• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penafsiran KH. Bisri Mustofa terhadap Ayat-ayat Musyawarah dalam Kitabal-Ibriz Li Ma‘rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz - Repositori UIN Alauddin Makassar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Penafsiran KH. Bisri Mustofa terhadap Ayat-ayat Musyawarah dalam Kitabal-Ibriz Li Ma‘rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz - Repositori UIN Alauddin Makassar"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Jurusan Tafsir Hadis

pada Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar

Oleh

SYAMSUL ARIFIN NIM: 30300112010

FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK UIN ALAUDDIN MAKASSAR

(2)

ii

NIM :30300112010

Tempat/Tgl. Lahir : Luwu Timur, 11 Januari 1994

Jur/Prodi/Konsentrasi : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Fakultas/Program : Ushuluddin, Filsafat dan Politik

Alamat : BTN. Samata Indah, Samata-Gowa

Judul : Penafsiran KH. Bisri Mustofa Terhadap Ayat-ayat

Musyawarah dalam Kitab al-Ibri>z Li Ma‘rifah Tafsi>r

al-Qur’a>n al-‘Azi>z.

Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini

benar adalah hasil karya sendiri.Jika dikemudian hari terbukti bahwa ia merupakan

duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian dan seluruhnya, maka

skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

Samata, 22 April 2018

Penyusun

(3)
(4)

iv

ُـ َلاَّسلاَو ُةَلاَّصلاَو َْيِْمَلاَعلا ِّبَر ِلله ُدْمَْلَْا

ِؼَرْشَا َىلَع

ٍدَّمَُمُ اَنَلْوَمَو َانِدِّيَس َْيِْلَسْرُمْلاَو ِءَايِبْنَلألْا

دْعَػب اَّمَا ,َْيِْعَْجَْا ِهِبْحَصَو ِهِلَا ىَلَعَو

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt. yang telah menganugerahkan

rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan

sebagaimana mestinya.

Salawat dan taslim senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah

Muhammad saw. sebagai suri teladan yang terbaik bagi umat manusia untuk

keselamatan di dunia dan di akhirat. Begitu pula keselamatan bagi keluarganya, para

sahabatnya, dan orang-orang yang istiqamah mengikuti ajaran-ajarannya.

Penulisan skripsi yang berjudul ‚Penafsiran KH. Bisri Mustofa Terhadap Ayat-ayat Musyawarah Dalam Kitab Tafsir al-Ibri>z Li Ma‘rifah Tafsi>r al-Qur’an al

-‘Azi>z.‛diadakan dalam rangka meraih gelar sarjana al-Qur’an pada Fakultas

Ushuluddin, Filsafat, dan Politik. Penulis telah mencurahkan segenap kemampuan,

baik tenaga, pikiran, waktu, dan materi dalam menyelesaikan skripsi ini. Begitu pula

penulis mampu menyelesaikan dengan baik skripsi ini atas bantuan berbagai pihak,

baik langsung maupun tidak langsung, baik secara materil maupun moril. Oleh

karena itu, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Adapun pihak-pihak

yang berperan penting yaitu sebagai berikut:

1. Kedua orang tua penulis, ayahanda Muhammad Jufri Suhadi dan ibunda Siti

Syarifah. Keduanya dengan segenap upaya dan daya telah banyak

memberikan segalanya mulai dari kecil hingga saat ini. Oleh karena itu,

(5)

v

Sultan, MA., dan Wakil Rektor III ibu Prof. Siti Aisyah, MA.,Ph.D., yang

telah membina dan memimpin UIN Alauddin Makassar yang menjadi tempat

bagi penulis untuk memperoleh ilmu pengetahuan.

3. Segenap pimpinan Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik. Bapak Prof. Dr.

Muh Natsir, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik,

bapak Dr. Tasmin Tangngareng, M.Ag., bapak Dr. H. Mahmuddin, S.Ag,

M.Ag, bapak Dr. Abdullah, S.Ag, M.Ag. sebagai Wakil Dekan I,II, dan III.

4. Bapak Dr. H. Muhammad Sadik Sabry, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Ilmu

al-Qur’an dan Tafsir dan Dr. H. Aan Farhani Lc, M.Ag, selaku sekretaris

jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.

5. Bapak Prof. Dr. Muh. Galib. M, M.Ag selaku penguji I, dan Bapak Dr. H.

Muhammad Sadik Sabry, M.Ag selaku penguji II, yang telah bersedia

meluangkan waktunya untuk menguji, memberi kritik, serta saran dalam

penyusunan skripsi ini.

6. Kedua pembimbing penulis, Bapak Dr. Muh. Daming. K, M.Ag.

(pembimbing I) dan Dr. Hasyim Haddade, M.Ag. (pembimbing II) yang telah

menyempatkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam

penyelesaian skripsi ini.

7. Para Dosen, Pegawai, karyawan dan karyawati di lingkungan Fakultas

Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar yang telah banyak

(6)

vi baik.

9. Kakanda penulis, Syamsuddin yang senantiasa memberikan motivasi dan

dukungan baik secara moril dan materil selama proses penulisan skripsi ini.

10.Sahabat-sahabatku Mahasiswa Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (reguler 2012) yang telah berbagi suka maupun duka selama masa studi di UIN Alauddin Makassar.

Akhirnya, sebagai suatu karya ilmiah, skripsi ini masih mempunyai

kekurangan-kekurangan di dalamnya, baik yang berkaitan dengan materi maupun

metodologi penulisan. Oleh karena itu, sumbangsih pemikiran yang konstruktif

sangatlah diharapkan dalam rangka penyempurnaan karya ilmiah ini.

Romang polong,

Penyusun,8 September 2017.

(7)

vii

C. Defenisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7

D. Kajian Pustaka ... 9

E. Metodologi penelitian ... 11

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MUSYAWARAH ... 15-30 A. Pengertian Musyawarah ... 15

B. Ayat-ayat Musyawarah dalam al-Qur’an ... 19

C. Ruang Lingkup Musyawarah dalam al-Qur’an ... 23

D. Orang-orang yang diajak Musyawarah ... 28

BAB III KH. BISRI MUSTOFA DAN KITAB AL-IBRI<Z ... 31-60 A. Latar Belakang KH. Bisri Mustofa……… ... 31

1. Biografi KH. Bisri Mustofa ... 31

2. Pergerakan dan Perjuangan KH. Bisri Mustofa ... 42

3. Corak Pemikiran KH. Bisri Mustofa……… ... 49

4. Karya-karya KH. Bisri Mustofa……… ... 50

B. Kitab Tafsir al-Ibri>z... ... 53

1. Latar Belakang Penulisan Kitab al-Ibri>z ... 53

2. Sistematika Kitab al-Ibri>z ... 55

3. Metode dan Corak Kitab Kitab al-Ibri>z ... 56

4. Sumber Penafsiran Kitab Kitab al-Ibri>z ... 59

BAB IV PENAFSIRAN KH. BISRI MUSTOFA TERHADAP AYAT-AYAT MUSYAWARAH DALAM KITAB AL-IBRI<Z ... 61-70 A. Penafsiran KH>. Bisri Mustofa Terhadap Ayat-ayat Musyawarah .61 1. Tafsir QS. al-Baqarah/2: 233……….... ... 61

2. Tafsir QS. Ali-‘Imra>n/3: 159………... ... 65

3. Tafsir QS. al-Syu>ra>/42: 38……….. ... 67

(8)

viii dilihat pada tabel berikut:

1. Konsonan

Huruf Arab Nama HurufLatin Nama

ا

Alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

(9)

ix

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal

atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,

transliterasinya sebagai berikut:

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara

harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

Contoh:

َفْيَك

: kaifa

َؿْوَه

: haula

3. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf,

transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Nama Huruf Latin Nama

Tanda

fath}ah a a

َ ا

kasrah i i

َ ا

d}ammah u u

َ ا

Nama Huruf Latin Nama

Tanda

fath}ah dan ya>’ ai a dan i

ْىَػ

fath}ah dan wau au a dan u

(10)

x Contoh:

َتاَم

: ma>ta

ىَمَر

: rama>

َلْيِق

: qi>la

ُتْوَُيَ

: yamu>tu 4. Ta>’ marbu>t}ah

Transliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua, yaitu: ta>’ marbu>t}ah yang hidup atau mendapat harakat fath}ah, kasrah, dan d}ammah, transliterasinya adalah [t].

