SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Jurusan Tafsir Hadis
pada Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar
Oleh
SYAMSUL ARIFIN NIM: 30300112010
FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK UIN ALAUDDIN MAKASSAR
ii
NIM :30300112010
Tempat/Tgl. Lahir : Luwu Timur, 11 Januari 1994
Jur/Prodi/Konsentrasi : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas/Program : Ushuluddin, Filsafat dan Politik
Alamat : BTN. Samata Indah, Samata-Gowa
Judul : Penafsiran KH. Bisri Mustofa Terhadap Ayat-ayat
Musyawarah dalam Kitab al-Ibri>z Li Ma‘rifah Tafsi>r
al-Qur’a>n al-‘Azi>z.
Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini
benar adalah hasil karya sendiri.Jika dikemudian hari terbukti bahwa ia merupakan
duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian dan seluruhnya, maka
skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.
Samata, 22 April 2018
Penyusun
iv
ُـ َلاَّسلاَو ُةَلاَّصلاَو َْيِْمَلاَعلا ِّبَر ِلله ُدْمَْلَْا
ِؼَرْشَا َىلَع
ٍدَّمَُمُ اَنَلْوَمَو َانِدِّيَس َْيِْلَسْرُمْلاَو ِءَايِبْنَلألْا
دْعَػب اَّمَا ,َْيِْعَْجَْا ِهِبْحَصَو ِهِلَا ىَلَعَو
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt. yang telah menganugerahkanrahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan
sebagaimana mestinya.
Salawat dan taslim senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah
Muhammad saw. sebagai suri teladan yang terbaik bagi umat manusia untuk
keselamatan di dunia dan di akhirat. Begitu pula keselamatan bagi keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang istiqamah mengikuti ajaran-ajarannya.
Penulisan skripsi yang berjudul ‚Penafsiran KH. Bisri Mustofa Terhadap Ayat-ayat Musyawarah Dalam Kitab Tafsir al-Ibri>z Li Ma‘rifah Tafsi>r al-Qur’an al
-‘Azi>z.‛diadakan dalam rangka meraih gelar sarjana al-Qur’an pada Fakultas
Ushuluddin, Filsafat, dan Politik. Penulis telah mencurahkan segenap kemampuan,
baik tenaga, pikiran, waktu, dan materi dalam menyelesaikan skripsi ini. Begitu pula
penulis mampu menyelesaikan dengan baik skripsi ini atas bantuan berbagai pihak,
baik langsung maupun tidak langsung, baik secara materil maupun moril. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Adapun pihak-pihak
yang berperan penting yaitu sebagai berikut:
1. Kedua orang tua penulis, ayahanda Muhammad Jufri Suhadi dan ibunda Siti
Syarifah. Keduanya dengan segenap upaya dan daya telah banyak
memberikan segalanya mulai dari kecil hingga saat ini. Oleh karena itu,
v
Sultan, MA., dan Wakil Rektor III ibu Prof. Siti Aisyah, MA.,Ph.D., yang
telah membina dan memimpin UIN Alauddin Makassar yang menjadi tempat
bagi penulis untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
3. Segenap pimpinan Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik. Bapak Prof. Dr.
Muh Natsir, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik,
bapak Dr. Tasmin Tangngareng, M.Ag., bapak Dr. H. Mahmuddin, S.Ag,
M.Ag, bapak Dr. Abdullah, S.Ag, M.Ag. sebagai Wakil Dekan I,II, dan III.
4. Bapak Dr. H. Muhammad Sadik Sabry, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Ilmu
al-Qur’an dan Tafsir dan Dr. H. Aan Farhani Lc, M.Ag, selaku sekretaris
jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
5. Bapak Prof. Dr. Muh. Galib. M, M.Ag selaku penguji I, dan Bapak Dr. H.
Muhammad Sadik Sabry, M.Ag selaku penguji II, yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk menguji, memberi kritik, serta saran dalam
penyusunan skripsi ini.
6. Kedua pembimbing penulis, Bapak Dr. Muh. Daming. K, M.Ag.
(pembimbing I) dan Dr. Hasyim Haddade, M.Ag. (pembimbing II) yang telah
menyempatkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam
penyelesaian skripsi ini.
7. Para Dosen, Pegawai, karyawan dan karyawati di lingkungan Fakultas
Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar yang telah banyak
vi baik.
9. Kakanda penulis, Syamsuddin yang senantiasa memberikan motivasi dan
dukungan baik secara moril dan materil selama proses penulisan skripsi ini.
10.Sahabat-sahabatku Mahasiswa Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (reguler 2012) yang telah berbagi suka maupun duka selama masa studi di UIN Alauddin Makassar.
Akhirnya, sebagai suatu karya ilmiah, skripsi ini masih mempunyai
kekurangan-kekurangan di dalamnya, baik yang berkaitan dengan materi maupun
metodologi penulisan. Oleh karena itu, sumbangsih pemikiran yang konstruktif
sangatlah diharapkan dalam rangka penyempurnaan karya ilmiah ini.
Romang polong,
Penyusun,8 September 2017.
vii
C. Defenisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7
D. Kajian Pustaka ... 9
E. Metodologi penelitian ... 11
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MUSYAWARAH ... 15-30 A. Pengertian Musyawarah ... 15
B. Ayat-ayat Musyawarah dalam al-Qur’an ... 19
C. Ruang Lingkup Musyawarah dalam al-Qur’an ... 23
D. Orang-orang yang diajak Musyawarah ... 28
BAB III KH. BISRI MUSTOFA DAN KITAB AL-IBRI<Z ... 31-60 A. Latar Belakang KH. Bisri Mustofa……… ... 31
1. Biografi KH. Bisri Mustofa ... 31
2. Pergerakan dan Perjuangan KH. Bisri Mustofa ... 42
3. Corak Pemikiran KH. Bisri Mustofa……… ... 49
4. Karya-karya KH. Bisri Mustofa……… ... 50
B. Kitab Tafsir al-Ibri>z... ... 53
1. Latar Belakang Penulisan Kitab al-Ibri>z ... 53
2. Sistematika Kitab al-Ibri>z ... 55
3. Metode dan Corak Kitab Kitab al-Ibri>z ... 56
4. Sumber Penafsiran Kitab Kitab al-Ibri>z ... 59
BAB IV PENAFSIRAN KH. BISRI MUSTOFA TERHADAP AYAT-AYAT MUSYAWARAH DALAM KITAB AL-IBRI<Z ... 61-70 A. Penafsiran KH>. Bisri Mustofa Terhadap Ayat-ayat Musyawarah .61 1. Tafsir QS. al-Baqarah/2: 233……….... ... 61
2. Tafsir QS. Ali-‘Imra>n/3: 159………... ... 65
3. Tafsir QS. al-Syu>ra>/42: 38……….. ... 67
viii dilihat pada tabel berikut:
1. Konsonan
Huruf Arab Nama HurufLatin Nama
ا
Alif tidak dilambangkan tidak dilambangkanix
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut:
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Contoh:
َفْيَك
: kaifaَؿْوَه
: haula3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Nama Huruf Latin Nama
Tanda
fath}ah a a
َ ا
kasrah i iَ ا
d}ammah u u
َ ا
Nama Huruf Latin Nama
Tanda
fath}ah dan ya>’ ai a dan i
ْىَػ
fath}ah dan wau au a dan u
x Contoh:
َتاَم
: ma>taىَمَر
: rama>َلْيِق
: qi>laُتْوَُيَ
: yamu>tu 4. Ta>’ marbu>t}ahTransliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua, yaitu: ta>’ marbu>t}ah yang hidup atau mendapat harakat fath}ah, kasrah, dan d}ammah, transliterasinya adalah [t].
Sedangkan ta>’ marbu>t}ah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah [h].
Kalau pada kata yang berakhir dengan ta>’ marbu>t}ah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta>’
marbu>t}ah itu ditransliterasikan dengan ha (h).
