• Tidak ada hasil yang ditemukan

Barata Kulisusu sebagai suatu unit pemerintahan tentu mempunyai pusat kegiatan dan penyelenggaraan pemerintahan yang dinamakan Kraton Kulisusu yang dilindungi oleh sebuah benteng yang sangat kokoh. Benteng Kraton Kulisusu atau Benteng Lipu yang terletak di lingkungan Wapala Lakonea Kecamatan Kulisusu merupakan salah satu peninggalan sejarah dan budaya yang mulai dibangun sekitar akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17 oleh Lakina Kulisusu pertama, La Ode-Ode.

Nama Benteng Lipu berasal dari kata “Lipu” yang berarti pusat pemukiman masyarakat. Dari tempat ini kehidupan masyarakat berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi zamannya. Pemukiman ini muncul sebagai jawaban atas tuntutan dan tantangan masyarakat yang tadinya hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan kehidupan mereka.

Perkembangan jumlah penduduk dengan berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi adalah tuntutan secara alamiah dan manusiawi untuk dipenuhi. Pemenuhan tersebut hanya dapat dilaksanakan manakala masyarakat terintegrasi dalam bentuk organisasi sosial yang terpusat pada suatu ruang atau tempat yang dianggap strategis. Ini merupakan faktor internal yang merupakan latar belakang serta motivasi dasar dibangunnya Benteng Lipu. Sejalan dengan hal tersebut maka

pada saat yang bersamaan muncul kebutuhan akan perlunya stabilitas dan keamanan dalam kehidupan masyarakat dari berbagai tantangan, ancaman, dan gangguan baik dari dalam maupun dari luar.

Serangan bajak laut dari utara dan timur yang disebut Tobelo merupakan gangguan dan ancaman stabilitas yang datangnya dari luar sehingga untuk melindungi masyarakat Kulisusu yang terkosentrasi di Lipu diperlukan kekuatan untuk melindungi masyarakat dalam bentuk benteng. Tradisi lisan menuturkan bahwa ide awal untuk membangun benteng muncul dari La Kodangku yang rancangannya lebih luas dan yang ada sekarang dengan mempertimbangkan berbagai aspek perkembangan masyarakat baik politik, ekonomi, sosial dan budaya serta pertahanan dan keamanan. Rancangan tersebut membutuhkan waktu, tenaga, serta biaya yang cukup besar. Oleh tokoh Gaumalanga menganggap bahwa pemikiran tersebut terlalu ideal sementara kebutuhan masyarakat akan terbangunnya sebuah benteng semakin mendesak sehingga pada saat La Kodangku turun ke laut mencari tempat untuk pemasangan sero (toamano bala), kesempatan itu dimanfaatkan oleh Gaumalanga untuk mengerahkan tenaga guna membangun benteng tersebut (Abu Hasan, 1989: 54). Namun demikian ukurannya diperkecil dari ukuran yang telah dirancang oleh La Kodangku yang mencakup dari ee bula di sebalah barat hingga ee mataoleo di sebalah timur masuk dalam kawasan benteng yang direncanakan oleh Kodangku. Akibat perubahan itu Kodangku marah besar dan berwasiat kepada syara bahwa kelak ketika ia wafat jangan dikebumikan di dalam benteng (Rahmat, Desember 2010). Karena itu

makam Kodangku masih dapat disaksikan keberadaannya di luar benteng pada posisi sekitar 150 meter dari benteng Lipu.

e. Struktur Pemerintahan Barata Kulisusu

Pada masa pemerintahan Sultan Murhum, kerajaan-kerajaan Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa telah mengadakan persekutuan dalam hal petahanan dan keamanan bersama, untuk mempertahankan diri dari berbagai serangan yang datang dari luar. Semula persekutuan ini dibentuk atas dasar persetujuan dan kepentingan bersama tanpa ada aturan yang sifatnya mengikat. Akan tetapi pada masa kekuasaan Sultan Dayanu lkhsanuddin, kerajaan-kerajaan tersebut dikukuhkan sebagai bagian dan Kesultanan Buton dengan status dan nama Barata Patapalena.

Untuk mengatur dan mengendalikan sistem pemerintahan maka pertama-tama Lakina Barata harus berkedudukan di dalam benteng (Kraton Barata), di dalam sebuah istana yang dinamakan kamali sedangkan tempat musyawarah atau balai pertemuannya dinamakan baruga di depan mesjid kuno di Benteng Lipu. Di kedua tempat inilah ditetapkan berbagai kebijakan pemerintahan barata berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yaitu Syarana Barata (Undang-Undang Barata). Untuk melaksanakan setiap keputusan syara (pemerintah), maka struktur pemerintahan disusun sesuai pedoman yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan pertimbangan aspirasi yang berkembang dan setiap wilayah pemerintahan yang lebih kecil.