Sedangkan ta>’ marbu>t}ah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah [h].

Kalau pada kata yang berakhir dengan ta>’ marbu>t}ah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta>’

marbu>t}ah itu ditransliterasikan dengan ha (h).

Contoh:

َلاُةَضْوَر

ِؿاَفْط

:raud}ah al-at}fa>l

ةَلِضاَفْلَاُةَنْػيِدَمْلَا

ُ : al-madi>nah al-fa>d}ilah

ِْلَْا

ةَمْكْم

ُ : al-h}ikmah

5. Syaddah (Tasydi>d)

Syaddah atau tasydi>d yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda tasydi>d( ّّ)dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan d}ammahdan wau

ُػو

u> u dan garis di atas

(11)

xi

َانْيََّنَ

: najjaina>

ّقَْلَْا

: al-h}aqq

ِّعُػن

َم

: nu‚ima

وُدَع

: ‘aduwwun

Jika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf kasrah ( ىـِــــ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddahmenjadi i>.

Contoh:

ىِلَع

: ‘Ali> (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)

بَرَع

: ‘Arabi> (bukan‘Arabiyy atau ‘Araby)

6. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf

ؿا

(alif

lam ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiyah maupun huruf qamariyah. Kata

sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang

ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis

men-datar (-).

Contoh:

ُسْمَّشلَا

: al-syamsu (bukan asy-syamsu)

ةَلَزْلَّزلَا

ُ : al-zalzalah(az-zalzalah)

ةَفَسْلَفْلَا

(12)

xii

kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.

Contoh:

ْأَت

َفْوُرُم

: ta’muru>na

ُعْوَّػنلَا

: al-nau‘

ءْيَش

: syai’un

ُتْرِمُأ

: umirtu

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia

Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau

kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat

yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, atau

sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, atau lazim digunakan dalam dunia

akademik tertentu, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya,

kata al-Qur’an(dari al-Qur’a>n), alhamdulillah, dan munaqasyah. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka harus

ditransli-terasi secara utuh. Contoh:

Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n

Al-Sunnah qabl al-tadwi>n

9. Lafz} al-Jala>lah (

للها

)

Kata ‚Allah‛yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau

berkedudukan sebagai mud}a>f ilaih (frasa nominal), ditransliterasi tanpa huruf

(13)

xiii ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:

ُْه

ِللهاِةَْحمَرْػيِف

hum fi> rah}matilla>h 11.Huruf Kapital

Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam

transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf

kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf

kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat,

bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh

kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama

diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.Jika terletak pada awal kalimat,

maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-).

Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang

didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam

catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh:

Wa ma> Muh}ammadun illa> rasu>l

Inna awwala baitin wud}i‘a linna>si lallaz\i> bi Bakkata muba>rakan Syahru Ramad}a>n al-laz\i> unzila fi>h al-Qur’a>n

Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si>

Abu>> Nas}r al-Fara>bi>

Al-Gaza>li>

(14)

xiv B. Daftar Singkatan

Beberapa singkatan yang dibakukan adalah:

swt. = subh}a>nahu> wa ta‘a>la>

saw. = s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam

a.s. = ‘alaihi al-sala>m

H = Hijriah

M = Masehi

SM = Sebelum Masehi

l. = Lahir tahun (untuk orang yang masih hidup saja)

w. = Wafat tahun

QS …/…: 4 = QS. al-Baqarah/2: 4 atau QS Ali-‘Imra>n/3: 4

HR = Hadis Riwayat

KH = Kiai Haji

Gg = Gang

Abu> al-Wali>d Muh}ammad ibn Rusyd, ditulis menjadi: Ibnu Rusyd, Abu> al-Wali>d Muh}ammad (bukan: Rusyd, Abu> al-Wali>d Muh}ammad Ibnu)

(15)

xv

dalam Kitabal-Ibri>z Li Ma‘rifah Tafsi>r al-Qur’an al-‘Azi>z.

Skripsi ini membahas ayat-ayat tentang musyawarah yang terdapat di dalam al-Qur’an berdasarkan penafsiran Bisri Mustofa. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui a) pengertian musyawarah, b) penafsiran KH. Bisri Mustofa terhadap ayat-ayat musyawarah. Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan (Library research). Metode pengumpulan data dengan menggunakan metode dokumentasi, yaitu mengutip, mengikhtisarkan, dan menyadur dari berbagai literatur yang memiliki relevansi dengan objek kajian. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif yang menggunakan metode analisis isi (content analysis), dengan menggunakan pendekatan ilmu tafsir.

Dengan pendekatan tersebut, hasil penelitian ini menunjukkan bahwamusyawarah adalah suatu kegiatan saling bertukar pikiran, gagasan ataupun ide-ide yang baik dengan maksud untuk mengambil keputusan yang terbaik atas suatu permasalahan yang dihadapi bersama-sama. Dalam kitab al-Ibri>z, Bisri Mustofa menafsirkan kata syu>ra> dengan satu kata yaitu ‚rembukan‛, yang berarti saling berdiskusi, tukar pendapat, dan saling nasihat-menasihati yang mana dalam pelaksanaannya proses berembuk atau saling bertukar pendapat tersebut harus sampai kata sepakat (kanti mufakat). Artinya tidak boleh pendapat seseorang dipaksakan kepada yang lainnya, karena dalam musyawarah setiap orang mempunyai hak dan kedudukan yang sama, saling menghargai pendapat, tidak ada tekan menekan, tidak ada sifat dan sikap otoriter, melainkan demokratis.

Implikasi penelitian ini adalah bahwa syu>ra> bukanlah suatu kata yang hampa makna, namun syu>ra> adalah salah satu metode dalam pengambilan keputusan yang diajarkan oleh al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an menyebut perintah untuk

(16)

1

Syu>ra> (musyawarah) merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam.

Banyak cendekiawan muslim menjadikan musyawarah sebagai dasar dari teori

pemerintahan. Oleh karena itu, sangat beralasan jika kajian tentang syu>ra> atau

musyawarah bukan hal yang baru dikalangan umat Islam, bahkan masih

menimbulkan banyak perdebatan hingga saat ini.

Pengertian syu>ra >dewasa ini seringkali dikaitkan dengan sistem demokrasi

dan parlementer. Menurut Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi al-Qur’an

memandang bahwa, syu>ra> merupakan suatu forum dimana setiap orang

mempunyai kemungkinan untuk terlibat dalam urun rembug, tukar pikiran,

membentuk pendapat dan memecahkan suatu persoalan bersama atau

musyawarah, baik masalah-masalah yang menyangkut kepentingan maupun nasib

anggota masyarakat yang bersangkutan.1 Menurutnya juga, penafsiran terhadap

istilah syu>ra> atau musyawarah nampaknya mengalami perkembangan dari waktu

ke waktu. Bahkan pengertian dan persepsi tentang kata yang syarat makna ini

mengalami evolusi. Evolusi itu terjadi sesuai dengan perkembangan pemikiran,

ruang, dan waktu. Pada saat ini, pengertian musyawarah dikaitkan dengan

beberapa teori politik modern, seperti sistem republik, demokrasi, parlemen,

sistem perwakilan, senat, formatur, dan berbagai konsep yang berkaitan dengan

sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.2

1M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Kosep-Konsep

Kunci (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 440

2M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Kosep-Konsep

(17)

Salah satu ayat dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang musyawarah melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.3

Pada ayat di atas, perintah untuk melaksanakan musyawarah

disandingkan dengan perintah shalat dan juga berinfak. Maka hukum untuk

melaksanakan bermusyawarah sama derajatnya dengan perintah shalat dan infaq

atau zakat.

Jika ditelusuri secara historis, konsep musyawarah telah ada sejak zaman

pra Islam. Salah satu contohnya adalah ketika zaman Jahiliyah, masyarakat Arab

pada saat itu memiliki sebuah forum musyawarah yang diselenggarakan di rumah

Qusay ibn Kilab, yang disebut Da>r an-Nadwah, yang dihadiri para pembesar dan

orang-orang yang dianggap sebagai orang yang bijak dan berpengaruh. Dalam

forum tersebut dibicarakan berbagai persoalan umat, termasuk kepemimpinan.4

Pada masa kenabian, nabi Muhammad saw. juga melakukan musyawarah.

