ayat menjadi perbedaan yang sangat besar antara Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i. Dintara perbedaan kandungan ayat tersbut adalah tentang pesan penting dalam penyampaian risalah (tablîgh al-risâlah), penundaan dalam penyampaian

risalah (wahyu), hal yang berkaitan tentang peristiwa turunnya ayat dan makna ‘ishmah Nabi dalam ayat tersebut. Peristiwa Ghadîr Khum dan tentang makna

wali dalam sebuah hadis yang berkaitan tentang sebab turunnya ayat, menjadi

pembahasn khusus oleh Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i dalam menjelaskan ayat ini. Tentu saja kedua mufassir tersebut mempunyai pandangan tersendiri mengenai makna wali dalam hadis yang terkenal dengan hadis Ghadîr Khum

(5)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur tersanjung hanya bagi Allah SWT., yang dengan taufiq-Nya penelitian berjudul “STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN

TABATABÂ’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67” ini dapat selesai, demikian

juga, salawat serta salam semoga tercurahkan untuk baginda Rasulullah SAW beserta para keluarga dan sahabatnya.

Sebagai karya tulis yang da‟if, terutama di dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau menelaah dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini tak luput dari jasa lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materil. Atas segala bantuan tersebut, penulis sampaikan banyak terima kasih; khususnya kepada:

1. Segenap civitas Akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor) dan Prof. Dr. Zainun Kamal, MA (Dekan Fakultas Ushuluddin) beserta para jajarannya.

2. Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir-Hadis) dan Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Sekjur Tafsir-Hadis).

3. Dr. M. Suryadinata, MA, selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya di tengah-tengah kesibukan beliau untuk membantu, membimbing, dan mengarahkan penulisan skripsi ini.

4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir-Hadis, khususnya Ustâdz Rifqi Mukhtar (sekaligus sebagai guru ngaji kitab

(6)

vi

penulis, sehingga berkat merekalah penulis mendapatkan setetes ilmu pengetahuan.

5. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Iranian Corner yang telah memberikan pelayanan dalam memberikan literatur kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

6. Kedua orang tua penulis (Alm) Baba H. Ja’anih bin Ji’ih dan Ibu Hj. Aminah yang selalu memberikan motivasi, bimbingan, pendidikan, dan pengajaran, serta senantiasa mendoakan penulis untuk mencapai kesuksesan di masa depan. 7. Bang Ali, Ka Nunung, Ka Ida, Bang Aab, Pulloh, Ami minta maaf kalau sering

ngerepotin, manja dan ngga’ mau ngalah, doain agar Ami bisa memberikan

yang terbaik untuk orang tua dan keluarga. Yayah, Ka Winda, Bang Muslih, Om Emi, Ka Ibah dan semua ponakan-ponakan kecilku, terima kasih untuk

support dan hiburannya. Saudara sekaligus sahabat sejati, Oppie el-Achyati.

8. Sahabat-sahabat penulis mahasiswa Tafsir-Hadis angkatan 2006/2007 khususnya, Gus Enju S. Th. I, Irfan, Haikal, Tubi, Encin dan Umam, semoga kita menjadi orang yang sukses dan mendapat keberkahan atas semua yang diraih. Hidup JOMBLONDET. Harfa, Didit dan Aang, tetap semangat kuliahnya.

(7)

vii

10.Rekan-rekan HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin Cabang Ciputat, BEM Jurusan Tafsir Hadis, BEM Fakultas Ushuluddin, PARMA Ushuluddin, IRMA Kemang dan Forum-forum diskusi keliling Jakarta Selatan-Ciputat.

11.Terakhir, untuk seluruh orang yang pernah melihat saya, bertemu dengan saya, dan bertukar pikiran dengan saya.

Jazâkumullah ahsan al-Jazâ, Âmîn…

Jakarta, 4 Juni 2011

(8)

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI1

Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan

B be

T te

Ts te dan es

J Je

H h dengan garis bawah

Kh ka dan ha

D da

Dz De dan zet

R Er

Z Zet

S Es

Sy es dan ye

S es dengan garis bawah

D de dengan garis bawah

T te dengan garis bawah

Z zet dengan garis bawah

‘ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan

Gh ge dan ha

(9)

vii

F Ef

Q Ki

K Ka

L El

M Em

N En

W We

H Ha

‘ Apostrof

Y Ye

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebai beeriku:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

___

___ a fathah

______ i kasrah

___

___ u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي__َ__ ai a dan i

__َ __

(10)

viii Vokal Panjang (Madd)

Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

اَــ â a dengan topi di atas

يــ î i dengan topi di atas

وـــ û u dengan topi di atas

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân

bukan ad-dîwân.

Syaddah (Tashdid)

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan

berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,

demikian seterusnya.

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf tamarbûtah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti

oleh kata sifat (na’t)(lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut

diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf

(11)

ix

Contoh:

no Kata Arab Alih aksara

1 tarîqah

2 al-jâmî ah al-islâmiyyah

3 wahdat al-wujûd

Huruf Kapital

(12)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

PENGESAHAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN... iii

ABSTRAKSI ... iv

KATA PENGANTAR... v

PEDOMAN TRANSLITERASI... viii

DAFTAR ISI... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 13

C. Tujuan Peneltian... 14

D. Tinjauan Pustaka... 15

E. Metodologi Penelitian... 15

F. Sistematika Penulisan... 16

BAB II PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67 DALAM TAFSIR AL-MANÂR... 18

A. Riwayat Rasyîd Ridâ dan Tafsir Al-Manâr... 18

a. Riwayat Hidup Rasyid Ridâ... 18

b. Riwayat Tafsir Al-Manâr... 23

c. Metode dan Corak Tafsir Al-Manâr... 25

(13)

xi

BAB III PENAFSIRAN TABATABA’I TERHADAP

SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67 DALAM

TAFSIR AL-MÎZÂN... 37

A. Riwayat Tabataba’i dan Tafsir Al-Mizan... 37

a. Riwayat Hidup Tabataba’i... 37

b. Riwayat Tafsir Al-Mîzân... 44

c. Metode dan Corak Tafsir Al-Mîzân... 45

B. Penafsiran Tabataba’i Terhadap Surat al-Mâidah Ayat 67... 48

BAB IV ANALISA KOMPARATIF PENAFISRAN RASYÎD RIDÂ DAN TABATABA’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67... 56

A. Sebab Turun Surat al-Mâidah ayat 67... 56

B. Ghadîr Khum dan Wilâyah ‘Ali bin Abî Tâlib.... 67

C. Perintah Tablîgh Risâlah... 78

D. ‘Ishmah Nabi saw... 83

BAB V PENUTUP... 87

A. Kesimpulan... 87

B. Saran-saran... 89

DAFTAR PUSTAKA... 91

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seorang muslim dalam seluruh sendi kehidupannya dibimbing dan diatur oleh dua warisan peninggalan Rasulullah saw. yaitu al-Qur’an dan al -Sunnah atau hadis Nabi sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam khutbah

al-Wadâ’ :

“Dari Ibnu Abbas r.a: Bahwa Rasulullah saw. berkhutbah kepada manusia dalam haji wada’ dan bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di antara kalian yang jika kalian berpegang teguh padanya niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya”.1

Tentang keterjagaan dan kemurnian al-Qur’an Allah swt. sudah menjaminnya sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an surah Al-Hijr ayat 9:

نوظفاحل هل اَّإو رْكِّلا انْلزّ نْحّ اَّإ

1 Abu Bakr Ahmad bin al Husain bin Ali Al-Baihaqi,

Sunan Al-Kubrâ lil-Baihâqi, (Dar

(15)

2

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”

Dalam memahami al-Qur’an membutuhkan penafsiran yang bisa menjelaskan maksud ayat sehingga pesan Tuhan bisa dipahami dengan jelas, dan untuk memahami kandungan ayat al-Qur’an dengan benar perlu mempelajari tafsir karena merupakan ilmu syariat yang paling agung dan tinggi kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasan dan tujuannya, serta sangat dibutuhkan sepanjang zaman, karena manusia membutuhkan petunjuk ilahi. Tanpa tafsir, seorang Muslim tidak dapat menangkap mutiara-mutiara berharga dari ajaran Tuhan yang terkandung di dalam al-Qur’an.