Undang-Undang Barata dibuat dan ditetapkan oleh Syara Buton dengan selalu mempertimbangkan kondisi setiap barata itu sendiri. Pada tiap-tiap barata dibentuk pula jabatan-jabatan yang nama dan gelarnya seperti yang ada pada Syora Buton, akan tetapi tidak lengkap seperti yang ada pada pemerintahan pusat kecuali keempat barata itu disatukan semua baru bisa sama dengan struktur pemerintahan pusat Kesultanan Buton. Misalnya di Barata Muna hanya ada jabatan kopitalao, sedangkan jabatan-jabatan lainnya seperti kenepulu ataupun bonto ogena tidak ada. Di Tiworo hanya ada jabatan sapati, di Kulisusu hanya ada kenepulu dan di Kaledupa hanya ada bonto ogena. Struktur inti pemerintahan Barata Kulisusu menurut Syarana Barata menurut Zahari, 1980 (dalam Alhadara 2010:83). adalah sebagai berikut:

(1) Lakina Kulisusu (Raja Kulisusu). (2) Kenepulu.

(3) Bontona Kampani. (4) Bontona Kancua-ncua. (5) Kapitana Lipu

Berikut adalah daftar nama-nama Lakina Kulisusu dan periode kekuasaannya; La Ode-Ode gelar Sangia Eh (1620-1670), La Ode Kampulu gelar Tasau Ea (1670- 1710), La Ode Murhum gelar Sangla Ibangkudu (1710-1745), La Ode Bahira gelar Mokawana Lelena (1745-1775), La Ode Sampe gelar Sangia Mataoleo (1775.1800), Saynonda (1800-1830), La Ode Manja gelar Waopu Ilabunia (1830-1850), La Ode Eru gelar Waopu Ilemo (1850-1865), La Ode Ahmadi gelar Waopu Ilabuara (1865.1875), La Ode Gola gelar Waopu Iloji

(1875-1890), La Ode Zalymu (1890-1905), La Ode Gola gelar Waopu Loji (1905-1913), La Ode Falihi gelar Waopu Ibale (1913-1918), La Ode Aero (1918-1927), La Ode Mihi (1927-1939), La Ode Tibi (1939-1940), La Ode Husaeni (1940-1942), La Ode Tibi ((1940-1942), La Ode Ganiiru (1942-1949), La Ode Ampo (1949-1950), La Ode Ganiiru (1950-1955). (Abu Hasan, 1989 : 99). Setelah itu jabatan Lakina Kulisusu diganti dengan jabatan Kepala Distrik Kulisusu hingga tahun 1964 (Alam Syabdu, 2010: 34).

Pada dasarnya tugas dan kewajiban Syara Barata sama dengan tugas aparat kesultanan di wilayah inti, tetapi Syara Barata hanya terbatas dalam wilayahnya masing-masing. Pada tiap-tiap wilayah barata terdapat benteng istana yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pusat pertahanan, dan sekaligus sebagai pusat pengembangan Islam. Dikatakan bahwa benteng tersebut merupakan pusat pemerintahan, sebab di dalam benteng itulah bermukim Lakina Barata (Raja Barata) dan para pembantunya. Adapun struktur lengkap pemerintah Barata Kulisusu adalah sebagai berikut:

1) Lakino Kulisusu, didampingi oleh:

a. Kinipulu, jabatan untuk kaomu (kaum bangsawan), dibantu seorang juru bicara (pandegau).

b. Kopitano Lipu, jabatan untuk kaomu, dibantu seorang juru penerang (talombo).

c. Kopitano Suludadu, jabatan untuk kaomu, memimpin dua regu prajurit (saragenti).

d. Bonto Ea (Bontono Kampani, Bontono Kancua-ncua), jabatan untuk walaka.

2) Bonto Slolimbona, jabatan walaka, terdiri dan: a. Bontono Langkaudu.

b. Bontono Mowuru. c. Bontono Rotawo. d. Bontano Kalibu. e. Bontono Sakau dan f. Bontono Kodaawu.