Namun, musyawarah yang dilakukan oleh nabi tidak pada semua aspek

melainkan hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan keduniaan, karena dalam

masalah aqidah dan hukum agama diselesaikan dengan al-Qur’an atau ijtihad

nabi yang memiliki posisi sebagai seorang rasul.5Contoh musyawarah yang

3Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Cet. I; Bandung: Sygma, 2014), h h.

488.

4M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Kosep-Konsep

Kunci, h. 445.

5Ahmad Nursalim, ‚Syura Pada Masa Nabi Muhammad Saw Di Madinah Tahun 622-632

(18)

pernah dilakukan oleh nabi adalah ketika terjadinya peristiwa pada perang Badar,

Uhud, Khandaq, dan sebagainya. Setelah meninggalnya nabi Muhammad saw.

beliau tidak meninggalkan pesan atau wasiat tentang siapa diantara para sahabat

yang akan menggantikan posisi beliau sebagai pemimpin umat. Sementara

didalam al-Qur’an dan hadis tidak terdapat petunjuk bagaimana cara menentukan

pemimpin umat dan kepala negara sepeninggal beliau, selain hanya penunjukan

yang bersifat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam

masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah harus

diselenggarakan. Kondisi tersebut merupakan penyebab utama mengapa

penerapan sistem pemerintahan masa Khulafa al-Rasyidin ditemukan banyak

ragam dan variannya.6

Dari gambaran diatas, konsep syu>ra> oleh sebagian kalangan dijadikan

sebagai padanan dari sistem negara modern seperti demokrasi, termasuk oleh

sebagian tokoh muslim di Indonesia. Maskuri, di dalam bukunya bahkan

menyimpulkan bahwa semua intelektual muslim Indonesia menerima sistem

demokrasi dan bahkan mendukungnya sebagai sistem yang harus dipraktikkan

dalam masyarakat Islam. Menurutnya pula, dukungan mereka terhadap

demokrasi ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, nilai-nilai demokrasi ini

sejalan dengan nilai-nilai Islam kehidupan sosial, terutama prinsip musyawarah

sebagaimana yang tertera dalamQS. Ali-Imran/3: 159 dan al-Syu>ra>/42: 38, kedua,

sistem demokrasi ini merupakan cara yang tepat untuk mengartikulasikan

aspirasi Islam, karena umat Islam adalah mayoritas di Indonesia, sedangkan

6Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UII

(19)

pengertian demokrasi sendiri mengandung pengertian pemerintahan mayoritas

(majority rule).7

Namun, disisi lain ada pendapat yang menolak konsep syu>ra> untuk

dijadikan sebagai padanan dari sistem negara modern seperti demokrasi, dengan

asumsi bahwa dalam demokrasi, semua rakyat dapat menyuarakan pendapat

mereka sebebas-bebasnya, sementara di dalam Islam kebebasan manusia dibatasi

oleh Allah swt. Oleh karena itu, menyamakan demokrasi dengan syu>ra

merupakan bentuk kesyirikan,karena sama dengan menyekutukan kekuasaan

Allah. Menurut pendapat itu pula, demokrasi Barat jelas tidak hanya tidak sesuai

dengan Islam, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.8

Penerimaan dan penolakan syu>ra> sebagai padanan dari sistem negara

modern menjadi pertarungan wacana yang kaya argumen, selain karena perintah

untuk bermusyawarah ada didalam al-Qur’an, musyawarah juga sangat terkait

dengan kehidupan sosial umat Islam terutama di era modern seperti saat ini.

Persoalan tentang perlu atau tidaknya menerima syu>ra> sebagai padanan

pemerintahan modern membuat kajian ini menjadi lebih menarik jika kajian ini

menggunakan tokoh yang memiliki kualitas sebagai mufassir sekaligus politikus

sepertiKH. Bisri Mustofa.

KH. Bisri Mustofa dikenal sebagai seorang Kiai kharismatik

yangmerupakan pengasuh Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin Rembang

JawaTengah. selain sebagai pengasuh pondokpesantren, beliau juga seorang

7Maskuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim

Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993 (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999), h. 307-308.

(20)

politikushandal, yang telah dibuktikannya dengan seringnya masuk menjadi salah

satu anggota di MPR.9

Pemikirankeagamaan KH. Bisri Mustofa dinilai oleh banyak

kalanganbersifat moderat. Sikap moderat ini merupakan sikap yang diambil

denganmenggunakan pendekatan ushul fiqh yang mengedepankan kemaslahatan

dankebaikan umat Islam yang disesuaikan dengan situasi, kondisi zaman dan

masyarakatnya. Beliau termasuk salah satu tokoh NU yang setuju dengan adanya

Nasakom Padahal waktu itu banyak kritikan, cemoohan dan banyak orang yang

tidak setuju dengan adanya ide Nasakom itu. Akan tetapi keberanian sikap KH.

Bisri Mustofa tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa ketika sebuah

pemerintahan terdiri dari kekuatan masyarakat yang mayoritas, maka

pemerintahan tersebut menjadi kuat dan solid. Sehingga pemerintah bisa

mengetahui kebutuhan dan mampu memberikan yang terbaik bagi mayoritas

warga bangsa Indonesia.10

KH. Bisri Mustofa merupakan seorang yang sangat produktifdalam

menulis, maka tidak heran jika pemikiran-pemikiran beliau itu dituangkandalam

bentuk tulisan yang disusunnya menjadi buku, manuskrip, dan sebagainya.

Banyak sekali karya beliau yang sampai sekarang menjadi rujukan bagi para

ulama dan santri di Indonesia dan di Jawa khususnya. Hasil karyanya yang sudah

tercetak kira-kira sebanyak 176 buah.11 Salah satu dari hasil buah karyanya yang

terbesar adalah Tafsi>r al-Ibri>z Li Ma’rifah Tafsi>r al-Qur’a>nal-‘Azi>z atau yang

lebih populer dikenal dengan nama ‚Tafsi>r al-Ibri>z‛.

9Ahmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa (Cet.

II:Yogyakarta: LkiS, 2011), h. 39.

10Luqman Chakim, ‚Tafsir Ayat-ayat Nasionalisme Dalam Tafsir al-Ibri>z Karya KH.

Bisri Mustofa‛ Skripsi (Semarang: Fak. Ushuluddin IAIN Wali Songo, 2014),h. 10.

(21)

Penafsiran KH. Bisri Mustofa menarik untuk dikaji karena beberapa

alasan. Pertama, karena dia adalah salah satu mufassir lokal yang sudah tidak

asing lagi di Indonesia terutama di kalangan pesantren salafiyah di pulau

Jawa.Kedua, urgensitas kajian ini terlihat dari latar belakang KH. Bisri Mustofa

itu sendiri. Dia adalah tokoh yang unik pada masanya, dia adalah seorang ulama

yang mengasuh sebuah pondok pesantren namun pada saat yang samapula dia

adalah seorang politikus yang disegani di tengah masyarakat.

Adapun hal yang menarik dari kitab tafsir al-Ibri>z itu sendiri adalah kitab

ini merupakan kitab tafsir yang cukup terkenal terutama di kalangan masyarakat

Jawa. Kitab ini memang sengaja ditulis oleh KH. Bisri Mustofa dengan

menggunakan bahasa Jawa guna memudahkan masyarakat yang tidak atau

kurang faham dengan bahasa Arab. Selain itu yang menarik dari kitab tafsir ini

adalah sebelum KH. Bisri mulai menulisnya dia terlebih dahulu melakukan

diskusi-diskusi yang mengkaji kitab-kitab tafsir yang muktabar seperti Tafsi>r

Manar karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida, Tafsi>r fi> Zila>l

al-Qur’a>n karya Sayyid Qutub, Tafsi>ral-Jawa>hir karya T{ant}awi Jauhari,

Tafsi>rMah{asin al-Tafsi>r karya al-Qasimi, dan Kitab Maya>za> al-Qur’an karya Abu

Su’ud, dan sebagainya12. Artinya, terdapat kemungkinan bahwa penafsiran KH.

Bisri Mustofa juga dipengaruhi oleh penulis kitab-kitab tafsir tersebut.

Oleh sebab itu, kajian ini akan lebih spesifik membahas tentang syu>ra>

(musyawarah) menurut pandangan KH. Bisri Mustofa khususnya dalam kitab

tafsir al-Ibri>z Li Ma’rifati Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Azi>z.

