• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAFSIRAN SYEKH AL- UTSAIMIN TERHADAP AYAT- AYAT BID AH DALAM AL-QUR AN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENAFSIRAN SYEKH AL- UTSAIMIN TERHADAP AYAT- AYAT BID AH DALAM AL-QUR AN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 70

PENAFSIRAN SYEKH AL-‘UTSAIMIN TERHADAP AYAT- AYAT BID’AH DALAM AL-QUR’AN

Hanisah

Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama, UIN Shulthan Thaha Saifuddin, Jambi, Indonesia hanisah52@gmail.com

Abstrak:

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penafsiran terhadap ayat tentang bid’ah, dengan corak yang digunakan mufassir dalam menafsirkan ayat tersebut. Penelitian ini termasuk metode kualitatif yang sumber datanya di peroleh dari kepustakaan (library research). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dalam menafsirkan surah Al-Hujurat ayat 1, surah Al-Maidah ayat 3 dan surah Al-Hadid ayat 27 dalam Tafsir Ibnu Utsaimin menunjukkan perbedaan pendapat para ulama. Metode tafsir yang diterapkan oleh Syekh al-‘Utsaimin dalam tafsirnya. menggunakan perkataan yang jelas, kalimat yang dalam dan tidak bertele-tele dan selalu beliau iringi dengan untaian nasihat dari ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh karena itu dalam tafsirnya tidak banyak menyebutkan perkataan dan masalah-masalah cabang yang banyak didapatkan dalam kitab tafsir seperti masalah balaghah dan i’rab. Corak yang digunakan Syekh al-‘Utsaimin dalam tafsirnya ialah menggunakan corak fiqih dan metode yang digunakannya adalah metode tahlili.

Kata Kunci: Penafsiran, al-‘Utsaimin, Bid’ah, Al-Qur’an Abstract:

This study aims to find out the interpretation of the verse about heresy, with the style used by the commentator in interpreting the verse. This study includes qualitative methods from which data sources are obtained from the library (library research). The results of the study concluded that in interpreting Surah Al-Hujurat verse 1, Surah Al-Maidah verse 3 and Surah Al-Hadid verse 27 in Tafsir Ibnu Utsaimin showed differences of opinion of the scholars. The method of interpretation applied by Shaykh al-tUtsaimin in his interpretation. uses clear words, sentences that are deep and straightforward and he is always accompanied by strings of advice from the verses of the Qur'an. Therefore in its interpretation, there is not much mention of the words and branch problems that are found in many books such as balaghah and i'rab problems. The style used by Sheikh al-‘Utsaimin in his interpretation is to use the style of jurisprudence and the method used is the method of tahlili.

Keynote: Interpretation, al-‘Utsaimin, Bid’ah, Al-Qur’an

(2)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 71 PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan sebuah mukjizat yang menembus batas ruang dan waktu, ia bisa “hidup” dimanapun dan kapanpun (shalih li kulli zaman wa makan).(Huda, 2012, hlm. 4) Umat Islam di seluruh dunia disatukan dalam sumber utama yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Walaupun disatukan dalam sumber yang sama, namun dalam memahami beberapa istilah agama, umat Islam tidak selamanya sepakat.(al-Arfaj, 2013, hlm. 1) Dalam perjalanan umat Islam, berbagai perkara baru sedikit demi sedikit muncul. Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah ada sama sekali pada masa Rasulullah dan para sahabat. Perkara-perkara baru itulah yang kemudian disebut sebagai bid’ah.

Rasulullah SAW bersabda:

ِروُمُلأا ُّرَشَو ٍدَّمَُمُ ىَدُه ىَدُرلْا ُريَْخَو َِّللَّا ُباَتِك ِثيِدَرلْا َريَْخ َّنِإَف ةَلَلاَض ٍةَعردِب ُّلُكَو اَُتَُثََدرُمُ

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek- jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan”. (H.R. Muslim) (Hajjaj, 2004, hlm. 153–154)

Hadis ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadis yang berbicara tentang bid'ah (setiap bid’ah adalah kesesatan). Inilah yang masih diragukan oleh sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Meskipun demikian dalam realitasnya, perbedaan paham mengenai bid’ah secara langsung maupun tidak langsung ternyata telah melahirkan banyak konflik, baik konflik yang berlatar belakang teologis, kultural bahkan pada tataran politis.(Fananie & Sabadila, 2000, hlm. 3) Kata bid’ah dalam khazanahIslam merupakan lawan kata sunnah. Bid’ah oleh Ibnu Taimiyyah:

نم للاض فرعي انه نمو معزاداقتعاوا اقيرط عدتبا

نا هركذي لم لوسر نبا ملعلا هبلاا متيلا نايملاا

فلاخامو ملعي لمامو ينملسلما قافتبا ةعدبوهف صوصنلا

ىعفاشلا لاق. ةعدب ىمسي لم دقف اهفلاخ هنأ

ةعدبلا ضعب نع ارثاواعاجماو ةنسو بااتك تفلاخ ةعدب ناتعدب باحصأ

الله لوسر للاضةعدب هذهف

نم ائيش فلاتخ لم ةعدبو نوكتدق هذهو كلذ

هلوقلةنسح هوحنهذه.هذه ةعدبلا ةمعنرمع

هاور ىقهيبلا

هدانسبا حيحصلا في

لخدلما

“Dari sini diketahui kesesatan orang yang membuat jalan atau aqidah yang menganggap bahwa iman tidak sempurna kecuali dengan jalan atau aqidah itu bersamaan dengan itu ia mengetahui bahwa Rasul tidak menyebutkannya dan sesuatu dengan nas, maka semua itu adalah bid’ah sesuai dengan kesepakatan umat islam. Sedangkan bid’ah yang tidak