Setidaknya ada tiga yang membuat dan menentukan tingginya kedudukan tafsir. Pertama, bahwa bidang yang menjadi objek kajian tafsir

adalah kalam ilahi yang mulia yang merupakan sumber segala ilmu agama dan keutamaan. Di dalamnya terhimpun berbagai aturan untuk kebaikan hidup manusia. Kedua, tujuannya adalah untuk mendorong manusia berpegang teguh

dengan al-Qur’an dalam usahanya memperoleh kebahagiaan sejati dunia dan akhirat. Ketiga, dilihat dari kebutuhan pun sangat jelas bahwa kesempurnaan

mengenai bermacam-macam persooalan, baik agama maupun keduniaan, memerlukan ilmu syariat dan pengetahuan mengenai seluk beluk agama. Hal itu sangat tergantung pada ilmu pengetahuan tentang al-Qur’an yaitu tafsir.2

2M. Quraish Shihab, kata pengantar, Rif’at Syauqi Nawawi,

(16)

3

Upaya penafsiran al-Qur’an sendiri telah berjalan sejak kitab suci masih diturunkan kepada Rasulullah saw., yaitu oleh Rasul sendiri, orang pertama yang menjelaskan maksud-maksud al-Qur’an kepada umatnya. Kemudian dilanjutkan oleh para Sahabat, kalangan ulama Tabi’in, dan seterusnya secara

bersambung dari satu generasi ke generasi umat Islam berikutnya, hingga di zaman modern ini. Sudah barang tentu, tafsir yang dihasilkan pada satu zaman tidak terlepas dari masalah kultural dan intelektual serta kecenderungan mufassirnya. Lagi pula zaman membutuhkan penafsiran yang berbeda pula, selaras dan sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat yang terjadi.

Di dalam perjalanan Islam sebagai suatu agama sejak semula sudah dikatakan sebagai agama yang sejak kemunculannya dianggap mengandung muatan-muatan politis. Hal ini disebabkan karena di dalam sejarah tercatat sebuah kisah yang menggambarkan hal tersebut, para sejarawan (muarrikhûn)

banyak yang menuturkan kisah seorang bernama ‘Afîf al-Kindi, seorang

(17)

4

dia (Muhammad) menganggap dirinya Rasulullah saw, berobsesi untuk menggulingkan Persia dan Romawi.”3

Kisah tersebut sering menjadi bukti bahwa Islam datang sudah mempunyai tendensi politis yaitu dalam hal ingin menggulingkan Persia dan Romawi, di mana saat itu keduanya adalah sebagai kekuatan adikuasa di dunia. Apabila hal itu dibenarkan maka wajar bila dalam Islam banyak terjadi faksi-faksi (al-firaq) karena hal yang awalnya bersifat politis kemudian merembet kepada persoalan keyakinan (aqidah).

Bangsa Arab yang mempunyai letak geografis di daerah gurun pasir, mempengaruhi watak mereka yang seperti pasir yaitu sulit untuk bersatu. Watak itu juga membuat mereka menjadi bangsa yang memilki fanatisme tinggi sekaligus fatalisme mengakar dan tidak heran jika mereka saling bermusuhan antar suku (kabilah) meskipun hanya mengenai urusan sepele.4 Maka pada saat itu Allah mengutus Rasulullah saw sebagai penyampai risalah Islam untuk menekankan persaudaraan dan persatuan yaitu dengan memperbaiki akhlak bangsa Arab, dan Rasulullah pun beusaha keras merubah keadaan bangsa Arab agar hidup dalam persaudaraan dan persatuan.

Nabi saw dalam masa kenabian telah berusaha keras untuk mengikis jiwa kesukuan dan meruntuhkan dinding pemisah yang memisah-misah mereka atas dasar kesukuan, mereka harus disatukan dalam keimanan. Namun yang pasti, tidaklah mudah mengubah mereka dalam kurun waktu 23 tahun menjadi

3 Said Aqil Siradj,

Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis, (Jakarta: Pustaka

Cendekia Muda, 2008) h. 15 4 Said Aqil Siradj,

(18)

5

masyarakat yang ternaungi sistem Islami yang tidak lagi menganggap perbedaan kesukuan kecuali sebagai tanda pengenal, dan menerima bahwa nilai kemuliaan hanya ditentukan oleh ketakwaan.

Banyak bukti yang menunjukkan dalamnya watak kesukuan yang masih ada saat itu, seperti pada kasus perselisihan antara seorang dari kalangan Anshar dan seorang dari kalangan Muhajirin sepulang dari pertempuran bani Mustahkiq yang hampir saja menimbulkan perkelahian, bukan hanya antara mereka berdua namun juga melibatkan kaum Anshar dan Muhajirin. Lalu Nabi saw. cepat-cepat meredamnya dan bersabda, “Tinggalkan slogan itu! Sesungguhnya ia adalah slogan jahiliah.” Kemudian dalam peristiwa

kambuhnya jiwa fanatisme lama antara suku ‘Aus dan Khazraj yang terwakili oleh dua tokoh mereka, yaitu Sa’ad bin Mu’adz dari suku ‘Aus dan Sa’ad bin

Ubadah dari suku Khazraj, ‘Aisyah mengatakan, “Sebelumnya ia adalah orang saleh, namun ia terhanyut dalam fanatisme (Hammiyah), sehingga

hampir-hampir mereka berperang sementara Nabi saw berdiri diatas mimbar lalu beliau menenangkan mereka hingga redalah emosi masing-masing pihak.5

Keadaan yang membuktikan masih adanya fanatisme kesukuan bukan berarti apa yang telah beliau lakukan untuk mengikis dan menghilangkan fanatisme gagal seluruhnya. Sesungguhnya beliau telah berhasil menumbuhkan semangat persaudaraan dan persatuan antar suku, masih adanya perselisihan-perselisihan kecil adalah hal wajar melihat watak bangsa Arab yang memang keras.

5 Lihat, Ali Zainal Abidin,

(19)

6

Keadaan mulai berubah lagi setelah Rasulullah wafat, semangat persaudaraan dan persatuan mulai mengalami kemunduran. Bahkan dalam sejarah tercatat sebelum jenazah beliau di makamkan telah terjadi perseteruan mengenai pengganti kepemimpinan (khalîfah) sebagai pemimpin Islam,

peristiwa itu terkenal dengan Saqîfah. Perseteruan debat yang berlangsung di

kediaman Saqîfah Bani Sa’ad yang melibatkan golongan Anshor dan golongan Muhajirin ini berakhir dengan terpilihnya Abû Bakar al-Siddîq sebagai Khalîfah pertama. Respon atas terpilihnya Abû Bakar pun bermacam-macam, ada sebagian yang membaiat secara langsung, ada juga yang menyatakan tidak mau untuk membai’at dan tidak sedikit pula yang menyatakan keluar dari

Islam (murtad). Keadaan ini juga semakin buruk ketika ‘Ali bin Abî Thâlib

juga tidak mau membai’at Abû Bakar sebagai khalîfah.6

Fakta sejarah tersebut memberikan indikasi bahwa pascawafat Nabi saw fanatisme muncul kepermukaan lagi dan sulit dibendung. Pada saat itu, meskipun umat Islam masih bersatu dalam urusan aqidah dan syariat, namun mereka mulai terkoyak-koyak dalam kehidupan politik.