(22)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan rangkaian latar belakang masalah tersebut, maka masalah

pokok yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah; Bagaimana penfsiran KH.Bisri

Mustofa terhadap ayat-ayat musyawarah dalam kitab Tafsir al-Ibri>z?

Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan sistematis, maka dari

pokok permasalahan tersebut di atas, dirinci ke dalam sub bahasan sebagai

berikut:

1. Bagaimana Pengertian Musyawarah?

2. Bagaimana Penafsiran KH. Bisri Mustofa tentang Ayat-ayat Musyawarah

dalam kitabal-Ibri>z?

C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian

Skripsi ini berjudul ‚Penafsiran Bisri Mustofa Terhadap Ayat-Ayat

Musyawarah Dalam Kitab al-Ibri>z li Ma’rifah Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Azi>z‛. Untuk

mengetahui alur yang terkandung dalam judul ini, maka penulis menguraikan

maksud judul tersebut yang pada garis besarnya didukung tiga istilah. Yakni:

Tafsir, Musyawarah, dan kitab al-Ibri>z li Ma’rifah Tafsi>r al-Qur’an al-‘Azi>z bi al

-Lugati al Ja>wiyyah.

1. Tafsir

Secara bahasa, tafsir berasal dari bahasa arab, yakni bentuk masdar dari

kata fassara> yang semakna dengan id}ah dan tabyin. Kata tersebut dapat

diterjemahkan dengan ‚menjelaskan‛ atau ‚menyatakan‛.13 Didalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia kata tafsir di artikan dengan penjelasan atau keterangan

tentang ayat-ayat al-Qur’an. Terjemahan al-Qur’an masuk kedalam kelompok

ini. jadi, tafsir adalah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud

yang sukar memahaminya dari ayat-ayat al-Qur’an. dengan demikian

(23)

menafsirkan al-Qur’an adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang

sulit pemahamannya dari ayat-ayat tersebut.14

2. Musyawarah

Kata Syu>ra> terambil dari kata syawara, yang pada mulanya bermakna

syirtu al-‘asalyaitumengambil madu dari sarang lebah.15Makna ini kemudian

berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau

dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat).16 Dari asal kata ini kemudian

muncul kata musyawarah, yaitu suatu kegiatan saling bertukar pendapat, ide dan

gagasan dari para peserta musyawarah dan akan dipilih pendapat yang terbaik

dari beberapa pendapat tersebut.

Sementara itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata musyawarah

berarti pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atau

penyelesaian masalah, perundingan atau perembukan.17

Dari paparan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa syu>ra> atau

musyawarah adalah suatu kegiatan yang melibatkan beberapa orang dalam suatu

forum untuk mengambil sebuah keputusan atau mufakat bersama.

3. Kitab Tafsir Al-Ibri>z

Kitab al-Ibri>z li Ma’rifah Tafsi>r al-Qur’an al-‘Azi>z bi al-Lugah al

Ja>wiyyah atau kitab tafsir al-Ibri>z, adalah sebuah nama kitab tafsir yang ditulis

oleh KH. Bisri Mustofa pengasuh pondok pesantren Roudlotut Tholibin

Rembang Jawa Tengah.

14Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an: Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat yang Beredaksi Mirip (Cet.I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 39-40.

15Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir(Surabaya: Pustaka Progreesif, 1997),

h. 750.

16M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Edisi Baru, Vol. II (Cet. V; Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 312.

17Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia

(24)

Kitab tafsir al Ibri>z, ditulis dengan menggunakan huruf Arab Pegon, yaitu

huruf huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawadanbahasa

Sunda.18Kitab tafsir al-Ibri>z termasuk kedalam golongan kitab tafsir yang

lengkap karena menafsirkan al-Qur’an mulai dari surat al-Fatih}ah sampai surat

al-Na>s.

Berdasar dari beberapa keterangan di atas, maka maksud yang

terkandung dalam judul skripsi ini adalah upaya untuk

mengetahuitafsiranayat-ayat yang berkaitan dengan musyawarah, sesuai

yang terdapat dalam Tafsir al-Ibri>z karya KH. Bisri Mustofa.

Ruang lingkup sebagai obyek bahasan yang terkandung di dalam judul

kajian ini, adalah penelusuran terhadap ayat-ayat musyawarah, yakni pada QS

al-Baqarah/2: 233, QSAli-Imran/3: 158, dan QS al-Syu>ra>/42: 38.

D. Kajian Pustaka

Setelah melalui beberapa pemeriksaan pustaka, sesuai dengan masalah

yang dirumuskan diatas, penulis menemukan beberapa buku, skripsi, jurnal,dan

sebagainya. Di antara hasil penelititian ilmiah yang bertemakan musyawarah dan

pemikiran KH. Bisri Mustofa adalah:

Islam dan Tata negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran buku karya

Munawir Sjadzali. Dalam buku ini, ia mengupas kesejarahan konsep syu>ra> dalam

Islam yang pada akhirnya menemukan beberapa unsur yang bisa dijadikan

landasanpemerintahan, di antaranya ialah kedudukan manusia, musyawarah,

ketaatan kepada pemimpin, keadilan, persamaan, dan hubungan antar umat.

Fiqih Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an buku karya

Abdul Muin Salim.Pada buku ini dijelaskan tentang pola kepemimpinan serta

18Kata Pegon konon berasal dari bahasa Jawa pego yang berarti menyimpang. Sebab bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab dianggap sesuatu yang tidak lazim. Lihat ‚Pegon‛,

(25)

metode-metode pengambilan kebijakan publik dalam perspektif al-Qur’an.

Dalam pandangan Muin Salim, suatu ketetapan keputusan politik yang diambil

melalui musyawarah menjadi hukum yang bersifat mmengikat seluruh warga,

meski kedudukan hukum tersebut tidak sederajat dengan hukum yang ditetapkan

oleh Allah swt. dengan perantaraan wahyu dan rasulnya.

Syu>ra> Pada Masa Nabi Muhammad saw di Madinah Tahun 622-632 M

dan Aktualisasinya Pada Masa Kontemporer, skripsi karya Ahmad Nursalim.

Dalam skripsi ini dijelaskan tentang kondisi masyarakat Arab sebelum masa

kedatangan Nabi, yang mana pada kehidupan mereka selalu diliputi dengan

perseteruan dan peperangan antar suku, sehingga sulit untuk mewujudkan

kesatuan dan persatuan politik di bawah satu pemerintahan. Kemudian, pada

masa setelah hijrahnya nabi ke kota Madinah dan nabi mendirikan negara Islam

pertama di dunia ini, maka nabi menetapkan konsep musyawarah menjadi sebuah

metode dalam mengambil keputusan politik.

Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa oleh Ahmad

Zainal Huda. Pada buku tersebut dibahas tentang riwayat hidup Bisri Mustofa

dan kiprahnya baik pada bidang politik, dakwah, seni, pendidikan, budaya, dan

perdagangan. Buku ini mencoba menghadirkan sosok KH. Bisri Mustofa dalam

menundukkan zamannya yang mengalami disoerientasi. Liku-liku kehidupan

yang kelam dan serba kekurangan mampu di hadapinya dengan arif.

Tafsir al-Ibri>z li Ma’rifati Tafsi>r al-Qur’an al-‘Azi>z Karya KH. Bisri

Mustofa: Studi Metodologi dan Pemikiran, Tesis karya Iing Misbahuddin. Tesis

pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijagaini meneliti tentang

metodologi penafsiran yang di gunakan oleh KH. Bisri Mustofa dalam menulis

kitab tafsir tersebut, dan sebagai kesimpulannya adalah metode yang digunakan

(26)

salah satu rujukan KH. Bisri Mustofa dalam menyusun kitab tafsirnya. Selain itu,

Iing Misbahuddin juga mencoba untuk mengungkap pemikiran KH. Bisri

Mustofa dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu ide-ide KH. Bisri Mustofa

berdasarkan latar belakang pendidikan dan sosialnya, yang diungkapkan dalam

keterangan-keterangan atau penjelasan-penjelasan penafsirannya dan tidak

membahas tentang keterpengaruhan tafsir ini dengan tafsir lainnya.

Beberapa karya ilmiah di atas merupakan karya ilmiah yang membahas

tema musyawarah dan pemikiran KH. Bisri Mustofadari berbagai perspektif.