Contoh:
َلاُةَضْوَر
ِؿاَفْط
:raud}ah al-at}fa>lةَلِضاَفْلَاُةَنْػيِدَمْلَا
ُ : al-madi>nah al-fa>d}ilah
ِْلَْا
ةَمْكْم
ُ : al-h}ikmah
5. Syaddah (Tasydi>d)
Syaddah atau tasydi>d yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda tasydi>d( ّّ)dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan d}ammahdan wau
ُػو
u> u dan garis di atasxi
َانْيََّنَ
: najjaina>ّقَْلَْا
: al-h}aqqِّعُػن
َم
: nu‚imaوُدَع
: ‘aduwwunJika huruf ى ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf kasrah ( ىـِــــ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddahmenjadi i>.
Contoh:
ىِلَع
: ‘Ali> (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)بَرَع
: ‘Arabi> (bukan‘Arabiyy atau ‘Araby)6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf
ؿا
(aliflam ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiyah maupun huruf qamariyah. Kata
sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang
ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis
men-datar (-).
Contoh:
ُسْمَّشلَا
: al-syamsu (bukan asy-syamsu)ةَلَزْلَّزلَا
ُ : al-zalzalah(az-zalzalah)
ةَفَسْلَفْلَا
xii
kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.
Contoh:
ْأَت
َفْوُرُم
: ta’muru>naُعْوَّػنلَا
: al-nau‘ءْيَش
: syai’unُتْرِمُأ
: umirtu8. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau
kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat
yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, atau
sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, atau lazim digunakan dalam dunia
akademik tertentu, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya,
kata al-Qur’an(dari al-Qur’a>n), alhamdulillah, dan munaqasyah. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka harus
ditransli-terasi secara utuh. Contoh:
Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n
Al-Sunnah qabl al-tadwi>n
9. Lafz} al-Jala>lah (
للها
)Kata ‚Allah‛yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau
berkedudukan sebagai mud}a>f ilaih (frasa nominal), ditransliterasi tanpa huruf
xiii ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:
ُْه
ِللهاِةَْحمَرْػيِف
hum fi> rah}matilla>h 11.Huruf KapitalWalau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam
transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf
kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf
kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat,
bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh
kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama
diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.Jika terletak pada awal kalimat,
maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-).
Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang
didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam
catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh:
Wa ma> Muh}ammadun illa> rasu>l
Inna awwala baitin wud}i‘a linna>si lallaz\i> bi Bakkata muba>rakan Syahru Ramad}a>n al-laz\i> unzila fi>h al-Qur’a>n
Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si>
Abu>> Nas}r al-Fara>bi>
Al-Gaza>li>
xiv B. Daftar Singkatan
Beberapa singkatan yang dibakukan adalah:
swt. = subh}a>nahu> wa ta‘a>la>
saw. = s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam
a.s. = ‘alaihi al-sala>m
H = Hijriah
M = Masehi
SM = Sebelum Masehi
l. = Lahir tahun (untuk orang yang masih hidup saja)
w. = Wafat tahun
QS …/…: 4 = QS. al-Baqarah/2: 4 atau QS Ali-‘Imra>n/3: 4
HR = Hadis Riwayat
KH = Kiai Haji
Gg = Gang
Abu> al-Wali>d Muh}ammad ibn Rusyd, ditulis menjadi: Ibnu Rusyd, Abu> al-Wali>d Muh}ammad (bukan: Rusyd, Abu> al-Wali>d Muh}ammad Ibnu)
xv
dalam Kitabal-Ibri>z Li Ma‘rifah Tafsi>r al-Qur’an al-‘Azi>z.
Skripsi ini membahas ayat-ayat tentang musyawarah yang terdapat di dalam al-Qur’an berdasarkan penafsiran Bisri Mustofa. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui a) pengertian musyawarah, b) penafsiran KH. Bisri Mustofa terhadap ayat-ayat musyawarah. Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan (Library research). Metode pengumpulan data dengan menggunakan metode dokumentasi, yaitu mengutip, mengikhtisarkan, dan menyadur dari berbagai literatur yang memiliki relevansi dengan objek kajian. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif yang menggunakan metode analisis isi (content analysis), dengan menggunakan pendekatan ilmu tafsir.
Dengan pendekatan tersebut, hasil penelitian ini menunjukkan bahwamusyawarah adalah suatu kegiatan saling bertukar pikiran, gagasan ataupun ide-ide yang baik dengan maksud untuk mengambil keputusan yang terbaik atas suatu permasalahan yang dihadapi bersama-sama. Dalam kitab al-Ibri>z, Bisri Mustofa menafsirkan kata syu>ra> dengan satu kata yaitu ‚rembukan‛, yang berarti saling berdiskusi, tukar pendapat, dan saling nasihat-menasihati yang mana dalam pelaksanaannya proses berembuk atau saling bertukar pendapat tersebut harus sampai kata sepakat (kanti mufakat). Artinya tidak boleh pendapat seseorang dipaksakan kepada yang lainnya, karena dalam musyawarah setiap orang mempunyai hak dan kedudukan yang sama, saling menghargai pendapat, tidak ada tekan menekan, tidak ada sifat dan sikap otoriter, melainkan demokratis.
Implikasi penelitian ini adalah bahwa syu>ra> bukanlah suatu kata yang hampa makna, namun syu>ra> adalah salah satu metode dalam pengambilan keputusan yang diajarkan oleh al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an menyebut perintah untuk
1
Syu>ra> (musyawarah) merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam.
Banyak cendekiawan muslim menjadikan musyawarah sebagai dasar dari teori
pemerintahan. Oleh karena itu, sangat beralasan jika kajian tentang syu>ra> atau
musyawarah bukan hal yang baru dikalangan umat Islam, bahkan masih
menimbulkan banyak perdebatan hingga saat ini.
Pengertian syu>ra >dewasa ini seringkali dikaitkan dengan sistem demokrasi
dan parlementer. Menurut Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi al-Qur’an
memandang bahwa, syu>ra> merupakan suatu forum dimana setiap orang
mempunyai kemungkinan untuk terlibat dalam urun rembug, tukar pikiran,
membentuk pendapat dan memecahkan suatu persoalan bersama atau
musyawarah, baik masalah-masalah yang menyangkut kepentingan maupun nasib
anggota masyarakat yang bersangkutan.1 Menurutnya juga, penafsiran terhadap
istilah syu>ra> atau musyawarah nampaknya mengalami perkembangan dari waktu
ke waktu. Bahkan pengertian dan persepsi tentang kata yang syarat makna ini
mengalami evolusi. Evolusi itu terjadi sesuai dengan perkembangan pemikiran,
ruang, dan waktu. Pada saat ini, pengertian musyawarah dikaitkan dengan
beberapa teori politik modern, seperti sistem republik, demokrasi, parlemen,
sistem perwakilan, senat, formatur, dan berbagai konsep yang berkaitan dengan
sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.2
1M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Kosep-Konsep
Kunci (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 440
2M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Kosep-Konsep
Salah satu ayat dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang musyawarah melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.3
Pada ayat di atas, perintah untuk melaksanakan musyawarah
disandingkan dengan perintah shalat dan juga berinfak. Maka hukum untuk
melaksanakan bermusyawarah sama derajatnya dengan perintah shalat dan infaq
atau zakat.
Jika ditelusuri secara historis, konsep musyawarah telah ada sejak zaman
pra Islam. Salah satu contohnya adalah ketika zaman Jahiliyah, masyarakat Arab
pada saat itu memiliki sebuah forum musyawarah yang diselenggarakan di rumah
Qusay ibn Kilab, yang disebut Da>r an-Nadwah, yang dihadiri para pembesar dan
orang-orang yang dianggap sebagai orang yang bijak dan berpengaruh. Dalam
forum tersebut dibicarakan berbagai persoalan umat, termasuk kepemimpinan.4
Pada masa kenabian, nabi Muhammad saw. juga melakukan musyawarah.