(3)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 72 diketahui bertentangan dengan nas, maka sesungguhnya terkadang ia tidak disebut bid’ah.Imam Syafi’i berkata: Bid’ah ada dua. (Pertama) Bid’ah yang bertentangan dengan kitab, sunah, ijma dan asar dari sebagian sahabat nabi, maka ini adalah bid’ah yang sesat. (Kedua) bid’ah yang sama sekali tidak bertentangan dengan empat hal tersebut maka bid’ah ini terkadang baik sebab ucapan Umar : ini adalah sebaik-baik bid’ah. Ucapan ini dan yang semisalnya diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad shaḥiḥ dalam Al-Madkhal.”(Taimiyah, 1425, hlm. 163)

Kata sunnah di definisikan dengan:

في ةنسلا تاداقتعلاا فيو ةدابعلا في ةنسلا لوانتي فلسلا ملاك

“Sunnah yang mempunyai makna yang luas ini dikemukakan oleh golongan salaf as-Saleh, yang mana menurut mereka pengertiannya mencakupi al- Sunnah dalam perkara-perkara ibadah dan juga dalam perkara I’tiqad.”(Taimiyah, 1976, hlm. 77)

Dinamika tentang bid’ah dan berbagai pembahasan yang mendalam tentangnya selama ini sangat terkait dalam kajian diskursus teologi dan perbincangan hukum keagamaan. Dalam konteks rumusan hukum Islam, leksikologi bid’ah pada dasarnya sangat beragam. Secara umum, semua mengarah pada pemahaman tentang sebuah perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi yang berkaitan dengan kebaikan atas dasar prakarsa dan tidak bertentangan dengan hukum syariat, sebagian menilai jika prakarsa tersebut dapat dinilai baik maka dapat diterima. Sebagian yang lain menganggap tidak.(Sarjan, t.t., hlm. 248) Seperti firman Allah SWT:

َف اًميِقَترسُم ىِطََٰرِص اَذََٰه َّنَأَو ُهوُعِبَّت ٱ

َلاَو ۖ اوُعِبَّتَ ت َلُبُّسل ٱ َقَّرَفَ تَ ف رمُكِب ِهِليِبَس نَع رمُكِلََٰذ ۦ مُكَٰىَّصَو ِهِب رمُكَّلَعَل ۦ

َنوُقَّ تَ ت

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An‘am : 153).(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 149)

Polemik bid'ah di kalangan umat Islam nyaris tak bermuara. Istilah bid’ah selalu muncul dengan berbagai macam sudut pandang. Dinamika penggunaan istilah bid'ah pun terus berkembang. Terkadang istilah bid’ah dijadikan sebagai justifikasi untuk menyudutkan kelompok lainnya.

Cakupan bid’ah pun pada akhirnya meluas. Bid'ah tak hanya terbatas pada persoalan ibadah saja, tetapi juga mencakup hal-hal aqidah. Tak terkecuali di bidang kajian tafsir. Istilah dan justifikasi bid'ah juga telah menyentuh ranah tafsir Al-Qur’an.

(4)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 73 Setiap mufassir mempunyai sosio kultural yang berbeda-beda, oleh sebab itu banyak sekali dijumpai penafsiran mereka antara satu dengan yang lain tidak seragam meskipun pokok tema atau ayat Al-Qur’an yang dibahas adalah sama. Tidak hanya sosio kultural saja yang mempengaruhi seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an, cara pandang seorang mufassir terhadap obyek yang dikaji pun akan mempengaruhi mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an. Tingkatan ilmu dan cara pandang sesuatu yang ada disekitarnya, juga sangat mempengaruhi seorang mufassir dalam menginterpretasi sebuah ayat Al-Qur’an.(Kusnia, 2018, hlm. 2) Dengan beragam metode penafsiran, serta coraknya yang beragam. Terlebih dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan menjadikan pluralitas penafsiran semakin luas.(Ilyas, 2004, hlm. 2)

Syekh al-‘Utsaimin, seorang Ulama di jazirah lahirnya Islam Saudi Arabia. Syekh al-‘Utsaimin tergolong ulama yang hidup di abad kebangkitan Islam (abad 14 Hijriyah).(Saguni, 2019) Syekh al-‘Utsaimin merupakan salah satu mufassir kontemporer, beliau mengikuti manhaj pemikiran Wahabi, yang berbeda dengan pemikiran mufassir-mufassir lainnya. Kaum Wahabi kerapkali memvonis bid’ah terhadap berbagai amalan yang telah hidup dan berlangsung ditengah kehidupan masyarakat Islam.

Sosok Syekh al-‘Utsaimin sangat menarik untuk dikaji terkait dengan tokoh mufassir. Karena Syekh al-‘Utsaimin merupakan ulama’ yang teguh dalam memegang pendapat, dalam tafsirnya Syekh al-‘Utsaimin menjelaskan bid’ah jumlahnya banyak. Baik terkait dengan aqidah, ucapan ataupun perbuatan. Semuanya merupakan sikap tentang mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan semuanya adalah tindak kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Syekh al-‘Utsaimin menjelaskan tentang bid’ah dalam surah Al- Hujurat ayat 1, surah Al-Maidah ayat 3 dan surah Al-Hadid ayat 27, dalam Tafsir Al-Qur’an Ibnu Utsaimin agar dapat berkontribusi dalam khazanah keilmuan khususnya dalam lingkup kajian tafsir. Pembahasan mengenai tafsir ini penting untuk dikaji, dikarenakan belum ada yang mengupas tentang tafsir ini. Berkanaan dengan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba menjelaskan tentang bid’ah dengan judul “Penafsiran Syekh al-‘Utsaimin Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an”.