Penulis merasa belum ada karya ilmiah yang membahas tentang musyawarah

menurut al-Qur’an studi atas pemikiran KH. Bisri Mustofa. Penelitian ini

diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap pembahasan tema

musyawarah yang telah ada

E. Metodologi Penelitian

Sebuah karya ilmiah tidak terlepas dari kerangka landasan ilmiahnya pula.

Salah satu kriterianya adalah mempunyai metodologi yang sistematis agar

memudahkan dalam penyusunannya serta dapat dipertanggungjawabkan. Berikut

ini adalah beberapa metode dan langkah yang ditempuh dalam penelitian ini:

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini berjenis penelitian kualitatif yang bersifat

deskriptif-analitik dan merupakan penelitian kepustakaan (library research). Jenis penelitian

kualitatif sesuai untuk diterapkan pada penelitian ini, karena penelitian ini

dimaksudkan untuk menggambarkan secara komprehensif sumber-sumber

kepustakaan,dan digunakan untuk menjawab pokok permasalahan yang telah di

rumuskan.19

(27)

2. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini akan disesuaikan

dengan objek permasalahan yang dikaji. Sebagaimana tersebut di atas, objek

penelitian yang dikaji dalam tulisan ini berupa pemikiran, maka pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Pendekatan sejarah (historis), pendekatan ini digunakan untuk melihat

biografi, riwayat pendidikan dan perjuangannya KH. Bisri Mustofa.

Pendekatan yuridis (hukum), pendekatan ini digunakan untuk melihat

penafsiran KH. Bisri Mustofa dari aspek hukum Islam.

Pendekatan Tafsir. Hal tersebut digunakan karena dalam penelitian ini

membahas mengenai bentuk penafsiran yang tentunya menggunakan disiplin

ilmu yang relevan dengan itu yaitu ilmu tafsir.

3. Metode Pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah metode

dokumentasi, yaitu mencari data atau catatan, transkrip, buku, majalah, dan

sebagainya.20

Adapun sumber dari penelitian ini memiliki dua jenis, yaitu sumber

primer dan sumber sekunder. Sumber primer yang dimaksud adalah kitab tafsir

al-Ibri>z Li Ma’rifah Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Azi>z bi al-Lugah al-Ja>wiyyah, dan

sumber sekundernya adalah berbagai literatur, buku, dan sebagainya yang

memiliki relevansi dengan objek penelitian diatas.

Karena penelitian ini menggunakan tafsir al-Ibri>z sebagai kajian utama

dan hal-hal yang berkaitan dengan musyawarah. Maka dalam hal ini penulis

mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan unsur-unsur

musyawarah dan diuraikan secara sistematis.

(28)

4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Agar data yang diperoleh dapat dijadikan sebagai bahasan yang akurat,

maka peneliti menggunakan dua metode pengolahan dan analisis data yang

bersifat kualitatif dengan cara berpikir yaitu sabagai berikut:

a. Teknik Pengolahan Data

Dalam mengolah data, ada beberapa langkah yang harus ditempuh

agar efisien dan tingkat validitasnya lebih terpercaya, diantaranya:

1) Collecting data, Mengumpulkan data sebanyak mungkin yang berkaitan

dengan penelitian,

2) Displaying data, Mengecek ulang semua data yang telah dikumpulkan,

3) Reducing data, Menyeleksi data-data yang telah dicek ulang

4) Reliable data, menguji validitas data yang sudah diseleksi, dan

5) Conclusing data, menyimpulkan semua data yang telah dihimpun yang

kemudian dimasukkan dalam penelitian.

b. Teknik Analisis Data

Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini ialah:

1) Deduktif, yaitu mencari berbagai macam literatur atau referensi yang

berkaitan tentang musyawarah dalam al-Qur’an. Kemudian memulainya

dengan membahas tentang musyawarah secara umum.

2) Induktif, yaitu berusaha mengkaji secara khusus tentang musyawarah

dalam al-Qur’an yang termaktub dalam QS. al-Baqarah/2: 233, QS.

Ali-Imra>n/3: 159, dan QS. al-Syu>ra>/42: 38 dengan menelaah penafsiran KH.

Bisri Mustofa, kemudian mengembangkannya kepada berbagai literatur

yang berkaitan, misalnya buku-buku yang membahas tentang

(29)

dalam skripsi ini berusaha menjelaskan tentang musyawarah dalam

al-Qur’an dengan melihat penafsiran KH. Bisri Mustofa.

F. Tujuan dan Kegunaan

1. Tujuan

Sesuai dengan gambaran diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam

penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui hakikat musyawarah

b. Mengetahui penafsiran KH. Bisri Mustofa terhadap ayat-ayat

tentangmusyawarahdalam kitab al-Ibri>z.

2. Kegunaan

Penelitian ini memiliki dua kegunaan yang diharapkan bermanfaat bagi

kepentingan pengembangan ilmiah (akademik) dan untuk kepentingan terapan

(praktis). Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

a. Kegunaan ilmiah atau akademik, penelitian ini diharapkan dapat

bergunauntuk memperkaya khazanah ilmu keislaman, khususnya tentang

kajian kitab-kitab tafsir karya ulama Nusantara. Serta bisa dijadikan bahan

perbandingan penelitian yang berkenaan dengan pemikiran tokoh atau

penafsirlainnya yang berkaitan dengan musyawarah.

b. Kegunaan praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

referensi untuk meningkatkan pemahaman terhadap ajaran al-Qur’an,

khususnya dalam hal penyelesaian suatu masalah berdasarkan metode yang

(30)

15

Kata

ََرة

ََواَشُم

, merupakan masdar dari kata kerja yang tersusun dari tiga

huruf yaitu

ر

-

و

-

ش

yang berarti ‚memulai sesuatu, menampakanya, dan

melebarkannya‛.1Dari asal kata tersebut jika dibentuk lafal fi’il dengan pola

fa>’ala, maka terbentuk kata

َ ة

اََوََر

َُمََش

َُر-

َِوا

َُيََش

-

ََرَو

ََشا

َ

yang berarti ‚menjelaskan,

menyatakan, mengambil sesuatu, dan saling bertukar pendapat‛, seperti pada

kalimat

ىِرْمَأَ ِفَِ ا نَلاُفَ ُتْرَو

ََشا

‚aku mengambil pendapat si fulan mengenai

urusanku‛2. Selanjutnya, dari kata

ََشا

رَو

ini terbentuk sekian banyak kata lainnya, seperti tasya>wur (perundingan), asya>ra (memberi isyarat), sya>wir (meminta

pendapat), tasya>wara (saling bertukar pikiran), al-masyu>rah (nasihat atau saran),

dan musytasyi>r (meminta pendapat orang lain).3

Pendapat lain mengatakan bahwa musyawarah berasal dari kata -

روشي

-

راش

اروش

, yang berarti mengambil madu dari tempatnya.4Kemudian makna ini berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau

dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Kata musyawarah pada dasarnya

hanya digunakan pada hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Madu

bukan hanya manis, melainkan juga obat dari berbagai macam penyakit,

1Abu> H{usain Ah{mad bin Faris bin Zakariyya, Mu’jam Maqa>yis al-Lugah, Juz 3 (t.t: Da>r

al-Fikir,t.th), h. 226.

2Abu> H{usain Ah{mad bin Faris bin Zakariyya, Mu’jam Maqa>yis al-Lugah, Juz 3, h. 226. 3Musdah Mulia, ‚Syu>ra>‛ dalam Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata ed. M. Quraish

Shihab,vol.5 (Cet, I; Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 299.

4Ibn Manzur Jama>l al-Di>n al-Ans}ari>, Lisa>n al-‘Arab, Juz 6 (Mesir: Da>r al-Mis}riyyah,

t.th), h. 26. Lihat juga, Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Pustaka Progressif: Surabaya, 1997), h. 750.Louis Ma’luf, Qamu>s Munjid Fi Lugah wa

(31)

sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Oleh karena itu, musyawarah juga

harus untuk tujuan yang baik dan menghasilkan sesuatu yang baik pula.5

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata musyawarah diartikan sebagai

pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian

bersama. Selain itu dipakai juga kata musyawarah yang berarti berunding dan

berembuk.6

Merujuk pada pengertian yang sudah ada, maka penulis dapat

menyimpulkan bahwa musyawarah dapat diartikan sebagai suatu kegiatan saling

bertukar pikiran, gagasan ataupun ide-ide yang baik dengan maksud untuk

mengambil keputusan yang terbaik atas suatu permasalahan yang dihadapi

bersama.Dengan demikian, suatu majelis atau institusi yang dibentuk untuk

melaksanakan musyawarah dapat disebut sebagai majelis syura atau majelis

permusyawaratan.Musyawarah juga dapat dijadikan sebagai media untuk

menyelesaikan segala problem.Dalam salah satu riwayat disebutkan keutamaan

dari bermusyawarah. kecewa orang yang beristikharah, tidak akan menyesal orang yang musyawarah, dan tidak akan sengsara orang yang berhemat. (HR. al-T{abrani).7

5M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,vol.2 (Cet. V; Lentera Hati: Jakarta, 2012), h.