Namun, musyawarah yang dilakukan oleh nabi tidak pada semua aspek
melainkan hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan keduniaan, karena dalam
masalah aqidah dan hukum agama diselesaikan dengan al-Qur’an atau ijtihad
nabi yang memiliki posisi sebagai seorang rasul.5Contoh musyawarah yang
3Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Cet. I; Bandung: Sygma, 2014), h h.
488.
4M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Kosep-Konsep
Kunci, h. 445.
5Ahmad Nursalim, ‚Syura Pada Masa Nabi Muhammad Saw Di Madinah Tahun 622-632
pernah dilakukan oleh nabi adalah ketika terjadinya peristiwa pada perang Badar,
Uhud, Khandaq, dan sebagainya. Setelah meninggalnya nabi Muhammad saw.
beliau tidak meninggalkan pesan atau wasiat tentang siapa diantara para sahabat
yang akan menggantikan posisi beliau sebagai pemimpin umat. Sementara
didalam al-Qur’an dan hadis tidak terdapat petunjuk bagaimana cara menentukan
pemimpin umat dan kepala negara sepeninggal beliau, selain hanya penunjukan
yang bersifat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam
masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah harus
diselenggarakan. Kondisi tersebut merupakan penyebab utama mengapa
penerapan sistem pemerintahan masa Khulafa al-Rasyidin ditemukan banyak
ragam dan variannya.6
Dari gambaran diatas, konsep syu>ra> oleh sebagian kalangan dijadikan
sebagai padanan dari sistem negara modern seperti demokrasi, termasuk oleh
sebagian tokoh muslim di Indonesia. Maskuri, di dalam bukunya bahkan
menyimpulkan bahwa semua intelektual muslim Indonesia menerima sistem
demokrasi dan bahkan mendukungnya sebagai sistem yang harus dipraktikkan
dalam masyarakat Islam. Menurutnya pula, dukungan mereka terhadap
demokrasi ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, nilai-nilai demokrasi ini
sejalan dengan nilai-nilai Islam kehidupan sosial, terutama prinsip musyawarah
sebagaimana yang tertera dalamQS. Ali-Imran/3: 159 dan al-Syu>ra>/42: 38, kedua,
sistem demokrasi ini merupakan cara yang tepat untuk mengartikulasikan
aspirasi Islam, karena umat Islam adalah mayoritas di Indonesia, sedangkan
6Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UII
pengertian demokrasi sendiri mengandung pengertian pemerintahan mayoritas
(majority rule).7
Namun, disisi lain ada pendapat yang menolak konsep syu>ra> untuk
dijadikan sebagai padanan dari sistem negara modern seperti demokrasi, dengan
asumsi bahwa dalam demokrasi, semua rakyat dapat menyuarakan pendapat
mereka sebebas-bebasnya, sementara di dalam Islam kebebasan manusia dibatasi
oleh Allah swt. Oleh karena itu, menyamakan demokrasi dengan syu>ra
merupakan bentuk kesyirikan,karena sama dengan menyekutukan kekuasaan
Allah. Menurut pendapat itu pula, demokrasi Barat jelas tidak hanya tidak sesuai
dengan Islam, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.8
Penerimaan dan penolakan syu>ra> sebagai padanan dari sistem negara
modern menjadi pertarungan wacana yang kaya argumen, selain karena perintah
untuk bermusyawarah ada didalam al-Qur’an, musyawarah juga sangat terkait
dengan kehidupan sosial umat Islam terutama di era modern seperti saat ini.
Persoalan tentang perlu atau tidaknya menerima syu>ra> sebagai padanan
pemerintahan modern membuat kajian ini menjadi lebih menarik jika kajian ini
menggunakan tokoh yang memiliki kualitas sebagai mufassir sekaligus politikus
sepertiKH. Bisri Mustofa.
KH. Bisri Mustofa dikenal sebagai seorang Kiai kharismatik
yangmerupakan pengasuh Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin Rembang
JawaTengah. selain sebagai pengasuh pondokpesantren, beliau juga seorang
7Maskuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993 (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999), h. 307-308.
politikushandal, yang telah dibuktikannya dengan seringnya masuk menjadi salah
satu anggota di MPR.9
Pemikirankeagamaan KH. Bisri Mustofa dinilai oleh banyak
kalanganbersifat moderat. Sikap moderat ini merupakan sikap yang diambil
denganmenggunakan pendekatan ushul fiqh yang mengedepankan kemaslahatan
dankebaikan umat Islam yang disesuaikan dengan situasi, kondisi zaman dan
masyarakatnya. Beliau termasuk salah satu tokoh NU yang setuju dengan adanya
Nasakom Padahal waktu itu banyak kritikan, cemoohan dan banyak orang yang
tidak setuju dengan adanya ide Nasakom itu. Akan tetapi keberanian sikap KH.
Bisri Mustofa tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa ketika sebuah
pemerintahan terdiri dari kekuatan masyarakat yang mayoritas, maka
pemerintahan tersebut menjadi kuat dan solid. Sehingga pemerintah bisa
mengetahui kebutuhan dan mampu memberikan yang terbaik bagi mayoritas
warga bangsa Indonesia.10
KH. Bisri Mustofa merupakan seorang yang sangat produktifdalam
menulis, maka tidak heran jika pemikiran-pemikiran beliau itu dituangkandalam
bentuk tulisan yang disusunnya menjadi buku, manuskrip, dan sebagainya.
Banyak sekali karya beliau yang sampai sekarang menjadi rujukan bagi para
ulama dan santri di Indonesia dan di Jawa khususnya. Hasil karyanya yang sudah
tercetak kira-kira sebanyak 176 buah.11 Salah satu dari hasil buah karyanya yang
terbesar adalah Tafsi>r al-Ibri>z Li Ma’rifah Tafsi>r al-Qur’a>nal-‘Azi>z atau yang
lebih populer dikenal dengan nama ‚Tafsi>r al-Ibri>z‛.
9Ahmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa (Cet.
II:Yogyakarta: LkiS, 2011), h. 39.
10Luqman Chakim, ‚Tafsir Ayat-ayat Nasionalisme Dalam Tafsir al-Ibri>z Karya KH.
Bisri Mustofa‛ Skripsi (Semarang: Fak. Ushuluddin IAIN Wali Songo, 2014),h. 10.
Penafsiran KH. Bisri Mustofa menarik untuk dikaji karena beberapa
alasan. Pertama, karena dia adalah salah satu mufassir lokal yang sudah tidak
asing lagi di Indonesia terutama di kalangan pesantren salafiyah di pulau
Jawa.Kedua, urgensitas kajian ini terlihat dari latar belakang KH. Bisri Mustofa
itu sendiri. Dia adalah tokoh yang unik pada masanya, dia adalah seorang ulama
yang mengasuh sebuah pondok pesantren namun pada saat yang samapula dia
adalah seorang politikus yang disegani di tengah masyarakat.
Adapun hal yang menarik dari kitab tafsir al-Ibri>z itu sendiri adalah kitab
ini merupakan kitab tafsir yang cukup terkenal terutama di kalangan masyarakat
Jawa. Kitab ini memang sengaja ditulis oleh KH. Bisri Mustofa dengan
menggunakan bahasa Jawa guna memudahkan masyarakat yang tidak atau
kurang faham dengan bahasa Arab. Selain itu yang menarik dari kitab tafsir ini
adalah sebelum KH. Bisri mulai menulisnya dia terlebih dahulu melakukan
diskusi-diskusi yang mengkaji kitab-kitab tafsir yang muktabar seperti Tafsi>r
Manar karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida, Tafsi>r fi> Zila>l
al-Qur’a>n karya Sayyid Qutub, Tafsi>ral-Jawa>hir karya T{ant}awi Jauhari,
Tafsi>rMah{asin al-Tafsi>r karya al-Qasimi, dan Kitab Maya>za> al-Qur’an karya Abu
Su’ud, dan sebagainya12. Artinya, terdapat kemungkinan bahwa penafsiran KH.
Bisri Mustofa juga dipengaruhi oleh penulis kitab-kitab tafsir tersebut.