PEMBAHASAN Definisi Bid’ah

Bid’ah artinya sesuatu yang baru dalam agama setelah agama itu dinyatakan sempurna dan setelah wafatnya Nabi. Bentuk jamaknya adalah al-Bida’ seperti kata yang sepola dengannya al-‘Inab. Bid’ah juga berarti

(5)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 74 sesuatu yang diciptakan namun menyalahi kebenaran yang diterima Rasulullah SAW dan prinsip agama yang benar.(as-Syaqiry, 2004, hlm. 3)

Secara bahasa, kata bid’ah berasal dari bahasa Arab bada’a-yabda’u- bad’an-bid’atan yang bermakna ansya’a (membuat) dan bada’a (memulai).

Ibnu Manzhur menjelaskan bahwa orang yang berbuat bid’ah (mubtadi’) secara bahasa bermakna bahwa orang tersebut melakukan atau membuat sesuatu yang tidak ada contoh atau perbuatan yang sama dan semisal sebelum perbuatan bid’ah itu dilakukan. Dan di antara nama Allah SWT di dalam Al-Qur’an adalah al-Badi’ (QS. Al-Baqarah: 117), yang bermakna Allah membuat sesuatu yang baru, tidak ada sesuatu tersebut sebelumnya. Bid’ah dalam makna bahasa ini, disepakati para ulama dapat disifati secara makna positif (baik/hasanah) dan makna negatif (tercela/sayyiah). Dalam arti, bid’ah secara bahasa dapat dibedakan menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Atau dalam istilah lain, para ulama sepakat bahwa bid’ah secara haqiqoh lughowiyyah, bisa disifati dengan hasanah dan sayyiah.

Bid’ah secara istilah digunakan dalam persoalan agama, atau disebut pula dengan bid’ah secara definisi syariah (haqiqoh syar’iyyah), pada dasarnya para ulama sepakat bahwa secara haqiqoh syar’iyyah, istilah bid’ah disifati secara mutlak dengan sifat sayyiah (tercela). Bid’ah menurut Imam Syafi’i, seperti yang dinukilkan oleh Imam nawawi dalam kitabnya, bahwa Imam Syafi’i berkata: “Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian.

Pertama, perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru yang semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang baik dan tidak menyalahi Al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela.(Syarif, t.t., hlm. 23) Bid’ah menurut Syekh Hafizh Hakami rahimahullah berkata: ‘Dan pengertian bid’ah: Syari’at yang tidak diijinkan oleh Allah SWT dan tidak ada perintah Nabi SAW dan tidak pula perintah para sahabatnya atasnya.(az-Zahrani, 2013, hlm. 6) Bid’ah menurut Syekh al-‘Ustaimin ialah hukum asal perbuatan baru dalam urusan dunia (bid’ah dunia) adalah halal. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan itu halal kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan agama (bid’ah agama) adalah dilarang. Jadi berbuat bid’ah dalam urusan agama adalah haram dan bid’ah kecuali ada dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah yang menunjukkan disyariatkannya.(Md Isa, 2018, hlm. 31)

(6)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 75 Pembagian bid’ah menurut Syekh Utsaimin

Dalam Tafsir Al-Qur’an Ibnu Utsaimin disebutkan bid’ah bentuknya sangat banyak: bid’ah dalam perkara aqidah, bid’ah dalam perkataan, dan bid’ah dalam perbuatan.

Bid’ah Dalam Aqidah

Yaitu berkisar pada dua perkara: 1) berupa Tamtsil dan 2) berupa Ta’thil.

Tamtsil

Yaitu dengan menetapkan sifat-sifat bagi Allah, akan tetapi penetapan itu dilakukan dengan jalan penyerupaan. Hal ini merupakan kebid’ahan, karena hal itu bukan merupakan jalan Nabi dan para khalifah rasyidin. Maka ia merupakan kebid’ahan. Misalnya dengan menetapkan wajah bagi Allah, dan ia beranggapan bahwa wajah-Nya serupa dengan wajah makhluk.(Al- Utsaimin, 2013, hlm. 11) Atau menetapkan bahwa Allah memiliki tangan, dan berpegang bahwa tangan-Nya menyerupai para makhluk. Dan seterusnya. Maka tidak diragukan lagi mereka adalah para ahli bid’ah.

Kebid’ahan mereka adalah pendustaan terhadap firman Allah:

ۖ ءرىَش ۦ ِهِلرثِمَك َسريَل

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.”(QS. Asy-Syuura’:11).

(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 484)

Dan firman-Nya:

دَحَأ اًوُفُك ُهَل رنُكَي رَلمَو

“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”(QS. Al-Ikhlas: 4).(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 604)

Dan firmannya:

ًاّيَِسَ ُهَل ُمَلرعَ ت رلَه

“Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang sama dengan Dia?”(QS.

Maryam:65).(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 310)

Ta’thil

Yaitu mengingkari apa yang telah Allah sifatkan diri-Nya dengan sifat itu. Jika pengingkaran itu berupa penolakan dan pendustaan, maka ia merupakan kekufuran. Dan jika pengingkaran itu berupa penta’wilan, maka itu adalah tahrif (penyelewengan kata/makna), dan bukan berupa kekufuran jika lafadz itu tidak mengandung makna tersebut, maka tidak ada perbedaan antara ta’wil ini dengan pengingkaran berupa pendustaan.