Masalah kepemimpinan pascawafat Nabi saw ini adalah cikal bakal friksi dan kontroversi yang berkepanjangan dalam batang tubuh umat Islam, sebagian memandang bahwa persoalan kepemimpinan hanyalah isu historis politis bukan persoalan teologis. Sebagian lain justru memandang bahwa persolan kepemimpinan di samping bersifat historis, juga terkait isu teologis yang terkait dengan keselamatan seorang manusia di dunia dan akhirat.

6 Lihat, Said Aqil Siradj,

Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis. h, 17-19, O.

(20)

7

Ada satu pertanyaan mendasar mengenai masalah ini yaitu, bagaimanakah sikap Nabi saw dalam hal kepemimpinan pascawafatnya nanti, karena seorang yang memimpin pasca beliau harus menjalankan misi dakwah yang telah beliau sampaikan?. Dari pertanyaan inilah muncul beberapa asumsi jawaban atas sikap yang mungkin bisa diambil beliau sebelum wafat, yaitu:

1. Beliau bersikap pasif, yaitu acuh tak acuh.

2. Beliau menyerahkan pembentukan kepemimpinan kepada umat melalui konsep syuro (musyawarah).

3. Beliau menunjuk pemimpin yang diputuskan berdasarkan nash dan penunjukkan Allah melaui Rasulnya.

Ketiga asumsi jawaban itu merupakan keharusan bagi Nabi saw untuk mengambil sikap sebelum beliau wafat. Dari ketiganya ada dua yang menjadi pembahasan khusus yaitu bahwa Nabi saw menyerahkan pembentukan kepemimpinan kepada umat melaui konsep Syûrô, dan Nabi saw menunjuk

pemimpin yang diputuskan berdasarkan nash dan penunjukkan Allah melaui Rasulnya. Kedua asumsi itulah yang menjadi argumen dan doktrin kuat dalam memahami konsep kepemimpinan dan siapa yang berhak menjadi pemimpin pascawafat Nabi saw.

(21)

8

meyerahkan kepemimpinan kepada umat, karena umat telah pandai dan mempunyai kemampuan untuk memilih seorang pemimpin yang layak.

Berbeda dengan yang berpendapat bahwa masalah kepemimpinan pascawafat Nabi saw adalah perkara yang sudah ditetapkan oleh Allah melalui Rasulnya. Asumsi ini muncul karena ada nash-nash yang mengindikasikan

bahwa Nabi saw telah menunjuk seorang pemimpin untuk menggantikannya, dan nash-nash tersebut menunjuk ‘Ali bin Abî Thâlib yang berhak menjadi pemimpin pascawafat Nabi saw.

Salah satu nash yang dianggap menjadi argumen kuat bahwa Nabi saw

telah menunjuk seorang pemimpin setelah beliau wafat. Hadis ini dikenal sebagai hadis Ghadîr Khum, sebuah hadis yang berisi tentang masalah

penunjukan pemimpin yang dilakukan oleh Nabi Muhammad untuk menjadi pengganti beliau setelah wafat nanti. Sebuah hadis yang diyakini oleh mazhab Syiah sebagai argumentasi kuat bahwa yang berhak memangku kepemimpinan pasca Nabi saw adalah keponakannya yaitu ‘Ali bin Abî Thâlib. Syiah meyakini benar bahwa ‘Ali bin Abî Thâlib ra adalah Imam kaum Muslim sesudah Rasulullah saw. dan seharusnya menjadi khalîfah pertama sesudah

Rasul saw.7 Hal ini tentu saja berlainan dengan keyakinan mazhab Ahlus Sunnah yang meyakini bahwa Abû Bakar bin Siddîq lah yang berhak menjadi pemimpin saat itu.

Hadis tersebut adalah:

7 M. Quraish Shihab,

Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, (Jakarta:

(22)

9

Artinya : Berkata kepada kami Muhammad bin Basysyâr dan Syu’bah dari Salamah bin Kuhail, ia berkata aku mendengar Abu al-Tufail berkata dari Abî Sarîhah atau dari Zaid bin Arqom dari Nabi Saw. Bersabda: barang siapa yang menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya juga.8

Hadis tersebut turun ketika beliau selesai melakukan Haji Wadâ’ di

hadapan kaum muslimin di suatu tempat yang bernama Ghadîr Khum, oleh

sebab itu hadis tersebut dikenal dengan sebutan hadis Ghadîr Khum.

Hadis ini turun bertepatan tanggal 18 Dzulhijjah, usai Nabi Muhammad saw melaksanakan haji terakhirnya (haji wadâ’), Nabi Muhammad saw pergi

meninggalkan Mekkah menuju Madinah, di mana beliau dan kumpulan kaum Muslimin sampai pada suatu tempat bernama Ghadîr Khum (saat ini dekat

Juhfah). Itulah tempat di mana orang-orang dari berbagai penjuru saling menyampaikan salam perpisahan dan kembali ke rumah dengan mengambil jalan yang bereda-beda.9 Di sana Nabi saw menyampaikan khutbah-khutbahnya di depan ratusan ribu kaum Muslimin, dalam khutbah-khutbahnya beliau membacakan ayat hampir 100 ayat al-Quran, dan kira-kira sebanyak 73 kali mengingatkan perbuatan masa depan mereka di kemudian hari.10 Dan salah satu bagian akhir dalam isi khutbanya adalah hadis Ghadîr Khum ini.

8 Al-Imam al-Hafiz Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah al-Tirmidzi, Sunan at-Tirmizy, no. 4077, (Software: al-Maktabah asy-Syamilah), h. 317

9 Digital Islamic Library Project,

Ensyclopedia of Shia, diterjemahkan Antologi Islam,

penj, Rofik Suhud dkk, (Jakarta: Al-Huda, cet ke II, 2005), h. 288 10 Rofik Suhud dkk,

(23)

10

Mazhab Syiah berpendapat bahwa hadis Ghadîr Khum merupakan

wasiat Rasulullah saw yang menghendaki ‘Ali menjadi pemimpin dan Amîrul

Mukminîn sepeninggalnya.11 Mereka berkeyakinan masalah kepemimpinan

adalah masalah prinsip teologis dan suksesi kepemimpinan adalah merupakan proses wasiat. Wasiat dalam doktrin Syiah sesungguhnya bukanlah pemilihan atau pencalonan, melainkan pengangkatan yang dilakukan oleh Nabi suci dengan mengumumkan seorang mukmin yang paling saleh sebagai pengganti beliau dalam mendakwahkan pesan Islam.12 Di lain pihak berpendapat bahwa tampuk kepemimpinan umat bukanlah suatu proses wasiat atau suatu yang diwariskan. Pewarisan kepemimpinan adalah salah satu hal yang tidak dapat dibenarkan dan diakui dalam Islam.13

Dalam hal ini penulis mencoba mengkaji sebuah ayat al-Qur’an yang mempunyai keterkaitan dengan serangkaian perbedaan pendapat mengenai kepemimpinan pasca wafat Nabi saw Ayat tersebut terdapat dalam surat al-Mâidah ayat 67 yaitu:



























































“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Maidah/5 : 67)

11 Mustofa Al-Syak’ah,

Al-Islam bi la Mazahib, diterjemahkan oleh A. M. Basalamah

dengan judul Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 134

12 Ali Syariati,

Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, (Jakarta: Mizan, 1995) h. 64

13 Mustofa Al-Syak’ah,

(24)

11

Jika diperhatikan secara detail, di dalam ayat tersebut ada sebuah pesan (risâlah) yang sangat penting yang harus disampaikan oleh Rasul dan jika

Rasul tidak menyampaikannya maka Rasul dikatakan belum menyampaikan amanat yang seharusnya disampaikan, dan seharusnya pesan tersebut bukan risalah yang telah Rasul pernah sampaikan lalu beliau sekedar mengulangnya kembali sebagai bentuk pengingatan kepada umatnya. Jadi risalah tersebut adalah sebuah risalah yang belum pernah disampaikan oleh Rasul dan sifatnya sangat penting untuk disampaikan kepada umatnya.