Oleh sebab itu, kajian ini akan lebih spesifik membahas tentang syu>ra>
(musyawarah) menurut pandangan KH. Bisri Mustofa khususnya dalam kitab
tafsir al-Ibri>z Li Ma’rifati Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Azi>z.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan rangkaian latar belakang masalah tersebut, maka masalah
pokok yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah; Bagaimana penfsiran KH.Bisri
Mustofa terhadap ayat-ayat musyawarah dalam kitab Tafsir al-Ibri>z?
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan sistematis, maka dari
pokok permasalahan tersebut di atas, dirinci ke dalam sub bahasan sebagai
berikut:
1. Bagaimana Pengertian Musyawarah?
2. Bagaimana Penafsiran KH. Bisri Mustofa tentang Ayat-ayat Musyawarah
dalam kitabal-Ibri>z?
C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian
Skripsi ini berjudul ‚Penafsiran Bisri Mustofa Terhadap Ayat-Ayat
Musyawarah Dalam Kitab al-Ibri>z li Ma’rifah Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Azi>z‛. Untuk
mengetahui alur yang terkandung dalam judul ini, maka penulis menguraikan
maksud judul tersebut yang pada garis besarnya didukung tiga istilah. Yakni:
Tafsir, Musyawarah, dan kitab al-Ibri>z li Ma’rifah Tafsi>r al-Qur’an al-‘Azi>z bi al
-Lugati al Ja>wiyyah.
1. Tafsir
Secara bahasa, tafsir berasal dari bahasa arab, yakni bentuk masdar dari
kata fassara> yang semakna dengan id}ah dan tabyin. Kata tersebut dapat
diterjemahkan dengan ‚menjelaskan‛ atau ‚menyatakan‛.13 Didalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia kata tafsir di artikan dengan penjelasan atau keterangan
tentang ayat-ayat al-Qur’an. Terjemahan al-Qur’an masuk kedalam kelompok
ini. jadi, tafsir adalah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud
yang sukar memahaminya dari ayat-ayat al-Qur’an. dengan demikian
menafsirkan al-Qur’an adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang
sulit pemahamannya dari ayat-ayat tersebut.14
2. Musyawarah
Kata Syu>ra> terambil dari kata syawara, yang pada mulanya bermakna
syirtu al-‘asalyaitumengambil madu dari sarang lebah.15Makna ini kemudian
berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat).16 Dari asal kata ini kemudian
muncul kata musyawarah, yaitu suatu kegiatan saling bertukar pendapat, ide dan
gagasan dari para peserta musyawarah dan akan dipilih pendapat yang terbaik
dari beberapa pendapat tersebut.
Sementara itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata musyawarah
berarti pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atau
penyelesaian masalah, perundingan atau perembukan.17
Dari paparan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa syu>ra> atau
musyawarah adalah suatu kegiatan yang melibatkan beberapa orang dalam suatu
forum untuk mengambil sebuah keputusan atau mufakat bersama.
3. Kitab Tafsir Al-Ibri>z
Kitab al-Ibri>z li Ma’rifah Tafsi>r al-Qur’an al-‘Azi>z bi al-Lugah al
Ja>wiyyah atau kitab tafsir al-Ibri>z, adalah sebuah nama kitab tafsir yang ditulis
oleh KH. Bisri Mustofa pengasuh pondok pesantren Roudlotut Tholibin
Rembang Jawa Tengah.
14Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an: Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat yang Beredaksi Mirip (Cet.I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 39-40.
15Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir(Surabaya: Pustaka Progreesif, 1997),
h. 750.
16M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Edisi Baru, Vol. II (Cet. V; Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 312.
17Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kitab tafsir al Ibri>z, ditulis dengan menggunakan huruf Arab Pegon, yaitu
huruf huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawadanbahasa
Sunda.18Kitab tafsir al-Ibri>z termasuk kedalam golongan kitab tafsir yang
lengkap karena menafsirkan al-Qur’an mulai dari surat al-Fatih}ah sampai surat
al-Na>s.
Berdasar dari beberapa keterangan di atas, maka maksud yang
terkandung dalam judul skripsi ini adalah upaya untuk
mengetahuitafsiranayat-ayat yang berkaitan dengan musyawarah, sesuai
yang terdapat dalam Tafsir al-Ibri>z karya KH. Bisri Mustofa.
Ruang lingkup sebagai obyek bahasan yang terkandung di dalam judul
kajian ini, adalah penelusuran terhadap ayat-ayat musyawarah, yakni pada QS
al-Baqarah/2: 233, QSAli-Imran/3: 158, dan QS al-Syu>ra>/42: 38.
D. Kajian Pustaka
Setelah melalui beberapa pemeriksaan pustaka, sesuai dengan masalah
yang dirumuskan diatas, penulis menemukan beberapa buku, skripsi, jurnal,dan
sebagainya. Di antara hasil penelititian ilmiah yang bertemakan musyawarah dan
pemikiran KH. Bisri Mustofa adalah:
Islam dan Tata negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran buku karya
Munawir Sjadzali. Dalam buku ini, ia mengupas kesejarahan konsep syu>ra> dalam
Islam yang pada akhirnya menemukan beberapa unsur yang bisa dijadikan
landasanpemerintahan, di antaranya ialah kedudukan manusia, musyawarah,
ketaatan kepada pemimpin, keadilan, persamaan, dan hubungan antar umat.
Fiqih Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an buku karya
Abdul Muin Salim.Pada buku ini dijelaskan tentang pola kepemimpinan serta
18Kata Pegon konon berasal dari bahasa Jawa pego yang berarti menyimpang. Sebab bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab dianggap sesuatu yang tidak lazim. Lihat ‚Pegon‛,
metode-metode pengambilan kebijakan publik dalam perspektif al-Qur’an.
Dalam pandangan Muin Salim, suatu ketetapan keputusan politik yang diambil
melalui musyawarah menjadi hukum yang bersifat mmengikat seluruh warga,
meski kedudukan hukum tersebut tidak sederajat dengan hukum yang ditetapkan
oleh Allah swt. dengan perantaraan wahyu dan rasulnya.
Syu>ra> Pada Masa Nabi Muhammad saw di Madinah Tahun 622-632 M
dan Aktualisasinya Pada Masa Kontemporer, skripsi karya Ahmad Nursalim.
Dalam skripsi ini dijelaskan tentang kondisi masyarakat Arab sebelum masa
kedatangan Nabi, yang mana pada kehidupan mereka selalu diliputi dengan
perseteruan dan peperangan antar suku, sehingga sulit untuk mewujudkan
kesatuan dan persatuan politik di bawah satu pemerintahan. Kemudian, pada
masa setelah hijrahnya nabi ke kota Madinah dan nabi mendirikan negara Islam
pertama di dunia ini, maka nabi menetapkan konsep musyawarah menjadi sebuah
metode dalam mengambil keputusan politik.
Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa oleh Ahmad
Zainal Huda. Pada buku tersebut dibahas tentang riwayat hidup Bisri Mustofa
dan kiprahnya baik pada bidang politik, dakwah, seni, pendidikan, budaya, dan
perdagangan. Buku ini mencoba menghadirkan sosok KH. Bisri Mustofa dalam
menundukkan zamannya yang mengalami disoerientasi. Liku-liku kehidupan
yang kelam dan serba kekurangan mampu di hadapinya dengan arif.
Tafsir al-Ibri>z li Ma’rifati Tafsi>r al-Qur’an al-‘Azi>z Karya KH. Bisri
Mustofa: Studi Metodologi dan Pemikiran, Tesis karya Iing Misbahuddin. Tesis
pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijagaini meneliti tentang
metodologi penafsiran yang di gunakan oleh KH. Bisri Mustofa dalam menulis
kitab tafsir tersebut, dan sebagai kesimpulannya adalah metode yang digunakan
salah satu rujukan KH. Bisri Mustofa dalam menyusun kitab tafsirnya. Selain itu,
Iing Misbahuddin juga mencoba untuk mengungkap pemikiran KH. Bisri
Mustofa dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu ide-ide KH. Bisri Mustofa
berdasarkan latar belakang pendidikan dan sosialnya, yang diungkapkan dalam
keterangan-keterangan atau penjelasan-penjelasan penafsirannya dan tidak
membahas tentang keterpengaruhan tafsir ini dengan tafsir lainnya.