Contohnya, jika ada seseorang yang berkata: Sesungguhnya Allah berfirman,

ِنا َتَطوُسربَم ُهاَدَي رلَب

(7)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 76

“(tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka.”(QS. Al- Maidah:64).(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 118)

Yang dimaksud kedua tangan itu adalah kenikmatan, “yaitu kenikmatan agama dan kenikmatan dunia, atau kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat.” ini adalah tahfif, karena nikmat tidak hanya satu, seribu, atau berjuta-juta.(Al-Utsaimin, 2013, hlm. 12)

َتَمرعِن اوُّدُعَ ت نِإَو ٱ

َِّللَّ

َلا اَهوُصرُتُ

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, maka kamu tidak akan dapat menghinggakannya.”(QS. Ibrahim:34).(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 260)

Jadi kenikmatan tidak hanya dua, jenis atau macamnya. Maka hal ini merupakan tahrif (penyelewengan makna) dan bid’ah. Karena pentakwilan seperti itu bersebrangan dengan apa yang telah diterima dari Nabi, para sahabat beliau dan para imam pembawa petunjuk yang datang setelah mereka.

Bid’ah Dalam Ucapan

Yaitu orang-orang yang berbuat bid’ah dalam bacaan tasbih, tahlil atau takbir yang tidak disebutkan oleh sunnah Nabi, atau mereka mengadakan kebid’ahan dalam bacaan doa yang tidak yang disebutkan oleh sunnah Nabi, dan bukan pula termasuk doa-doa yang diperbolehkan.

Seperti berdoa secara berjamaah setelah pelaksanaan salat bukanlah sunnah Rasul SAW dan para Khulafaur Rasyidin. Bukan pula sunnah para Sahabat radhiyallahu anhum. Itu adalah perbuatan yang diada-adakan. Telah tersebutkan (hadis) dari Nabi SAW bahwasanya beliau bersabda:

ِروُمُرلأا ِتَثََدرُمَُو رمُكَّيَِّإَو ِذِجاَوَّ نلِبا اَهر يَلَع اوُّضَعَو اَِبِ اوُكَّسََتَ َنيِدِشاَّرلا َينِّيِدرهَمرلا ِءاَفَلُرلْا ِةَّنُسَو ِتَِّنُسِب رمُكريَلَعَ ف ةَعردِب ٍةَثَدرُمُ َّلُك َّنِإ َف

“Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khalifah yang mendapat petunjuk lagi terbimbing. Berpegang teguhlah dengannya. Gigit kuat-kuat dengan gigi geraham kalian. Berhati-hatilah, jauhilah hal-hal yang diada-adakan. Karena setiap hal yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah.” (Abu Daud, 2003, hlm. 4607)

Nabi SAW juga jika berkhutbah, memerah mata beliau dan terdengar keras suara beliau, seakan-akan beliau sangat marah. Bagaikan seseorang yang memberikan komando kepada pasukan. Beliau menyatakan:

Bersiagalah di pagi dan sore hari kalian. Beliau juga bersabda:

ةَل َلاَض ٍةَعردِب ُّلُك َو اَُتَُثََدرُمُ ِروُمُرلأا ُّرَشَو ٍدَّمَُمُ ىَدُه ىَدُرلْا ُريَْخَو َِّللَّا ُباَتِك ِثيِدَرلْا َريَْخ َّنِإَف ُدرعَ ب اَّمَأ

(8)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 77

“Amma Ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah Kitab Allah. Sebaik- baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Setiap kebid’ahan adalah sesat.”(Hajjaj, 2004, hlm. 153–

154)

Berdoa secara berjamaah atau berdzikir secara berjamaah setelah salat adalah hal yang diada-adakan dan termasuk bid’ah. Setiap kebid’ahan adalah sesat. Yang disyariatkan bagi seorang yang salat adalah (memperbanyak) doa sebelum salam. Karena ini adalah tempat berdoa yang dibimbing oleh Nabi SAW berdasarkan hadis yang shahih dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu ketika menyebutkan (bacaan yang disunnahkan) dalam tasyahhud:

َءاَش اَم ِةَلَأرسَمرلا رنِم َُّيَْخَتَ ي َُّثُ

“Kemudian (setelah selesai tasyahhud itu) silakan ia pilih doa permintaan yang dikehendakinya.”(Hajjaj, 2004, hlm. 609)

Itu menunjukkan bahwasanya tempat berdoa adalah di akhir salat (sebelum salam), bukan setelahnya. Demikian pula yang sesuai dengan pandangan yang shahih. Bahwa semestinya seseorang (banyak) berdoa dalam salat, sebelum selesainya. Lebih utama dilakukan di waktu itu saat ia di hadapan Allah, dibandingkan ia berdoa setelah salatnya. Sedangkan yang disyariatkan untuk dilakukan setelah salat wajib adalah berdzikir bukan berdoa. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

رمُكِبوُنُج ىَلَعَو ًادوُعُ قَو ًاماَيِق ََّللَّا اوُرُكرذاَف َةلاَّصلا رمُتر يَضَق اَذِإَف

“Jika kalian telah menyelesaikan salat, berdzikirlah (mengingat) Allah dalam kondisi berdiri, duduk, maupun berbaring (QS. An-Nisa’: 103).”(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 91)