Keterkaitan ayat tersebut dengan masalah kepemimpinan pasca wafat Nabi adalah karena bagi Syiah ayat tersebut turun setelah Nabi saw melakukan

haji wadâ’ sehingga ayat tersebut turun dalam rentetan peristiwa Ghadîr Khum. Bagi kalangan Syiah ayat tersebut mengindikasikan sebuah pesan

(risâlah) yang sangat penting agar kemudian disampaikan kepada umatnya dan

ayat ini juga ditunjukkan kepada ‘Ali as. Pesan yang harus disampaikan itu adalah yang disebutkan dalam hadis Ghadîr Khum yaitu penunjukan sekaligus

pengangkatan ‘Ali sebagai wâli dan pemimpin pascawafat Rasulullah saw.14

Tabataba’i berpendapat mengenai ayat ini bahwa secara lahiriah makna

ayat ini mengandung perintah pada Rasulullah saw untuk menyampaikan sesuatu yang berbahaya dan menakutkan, kemudian Allah swt menjanjikan kepadanya pemeliharaan dari gangguan manusia. Apabila diperhatikan dari sisi letaknya ayat ini diapit tentang ayat-ayat yang mebicarakan Ahli Kitab yakni al-Mâidah ayat 66 dan al-Mâidah ayat 67. Akan tetapi dapatlah

14 Rofik Suhud dkk,

(25)

12

dipastikan bahwa ayat ini tidak berkaitan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya dari segi susunan ayat dan tidak mempunyai hubungan dengannya dalam untaian kalimatnya, tiada lain ayat ini diturunkan sendiri, dan ketakutan akan menyampaiknnya adalah bukan kepada Ahli Kitab yang karena takut mati di jalan Allah, melainkan kekhawatiran Nabi saw kepada manusia untuk menyampaikannya sehingga menunggu pada momen yang sesuai.15

Adapun sebab turunnya ayat ini memang terjadi perbedaan pendapat, ada yang menyebutkan bahwa ayat ini turun saat permulaan Islam dan yang lainnya berpendapat ayat ini turun setelah Nabi saw melakukan haji wada’ di

Ghadîr Khum.16

Perbedaan pendapat inilah yang mungkin menjadi sebuah perbedaan pemahaman antara Ahlu Sunnah dan Syiah, dimulai dari perbedaan sabab trurunnya sampai kepada penafsiran ayat secara keseluruhan, dan bukan hanya itu, perspektif sejarah menjadi penting dalam memahami ayat tersebut. Maka di sini penulis ingin mengetahui lebih jauh perbedaan penafsiran ayat tersebut antara mufassir Ahlu Sunnah dan Syiah. Dari Ahlu Sunnah penulis memilih tafsir yang ditulis oleh Muhammad Rasyîd Ridâ yaitu Tafsîr al-Qur’an al -Hakîm atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Manâr, sedangkan dari Syiah penulis memilih Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’an yang ditulis oleh Muhammad Husain al-Tabataba’i.

15 lihat. Tabataba’i,

Tafsir Al-Mizan; Mengupas Ayat-ayat Kepemimpinan, pen,

Syamsuri Rifa’i, (Jakarta: CV. Firdaus, 1991), h. 149-153 16 Lihat Muhammad Rasyîd Ridâ,

(26)

13

Alasan penulis memilih kedua tafsir tersebut selain dikarenakan perbedaan mazhab mufassirnya17 juga dikarenakan kedua tafsir tersebut termasuk dalam tafsir kontemporer sehingga pemikiran dan penafsirannya bisa dimasukkan dalam konteks kekinian. kedua tafsir tersebut juga banyak menggunakan argumen rasional setelah mengemukakan beberapa kesesuaian (munâsabah)ayat, hadis dan juga pandangan mufassir-mufassir lainnya.

Dengan uraian di atas maka penulis mengambil judul penelitian ini

“STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN

TABATABA’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam melakukan studi komparatif ini penulis membahas penafsiran Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i yang terdapat dalam karyanya yaitu kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (Tafsir al-Manâr) dan al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân dengan

merujuk kepada satu ayat yaitu surat al-Mâidah ayat 67 dan yang menjadi fokus kajiannya adalah mengenai sebab turunnnya ayat dan pesan penting dalam tablîgh al-risâlah dalam ayat tersebut.

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka perumusannya adalah: 1. Bagaimana penafsiran Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i tentang surat

Al-Mâidah ayat 67 secara umum.

2. Bagaimana penjelasan Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i secara khusus tentang sebab turunnya ayat, keterkaitan ayat dengan peristiwa Ghadîr Khum,

17 Lihat Sayyid Muhammad Ali Iyâzi,

al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum,

(27)

14

pesan penting dalam tablîgh al-Risâlah yang diperintahkan dalam surat

al-Mâidah ayat 67 dan makna ‘ishmah.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dalam skripsi ini penulis membagi tujuan penelitian ini pada tujuan khusus dan tujuan umum:

a. Tujuan Khusus

Penelitian ini secara akademis bertujuan untuk memahami perbedaan penafsiran antara Rasyid Ridha dan Thabathaba’i dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.

b. Tujuan Umum

a) Memberikan kontribusi wawasan dan memperkaya khazanah intelektual seputar hadis kepada umat Islam khususnya kepada penulis.

b) Mendorong umat Islam memahami al-Qur’an dengan benar dan tidak bertentangan dengan hadis serta kehidupan manusia.

c) Mengajak kepada umat Islam untuk bisa menyikapi dengan bijak setiap perbedaan pendapat dengan menjunjung tinggi semangat

Ukhuwwah Islâmiyyah.

(28)

15

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini secara teoritis dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana suatu al-Qur’an dan hadis dapat dipahami dengan benar. Sehingga tidak terlalu kaku dengan pengamalan al-Qur’an

dan hadis yang menjadi pedoman kita.

D. Tinjauan Pustaka

Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, penelitian tentang masalah ini masih belum ada yang melakukannya. Peneliti hanya menemukan satu skripsi yang hanya membahas tentang metode pendidikan dalam surat al-Mâidah ayat 67 yang ditulis oleh Zulkarnaen Fadly (Pendidikan Agama Islam/2009) dengan judul “Metode Pendidikan Islam dan Relevansinya dengan

Metode Dakwah: Kajian surat al-Nahl ayat 125, al-Mâidah ayat 67 dan surat Ali ‘Imrân ayat 159”. Skripsi ini membahas metode pendidikan dan dakwah,

dan tidak ada analisa khusus mengenai ayat dalam surat al-Mâidah ayat 67. Tentu saja penelitian tersebut berbeda dengan penulis yang menganalisa secara khusus ayat tersebut dan melakukan komparasi penafsiran dari dua mufassir.

E. Metodologi Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan kajian literatur dan kepustakaan. Data utama adalah al-Qur’an dan yang menjadi kitab

(29)

16

Muhammad Husain al-Tabataba’i, serta data sekunder dari buku-buku, artikel dan lain-lainnya yang mempunyai kaitan dengan permasalahan yang sedang diangkat.

2. Metode Pembahasan

Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif-analitis, sebagai upaya mengkaji kemudian memaparkan keadaan objek yang akan diteliti dengan merujuk pada data-data yang ada (baik primer maupun sekunder) kemudian menganalisisnya secara proporsional dan komprehensif dengan pendekatan komparatif, sehingga akan tampak jelas perincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan dan akan menghasilkan pengetahuan yang valid.