Beberapa karya ilmiah di atas merupakan karya ilmiah yang membahas
tema musyawarah dan pemikiran KH. Bisri Mustofadari berbagai perspektif.
Penulis merasa belum ada karya ilmiah yang membahas tentang musyawarah
menurut al-Qur’an studi atas pemikiran KH. Bisri Mustofa. Penelitian ini
diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap pembahasan tema
musyawarah yang telah ada
E. Metodologi Penelitian
Sebuah karya ilmiah tidak terlepas dari kerangka landasan ilmiahnya pula.
Salah satu kriterianya adalah mempunyai metodologi yang sistematis agar
memudahkan dalam penyusunannya serta dapat dipertanggungjawabkan. Berikut
ini adalah beberapa metode dan langkah yang ditempuh dalam penelitian ini:
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini berjenis penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif-analitik dan merupakan penelitian kepustakaan (library research). Jenis penelitian
kualitatif sesuai untuk diterapkan pada penelitian ini, karena penelitian ini
dimaksudkan untuk menggambarkan secara komprehensif sumber-sumber
kepustakaan,dan digunakan untuk menjawab pokok permasalahan yang telah di
rumuskan.19
2. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini akan disesuaikan
dengan objek permasalahan yang dikaji. Sebagaimana tersebut di atas, objek
penelitian yang dikaji dalam tulisan ini berupa pemikiran, maka pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pendekatan sejarah (historis), pendekatan ini digunakan untuk melihat
biografi, riwayat pendidikan dan perjuangannya KH. Bisri Mustofa.
Pendekatan yuridis (hukum), pendekatan ini digunakan untuk melihat
penafsiran KH. Bisri Mustofa dari aspek hukum Islam.
Pendekatan Tafsir. Hal tersebut digunakan karena dalam penelitian ini
membahas mengenai bentuk penafsiran yang tentunya menggunakan disiplin
ilmu yang relevan dengan itu yaitu ilmu tafsir.
3. Metode Pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah metode
dokumentasi, yaitu mencari data atau catatan, transkrip, buku, majalah, dan
sebagainya.20
Adapun sumber dari penelitian ini memiliki dua jenis, yaitu sumber
primer dan sumber sekunder. Sumber primer yang dimaksud adalah kitab tafsir
al-Ibri>z Li Ma’rifah Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Azi>z bi al-Lugah al-Ja>wiyyah, dan
sumber sekundernya adalah berbagai literatur, buku, dan sebagainya yang
memiliki relevansi dengan objek penelitian diatas.
Karena penelitian ini menggunakan tafsir al-Ibri>z sebagai kajian utama
dan hal-hal yang berkaitan dengan musyawarah. Maka dalam hal ini penulis
mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan unsur-unsur
musyawarah dan diuraikan secara sistematis.
4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Agar data yang diperoleh dapat dijadikan sebagai bahasan yang akurat,
maka peneliti menggunakan dua metode pengolahan dan analisis data yang
bersifat kualitatif dengan cara berpikir yaitu sabagai berikut:
a. Teknik Pengolahan Data
Dalam mengolah data, ada beberapa langkah yang harus ditempuh
agar efisien dan tingkat validitasnya lebih terpercaya, diantaranya:
1) Collecting data, Mengumpulkan data sebanyak mungkin yang berkaitan
dengan penelitian,
2) Displaying data, Mengecek ulang semua data yang telah dikumpulkan,
3) Reducing data, Menyeleksi data-data yang telah dicek ulang
4) Reliable data, menguji validitas data yang sudah diseleksi, dan
5) Conclusing data, menyimpulkan semua data yang telah dihimpun yang
kemudian dimasukkan dalam penelitian.
b. Teknik Analisis Data
Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini ialah:
1) Deduktif, yaitu mencari berbagai macam literatur atau referensi yang
berkaitan tentang musyawarah dalam al-Qur’an. Kemudian memulainya
dengan membahas tentang musyawarah secara umum.
2) Induktif, yaitu berusaha mengkaji secara khusus tentang musyawarah
dalam al-Qur’an yang termaktub dalam QS. al-Baqarah/2: 233, QS.
Ali-Imra>n/3: 159, dan QS. al-Syu>ra>/42: 38 dengan menelaah penafsiran KH.
Bisri Mustofa, kemudian mengembangkannya kepada berbagai literatur
yang berkaitan, misalnya buku-buku yang membahas tentang
dalam skripsi ini berusaha menjelaskan tentang musyawarah dalam
al-Qur’an dengan melihat penafsiran KH. Bisri Mustofa.
F. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan
Sesuai dengan gambaran diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui hakikat musyawarah
b. Mengetahui penafsiran KH. Bisri Mustofa terhadap ayat-ayat
tentangmusyawarahdalam kitab al-Ibri>z.
2. Kegunaan
Penelitian ini memiliki dua kegunaan yang diharapkan bermanfaat bagi
kepentingan pengembangan ilmiah (akademik) dan untuk kepentingan terapan
(praktis). Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
a. Kegunaan ilmiah atau akademik, penelitian ini diharapkan dapat
bergunauntuk memperkaya khazanah ilmu keislaman, khususnya tentang
kajian kitab-kitab tafsir karya ulama Nusantara. Serta bisa dijadikan bahan
perbandingan penelitian yang berkenaan dengan pemikiran tokoh atau
penafsirlainnya yang berkaitan dengan musyawarah.
b. Kegunaan praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
referensi untuk meningkatkan pemahaman terhadap ajaran al-Qur’an,
khususnya dalam hal penyelesaian suatu masalah berdasarkan metode yang
15
Kata
ََرة
ََواَشُم
, merupakan masdar dari kata kerja yang tersusun dari tigahuruf yaitu
ر
-
و
-
ش
yang berarti ‚memulai sesuatu, menampakanya, danmelebarkannya‛.1Dari asal kata tersebut jika dibentuk lafal fi’il dengan pola
fa>’ala, maka terbentuk kata
َ ة
اََوََر
َُمََش
َُر-
َِوا
َُيََش
-
ََرَو
ََشا
َ
yang berarti ‚menjelaskan,menyatakan, mengambil sesuatu, dan saling bertukar pendapat‛, seperti pada
kalimat
ىِرْمَأَ ِفَِ ا نَلاُفَ ُتْرَو
ََشا
‚aku mengambil pendapat si fulan mengenaiurusanku‛2. Selanjutnya, dari kata
ََشا
رَو
ini terbentuk sekian banyak kata lainnya, seperti tasya>wur (perundingan), asya>ra (memberi isyarat), sya>wir (memintapendapat), tasya>wara (saling bertukar pikiran), al-masyu>rah (nasihat atau saran),
dan musytasyi>r (meminta pendapat orang lain).3
Pendapat lain mengatakan bahwa musyawarah berasal dari kata -
روشي
-
راش
اروش
, yang berarti mengambil madu dari tempatnya.4Kemudian makna ini berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil ataudikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Kata musyawarah pada dasarnya
hanya digunakan pada hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Madu
bukan hanya manis, melainkan juga obat dari berbagai macam penyakit,
1Abu> H{usain Ah{mad bin Faris bin Zakariyya, Mu’jam Maqa>yis al-Lugah, Juz 3 (t.t: Da>r
al-Fikir,t.th), h. 226.
2Abu> H{usain Ah{mad bin Faris bin Zakariyya, Mu’jam Maqa>yis al-Lugah, Juz 3, h. 226. 3Musdah Mulia, ‚Syu>ra>‛ dalam Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata ed. M. Quraish
Shihab,vol.5 (Cet, I; Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 299.