Sebagaimana hal itu adalah petunjuk Rasulullah SAW. Disyariatkan juga untuk mengeraskan dzikir karena itulah yang dikenal di masa Nabi SAW sebagaimana shahih dalam riwayat al-Bukhari dari hadis Ibnu Abbas :

مَّلَسَو ِهريَلَع َُّللَّا ىَّلَص ِِّبَّنلا ِدرهَع ىَلَع َناَك ِةَبوُتركَمرلا رنِم ُساَّنلا ُفِرَصرنَ ي َينِح ِرركِّذلِبا ِتروَّصلا َعرفَر َّنَأ

“Sesungguhnya mengangkat suara saat berdzikir setelah selesainya manusia melakukan salat wajib, dilakukan di masa Nabi SAW.”(al-Bukhari, 1422, a. 508)

Kecuali jika di sampingmu ada seseorang yang masih menunaikan salat dan dikhawatirkan menimbulkan gangguan padanya. Dalam kondisi seperti itu mestinya engkau melirihkan suaramu sehingga tidak mengganggu saudaramu. Karena menimbulkan suara yang ramai (mengacaukan konsentrasi) terhadap orang lain adalah sesuatu yang mengganggu. Nabi SAW ketika mendengar para sahabatnya salat di masjid mengeraskan suara, beliau melarang mereka berbuat demikian. Beliau bersabda:

(9)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 78

ِة َلاَّصلا ِفي َلاَق روَأ ِةَءاَرِقرلا ِفي ٍضرعَ ب ىَلَع رمُكُضرعَ ب رعَفررَ ي َلاَو اًضرعَ ب رمُكُضرعَ ب َّنَيِذرؤُ ي َلاَف

“Janganlah sebagian dari kalian mengganggu sebagian yang lain, Dan janganlah sebagian kalian mengeraskan bagian terhadap sebagian yang lain dalam membaca Al-Qur’an atau dalam shalatnya.” (H.R. Abu Dawud)

Nabi SAW menjelaskan bahwa mengeraskan bacaan jika di sekelilingnya ada yang terganggu dengan itu tidaklah diperbolehkan.

Kesimpulannya, setelah selesai salat adalah tempat untuk berdzikir sedangkan sebelum salam di tasyahhud akhir adalah tempat (kesempatan) berdoa. Demikian pula yang disebutkan dalam sunnah bahwasanya dzikir setelah salat disyariatkan dikeraskan selama tidak mengganggu orang di sampingnya.(Al-Utsaimin, t.t., hlm. 153)

Bid’ah Dalam Perbuatan

Yaitu orang-orang yang bertepuk tangan ketika berdzikir, atau mengoyang-goyangkan kepala ketika membaca dengan tujuan beribadah (kepada Allah), atau jenis-jenis bid’ah yang semisalnya. Demikian pula dengan orang-orang yang mengusap-usap ka’ba pada selain hajar aswad dan rukun yamani, mengusap-usap kamar Nabi, kuburan Nabi yang mulia, mengusap-usap mimbar yang dikatakan bahwa itu adalah mimbar Nabi yang berada di Masjid Nabawi, dan mengusap-usap dinding kuburan baqi’ atau tempat-tempat lainya. Bid’ah jumlahnya banyak. Baik yang terkait dengan aqidah, ucapan ataupun perbuatan.(Al-Utsaimin, 2013, hlm. 13)

Termasuk perbuatan bid’ah apa yang dilakukan pada bulan Rajab.

Seperti shalat raghaib dikerjakan pada jum’at yang pertama pada bulan rajab. Shalat itu jumlahnya 1000 rakaat, yang mereka kerjakan sebagai bentuk peribadahan kepada Allah. Ini merupakan kebid’ahan yang tidak akan menambah kecuali semakin jauhnya mereka dari Allah, karena siapa saja yang mendekatkan diri kepada Allah dengan apa yang tidak Dia syariatkan, maka ia adalah ahli bid’ah lagi orang yang zhalim. Allah tidak akan menerima peribadahan yang ia lakukan. Berdasarkan apa yang nyata- nyata disebutkan di dalam dua kitab shahih, dan lain-lainnya dari Aisyah ra:

bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

ٌّدَر َوُهَ ف َنَُررمَأ ِهريَلَع َسريَل ًلاَمَع َلِمَع رنَم

“Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari urusan kami, maka amalan itu tertolak.”(Hajjaj, 2004, hlm. 18)

Dan disebutkan juga didalam tafsir Al-Fatihah, Telah melakukan bid’ah orang-orang pada masa sekarang dalam surah Al-Fatihah sebagai penutup doa, dan juga menjadikannya sebagai pembuka, membacanya di

(10)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 79 beberapa acara, dan ini salah. Kamu dapat menemukannya seperti ketika berdoa yakni bacalah Al-Fatihah, dan sebagian orang memulai pidatonya atau pekerjaannya dengan Al-Fatihah dan ini juga salah, karena ibadah itu di dasari oleh Al-Fatihah atas taufiq, tuntunan.