3. Tehnik Penulisan

Penulisan skripsi ini mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Desertasi) terbitan CeQDA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang merupakan suatu rangkaian penulisan yang saling berhubungan, dengan uraian sebagai berikut:

(30)

17

Bab II berisi tentang riwayat hidup Rasyîd Ridâ, riwayat kitab Tafsir al-Manâr, metode dan corak Tafsir al-Manâr dan kajian terhapad penafsiran Rasyîd Ridâ tentang surat al-Mâidah ayat 67.

Bab III berisi tentang riwayat hidup Tabataba’i, riwayat kitab Tafsir

al-Mîzân, metode dan corak Tafsir al-Mîzân dan kajian terhapad penafsiran Tabataba’i tentang surat al-M^aidah ayat 67.

Bab IV berisi tentang pokok kajian yaitu penafsiran mengenai kajian inti yang dibahas yaitu membahas surat al-Mâidah ayat 67 secara global yang kemudian memfokuskan pembahasan kepada permasalahan sabab turunnya ayat, keterkaitan dengan peristiwa Ghadîr Khum, pesan penting dalam tablîgh

al-Risâlah yang diperintahkan Allah kepada Nabi saw., dan penjelasan tentang

makna ‘Ishmah dan kafir dalam ayat tersebut. Setelah itu melakukan analisa perbandingan terhadap kedua penafsiran tersebut dan mengutip beberapa pendapat para ulama tafsir mengenai hal tersebut.

(31)

18

BAB II

PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH

AYAT 67 DALAM TAFSIR AL-MANÂR

A.Riwayat Rasyîd Ridâ dan Tafsir al-Manâr

a. Riwayat Hidup Rasyîd Ridâ

Qalamun adalah sebuah desa yang dekat dengan kota Tripoli, Libanon. tempat kelahiran Sayyid Muhammad Rasyîd Ridâ pada tanggal 27 Jumadi al-Ûla 1282 H atau 18 Oktober 1865 M. Saat itu Libanon merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Turki Utsmani.1 Menurut salah satu riwayat bahwa Rasyîd Ridâ mempunyai silsilah dari Husain bin ‘Ali bin Abî Tâlib, cucu Nabi saw., oleh karena itu beliau diberi gelar Sayyid.

Keluarga beliau dikenal dengan sebutan Syaikh merupakan keluarga yang

sangat taat dalam beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama.2

Beliau mengawali pendidikan di desanya dengan membaca al-Qur’an, menulis dan berhitung. berbeda dengan anak-anak lain yang

sebaya dengannya, beliau lebih senang menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku dari pada bermain.3 Sejak kecil ia telah memiliki kecerdasan yang tinggi dan keterkaitannya terhadap ilmu pengetahuan.

1 A. Athaillah,

Rasyîd Ridâ: Konsep Teologi dalam Tafsir Al-Manar, (Jakarta: Erlangga,

2006), h. 26

2 Ali Mufradi

, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), h. 162

3 Kufrawi Ridwan (ed),

Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), cet

(32)

19

Setelah lancar membaca dan menulis, beliau kemudian masuk ke madrasah Rusydiyyah, sekolah milik pemerintah Tripoli. Hanya dalam

waktu lima tahun beliau belajar nahwu dan sharaf dan ilmu agama lainnya

seperti aqidah dan ibadah, ilmu bumi dan matematika. Namun bahasa yang dipakai di madrasah tersebut bukanlah bahasa Arab, melainkan bahasa Turki. Hal itu tidak mengherankan karena madrasah tersebut milik Pemerintah Turki Utsmani. Di samping itu tujuan madrasah milik pemerintah tersebut adalah untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang akan menjadi pegawai pemerintah Turki Utsmani.4 Karena enggan menjadi pegawai pemerintah kemudian beliau melanjutkan ke sekolah Islam Negeri, dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, yang didirikan dan dipimpin oleh seorang ulama besar Syam Syaikh Husain al-Jisr, ide pembaharuan pada diri ridha sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran gurunya Syaikh al-Jisr.

Rasyîd Ridâ juga seoarang pengikut tarekat, yaitu Tarekat

al-Naqsyabandiyah, berdasarkan pengalamannya di dunia tarekat, ia

menyimpulkan bahwa ajaran-ajaran tarekat yang berlebihan dalam cara beribadat dan pengkultusan seorang guru membuat seorang mempunyai sikap statis dan pasif, sikap-sikap seperti itu jelas merugikan umat Islam.

Ide-ide pembahruan penting yang dibawa Rasyîd Ridâ adalah dalam bidang agama, bidang pendidikan dan bidang politik. Dalam bidang agama ia berpendapat bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi

4 A. Athaillah,

(33)

20

mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam secara murni seperti yang dipraktekan pada masa Rasulullah Saw dan sahabat-sahabatnya, melainkan ajaran-ajaran yang sudah banyak bercampur dengan bid’ah dan khurafât.

Selanjutnya ia menegaskan, jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. dan tidak terikat dengan pendapat ulama-ulama terdahulu yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan hidup modern.5 selain banyak belajar, beliau juga menekuni perkembangan dunia Islam melalui media masa Urwah

al-Wutsqâ yang sekaligus memberikan pengaruh besar pada perkembangan

jiwanya.6

Rasyîd Ridâ sangat ingin menemui al-Afghani tetapi keinginannya tersebut tidak tercapai, karena al-Afghani lebih dahulu meninggal sebelum Rasyîd Ridâ sempat menemuinya, dan yang hanya sempat beliau temui adalah Muhammad Abduh yang ketika itu berada dalam pembuangan di Beirut, dengan tekad untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kebodohan.7

Di Mesir, Rasyîd Ridâ mengungkapkan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial, budaya dan agama. Kemudian terbitlah majalah al-Manâr pada tahun

1898 M, dengan tujuan yang sama dengan al-‘Urwatul Al-Wutsqâ, yaitu

memajukan umat Islam dan menjernihkan agama Islam dari segala paham

5 Kufrawi Ridwan (ed),

Ensiklopedi Islam, h, 163

6 M. Quraish Shihab,

Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar (Jakarta:

Lentera Hati, cet II, 2007), h. 76 7 Kufrawi Ridwan (ed),

(34)

21

yang menyimpang. Dari tulisan-tulisan Rasyîd Ridâ yang diterbitkan

Al-Manâr mengenai catatan-catatan tafsir, beliau memberi saran kepada

gurunya untuk menafsirkan al-Qur’an dengan tafsiran yang relevan sesuai dengan tuntutan zaman. dan kemudian dibukukanlah catatan-catatan tersebut menjadi tafsir al-Manâr.8

Rasyîd Ridâ memiliki ide pembaharuan dalam bidang agama, pendidikan dan politik serta mengajak kepada umat Islam agar kembali ke zaman awal dengan aqidah murni bersandar kepada al-Qur’an dan al -Hadis.9 Agar terlepas dari keyakinan umat Islam yang berupa tahayul dan bid’ah, faham fatalisme dan paham-paham yang diajarkan oleh

tarekat-tarekat tasawuf. Di samping itu pula bagi beliau wahyu senantiasa

mendorong umat untuk menggunakan akal, oleh karena itu beliau juga melarang sikap taqlid dan beliau pun menghargai akal manusia.

Menurutnya akal dapat dipakai untuk memahami ajaran mengenai kehidupan masyarakat yang memiliki keadaan berubah-ubah.10

Dalam pemikiran-pemikiran Ridha yang telah dikemukakan tidak jauh berbeda dengan pemikiran-pemikiran guru beliau Abduh dan Al-Afghani. Muhammad Abduh dengan al-Urwah al-Wutsqâ mampu

mengubah kesufian jiwa Rasyîd Ridâ menjadi pemuda yang penuh semangat.