312.

6Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:

Balai Pustaka, 1989), h. 603.

7Sulaima>n bin Ah}mad bin Ayyu>b Abu> al-Qasim al-T{abrani>, Mu’jam al-S{agi>r, Juz. II

(Cet. I; Beirut: Maktab al-Islami>, 1405H/1985M), h. 175. Namun, hadis tersebut dinilai Maudu’

(32)

Menurut al-Syaukani musyawarah berarti saling memberi dan mengambil

pendapat dalam suatu pertemuan. Dalam proses pengambilan pendapat tersebut,

akan diperoleh mutiara-mutiara berharga dan pikiran-pikiran cemerlang yang

mungkin tidak akan didapatkan dengan berpikir sendirian. Oleh karena itu, setiap

orang yang terlibat musyawarah harus menghargai pendapat orang lain, terlepas

dari bagus tidaknya pendapat tersebut.8

Menurut Wahbah al-Zuhaili, musyawarah adalah saling bertukar pikiran

untuk mengetahui kebenaran.9 Dengan demikian, melalui musyawarah akan

diketahui apakah suatu perkara itu baik atau tidak. Dan dengan musyawarah pula

akan diambil keputusan yang terbaik dari berbagai pendapat yang dikeluarkan

oleh para peserta musyawarah.

Fakhruddin al-Razi, mengatakan bahwa setiap orang yang ikut

bermusyawarah akan berusaha mengemukakan pendapat yang baik, sehingga

akan diperoleh pendapat yang menyelesaikan problem yang dihadapi.10

Musyawarah memiliki landasan syar’i dalam Islam, baik al-Qur’an

maupun sunah nabi saw. menekankan pentingnya musyawarah bagi kaum

muslimin. Tidak ada perbedaan di antara para ulama mengenai legalitas syu>ra>

dalam Islam, sebab hakikat syu>ra> adalah mengungkapkan pendapat kepada yang

diberi nasihat, diminta maupun tidak diminta.Dengan demikian, musyawarah

dalam Islam ditetapkan Allah sebagai sifat orang-orang beriman.11

8Muh}ammad bin ‘Ali bin Muh}ammad bin ‘Abdullah al-Syaukani>, Fath} al-Qadi>r al-Ja>mi’

Baina Fannai al-Riwa>yah wa al-Dira>yah min ‘Ilmi al-Tafsi>r, Juz 1 (Beirut: Da>r al-Fikir, 2005M), h. 593.

9Wahbah al-Zuh}aili>, Tafsi>r al-Muni>r Fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘ah wa al-Manhaj, Juz 13

(Cet. X; Damaskus: Da>r al-Fikir, 1430H/2009M), h. 84.

10Fakhruddi>n Muh}ammad ‘Ali> al-Tami>mi> al-Bakri>al-Razi>, Tafsi>r al-Kabi>r, Jil 5(Cet. I;

Beirut: Da>r al-Kutub ‘Ilmiyyah, 1411H/1990M), h. 54

11Abu al-A’la al Maududi, The Islamic Law and Constitutional, terj. Asep Hikmah,

(33)

Menurut Sayyid Qutub, Islam menetapkan prinsip musyawarah dalam

sistem pemerintahan, dan ini telah dimulai oleh nabi Muhammad saw. sendiri

ketika masih hidup dan memimpin kaum muslimin. Bahkan lanjut Sayyid Qutub,

syu>ra> merupakan mabda’ asasi (prinsip dasar) dimana nizamul Islam tidak akan

ditegakkan pada prinsip lain. Akan tetapi, bentuk dan pengimplementasian syu>ra>

itu hanya persoalan teknis yang dapat berubah dan berkembang sesuai tuntutan

zaman.12Bahkan menurut ibnu ‘At}iyyah sebagaimana yang dikutip Wahbah

al-Zuhaili, mengatakan bahwa musyawarah adalah merupakan bagian dari

kaidah-kaidah syari’at dan kewajiban hukum, pemimpin yang tidak mau bernusyawarah

kepada ahli ilmu (cendekiawan) dan ahli agama (ulama), maka pemimpin seperti

itu wajib dipecat.13

Pendapat ibnu Atiyyah tersebut mengaitkan kedudukan musyawarah

dengan sistem politik, dan hal ini menunjukkan pentingnya musyawarah dalam

sistem kenegaraan. Oleh karena itu, setiap keputusan musyawarah merupakan

amanah yang diberikan oleh sejumlah orang untuk melaksanakan setiap

kebijakan yang dihasilkan dari musyawarah tersebut.

Sejalan dengan ibnu Atiyyah, Muhammad Abduh menjelaskan bahwa

syu>ra> secara fungsional adalah untuk membicarakan kemaslahatan rakyat dan

masalah-masalah masa depan pemerintahan. Dengan musyawarah masyarakat

akan terdidik dalam mengeluarkan pendapat dan mempraktikkannya, bukan

mempraktikkan pendapat seseorang kepala negara sekalipun pendapat itu benar.

Karena orang yang banyak bermusyawarah akan jauh dari melakukan kesalahan

12Sayyid Qutub, Fi> Zila>l al-Qur’an, Terj. As’ad Yasin, dkk, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jil.

2, (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 2000)h. 195.

13Abi> Abdillah Muh}ammad bin Ah}mad bin Abu> Bakar al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al

(34)

daripada diserahkan kepada seseorang yang cenderung membawa bahaya dari

umat.14

B. Ayat-ayat Musyawarah dalam al-Qur’an

Dalam al-Qur’an ada tiga ayat membahas masalah musyawarah dan

menyebut kata syu>ra> secara eksplisit, yakni pada QS. al-Baqarah/2 ayat 233 yang

didalamnya termaktub kata

َ رُواَشَت

, QS. Ali-Imra>n/3: 159 kata

َْرِواَش

, dan pada QS.

al-Syu>ra>/42: 38 terdapat kata

ىَروُش

.15Di antara beberapa ayat tersebut, ayat 38

surah al-Syu>ra>/42 adalah yang pertama kali diturunkan dan termasuk kelompok

ayat/surat Makiyyah, sedangkan dua yang lain termasuk Madaniyyah.

Yang pertamasurat al-Baqarah/2:233.

Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh,bagi yang ingin menyusui secara sempurna. dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli warispun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduaya, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.16

14Muh}ammad Rasyi>d Rida>, Tafsi>r al-Mana>r, Juz 4 (Kairo: al-Maktabah Taufi>qiyyah,

t.th), h. 169.

15Muh}ammad Fuad ‘Abdul Baqi>, al-Mu’jam al-Mufahras Alfa>z} al-Qur’an al-Kari>m,

(Kairo: Da>r al-Hadi>s\, 1428H/2007M), h. 481.

16Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Dilengkapi Tajwid Warna, (Jakarta:

(35)

Ayat ini tergolong ayat Madaniyyah yang menjelaskan bagaimana

seharusnya hubungan suami isteri sebagai mitra dalam rumah tangga saat

mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak

mereka, seperti menyapih anak yang masih menyusu. Pada ayat yang lain Allah

Berfirman.

َْنِإَوَ فوُرْعَِبَِْمُكَنْ يَ بَاوُرَِتَْأَو

ىَرْخُأَُوَلَُعِضْرُ تَسَفَُْتُْرَساَعَ ت

Terjemahnya:

dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan,maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.17 (QS al-T{ala>q/65:6).

Ibnu Kas\ir mengatakan bahwa, didalam penyapihan anak, kedua orang tua

harus melakukan musyawarah terlebih dahulu.Tidak diperbolehkan penyapihan

atas kehendak salah satu pihak saja (ayah atau ibu).18 Bukan hanya itu, dalam

menjalani kehidupan rumah tangga (suami isteri) dalam memutuskan segala

sesuatu harus dengan jalan musyawarah, seperti masalah pendidikan anak-anak

mereka, harta benda, rencana pengembangan masa depan, dan sebagainya.

Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh nabi Ibrahim as.

ََلاَقََيْعَّسلاَُوَعَمََغَلَ بَاَّمَلَ ف

َ

َاَمَْلَعْ فاَ ِتَبَأَاَيََلاَقَىَرَ تَاَذاَمَْرُظْناَفََكَُبَْذَأَ ينيَأَِماَنَمْلاَ ِفَِىَرَأَ ينيِإَََّنَُ بَاَي

ََنيِرِباَّصلاََنِمَُوَّللاََءاَشَْنِإَ ِنيُدِجَتَسَُرَمْؤُ ت

Terjemahnya:

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar".19(QS al-S{affa>t/37: 102).

17Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Dilengkapi Tajwid Warna, h. 559. 18Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq al-Syeikh, Luba>b Tafsi>r min Ibn

Kas\i>r, Terj. M. Abdul Ghoffar E.M, Tafsir Ibnu Katsir, vol. I (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2008), h. 471

(36)

Yang kedua, QS. Ali-‘Imra>n/3: 159.

Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad)berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunanuntuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.20

Menurut Quraish Shihab, dari segi redaksi ayat diatas berisi pesan untuk

nabi Muhammad saw. agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu

dengan para sahabat atau angota masyarakat lainnya. Walaupun demikian, ayat

ini berlaku juga secara universal, artinya untuk seluruh umat Islam, khususnya

pemimpin agar selalu menyelesaikan urusan dengan jalan musyawarah (syu>ra>),

yang merupakan salah satu pilar dari demokrasi.21

Perintah untuk musyawarah dalam ayat diatas, turun setelah terjadinya

perang Uhud. Ketika itu menjelang pertempuran Rasulullah mengumpulkan para

sahabatnya untuk memperbincangkan masalah strategi yang akan digunakan

untuk menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan untuk menyerbu kota

Madinah. Rasulullah saw. sendiri berpendapat untuk bertahan dikota Madinah,

sementara itu para sahabatnya terutama dari kalangan kaum muda, mendesak

agar umat Islam keluar dari kota Madinah dan berperang menghadapi musuh.

Pendapat ini didukung oleh mayoritas sahabat, sehingga rasulullah pun

menyetujuinya .Namun sayang, keputusan yang dihasilkan secara demokratis

20Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Dilengkapi Tajwid Warna, h. 71. 21M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,

(37)

tersebut berakhir memilukan.Peperangan tersebut diakhiri dengan kekalahan

kaum muslimin dan gugurnya sekitar tujuh puluh orang sahabat.22

Dengan memperhatikan asba>b al-nuzu>l ayat diatas jelas bahwa QS.Ali

‘Imra>n/3:159, berisi pesan kepada Rasulullah secara khusus, dan kepada umat

Islam secara umum untuk mempertahankan dan membudayakan musyawarah,

walaupun terkadang pendapat mayoritas tersebut tidak selamanya benar dan

tepat. Namun demikian, kekeliruan mayoritas lebih dapat di toleransi dan

menjadi tanggung jawab bersama daripada kesalahan yang bersifat indvidual.23

Ketiga QS al-Syu>ra>/42: 38.

َىَروُشَْمُىُرْمَأَوََة َلاَّصلاَاوُماَقَأَوَْمِيبَِّرِلَاوُباَجَتْساََنيِذَّلاَو

ََنوُقِفْنُ يَْمُىاَنْ قَزَرَاَِّمَِوَْمُهَ نْ يَ ب

Terjemahnya:

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.24

Ayat ini turun berkaitan dengan golongan Anshar tatkala diajak oleh

Rasulullah untuk beriman, mereka menyambut dengan baik ajakan Rasulullah

saw. dan bagi mereka dijanjikan ganjaran yang lebih baik dan kekal di sisi Allah

swt. Orang-orang mukmin tersebut memiliki sifat-sifat antara lain "urusan

mereka diselesaikan dengan musyawarah". Dalam ayat ini, syu>ra>berjalan

bersisian dengan ketiga pilar keimanan (ketaatan kepada perintah Allah,

mendirikan shalat dan menunaikan zakat).Syu>ra>merupakan kewajiban dengan

dasarperintah yang sama. Ayat ini merupakan ayat Makkiyah yang turun sebelum

keberadaan Islam telah menjadi agama yang kuat.

22M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,

h. 626.

23M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan

Ummat, h. 627.

(38)

C. Ruang Lingkup Musyawarah dalam al-Qur’an

Dari beberapa penjelasan para tokoh diatas tentang makna syu>ra>tidak

terjadi perbedaan yang cukup signifikan, kesemuanya terkesan sepakat bahwa

syu>ra> merupakan salah satu metode dalam mengambil keputusan dan harus

dilakukan oleh umat Islam. Namun perbedaan muncul ketika yang dibicarakan

adalah objek syu>ra>atau hal-hal yang boleh dimusyawarahkan.

Memang al-Qur’an tidak memberikan penjelasan secara rinci dari objek

atau ruang lingkup musyawarah. Namun, dengan melihat ayat-ayat yang

menjelaskan tentang musyawarah, maka dapat dipahami bahwa QS.

al-Baqarah/2: 233 objeknya adalah rumah tangga sedangkankhusus untuk

QS.Ali-‘Imra>n/3: 159, karena konteks musyawarah dalam ayat tersebut berkaitan dengan

persoalan peperangan. Karena itu, ada ulama yang membatasi musyawarah yang

diperintahkan kepada nabi Muhammad saw. terbatas dalam urusan tersebut

(peperangan). Sebagaimana pendapatal-Kalbi yang dikutip oleh al-Bagawi> bahwa

perintah musyawarah hanyalah dalam masalah-masalah yang berhubungan

dengan taktik dan strategi perang dalam menghadapi musuh, ini sesuai dengan

konteks turunnya surat Ali-Imra>n ayat 159 tersebut.25Namun, menurut Quraish

Shihab, pandangan tersebut tidak benar dan tidak didukung oleh praktik nabi,

bahkan bertentangan dengan ayat-ayat yang lain.26

Untuk mengetahui objek musyawarah pada QS.al-Syu>ra>/42: 38, dan QS.

Ali-Imran/3: 159 pada kedua ayat tersebut objek musyawarahnya diisyaratkan

dengan kata

َِرْمَْلْا

yang kemudian diterjemahkan sebagai urusan.27

25Abu> muh}amad al-H{usain bin Mas’u>d al-Farra’ al-Bagawi>, Tafsir al-Bagawi: Ma’a>lim

al-Tanzi>l>, vol.2 (Cet. I; Riya>d}: Da>r T{ayyibah,1989M), h. 124.

26M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,vol. 2,

h. 314.

27Ali Nurdin, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam al-Qur’an

(39)

Dalam al-Qur’an kata

رْمَأ

yang berarti urusan, selalu berkaitan dengan

hal-hal yang yang menjadi hak prerogatif Allah swt.Hal ini dapat dilihat dari

beberapa ayat. Antara lain, terlihat dari jawaban Allah swt. tentang ruh yang

terdapat pada QS. al-Isra>’/17: 85, datangnya hari kiamat QS. al-Na>zi’a>t/79: 42,

tobat dan azab QS. Ali-Imra>n/3: 57, serta ketentuan syariat agama QS.

al-An’a>m/6: 57, dan lain-lain. Sedangkan dalam konteks ketetapan yang berasal dari

Allah swt.dan rasulullah saw. secara tegas al-Qur’an telah menyatakan bahwa

tidak boleh manusia berpaling atau memilih hukum lain yang telah Allah jelaskan

tersebut. Sebagaimana di dalam al-Qur’an Allah swt.berfirman.28

َِىِرْمَأَْنِمَُةَرَ يِْلْاَُمَُلَََنوُكَيَْنَأَا رْمَأَُوُلوُسَرَوَُوَّللاَىَضَقَاَذِإَ ةَنِمْؤُمَ َلََوَ نِمْؤُمِلََناَكَاَمَو

mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata. (QS. al-Ah}za>b/33: 36).29

Maka dari itu, menurut beberapa ahli tafsir, hal-hal yang boleh

dimusyawarahkan hanya yang berkaitan dengan urusan keduniaan, bukan urusan

agama.30 Rasyid Rida dan Quraish Shihab, merupakanbeberapa tokoh yang

mendukung pendapat tersebut dengan argumentasi bahwa, yang dimaksud

dengan

َ ْمُهَ نْ يَ بَ ىَروُشَ ْمُىُرْمَأ

pada QS. al-Syu>ra>/42 ayat 39, adalah urusan-urusan

duniawi yang biasanya menjadi tanggung jawab seorang pemimpin, bukan urusan

yang berkaitan dengan ibadah, sebab bila pada urusan agama seperti aqidah,

ibadah, halal dan haram dijadikan sebagai objek musyawarah, niscaya agama

28M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Edisi

Baru, vol.2, h. 315.

29Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Dilengkapi Tajwid Warna, h. 487. 30M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,

(40)

akan menjadi ketetapan manusia, padahal agama adalah ketetapan dan otoritas

Allah swt. tidak ada wilayah akal padanya, baik ketika nabi masih hidup atau

setelah wafat.31

Untuk mendukung pendapatnya itu, Rasyid Rida mengambil contoh

musyawarah yang dilakukan oleh rasulullah saw. ketika menentukan taktik

perang pada saat perang Badar. Ketika itu, Hubbab ibn Munzir sebelum

mengutarakan pendapatnya terlebih dahulu bertanya kepada Rasulullah saw.

apakah penentuan posisi pasukan perang yang diambil oleh nabi adalah dari

arahan wahyu atau atas inisiatif nabi sendiri.Dari sinilah Rasyid Rida

berkesimpulan bahwa para sahabat hanya bermusyawarah pada hal-hal yang tidak

diatur oleh wahyu.32

Wahbah al-Zuhaili juga memiliki pandangan yang sama, dalam kitab

tafsirnya dikatakan bahwa materi yang dimusyawarahkan adalah semua perkara

baik hal politik, strategi perang, perdamaian dan segala macam masalah yang

berhubungan dengan kehidupan duniawi.33

Namun, pakar tafsir yang lain memperluas objek yang dapat di

musyawarahkan dan tidak hanya yang berkaitan dengan keduniaan saja, tetapi

juga boleh untuk memutuskan suatu perkara keagamaan berdasarkan

musyawarah. al-Qurtubi misalnya, berpendapat bahwa musyawarah mempunyai

peran dalam agama maupun soal-soal duniawi, namun dengan catatan bahwa

yang dimaksud dengan urusan agama adalah hanya pada perkara yang belum

ditemukan petunjuknya dengan pasti oleh dalil-dalil syar’i. Pelaksanaan

musyawarah tersebut dengan syarat bahwa pelaku musyawarah harus

31Muh}ammad Rasyi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Juz 4, h. 170. Lihat juga, M. Quraish

Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 2, h. 315.

32Muh}ammad Rasyi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Juz 4, h. 170.

33Wahbah al-Zuh}aili>, Tafsi>r al-Muni>r Fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘ah wa al-Manhaj, Juz 3,

(41)

menguasaiilmu yang berkaitan dengan hal yang akan dimusyawarahkan.Misalnya

jika yang dimusyawarahkan menyangkut masalah keagamaan, maka yang terlibat

di dalam musyawarah tersebut harus orang yang menguasai ilmu agama.

Begitupun sebaliknya jika yang di musyawarahkan adalah urusan keduniaan

maka pelaku atau yang terlibat didalam musyawarah adalah orang-orang yang

menguasai ilmu tentang hal yang akan di musyawarahkan tersebut. Oleh

karenanya, ruang lingkup musyawarah dapat mencakup urusan-urusan agama

yang yang tidak ada petunjuknya dan urusan dunia yang petunjuknya bersifat

global maupun tanpa petunjuk dan yang dapat mengalami perubahan dan

perkembangan.34Sehingga muncullah istilah ijma para ulama yangmerupakan

salah satu sumber hukum dalam Islam, dan tidak ada yang meragukannya.

Penulis lebih setuju dengan pendapat yang kedua daripada pendapat

pertama.Namun, meskipun musyawarah dapat masuk kedalam ranah keagamaan

tetapi terbatas hanya pada persoalan-persoalan yang belum ada petunjuknya dari

Allah secara qat}’i, baik yang terdapat di dalam al-Qur’an maupun melalui

sunah-sunah nabi-Nya. Persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Allah

secara qat}’i, tidak dapat dimusyawarahkan.

Permasalahan tentang objek syu>ra>akan lebih jelas jika melihat pandangan

Abdul Muin Salim yang memiliki catatan penting terkait musyawarah:

Pertama, keputusan politik yang diambil melalui musyawarah menjadi

hukum yang mengikat seluuh warga, meski kedudukannya tidak sederajat dengan

hukum yang ditetapkan oleh Allah swt. dengan perantaraan wahyu dan rasulnya.

Para mufassir biasanya menjelaskan kuatnya ikatan ini berdasarkan pada bunyi

ayat at}i>’ullaha waati>’urass>ul waulil amri minkum. Sepanjang ulil amri itu taat

pula kepada Allah swt.

34Abi> Abdillah Muh}ammad bin Ah}mad bin Abu> Bakar al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al

(42)

Kedua, faktanya keputusan-keputusan khulafaurasyidin sebagai

pemimpin ternyata tidak terbatas hanya pada masalah-masalah keagamaan.

Misalnya, keputusan Abu Bakar untuk memerangi orang yang enggan membayar

zakat dan kodifikasi al-Qur’an atau Umar ibn Khattab yang melaksanakan shalat

tarawih secara berjamaah.

Tiga, setiap masalah kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari

keterkaitan pada tiga dimensi keagamaan: Iman, Islam, dan Ihsan. Oleh karena

itu, setiap masalah tidak cukup didekati secara normatif, tetapi juga harus secara

holistik menyangkut semua aspek tersebut.35

Dalam musyawarah tentu masing-masing peserta akan mengeluarkan

pendapatnya, dan tidak jarang terjadi perdebatan karena masing-masing pihak

akan mempertahankan pendapatnya. Maka dari itu, jika terjadi silang pendapat

ada beberapa metode dalam mengambil keputusan yang diajarkan al-Qur’an dan

sunah. Yang pertama, adalah memilih yang terbaik(ahsan). Allah berfirman,

َُهَ نَسْحَأََنوُعِبَّتَيَ فََلْوَقْلاََنوُعِمَتْسَيََنيِذَّلا

(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.36

Kedua, dalam perkara yang menjelaskan pelaksanaan suatu aktivitas.

Dalam masalah ini, keputusan dikembalikan pada pendapat mayoritas atau dapat

dilakukan dengan cara voting. Hal ini sesuai dengan praktik Rasulullah dalam

musyawarah saat perang Uhud.

35Abdul Muin Salim, Fiqih Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 237.

36Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Dilengkapi Tajwid Warna, (Jakarta:

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi ini nantinya akan memberikan informasi letak – letak ATM dalam bentuk peta dan dapat menentukan lokasi ATM terdekat dari posisi nasabah menggunakan formula

Keenam, skripsi yang ditulis oleh Aghis Nikmatul Qomariyah dengan judul Penafsiran Bakri Syahid Terhadap Ayat-ayat al-Qur‟an dan Kewajiban Istri dalam Tafsir al-Huda

Untuk peserta Seleksi Tertulis dan Keterampilan Komputer harap mengambil undangan di kantor KPU Kota Jakarta Pusat pada Hari Sabtu tanggal 2 Juli 2016 pukul 01.00 WIB

(3) Model pembelajaran quantum teaching berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis untuk setiap aspek yang diteliti (kemampuan tata bahasa yaitu penggunaan

Data dalam penelitian ini adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an yang menyebut beberapa istilah yang mendekati kata istri dalam al-Qur‟an,yang lebih spesifik dalam

Tujuan dari dibentuknya ideologi komunis oleh Marx adalah untuk merevolusi tatanan dunia yang ada dengan cara menciptakan sebuah tatanan baru kehidupan, dimana dunia

Lalu dalam menafsirkan surah Al-Maidah ayat 3 ia bependapat bahwa jika seseorang yang tidak mengikuti syariat yang sesuai dengan agama Islam, maka ia telah melakukan

Pola struktur yang ditemukan adalah ﺎًّﺒ ُﺣ ﺎَﮭَﻔَﻐَﺷ ْﺪَﻗ digunakan untuk menunjukan tertutupnya hati Zulaikh}a karena cintanya kepada Yu&gt;suf,