Penafsiran Syekh al-‘Utsaimin Tafsir surah Al-Hujurat

اَهُّ يَ ََٰيَ

َنيِذَّل ٱ اوُنَماَء َلا اوُمِّدَقُ ت َرينَب ِىَدَي ٱ َِّللَّ

ِهِلوُسَرَو ۦ ۖ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. (QS. Al-Hujuraat:1).(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 515) Apabila Allah mengawali firman-Nya dengan ucapan:

اوُنَماَء َنيِذَّلٱ اَهُّ يَ ََٰيَ

“Hai orang-orang yang beriman”. Hal itu menunjukkan bahwa berpegang dengan apa yang diucapkan itu termasuk ke dalam konsekuensi keimanan dan menyelisihinya merupakan kekurangan pada keimanan. Allah SWT berfirman:

ِىَدَي َرينَب اوُمِّدَقُ ت َلا ٱ

َِّللَّ

ِهِلوُسَرَو ۦ ۖ

“janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang menyatakan bahwa makna:

اوُمِّدَقُ ت َلا

“janganlah kamu mendahului” Adalah janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya. Maksudnya adalah: Janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan. Adapula yang menyatakan bahwa maknanya adalah janganlah kalian mendahulukan sesuatu apapun dihadapan Allah dan rasul-Nya. Kedua pendapat ini mengalir pada muara yang sama.(Al-Utsaimin, 2013, hlm. 9)

Dan termasuk perbuatan mendahului Allah dan Rasul-Nya adalah perbuatan bid’ah dengan segala bentuknya. Karena hal itu tindakan mendahului Allah dan rasul-Nya, bahkan itu merupakan sikap yang paling keterlaluan, karena Nabi SAW bersabda:

ِتَثََد رُمَُو رمُكَّيَِّإَو ِذِجاَوَّ نلِبا اَهر يَلَع اوُّضَعَو اَِبِ اوُكَّسََتَ َنيِدِشاَّرلا َينِّيِدرهَمرلا ِءاَفَلُرلْا ِةَّنُسَو ِتَّنُسِب رمُكريَلَع ةَلَلاَض ٍةَعردِب َّلُكَو ةَعردِب ٍةَثَدرُمُ َّلُك َّنِإَف ِروُمُلأا

“Wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalifah rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi graham kalian. Jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan (di dalam urusan agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”(Abu Daud, 2003, hlm. 4607)

(11)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 80 Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 3

َمروَ يرل ٱ ُترلَمركَأ رمُكَل رمُكَنيِد ُترمَرتََأَو رمُكريَلَع ِتَمرعِن ُتيِضَرَو ُمُكَل َمََٰلرسِرلْ ٱ اًنيِد

“Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agamamu.” (QS.Al-Maidah:3).(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 107)

رمُكَنيِد رمُكَل ُترلَمركَأ

Telah Aku jadikan agama itu lengkap, tetapi bukan berarti aku telah melengkapi syariatnya, karena setelah ayat tersebut ada lagi syariat yang turun, dengan artian sesungguhnya agama itu lengkap tetapi bukan berarti itu telah sempurna.

ِتَمرعِن رمُكريَلَع ُترمَرتََأَو رمُكَنيِد رمُكَل ُترلَمركَأ َمروَ يرلٱ

Apakah ini yang dipercayai semenjak pertama turun syari’at? (Al- Utsaimin, 1432, hlm. 43) Tidak, karena syariat belum sempurna semenjak hari pertama turunnya syariat, tidak mungkin Allah menyebutkan:

رمُكَل ُترلَمركَأ َمروَ يرلٱ

“Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu”

Sedangkan belum ada syariat yang turun.

رمُكَنيِد رمُكَل ُترلَمركَأ

“Telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu” Apa yang mendekatkan kita kepada Allah dari ibadah

ِتَمرعِن رمُكريَلَع ُترمَرتََأَو

“dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku” Yang berarti agama itu lengkap dan itu adalah nikmat terbesar dan maksudnya tidak ada kekurangan.

ُمُكَل ُتيِضَرَو َمََٰلرسِرلْ ٱ

اًنيِد

“dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agamamu.” Telah aku berikan dan Aku ridhai kalian sekalian agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW.

Sebagai agama untuk mendekatkan diri kepada Allah dan janganlah kalian meyakini agama selain itu (Islam).(Al-Utsaimin, 1432, hlm. 44)

Faidah yg ke 28 surah Al-Maidah ayat 3: Bahwa sesungguhnya sesuatu yang menyalahi syariat, maka sesuatu itu tidak diridhai disisi Allah dan tidak diterima.

ُمُكَل ُتيِضَرَو َمََٰلرسِرلْ ٱ

اًنيِد

“Dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agamamu”, Dan agama Islam itu yang memenuhi tiap-tiap ilmu aqidah dan ilmu syari’at. sebagai contoh

(12)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 81 adakah Allah meridhai hambanya yang kafir? Jawabannya: tidak, Adakah Allah meridhai hambanya yang berbuat bid’ah? Jawabannya: tidak

ُمُكَل ُتيِضَرَو َمََٰلرسِرلْ ٱ

اًنيِد

“Dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agamamu” Maksudnya Allah menghendaki dengan ilmu aqidah dan ilmu syariat serta lain-lainnya.(Al- Utsaimin, 1432, hlm. 53)

Tafsir Surah Al-Hadid ayat 27

ِبوُلُ ق ِفِ اَنرلَعَجَو َنيِذَّل ٱ

ُهوُعَ بَّ ت ٱ ًةَفرأَر ًةَرحَْرَو ًةَّيِناَبرهَرَو اَهوُعَدَتر ب ٱ

اَم اَهََٰنر بَ تَك رمِهريَلَع َّلاِإ َء اَغِترب ٱ ِنََٰورضِر ٱ َِّللَّ

اَمَف اَهروَعَر َّقَح اَهِتَياَعِر اَنر يَ تاَ َف ۖ َنيِذَّل ٱ اوُنَماَء رمُهر نِم رمُهَررجَأ يِْثَكَو ۖ رمُهر نِّم َنوُقِسََٰف