8 Kufrawi Ridwan (ed),

Ensiklopedi Islam, h, 162

9 Kufrawi Ridwan (ed),

Ensiklopedi Islam, h, 162

10 Muhaimin,

(35)

22

Kalau semula usaha Rasyîd Ridâ hanya terbatas pada perbaikan akidah dan syariat masyarakat, menjauhkan mereka dari kemewahan duniawi dengan mempratekkan zuhûd, selanjutnya ia beralih pada

usaha-usaha membangkitkan semangat umat Islam untuk melaksanakan ajaran islam secara utuh, serta membela dan membangun negara dengan ilmu pengetahuan dan industri. Bahkan beliau bisa memahami ajaran Islam dengan suatu jalan baru, yakni bahwa Islam bukan hanya agama ruhani

-ukhrowi semata, melainkan juga agama ruhani jasmani, ukhrowi dan

duniawi yang bertujuan antara lain memberi petunjuk kepada manusia untuk menguasainya dengan sungguh-sungguh.11

Perhatiannya yang sangat besar di bidang pendidikan adalah alasan mengapa ia selalu menghimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Menurutnya umat Islam hanya akan maju apabila menguasai bidang pendidikan.12

Keaktifan Rasyîd Ridâ di dunia politik menghantar ia menjadi Presiden Kongres Suriah tahun 1920, delegasi Palestina – Suriah di Jenewa tahun 1921, Komite Politik di Kairo tahun 1925 dan menghadiri Konferensi Islam di Mekkah tahun 1926 dan di Yerussalem tahun 1931. Ide-idenya yang penting adalah mengenai persaudaraan Islam (Ukhuwwah

al-Islâm). Ia melihat salah satu penyebab kemunduran umat Islam ialah

perpecahan yang terjadi di kalangan mereka, untuk itu ia menyeru umat

11 Nurjannah Ismail,

Perempuan dalam Pasungan (Yogyakarta: LKIS, 2003),cet. I, h. 132

12 Kufrawi Ridwan (ed),

(36)

23

Islam agar bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, sistem pendidikan dan tunduk pada satus sitem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk Khilâfah. seperti pada masa Khulafâ

al-Râsyidîn.

Pada tanggal 23 Jumadil Ula 1354 H atau tanggal 22 Agustus 1935 M, Muhammad Rasyîd Ridâ wafat disebabkan mengalami kecelakaan dan geger otak.13

Beberapa karya Rasyîd Ridâ, diantaranya yaitu :14

1. Al-Hikmah al-Syar’iyyah fi Muhkamât ad-Dadiriyah wa al-Rifâ’iyyah

2. Al-Azhar dan al-Manâr

3. Târikh al-Ustâdz al-Imâm al-Syaikh Muhammad Abduh

4. Nidâ’ li al-Jinsi al-Latîf

5. Dzikra al-Maulid al-Nabawi

6. Risâlatu Hujjat al-Islâm al-Ghazali

7. Al-Sunnah wa al-Syi’ah

8. Al-Wahdah al-Islamiyyah

9. Haqîqatu al-Ribâ

10.Tafsîr Surat al-Kautsar, al-Kâfirûn, al-Ikhlâs dan Al-Mu’awwidzatain

b. Riwayat Tafsir al-Manâr

Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm adalah nama Tafsir al-Mânar

merupakan penisbatan atas majalah yang diterbitkan oleh Rasyîd Ridâ. Berjumlah dua belas jilid tafsir ini bertujuan untuk memberikan

13 M. Quraish Shihab,

Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 82

14 M. Quraish Shihab,

(37)

24

pemahaman bagi umat Islam bahwa Kitâbullâh merupakan sumber ajaran

agama Islam membimbung manusia ke arah kebahagiaan dunia dan akhirat.15

Tafsir al-Manâr pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang

tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afghâni, Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyîd Ridâ. Tokoh pertama menanamkan gagasan perbaikan masyarakat kepada sahabat dan muridnya, Syaikh Muhammad Abduh. Oleh tokoh kedua ini gagasan itu dicerna, diterima dan diolah kemudian disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.16 Tokoh ketiga yang kemudian menulis semua yang disampaikan

oleh sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan. Ringkasan dan penjelasan itu kemudian dimuat secara berturut-turut dalam majalah al-Manar, yang dipimpin dan dimilikinya itu dengan judul “Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm” yang disadur dari kuliah Muhammad

abduh. Abduh sempat menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surat al-Fatihah sampai dengan surat an-Nisa ayat 125.

Kemudian Rasyîd Ridâ menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara sendirian yang pada garis besarnya mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya sampai dengan surat Yusuf ayat 52.17 Oleh karena itu tafsir al-Manâr yang terdiri dari 12 jilid itu lebih wajar untuk dinisbahkan kepada Rasyîd Ridâ, sebab disamping lebih banyak yang

15 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

(Beirut: Dar al-Ma’rifah), jilid I, h. 4 16 M. Quraish Shihab,

Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 84

17 M. Quraish Shihab,

(38)

25

ditulisnya, baik dari segi ayat maupun halamannya, juga karena dalam penafsiran ayat-ayat surat al-Fâtihah, surat al-Baqarah, dan surat al-Nisâ ditemui pula pendapat-pendapat Rasyîd Ridâ yang ditandai olehnya dengan menulis kata “aqûlu” sebelum menguraikan pendapatnya sendiri.18

c. Metode dan Corak Tafsir Al-Manâr

Rasyîd Ridâ dalam Muqaddimah tafsirnya mengatakan:

Kitab ini merupakan satu-satunya kitab yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandagan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunnatullâh yang

berlaku terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum muslim dewasa ini yang telah berpaling dari petunjuk itu, serta membandingkan pula dengan keadaan para salaf (leluhur) yang

telah berpegang dengan tali hidayah itu. Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam tetapi tidak diabailan oleh orang khusus (cendekiawan). Itulah cara yang ditempuh oleh filosof Islam al-Ustâdz al-Imâm Syaikh Muhammad

Abduh dalam pengajaran di al-Azhar.19

Apabila melihat penjelasan mengenai riwayat Tafsir Al-Manâr maka sudah barang tentu metode dan corak Tafsir Al-Manâr yang ditulis oleh Rasyîd Ridâ ini juga mengikuti metode dan corak yang digunakan oleh gurunya Muhammad Abduh. Metode yang digunakan adalah analisis ayat tahlîli20 dan corak penafsirannya adalah adabi ijtimâ’i21 (sastra

kemasyarakatan).22

18 M. Quraish Shihab,

Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar , h. 85

19 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

(Beirut: Dar al-Ma’rifah) Jilid. I, h. 1 20 Metode

Tahlili, Berasal dari kata halala Yuhalilu, Tahlili yang berarti mengurai atau

(39)

26

Corak Penafsiran Al-Manâr berorientasi pada sosial, sastra dan kemasyarakatan, suatu corak yang menitikberatkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun

kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an, yakni membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan perkembangan dunia.23

Menurut Rasyîd Ridâ seperti yang diakuinya sendiri bahwa terdapat beberapa perbedaan dirinya dengan gurunya Muhammad Abduh dalam menulis al-Manâr. Dalam pernyataannya dia menjelaskan bahwa dia menggunakan metode penafsiran yang berbeda dengan metode yang telah digunakan gurunya. Metode tersebut adalah memperluas penjelasan dengan hadis-hadis sahih, menahqiqan sementara kosa kata kalimat dan masalah-masalah yang telah menimbulkan perbedaan pendapat di

terdapat dalam Al-Qur‟ân Mushaf Utsmani. Tafsir ini disebut juga Tajzii (parsial). Lihat M.

Quraish Shihab, Tafsir al-Qurân Al-Karîm, h. V, (pengantar), lihat juga Sejarah „Ulum al -Qurân (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), cet. Ke-1, h.172-192

21 Corak

Adabi Ijtimai adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟ân berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan yang pokok diturunkannya al-Qur‟ân, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat. Lihat Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun,

(Kairo: Dar al-Kutub al-haditsah, 1986) Jilid. II, h. 574 22 Muhammad Husein al-Dzahabi,

Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kairo: Dar Kutub

al-haditsah, 1986) Jilid. III, h. 214 23 M. Quraish Shihab,

(40)

27

kalangan ulama juga memperbanyak ayat-ayat penguat yang dipetik berbagai surat.24

Menurut Harun Nasution seperti yang dikutip oleh A. Athaillah bahwa perbedaan tersebut antara lain terlihat pada masalah-masalah teologi dan dalam menafsirkan ayat-ayat antropomorfisme Abduh lebih

liberal daripada Ridâ.25 Adapun M. Quraish Shihab mengklasifikasikan perbedaan tersebut, yang diantaranya :26

1. Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadits-hadits Nabi saw.

2. Keluasan Pembahasan tentang penafsiran ayat-dengan ayat yang lain. 3. Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang

sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya, dengan tujuan mengantar kepada penjelasan tentang petunjuk agama, baik yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-problem yang berkembang.

4. Keluasan pembahasan tentang arti mufradât (kosakata), susunan

redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut.

24 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid I, h. 16

25 A. Athaillah,

Rasyid Ridha: Konsep Teologi dalam Tafsir Al-Manar, h. 5

26 M. Quraish Shihab,

(41)

28

B.Penafisran Rasyîd Ridâ tentang surat al-Mâidah ayat 67









































































“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-Mâidah/5 : 67)

Rasyîd Ridâ dalam menafsirkan ayat ini pada mulanya ingin menegaskan bahwa seruan kata “Rasul” dalam ayat tersebut menunjukkan

bahwa ada dua tema besar yang dibahas dalam ayat tersebut yaitu seruan kepada Ahli Kitab untuk masuk Islam dan tentang persoalan-persoalan agama.27 penjelasan Rasyîd Ridâ ini seolah mengemukakan bahwa sebab turunnya ayat ini pada awal kenabian karena menyangkut seruan kepada Ahli Kitab untuk masuk Islam.

Rasyîd Ridâ pun juga menjelaskan dalam tafsirnya bahwa memang terjadi perbedaan pendapat oleh para mufassir tentang sebab turunnya ayat ini. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa turunnya ayat ini terjadi pada masa awal Islam sedangkan pendapat kedua megatakan bahwa ayat ini turun untuk ‘Ali bin Abî Tâlib pada hari Ghadîr Khum.28

27 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 463

28 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsir al-Qur’an al-Karim Asy-Syahir bi Al-Tafsir Al-Manar,

(42)

29

Dalam menafsirkan “ كِبر ْ كْي إ ْأ ا ْغِب سَّ ا ا يأ اي ” Rasyîd Ridâ menyampaikan sebuah riwayat yang juga sekaligus menunjukkan sebab turunya ayat ini yaitu pada awal permulaan Islam. Dia sepakat dengan pendapat para ulama tafsir al-Ma’tsûr, apabila ayat ini tidak menyangkut

masalah Ahli Kitab maka tidak sesuai dengan ayat setelahnya, yaitu dengan pengertian bahwa Allah berkata: “Sampaikanlah apa yang diturunkan

kepadamu tentang perkara Ahli Kitab dan jika kamu bertanya apa yang harus

disampaikan maka jawablah “Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak

dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran

Taurat, Injil, dan al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu"... .”.29

Kemudian Rasyîd Ridâ meyebutkan hadis Ibn ‘Abbâs yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dan Adh-Dhiyâ’ yaitu :

“Rasulullah Saw ditanya: Ayat apa yang diturunkan dari langit, yang paling menghawatirkan kamu? Nabi Saw menjawab: Aku berada di Mina pada musim haji, ketika itu orang-orang musyrik Arab dan manusia yang tidak dikenal identitasnya berkumpul, kemudian turunlah

Jibril dan menyampaikan ayat: “ ” ,

kemudian aku berdiri di ‘Aqobah dan berseru: “wahai manusia, siapa yang akan menolongku menyampaikan risalah Tuhanku dan Pemilik syurga? wahai manusia katakan: Tiada Tuhan selain Allah dan aku Rasul Allah, maka kalian akan beruntung dan behasil dan bagi kalian surga.” Dan Nabi berkata, maka tak tertinggal seorang pun laki-laki, wanita dan anak-anak, semuanya melempar dengan tanah dan batu, dan mereka meludahi mukaku, mereka sambil berkata, Pendusta, keluar dari agama. Kemudian Ali menyarankan dan berkata: Wahai Muhammad jika engkau Rasul Allah, maka sekaranglah waktu engkau harus mendoakan mereka sebagaimana Nuh berdo’a untuk kaumnya dengan kehancuran, maka Nabi Saw berdo’a: “Ya Allah berilah petunjuk kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu dan tolonglah aku agar mereka mencintaiku dalam ketaatan kepadaMu”. Kemudian datanglah

29 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

(43)

30

pamannya Al-‘Abbas untuk meenyelamatkan beliau dari mereka dan menghalau mereka dari Nabi Saw.” 30

Rasyîd Ridâ secara panjang lebar membahas tentang pendapat Syiah yang manyatakan bahwa ayat ini turun di Ghadîr Khum berkenaan dengan

pengangkatan Imam ‘Ali bin Abî Tâlib sebagai Khalîfah setelah Rasulullah

saw. Beliau mengutip pendapat al-Tsa’labi dalam tafsirnya yang menyatakan bahwa :

“Sungguh perkataan ini dari Nabi Saw tentang wilayah Ali yang tersebar di seluruh penjuru negeri, hingga perkataan itu samapai kepada al-Harits bin Nu’man al-Fahri, kemudian ia datang kepada Nabi Saw karena ia ragu tentang berita itu. Ketika itu Nabi Saw berada di Abthah

lalu beliau menjelaskan dan memberi pengertian kepadanya tentang hal itu. Dia berkata kepada Nabi Saw – dia adalah salah seorang sahabat besar Nabi Saw – wahai Muhammad engkau telah menerima perintah dari Allah untuk kami, agar kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesunguhnya engkau adalah Rasul Allah, maka kami menerimanya – ia juga menyebutkan seluruh rukun Islam – kemudian engkau belum puas dengan hal ini, sehingga engkau mengangkat kedua tangan anak pamanmu dan mengutamaknnya atas kami, lalu engau berkata : Bararangsiapa menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya, maka apakah ini dari kamu atau dari Allah? Nabi saw

menjawab: Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, masalah ini adalah perintah Allah. Lalu al-Harits berpaling dan pergi sambil

mengucapkan: “Ya Allah jika perintah ini benar –benar dari sisimu, maka turunkan kepada kami hujan batu dari langit atau berikan kami siksa yang pedih. (Q.S. al-Anfal: 32).” Maka sebelum ia sampai pada

tujuan perjalanannya, Allah menghujaninya dengan batu, maka jatuhlah dia sebab keinginannya dan keluarlah batu itu dari duburnya. Lalu Allah menurunkan ayat: “seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang menimpa untuk orang-orang kafir yang tiada seorang pun dapat menolaknya. (Q.S. al-Ma’arij: 1-2).”31

Akan tetapi menurut Rasyîd Ridâ riwayat ini maudhû’ dan surat

al-Ma’ârij ini Makiyyah dan apa yang Allah ceritakan itu adalah perkataan

30 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 467

31 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

(44)

31

sebagian orang-orang kafir Quraisy: “Ya Allah jika perintah ini benar-benar

dari sisimu”, sebagai peringatan sebelum hijrah, peringatan ini terdapat dalam

surat Anfâl yang diturunkan sebelum perang Badar dan sebelum surat al-Mâidah turun antara tiga sampai sembilan tahun. Riwayat itu menjelaskan bahwa al-Hârits adalah seorang muslim kemudian murtad. Ia belum dikenal di

kalangan para sahabat Nabi saw Adapun Abhtah adalah suatu tempat di

Mekkah, sedangkan Nabi saw belum kembali dari Ghadîr Khum ke Mekkah,

bahkan setelah Haji Wadâ’ beliau singgah di Ghadîr Khum menuju ke

Madinah.32

Kemudian berkaitan dengan pendapat Syiah yang menjadikan sebuah hadis “ ا ْ ٌّ عف ا ْ تْك ْ ” sebagai dalil kepemimpinan ‘Ali bin Abî Tâlib

pasca wafat Nabi saw., Rasyîd Ridâ mengutip hadis tersebut dalam tafsirnya. Beliau mengakui hadis tersebut karena hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari jalur al-Barra’ dan Buraidah. Imâm Tirmîdzi,

Imâm Nasâ’i dan Al-Diyâ’ dalam kitab Al-Mukhtâroh dari jalur Zaid bin

Arqom, sebagian dari mereka menganggap hadis tersebut Hasan dan

Adz-Dzahabi menganggap hadis tersebut Shahîh.33

Rasyîd Ridâ juga menjelaskan pendapat Ahlu Sunnah yang mengakui hadis tersebut, akan tetapi menurutnya hadis wilâyah tersebut bukan bermakna

Imâmah atau Khilâfah (kepemimpinan) melainkan mempunyai makna

“penolong dan yang mencintai” sebagaimana yang Allah katakan tentang

32 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 464

33 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

(45)

32

orang-orang mu’min dan kafir “Sebagian mereka adalah penolong bagi yang

lainnya”.34

Menurut Rasyîd Ridâ perbedaan pendapat tentang masalah kepemimpinan pasca wafat Nabi saw adalah sebuah perdebatan yang memecah belah kaum Muslim, menimbulkan permusuhan, kebencian dan selama fanatisme mazhab lebih diutamakan maka tidak ada harapan untuk menemukan kebenaran dalam menyikapi masalah perbedaan35.

Di samping pendapatnya tentang adanya perbedaan antara mazhab Ahlu Sunnah dan Syiah, Rasyîd Ridâ mengemukakan pendapatnya sendiri bahwa sesungguhnya seandainya masalah Imâmah sudah dibuktikan dalam nash baik

al-Qur’an ataupun hadis maka pastilah nash tersebut mutawâtir dan jelas, dan

seandainya ‘Ali menjadi pemimpin yang mengurus perkara kaum Muslimin seharusnya pada hari wafat Nabi saw., dia berkhutbah menyampaikan nash

penunjukan kepemimpinannya sebagai pengganti Nabi saw – dan menjelaskannya dengan sebaik-baiknya kepada kaum Muslimin saat itu. Merupakan kewajiban bagi ‘Ali untuk menyampaikannya kalau ia menganggap masalah kepemimpinan pasca wafat Nabi saw adalah perkara yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi dia tidak mengatakannya, bahkan tidak seorangpun dari para keluarganya dan penolongnya yang menggunakan ayat

34 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 465

35 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

(46)

33

ini pada kejadian hari Tsaqifah ataupun kejadian hari musyâwarah setelah

wafatnya Umar.36

Lebih tegas Rasyîd Ridâ menjelaskan bahwa kalau saja Nabi saw. ingin memberikan dan menunjukkan nash tentang siapa yang menjadi khalîfah

setelahnya dalam perintah penyampaiannya tersebut maka seharusnya Nabi saw. mengatakannya pada Haji Wadâ’ dan meminta kepada seluruh manusia

saat itu untuk bersaksi maka mereka pun akan bersaksi dan Allah menyaksikannya.

Rasyîd Ridâ ingin meyampaikan dalam penjelasannya bahwa tidak ada keterkaitan masalah wasiat khilâfah dalam ayat ini dengan perkara Ahli Kitab

(ayat sebelum dan sesudahnya) karena ini tidak sesuai dengan balaghah

al-Qur’an. Seandainya saja meninggalkan keterkaitan ayat ini dengan ayat

sebelum dan sesudahnya, lalu ayat ini berdiri dengan sendirinya, dan kalimat “

ْ عْفت ْ ْ إ ” yang menjadi jumlah syarat setelah kalimat perintah “ ْغِب ”,

kalimat tentang ‘ishmah dan kalimat tentang peniadaan hidayah kepada

orang-orang kafir, maka tetap saja tidak sesuai dan tidak dapat diterima maksud dari tugas penyampaian kepada manusia tersebut tentang kekuasaan Ali, karena seharusnya makna yang terkandung dalam ayat ini sesuai dengan dzatnya secara jelas bukan karena sebatas taklid.37

Selanjutnya dalam menjelaskan “ هت اسر تْغَب ا ف ْ عْفت ْ ْ إ ” menurut

Rasyîd Ridâ adalah “jika kamu tidak mengerjakan apa yang diperintahkan

36 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 466

37 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

(47)

34

kepadamu untuk menyampaikan dari apa yang diturunkan kepadamu seluruhnya – seluruh umat – atau khusus kepada Ahli Kitab – yaitu dengan menyembunyikannya bahkan menundanya karena takut dapat ancaman atau gangguan berupa perkataan ataupun juga tindakan, maka baginya adalah belum menyampaikan risalah dan belum mengerjakan sebab alasan diutusnya, dan

tugasnya adalah menyampaikan apa yang diturunkan Tuhan kepadanya.”38 Rasyîd Ridâ mengemukakan pendapat para ulama yang diantaranya berpendapat bahwa apabila tidak menyampaikan seluruh yang diturunkan Tuhan kepadamu (Nabi saw) dengan menyembunyikan sebagiannya, maka bagimu belum menyampaikan sama sekali, karena menyembunyikan sebagian sama saja dengan menyembunyikan secara keseluruhan.39 Pendapat ini mempunyai pengertian bahwa masalah wahyu adalah masalah keseluruhan dan tidak terbagi-bagi.

Rasyîd Ridâ berpendapat bahwa untuk menjelaskan pengertian tentang penyampaian ini seperti halnya dengan peristiwa yang disebutkan dalam surat al-Ahzâb ayat 39 yaitu:















































(yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pembuat perhitungan.

38 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

jilid 6, h. 468

39 Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,

(48)

35

Ayat tersebut penjelasan setelah ce

Referensi

Dokumen terkait

Al-Qaffa> l mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sesungguhnya Allah telah menciptakan setiap orang diantara kalian berasal dari satu jiwa kemudian dia menjadikan istri

Operasi Plastik dengan Tujuan Kecantikan dalam al- Qur’a> n ( Analisis Penafsiran Surah al- Nisa>’ ayat 119 menurut M. Quraish Shihab). Penelitian ini berawal dari

pada poin 5 – 8, yakni penafsiran masing-masing lima kitab tafsir terkait makna al-wasi>lah dalam surat Al-Maidah ayat 35 yang dikaitkan dengan studi kasus pada

Sebab, kata yad dalam ayat tersebut berbentuk tastniyah yang secara ilmu bahasa Arab menunjukkan arti dua, dan hal ini sangat bertentangan dengan ayat lain yakni di

yang sangat terasa bagi orang yang menelaah penafsiran Muhammad ‘Abduh secara seksama (Madani, 1991: 67).Dari kesembilan dasar pokok tersebut, dasar-dasar pokok yang

َّيَلَع ia mengungkapkan kata salam disini berbeda dengan kata salam yang terdapat dalam ayat 15 surat maryam yang memiliki redaksi teks yang sama akan

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini lebih kepada ingin menemukan usaha penafsiran dan pendekatan yang dilakukan oleh Mbah

w.. Skripsi ini membahas ayat-ayat tentang musyawarah yang terdapat di dalam al- Qur’an berdasarkan penafsiran Bisri Mustofa. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah untuk