4Ibn Manzur Jama>l al-Di>n al-Ans}ari>, Lisa>n al-‘Arab, Juz 6 (Mesir: Da>r al-Mis}riyyah,
t.th), h. 26. Lihat juga, Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Pustaka Progressif: Surabaya, 1997), h. 750.Louis Ma’luf, Qamu>s Munjid Fi Lugah wa
sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Oleh karena itu, musyawarah juga
harus untuk tujuan yang baik dan menghasilkan sesuatu yang baik pula.5
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata musyawarah diartikan sebagai
pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian
bersama. Selain itu dipakai juga kata musyawarah yang berarti berunding dan
berembuk.6
Merujuk pada pengertian yang sudah ada, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa musyawarah dapat diartikan sebagai suatu kegiatan saling
bertukar pikiran, gagasan ataupun ide-ide yang baik dengan maksud untuk
mengambil keputusan yang terbaik atas suatu permasalahan yang dihadapi
bersama.Dengan demikian, suatu majelis atau institusi yang dibentuk untuk
melaksanakan musyawarah dapat disebut sebagai majelis syura atau majelis
permusyawaratan.Musyawarah juga dapat dijadikan sebagai media untuk
menyelesaikan segala problem.Dalam salah satu riwayat disebutkan keutamaan
dari bermusyawarah. kecewa orang yang beristikharah, tidak akan menyesal orang yang musyawarah, dan tidak akan sengsara orang yang berhemat. (HR. al-T{abrani).7
5M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,vol.2 (Cet. V; Lentera Hati: Jakarta, 2012), h.
312.
6Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), h. 603.
7Sulaima>n bin Ah}mad bin Ayyu>b Abu> al-Qasim al-T{abrani>, Mu’jam al-S{agi>r, Juz. II
(Cet. I; Beirut: Maktab al-Islami>, 1405H/1985M), h. 175. Namun, hadis tersebut dinilai Maudu’
Menurut al-Syaukani musyawarah berarti saling memberi dan mengambil
pendapat dalam suatu pertemuan. Dalam proses pengambilan pendapat tersebut,
akan diperoleh mutiara-mutiara berharga dan pikiran-pikiran cemerlang yang
mungkin tidak akan didapatkan dengan berpikir sendirian. Oleh karena itu, setiap
orang yang terlibat musyawarah harus menghargai pendapat orang lain, terlepas
dari bagus tidaknya pendapat tersebut.8
Menurut Wahbah al-Zuhaili, musyawarah adalah saling bertukar pikiran
untuk mengetahui kebenaran.9 Dengan demikian, melalui musyawarah akan
diketahui apakah suatu perkara itu baik atau tidak. Dan dengan musyawarah pula
akan diambil keputusan yang terbaik dari berbagai pendapat yang dikeluarkan
oleh para peserta musyawarah.
Fakhruddin al-Razi, mengatakan bahwa setiap orang yang ikut
bermusyawarah akan berusaha mengemukakan pendapat yang baik, sehingga
akan diperoleh pendapat yang menyelesaikan problem yang dihadapi.10
Musyawarah memiliki landasan syar’i dalam Islam, baik al-Qur’an
maupun sunah nabi saw. menekankan pentingnya musyawarah bagi kaum
muslimin. Tidak ada perbedaan di antara para ulama mengenai legalitas syu>ra>
dalam Islam, sebab hakikat syu>ra> adalah mengungkapkan pendapat kepada yang
diberi nasihat, diminta maupun tidak diminta.Dengan demikian, musyawarah
dalam Islam ditetapkan Allah sebagai sifat orang-orang beriman.11
8Muh}ammad bin ‘Ali bin Muh}ammad bin ‘Abdullah al-Syaukani>, Fath} al-Qadi>r al-Ja>mi’
Baina Fannai al-Riwa>yah wa al-Dira>yah min ‘Ilmi al-Tafsi>r, Juz 1 (Beirut: Da>r al-Fikir, 2005M), h. 593.
9Wahbah al-Zuh}aili>, Tafsi>r al-Muni>r Fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘ah wa al-Manhaj, Juz 13
(Cet. X; Damaskus: Da>r al-Fikir, 1430H/2009M), h. 84.
10Fakhruddi>n Muh}ammad ‘Ali> al-Tami>mi> al-Bakri>al-Razi>, Tafsi>r al-Kabi>r, Jil 5(Cet. I;
Beirut: Da>r al-Kutub ‘Ilmiyyah, 1411H/1990M), h. 54
11Abu al-A’la al Maududi, The Islamic Law and Constitutional, terj. Asep Hikmah,
Menurut Sayyid Qutub, Islam menetapkan prinsip musyawarah dalam
sistem pemerintahan, dan ini telah dimulai oleh nabi Muhammad saw. sendiri
ketika masih hidup dan memimpin kaum muslimin. Bahkan lanjut Sayyid Qutub,
syu>ra> merupakan mabda’ asasi (prinsip dasar) dimana nizamul Islam tidak akan
ditegakkan pada prinsip lain. Akan tetapi, bentuk dan pengimplementasian syu>ra>
itu hanya persoalan teknis yang dapat berubah dan berkembang sesuai tuntutan
zaman.12Bahkan menurut ibnu ‘At}iyyah sebagaimana yang dikutip Wahbah
al-Zuhaili, mengatakan bahwa musyawarah adalah merupakan bagian dari
kaidah-kaidah syari’at dan kewajiban hukum, pemimpin yang tidak mau bernusyawarah
kepada ahli ilmu (cendekiawan) dan ahli agama (ulama), maka pemimpin seperti
itu wajib dipecat.13
Pendapat ibnu Atiyyah tersebut mengaitkan kedudukan musyawarah
dengan sistem politik, dan hal ini menunjukkan pentingnya musyawarah dalam
sistem kenegaraan. Oleh karena itu, setiap keputusan musyawarah merupakan
amanah yang diberikan oleh sejumlah orang untuk melaksanakan setiap
kebijakan yang dihasilkan dari musyawarah tersebut.
Sejalan dengan ibnu Atiyyah, Muhammad Abduh menjelaskan bahwa
syu>ra> secara fungsional adalah untuk membicarakan kemaslahatan rakyat dan
masalah-masalah masa depan pemerintahan. Dengan musyawarah masyarakat
akan terdidik dalam mengeluarkan pendapat dan mempraktikkannya, bukan
mempraktikkan pendapat seseorang kepala negara sekalipun pendapat itu benar.
Karena orang yang banyak bermusyawarah akan jauh dari melakukan kesalahan
12Sayyid Qutub, Fi> Zila>l al-Qur’an, Terj. As’ad Yasin, dkk, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jil.
2, (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 2000)h. 195.
13Abi> Abdillah Muh}ammad bin Ah}mad bin Abu> Bakar al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al
daripada diserahkan kepada seseorang yang cenderung membawa bahaya dari
umat.14
B. Ayat-ayat Musyawarah dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur’an ada tiga ayat membahas masalah musyawarah dan
menyebut kata syu>ra> secara eksplisit, yakni pada QS. al-Baqarah/2 ayat 233 yang
didalamnya termaktub kata
َ رُواَشَت
, QS. Ali-Imra>n/3: 159 kataَْرِواَش
, dan pada QS.al-Syu>ra>/42: 38 terdapat kata
ىَروُش
.15Di antara beberapa ayat tersebut, ayat 38surah al-Syu>ra>/42 adalah yang pertama kali diturunkan dan termasuk kelompok
ayat/surat Makiyyah, sedangkan dua yang lain termasuk Madaniyyah.
Yang pertamasurat al-Baqarah/2:233.
Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh,bagi yang ingin menyusui secara sempurna. dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli warispun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduaya, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.16
14Muh}ammad Rasyi>d Rida>, Tafsi>r al-Mana>r, Juz 4 (Kairo: al-Maktabah Taufi>qiyyah,
t.th), h. 169.
15Muh}ammad Fuad ‘Abdul Baqi>, al-Mu’jam al-Mufahras Alfa>z} al-Qur’an al-Kari>m,
(Kairo: Da>r al-Hadi>s\, 1428H/2007M), h. 481.
16Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Dilengkapi Tajwid Warna, (Jakarta:
Ayat ini tergolong ayat Madaniyyah yang menjelaskan bagaimana
seharusnya hubungan suami isteri sebagai mitra dalam rumah tangga saat
mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak
mereka, seperti menyapih anak yang masih menyusu. Pada ayat yang lain Allah
Berfirman.
َْنِإَوَ فوُرْعَِبَِْمُكَنْ يَ بَاوُرَِتَْأَو
ىَرْخُأَُوَلَُعِضْرُ تَسَفَُْتُْرَساَعَ ت
Terjemahnya:
dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan,maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.17 (QS al-T{ala>q/65:6).
Ibnu Kas\ir mengatakan bahwa, didalam penyapihan anak, kedua orang tua
harus melakukan musyawarah terlebih dahulu.Tidak diperbolehkan penyapihan
atas kehendak salah satu pihak saja (ayah atau ibu).18 Bukan hanya itu, dalam
menjalani kehidupan rumah tangga (suami isteri) dalam memutuskan segala
sesuatu harus dengan jalan musyawarah, seperti masalah pendidikan anak-anak
mereka, harta benda, rencana pengembangan masa depan, dan sebagainya.
Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh nabi Ibrahim as.
ََلاَقََيْعَّسلاَُوَعَمََغَلَ بَاَّمَلَ ف
َ
َاَمَْلَعْ فاَ ِتَبَأَاَيََلاَقَىَرَ تَاَذاَمَْرُظْناَفََكَُبَْذَأَ ينيَأَِماَنَمْلاَ ِفَِىَرَأَ ينيِإَََّنَُ بَاَي
ََنيِرِباَّصلاََنِمَُوَّللاََءاَشَْنِإَ ِنيُدِجَتَسَُرَمْؤُ ت
Terjemahnya:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar".19(QS al-S{affa>t/37: 102).
17Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Dilengkapi Tajwid Warna, h. 559. 18Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq al-Syeikh, Luba>b Tafsi>r min Ibn
Kas\i>r, Terj. M. Abdul Ghoffar E.M, Tafsir Ibnu Katsir, vol. I (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2008), h. 471
Yang kedua, QS. Ali-‘Imra>n/3: 159.
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad)berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunanuntuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.20
Menurut Quraish Shihab, dari segi redaksi ayat diatas berisi pesan untuk
nabi Muhammad saw. agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu
dengan para sahabat atau angota masyarakat lainnya. Walaupun demikian, ayat
ini berlaku juga secara universal, artinya untuk seluruh umat Islam, khususnya
pemimpin agar selalu menyelesaikan urusan dengan jalan musyawarah (syu>ra>),
yang merupakan salah satu pilar dari demokrasi.21
Perintah untuk musyawarah dalam ayat diatas, turun setelah terjadinya
perang Uhud. Ketika itu menjelang pertempuran Rasulullah mengumpulkan para
sahabatnya untuk memperbincangkan masalah strategi yang akan digunakan
untuk menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan untuk menyerbu kota
Madinah. Rasulullah saw. sendiri berpendapat untuk bertahan dikota Madinah,
sementara itu para sahabatnya terutama dari kalangan kaum muda, mendesak
agar umat Islam keluar dari kota Madinah dan berperang menghadapi musuh.
Pendapat ini didukung oleh mayoritas sahabat, sehingga rasulullah pun
menyetujuinya .Namun sayang, keputusan yang dihasilkan secara demokratis
20Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Dilengkapi Tajwid Warna, h. 71. 21M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
tersebut berakhir memilukan.Peperangan tersebut diakhiri dengan kekalahan
kaum muslimin dan gugurnya sekitar tujuh puluh orang sahabat.22
Dengan memperhatikan asba>b al-nuzu>l ayat diatas jelas bahwa QS.Ali
‘Imra>n/3:159, berisi pesan kepada Rasulullah secara khusus, dan kepada umat
Islam secara umum untuk mempertahankan dan membudayakan musyawarah,
walaupun terkadang pendapat mayoritas tersebut tidak selamanya benar dan
tepat. Namun demikian, kekeliruan mayoritas lebih dapat di toleransi dan
menjadi tanggung jawab bersama daripada kesalahan yang bersifat indvidual.23
Ketiga QS al-Syu>ra>/42: 38.
َىَروُشَْمُىُرْمَأَوََة َلاَّصلاَاوُماَقَأَوَْمِيبَِّرِلَاوُباَجَتْساََنيِذَّلاَو
ََنوُقِفْنُ يَْمُىاَنْ قَزَرَاَِّمَِوَْمُهَ نْ يَ ب
Terjemahnya:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.24
Ayat ini turun berkaitan dengan golongan Anshar tatkala diajak oleh
Rasulullah untuk beriman, mereka menyambut dengan baik ajakan Rasulullah
saw. dan bagi mereka dijanjikan ganjaran yang lebih baik dan kekal di sisi Allah
swt. Orang-orang mukmin tersebut memiliki sifat-sifat antara lain "urusan
mereka diselesaikan dengan musyawarah". Dalam ayat ini, syu>ra>berjalan
bersisian dengan ketiga pilar keimanan (ketaatan kepada perintah Allah,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat).Syu>ra>merupakan kewajiban dengan
dasarperintah yang sama. Ayat ini merupakan ayat Makkiyah yang turun sebelum
keberadaan Islam telah menjadi agama yang kuat.
22M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
h. 626.
23M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan
Ummat, h. 627.
C. Ruang Lingkup Musyawarah dalam al-Qur’an
Dari beberapa penjelasan para tokoh diatas tentang makna syu>ra>tidak
terjadi perbedaan yang cukup signifikan, kesemuanya terkesan sepakat bahwa
syu>ra> merupakan salah satu metode dalam mengambil keputusan dan harus
dilakukan oleh umat Islam. Namun perbedaan muncul ketika yang dibicarakan
adalah objek syu>ra>atau hal-hal yang boleh dimusyawarahkan.
Memang al-Qur’an tidak memberikan penjelasan secara rinci dari objek
atau ruang lingkup musyawarah. Namun, dengan melihat ayat-ayat yang
menjelaskan tentang musyawarah, maka dapat dipahami bahwa QS.
al-Baqarah/2: 233 objeknya adalah rumah tangga sedangkankhusus untuk
QS.Ali-‘Imra>n/3: 159, karena konteks musyawarah dalam ayat tersebut berkaitan dengan
persoalan peperangan. Karena itu, ada ulama yang membatasi musyawarah yang
diperintahkan kepada nabi Muhammad saw. terbatas dalam urusan tersebut
(peperangan). Sebagaimana pendapatal-Kalbi yang dikutip oleh al-Bagawi> bahwa
perintah musyawarah hanyalah dalam masalah-masalah yang berhubungan
dengan taktik dan strategi perang dalam menghadapi musuh, ini sesuai dengan
konteks turunnya surat Ali-Imra>n ayat 159 tersebut.25Namun, menurut Quraish
Shihab, pandangan tersebut tidak benar dan tidak didukung oleh praktik nabi,
bahkan bertentangan dengan ayat-ayat yang lain.26
Untuk mengetahui objek musyawarah pada QS.al-Syu>ra>/42: 38, dan QS.
Ali-Imran/3: 159 pada kedua ayat tersebut objek musyawarahnya diisyaratkan
dengan kata
َِرْمَْلْا
yang kemudian diterjemahkan sebagai urusan.27
25Abu> muh}amad al-H{usain bin Mas’u>d al-Farra’ al-Bagawi>, Tafsir al-Bagawi: Ma’a>lim
al-Tanzi>l>, vol.2 (Cet. I; Riya>d}: Da>r T{ayyibah,1989M), h. 124.
26M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,vol. 2,
h. 314.