“Dan kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka (yang kami wajibkan hanyalah) mencari keridhaan Allah, tetapi tidak mereka pelihara dengan semestinya. Maka kepada orang-orang yang beriman di antara mereka kami berikan pahalanya, dan banyak di antara mereka yang fasik.” (QS. Al-Hadid:

27).(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 541)

اَهوُعَدَتر بٱ ًةَّيِناَبرهَرَو ًةَرحَْرَو ًةَفرأَر ُهوُعَ بَّ تٱ َنيِذَّلٱ ِبوُلُ ق ِفِ اَنرلَعَجَو

“Dan kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Mereka mengada-adakan”

Ada tiga perkara. Allah telah menjadikan ketiga perkara itu di dalam hati orang-orang Nasrani yang mengikuti Nabi Isa.(Lajnah Pentashih al- Qur’an, 2012, hlm. 379)

ًةَفرأَر

“Rasa santun”. Adalah salah satu bentuk rahmah (kasih sayang), akan tetapi sifatnya lebih lembut dan halus.

ًةَرحَْرَو

“Kasih sayang”. Mereka adalah orang yang paling lembut hatinya, paling penyayang kepada para makhluk, yakni ketika mereka masih berada di atas syariat Nabi Isa. Akan tetapi setelah mereka kafir kepada Nabi Muhammad, maka mereka berubah menjadi orang yang paling sadis, sebagaimana yang terjadi antara kaum muslimin dengan orang-orang Nasrani pada perang salip dan lain-lainnya.

ًةَّيِناَبرهَرَو

“Rahbaniyyah” Yakni memutuskan diri dari dunia untuk beribadah

اَهوُعَدَتر بٱ

“Dan yang mereka ada-adakan”. Yakni dari diri-diri mereka sendiri . sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian sekte sesat dari kaum muslimin.

(13)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 82 Mereka mengada-adakan rahbaniyah yang tidak Allah terangkan turunkan keterangan padanya. Akan tetapi mereka masih memiliki perasaan santun dan kasih sayang.

َِّللَّٱ ِنََٰورضِر َء اَغِتربٱ َّلاِإ رمِهريَل َع اَهََٰنر بَ تَك اَم

“Padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah”.

Yakni kami tidak mewajibkan hal itu kepada mereka, akan tetapi mereka mencari keridhaan Allah. Oleh karena itu kami katakan kalimat:(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 380)

َِّللَّٱ ِنََٰورضِر َء اَغِتربٱ َّلاِإ

Adalah istisna’ munqathi”. Akan tetapi, walau mereka mengada- adakan hal tersebut dan mereka sendirilah yang telah memilihnya sendiri.

اَهِتَياَعِر َّقَح اَهروَعَر اَمَف

“Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya”. Maksudnya mereka tidaklah melakukan upaya pemeliharaan yang wajib, yakni berbuat ihsan pada rohbaniyyah yang mereka ada-adakan ini. Akan tetapi mereka berbuat menurut keinginan mereka sendiri.

رمُهَررجَأ رمُهر نِم اوُنَماَء َنيِذَّلٱ اَنر يَ تاَ َف

“Maka kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya”.

َنوُقِسََٰف رمُهر نِّم يِْثَكَو

“Dan banyak di antara mereka orang-orang fasik” Yakni banyak di kalangan orang-orang Nasrani orang-orang fasik, yakni orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah.

Dalam hal ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa jika seseorang mengada-adakan suatu kebid’ahan, maka ia tidak mendapatkan taufiq untuk menegakkan perbuatan tersebut. Ia akan sesat baik pada pokoknya dan sesat pula pada cabangnya, sekalipun ia mengerahkan kesungguh- sungguhannya. Sekalipun ia khusyu’. Engkau dapati banyak orang yang mengda-adakan zikir-zikir atau shalat atau doa atau yang lain-lainnya, engkau dapati mereka khusyu’, hati-hati mereka menangis, hati-hati mereka khusyu’ akan tetapi hal itu tidak bermanfaat baginya. Karena mereka berada di atas kesesatan.(Lajnah Pentashih al-Qur’an, 2012, hlm. 381)

PENUTUP

Bid’ah menurut Syekh al-‘Ustaimin ialah hukum asal perbuatan baru dalam urusan dunia (bid’ah dunia) adalah halal. Jadi bid’ah dalam urusan- urusan itu halal kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan agama (bid’ah agama) adalah

(14)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 83 dilarang. Jadi berbuat bid’ah dalam urusan agama adalah haram dan bid’ah kecuali ada dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah yang menunjukkan disyariatkannya.

Syekh al-‘Utsaimin membagi bid’ah kepada tiga yaitu Pertama, bid’ah dalam Aqidah berkisar pada dua perkara: 1) berupa Tamtsil dan 2) berupa Ta’thil. Tamtsil Yaitu dengan menetapkan sifat-sifat bagi Allah, akan tetapi penetapan itu dilakukan dengan jalan penyerupaan. Ta’thil Yaitu mengingkari apa yang telah Allah sifatkan diri-Nya dengan sifat itu. Kedua adalah bid’ah Dalam Ucapan, misalnya adalah orang-orang yang berbuat bid’ah dalam bacaan tasbih, tahlil atau takbir yang tidak disebutkan oleh sunnah Nabi, atau mereka mengadakan kebid’ahan dalam bacaan doa yang tidak yang disebutkan oleh sunnah Nabi, dan bukan pula termasuk doa-doa yang diperbolehkan. Ketiga, adalah bid’ah dalam Perbuatan, contohnya adalah orang-orang yang bertepuk tangan ketika berdzikir, atau mengoyang- goyangkan kepala ketika membaca dengan tujuan beribadah (kepada Allah), atau jenis-jenis bid’ah yang semisalnya.

Dalam Tafsirnya, Ibnu Utsaimin berpendapat ketika menafsirkan surah Al-Hujurat ayat 1 bahwa perbuatan mendahului Allah dan Rasul-Nya adalah perbuatan bid’ah. Lalu dalam menafsirkan surah Al-Maidah ayat 3 ia bependapat bahwa jika seseorang yang tidak mengikuti syariat yang sesuai dengan agama Islam, maka ia telah melakukan bid’ah dan dalam Tafsir Surah Al-Hadid ayat 27, Syekh al-‘Ustaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud Mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka (yang kami wajibkan hanyalah) mencari keridhaan Allah ialah menunjukkan bahwa jika seseorang mengada-adakan suatu kebid’ahan.

REFERENSI

Abu Daud, S. bin al-Asy’ats al-Sijistani. (2003). Sunan Abi Daud. Maktabah al- Ma’arif.

al-Arfaj, A. bin H. (2013). Konsep Bid’ah dan Toleransi Fiqih. Al-I’tisham.

al-Bukhari, M. bin I. A. A. (1422). Al- Jami’u al- Musnadu al- Shahihu al- Mukhtasharu min Umuri Rasulillah Sallallahu ’Alaihi wa Sallam wa Sunanihi wa Ayyamihi (Vol. 5). Daru Thauqi al- Najati.

Al-Utsaimin, A. S. M. bin S. (t.t.). Fatawa Nuur ’ala ad-Darb. Mu’assasah asy- Syaikh Ibnu ’Utsaimin al-Khairiyah.

Al-Utsaimin, A. S. M. bin S. (1432). Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surah Al- Maidah.

Al-Utsaimin, A. S. M. bin S. (2013). Tafsir Al-Qur’an Ibnu Utsaimin. Pustaka Salwa.

(15)

Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Bid’ah Dalam Al-Qur’an (Hanisah) Page 84 as-Syaqiry, M. ‘Abdus-salam K. (2004). Bid’ah-Bid’ah yang dianggap Sunnah.

Qisthi Press.

az-Zahrani, S. K. bin A. (2013). Pengertian Bid’ah Dan Bahayanya Serta Celaan Bagi Pelakunya.

Fananie, Z., & Sabadila, A. (2000). Sumber konflik masyarakat Muslim Muhammadiyah-N.U: Perspektif keberterimaan tahlil (Cet. 1).

Muhammadiyah University Press : Asia Foundation.

Hajjaj, A. M. I. (2004). Shahih Muslim. Dar al-Fikr.

Huda, I. S. (2012). Studi Sastra Al—Qur’an: Antara Balaghah dan Hermeneutika. CV. Bintang Sejahtera.

Ilyas, H. (2004). Studi Kitab Tafsir. Teras.

Kusnia, M. (2018). Penafsiran Misbah Mustofa Terhadap Ayat Tentang Bid’ah Dalam Tafsir Al-Iklil Fi Ma’Ani Al-Tanzil (surah Al-A’raf ayat 55-56 dan surah At-Taubah ayat 31”. UIN Sunan Ampel.

Lajnah Pentashih al-Qur’an. (2012). Al-Qur’an dan Terjemah. Syaamil Qur’an.

Md Isa, M. S. bin. (2018). Konsep Bid’ah Menurut Imam Nawawi dan Syekh Abdul Aziz. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh.

Saguni, M. K. (2019, November 30). Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (Ulama Pemersatu Umat dan Da’i Teladan). https://wahdah.or.id/.

https://wahdah.or.id/syekh-muhammad-bin-shalih-al-utsaimin/

Sarjan, A. (t.t.). Pembaharuan Pemikiran Fiqh Hasbi.

Syarif, Z. M. B. (t.t.). Tahzib al-Asma Wa Lughat. Dar al-Kutub al-Alamiyah.

Taimiyah, A. I. (1425). Majmu’ Fatawa. Dakwah Isyadiyah.

Taimiyah, A. I. (1976). Al-Amru Bil Ma’ruf wa Nahi ‘Anil Mungkar. Dar al- Kutub al-Jadid.

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan pada satu kawasan merupakan upaya dalam mensinergiskan berbagai kepentingan sebagaimana makna dari suatu kawasan merupakan

Banyaknya pemirsa yang mengikuti forum chatting lewat sms di Chat Mate ini menurut penulis cukup menarik untuk diteliti, karena jika dilihat dari jam tayang program yaitu

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat

Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur didorong utamanya oleh komponen Konsumsi yang pada triwulan III-2008 ini mampu tumbuh lebih tinggi.. Di sisi lain,

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan penelitian Tindakan kelas dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan media

Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara ekspresi VEGF terhadap mortalitas (p = 0.813), berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Oehring et al pada

Sehingga banyak remaja berpikir bahwa apa yang mereka pikirkan lebih baik dari pada apa yang dipikirkan orang dewasa, hal tersebut yang menjadi penyebab banyak remaja sering

Untuk peserta Seleksi Tertulis dan Keterampilan Komputer harap mengambil undangan di kantor KPU Kota Jakarta Pusat pada Hari Sabtu tanggal 2 Juli 2016 pukul 01.00 WIB