3) Bobato, jabatan untuk kaomu, terdiri dan:

a. Lakino Lemo, merangkap todulako atau panglima perang darurat, dibantu dua orang juru bicara (pandegau) yaitu pandegau Ea (juru bicara besar) dan pandegau ete (juru bicara kecil).

b. Lakino Bone, dibantu seorang pandegau. c. Lakino Kalibu, dibantu seorang pandegau. d. Lakino Mataoleo, dibantu seorang pandegau. e. Lakino Kotawo, dibantu seorang pandegau. f. Lakino Tomoahi, dibantu seorang pandegau. g. Lakino Sampu, dibantu seorang pandegau. h. Lakino Wela-Welalo, dibantu seorang pandegau.

4) Sabandaro, satu orang, jabatan untuk kaum bangsawan, dibantu seorang juru bahasa (juru bahasa).

6) Talombo, dua orang, jabatan untuk walaka, terdiri dari : (1) Talombono Kompania dan (2) Talombono Kancua-ncua.

7) Pandegau, 11 orang, jabatan untuk walaka yang meliputi: a. Pandegauno Kampani. b. Pandegauno Kancua-ncua. c. Pandegauno Lemo. d. Pandegauno Bone. e. Pandegauno Tomoahi. f. Pandegauno Sampu. g. Pandegauno Wela-Welalo. h. Pandegauno Kalibu. i. Pandegauno Mataoleo. j. Pandegauno Kotawo. k. Pondegauno Sakau.

8) Belobaruga, empat orang, jabatan untuk walaka yang terdiri atas: a. Belobarugano Kinipulu.

b. Belobarugano Kapitano Lipu. c. Belobarugano Kampani. d. Belobarugono Kancua-ncua.

9) Syaragenti, 28 orang, jabatan untuk walaka yang terdiri dari dua orang Albahidiri, dua orang Alpirisi, dan 24 orang anggota pasukan. (Abu Hasan, 1989 :67-69).

Di samping pemerintahan yang disebut kabonto dan kabobato, masih ada syara yang disebut syarano hukumu yang dikepalai oleh Lakino Agama, terdiri dan dua syarano, yaitu syarano hukumu bidang adat dan syarano hukumu bidang agama. Lakina Agama pertama bernama La Ode Rustam dengan gelar Sangia Yi Agama Bangkudu mantan Lakina Kulisusu kedua (Abusaru, 2005 (dalam Alihadara, 2010:86). Selanjutnya menurut Abusaru bahwa La Ode Rustam menerima Agama Islam dari Sultan Murhum untuk dikembangkan di Kulisusu, diterima oleh Lakina Lemo I Wa Ode Bilahi dan Kopasarano. Keislaman rakyat Kulisusu diresmikan oleh Sultan Buton IV, Dayanu Ikhsanuddin, (Abusaru 2005, dalam Alihadara 2010:86).

Dalam pelaksanaan pemerintah, Lakino Lipu (Lakino Kulisusu), Mansuana (Lakino Kulisusu secara batin), Kinipulu, Kapitano Lipu, Bontono Kampani dan Bontono Kancua-ncua merupakan presidium aparat kerajaan yang mewakili semua unsur dan dipilih secara demokratis. Dan enam orang anggota presidium, tiga diantaranya mewakili golongan kaomu yakni : Lakino Lipu, Kapitano Lipu. dan Kinipulu, sedang tiga orang lainnya mewakli golongan walaka dan papara yakni Mansuana, Bontono Kampani dan Bontono Kancua-ncua (Abu Hasan, 1989 69). Sebagai satu kesatuan kepemimpinan kolektif di bawah pimpinan Lakino Lipu masing-masing mempunyai tugas khusus. Adapun tugas masing-masing aparat kerajaan (Barata Kulisusu) meliputi:

1) Lakino Lipu (Lakino Kulisusu) merupakan kepala wilayah dan sekaligus kepala pemerintahan, penentu kebijakan dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan kemasyarakatan. Walaupun Lakino Lipu adalah jabatan

untuk kaum bangsawan tetapi yang memillh dan mengangkatnya adalah kaum walaka.

2) Mansuana, merupakan kepala negeri di bidang kebatinan yang memelihar3 dan mengatur keselamatan dan kesulitan hidup yang diakibatkan oleb gangguan alam atau pun gangguan yang datangnya dari makhluk-makhluk halus secara gaib seperti wabah penyakit, kekurangan hasil panen, merajalelanya hama tanaman, banyaknya anak usia di bawah umur yang meninggal merupakan bahagian dari tugas-tugas Mansuana untuk dicarikan cara mengatasinya. Jabatan ini merupakan jabatan yang diwariskan secara turun temurun dengan mempertimbangkan kematangan generasi yang menerimanya.

3) Kinipulu adalah aparat pembantu Lakino Lipu dalam tugas pererintah utamanya yang berkaitan dengan pengawasan jalannya pemerintah baik dalam tubuh aparat kerajaan maupun pemimpin kadie (desa) yang secara ex officio adalah aparat kerajaan.

4) Kapitono Lipu adalah aparat kerajaan yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Selain daripada itu Kapitano Lipu juga merupakan penegak hukum dan pembina masyarakat. Dalam tugas-tugas yang lebih berat Kapitano Lipu bekerja sama dengan Kapitano Suludadu dengan pasukan syaragenti.

5) Bonto seperti diuraikan di muka merupakan pimpinan kadie (desa) dan kaum walaka. Suatu kadie di pimpin oleh bonto manakala kadie tersebut hanya

terdiri dari satu kampung. Bonto selain sebagai pimpinan kadie juga secara ex officio merupakan aparat kerajaan.

6) Bonto atau lakino pada prinsipnya sama dengan bonto dimana berfungi sebagai pimpinan kadie yang terdiri beberapa kampung yang berasal dari kaurn bangsawan. Seperti halnya bonto, lakino juga secara ex officio merupakan aparat kerajaan.

7) Sabandara sebagai alat atau aparat kerajaan yang bertugas sebagai kepala pelabuhan yang mengawasi perkembangan wilayah teritorial laut dan berbagai kemungkinanan yang dapat mengganggu stabililtas dan keamanan. Semua perkembangan yang ditemukan senantiasa dilaporkan kepada Lakino Lipu untuk dimusyawarakan dengan presidium kerajaan dalam rangka penentuan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan selanjutnya.

8) Juru Bahasa adalah aparat pembantu sabandara secara operasional mengadakan kontak di lapangan dengan oknum-oknum yang mencurigakan. Karena tugas tugasnya yang sangat teknis operasional, maka Juru Bahasa disebut biri, mata dan elo lakino (raja). Biri artinya Juru Bahasa merupakan “telinga” atau alat pendengaran raja. Mata artinya Juru Bahasa merupakan “mata” alat penglihatan raja. Elo artinya Juru Bahasa merupakan “lidah” atau alat perasaan raja.

9) Talombo adalah aparat yang membantu pelaksanaan tugas-tugas daripada bonto. Talombo bekerja atas nama bonto dan melaksankan tugas setelah mendapat mandat dimana setelah tugas-tugasnya selesai dilaksanakan harus menyampaikan hasilnya serta berbagai masalah yang ditemukan dalam

pelaksanaannya. Tugas talombo antara lain mengurus upeti dan setiap kadie, untuk kesejahteraan dan kelancaraan pelaksanaan tugas-tugas aparat kerajaan. 10) Pandegau adalah merupakan aparat kerajaan yang bertugas mendampingi

bonto yang bertugas untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat umum yang berkaitan dengan pengumuman atau instruksi pemerintah atau syara. Selain daripada itu pandegau juga bertugas untuk mengkomunikasikan berbagai kebijaksanaan pemerintah kerajaan kepada aparat kadie. Dengan fungsinya sebagai mediator maka berbagai aspirasi dari bawah juga dikomunikasikan oleh pandegau kepada bonto yang selanjutnya menjadi bahan atau agenda musyawarah dalam pertemuan syara atau aparat kerajaan. 11) Belobaruga adalah aparat yang bertugas melayani berbagai urusan atau

kepentingan presidium kerajaan dimana masing-masing anggota presidium mempunyai seorang belobaruga atau ajudan. Sesuatu urusan sebelum sampai di tangan anggota presidium harus diperiksa terlebih dahulu oleh belobaruga dan untuk selanjutnya diteruskan kepada pejabat yang dimaksud.

12) Syaragenti adalah aparat yang bertugas menjaga stabilitas dan keamanaan utamanya dalam soal-soal yang berhubungan dengan perang, gangguan keamanan yang bersifat politik. Syaragenti ini di bawah pimpinan Kopitano Suludadu yang diturunkan oleh syara pada saat menghadapi keadaan-keadaan genting. Nama syaragenti berarti aparat yang menangani masalah-masalah genting. Sistem pemerintah seperti yang dikemukakan di atas berjalan terus hingga tahun 1951 dan tetap menjadikan Benteng Lipu sebagai pusat kedudukan pemenintah. Pemerintah yang berpusat dalam benteng ini baru

berakhir setelah pemerintah La Ode Ompo yang masih bergelar Lakino digantikan oleh La Ode Abdul Gani dengan gelar Jabatan Kepala Distrik yang memerintah tahun 1951-1956 (Abu Hasan, 1989: 69-73).

Dokumen terkait