27Ali Nurdin, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur’an kata
رْمَأ
yang berarti urusan, selalu berkaitan denganhal-hal yang yang menjadi hak prerogatif Allah swt.Hal ini dapat dilihat dari
beberapa ayat. Antara lain, terlihat dari jawaban Allah swt. tentang ruh yang
terdapat pada QS. al-Isra>’/17: 85, datangnya hari kiamat QS. al-Na>zi’a>t/79: 42,
tobat dan azab QS. Ali-Imra>n/3: 57, serta ketentuan syariat agama QS.
al-An’a>m/6: 57, dan lain-lain. Sedangkan dalam konteks ketetapan yang berasal dari
Allah swt.dan rasulullah saw. secara tegas al-Qur’an telah menyatakan bahwa
tidak boleh manusia berpaling atau memilih hukum lain yang telah Allah jelaskan
tersebut. Sebagaimana di dalam al-Qur’an Allah swt.berfirman.28
َِىِرْمَأَْنِمَُةَرَ يِْلْاَُمَُلَََنوُكَيَْنَأَا رْمَأَُوُلوُسَرَوَُوَّللاَىَضَقَاَذِإَ ةَنِمْؤُمَ َلََوَ نِمْؤُمِلََناَكَاَمَو
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata. (QS. al-Ah}za>b/33: 36).29Maka dari itu, menurut beberapa ahli tafsir, hal-hal yang boleh
dimusyawarahkan hanya yang berkaitan dengan urusan keduniaan, bukan urusan
agama.30 Rasyid Rida dan Quraish Shihab, merupakanbeberapa tokoh yang
mendukung pendapat tersebut dengan argumentasi bahwa, yang dimaksud
dengan
َ ْمُهَ نْ يَ بَ ىَروُشَ ْمُىُرْمَأ
pada QS. al-Syu>ra>/42 ayat 39, adalah urusan-urusanduniawi yang biasanya menjadi tanggung jawab seorang pemimpin, bukan urusan
yang berkaitan dengan ibadah, sebab bila pada urusan agama seperti aqidah,
ibadah, halal dan haram dijadikan sebagai objek musyawarah, niscaya agama
28M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Edisi
Baru, vol.2, h. 315.
29Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Dilengkapi Tajwid Warna, h. 487. 30M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
akan menjadi ketetapan manusia, padahal agama adalah ketetapan dan otoritas
Allah swt. tidak ada wilayah akal padanya, baik ketika nabi masih hidup atau
setelah wafat.31
Untuk mendukung pendapatnya itu, Rasyid Rida mengambil contoh
musyawarah yang dilakukan oleh rasulullah saw. ketika menentukan taktik
perang pada saat perang Badar. Ketika itu, Hubbab ibn Munzir sebelum
mengutarakan pendapatnya terlebih dahulu bertanya kepada Rasulullah saw.
apakah penentuan posisi pasukan perang yang diambil oleh nabi adalah dari
arahan wahyu atau atas inisiatif nabi sendiri.Dari sinilah Rasyid Rida
berkesimpulan bahwa para sahabat hanya bermusyawarah pada hal-hal yang tidak
diatur oleh wahyu.32
Wahbah al-Zuhaili juga memiliki pandangan yang sama, dalam kitab
tafsirnya dikatakan bahwa materi yang dimusyawarahkan adalah semua perkara
baik hal politik, strategi perang, perdamaian dan segala macam masalah yang
berhubungan dengan kehidupan duniawi.33
Namun, pakar tafsir yang lain memperluas objek yang dapat di
musyawarahkan dan tidak hanya yang berkaitan dengan keduniaan saja, tetapi
juga boleh untuk memutuskan suatu perkara keagamaan berdasarkan
musyawarah. al-Qurtubi misalnya, berpendapat bahwa musyawarah mempunyai
peran dalam agama maupun soal-soal duniawi, namun dengan catatan bahwa
yang dimaksud dengan urusan agama adalah hanya pada perkara yang belum
ditemukan petunjuknya dengan pasti oleh dalil-dalil syar’i. Pelaksanaan
musyawarah tersebut dengan syarat bahwa pelaku musyawarah harus
31Muh}ammad Rasyi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Juz 4, h. 170. Lihat juga, M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 2, h. 315.
32Muh}ammad Rasyi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Juz 4, h. 170.
33Wahbah al-Zuh}aili>, Tafsi>r al-Muni>r Fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>‘ah wa al-Manhaj, Juz 3,
menguasaiilmu yang berkaitan dengan hal yang akan dimusyawarahkan.Misalnya
jika yang dimusyawarahkan menyangkut masalah keagamaan, maka yang terlibat
di dalam musyawarah tersebut harus orang yang menguasai ilmu agama.
Begitupun sebaliknya jika yang di musyawarahkan adalah urusan keduniaan
maka pelaku atau yang terlibat didalam musyawarah adalah orang-orang yang
menguasai ilmu tentang hal yang akan di musyawarahkan tersebut. Oleh
karenanya, ruang lingkup musyawarah dapat mencakup urusan-urusan agama
yang yang tidak ada petunjuknya dan urusan dunia yang petunjuknya bersifat
global maupun tanpa petunjuk dan yang dapat mengalami perubahan dan
perkembangan.34Sehingga muncullah istilah ijma para ulama yangmerupakan
salah satu sumber hukum dalam Islam, dan tidak ada yang meragukannya.
Penulis lebih setuju dengan pendapat yang kedua daripada pendapat
pertama.Namun, meskipun musyawarah dapat masuk kedalam ranah keagamaan
tetapi terbatas hanya pada persoalan-persoalan yang belum ada petunjuknya dari
Allah secara qat}’i, baik yang terdapat di dalam al-Qur’an maupun melalui
sunah-sunah nabi-Nya. Persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Allah
secara qat}’i, tidak dapat dimusyawarahkan.
Permasalahan tentang objek syu>ra>akan lebih jelas jika melihat pandangan
Abdul Muin Salim yang memiliki catatan penting terkait musyawarah:
Pertama, keputusan politik yang diambil melalui musyawarah menjadi
hukum yang mengikat seluuh warga, meski kedudukannya tidak sederajat dengan
hukum yang ditetapkan oleh Allah swt. dengan perantaraan wahyu dan rasulnya.
Para mufassir biasanya menjelaskan kuatnya ikatan ini berdasarkan pada bunyi
ayat at}i>’ullaha waati>’urass>ul waulil amri minkum. Sepanjang ulil amri itu taat
pula kepada Allah swt.
34Abi> Abdillah Muh}ammad bin Ah}mad bin Abu> Bakar al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al
Kedua, faktanya keputusan-keputusan khulafaurasyidin sebagai
pemimpin ternyata tidak terbatas hanya pada masalah-masalah keagamaan.
Misalnya, keputusan Abu Bakar untuk memerangi orang yang enggan membayar
zakat dan kodifikasi al-Qur’an atau Umar ibn Khattab yang melaksanakan shalat
tarawih secara berjamaah.
Tiga, setiap masalah kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari
keterkaitan pada tiga dimensi keagamaan: Iman, Islam, dan Ihsan. Oleh karena
itu, setiap masalah tidak cukup didekati secara normatif, tetapi juga harus secara
holistik menyangkut semua aspek tersebut.35
Dalam musyawarah tentu masing-masing peserta akan mengeluarkan
pendapatnya, dan tidak jarang terjadi perdebatan karena masing-masing pihak
akan mempertahankan pendapatnya. Maka dari itu, jika terjadi silang pendapat
ada beberapa metode dalam mengambil keputusan yang diajarkan al-Qur’an dan
sunah. Yang pertama, adalah memilih yang terbaik(ahsan). Allah berfirman,
َُهَ نَسْحَأََنوُعِبَّتَيَ فََلْوَقْلاََنوُعِمَتْسَيََنيِذَّلا
(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.36
Kedua, dalam perkara yang menjelaskan pelaksanaan suatu aktivitas.
Dalam masalah ini, keputusan dikembalikan pada pendapat mayoritas atau dapat
dilakukan dengan cara voting. Hal ini sesuai dengan praktik Rasulullah dalam
musyawarah saat perang Uhud.
35Abdul Muin Salim, Fiqih Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 237.
36Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya: Dilengkapi Tajwid Warna, (Jakarta: