• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. Buton Utara setelah Terintegrasi dengan Kesultanan Buton. setelah terintegrasi dengan Kesultanan Buton karena dengan pertimbangan bahwa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV. Buton Utara setelah Terintegrasi dengan Kesultanan Buton. setelah terintegrasi dengan Kesultanan Buton karena dengan pertimbangan bahwa"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

Buton Utara setelah Terintegrasi dengan Kesultanan Buton

a. Terbentuknya Barata Kulisusu

1. Pengertian Barata dan Awal Terbentuknya

Dalam penelitian ini mengapa masih perlu penjelasan tentang Buton Utara setelah terintegrasi dengan Kesultanan Buton karena dengan pertimbangan bahwa Buton Utara pada masa prabarata baru berdiri satu pemerintahan yang terstruktur setelah terintegrasi dengan Kesultanana Buton yakni dengan terbentuknya barata Kulisusu. Dalam masa ini, dengan adanya ancaman dari arah “buritan” maupun dari “haluan”, sebagaiman digambarkan tradisi lokal, mencerminkan analogi “ negara” Buton (darul butuni) dengan sebuah perahu (the ship of state) tradisi lokal menyebutkan bahwa penyusunan birokrasi Kesultanan Buton dilakukan pada masa sultan La Elangi. (waktu itu pula, perluasan pengaruh Ternate dan Gowa dilakukan keluar wilayahnya). Ada hubungan perluasan antara pengaruh Ternate dan Gowa dengan penerapan struktur kekuasaan Buton bagi wilayah-wilayah yang di kendalikannya the ship of state Buton dalam penerapannya adalah barata, perahu bercadik ganda. Dalam konteks itu, dapat dipahami munculnya gagasan bahwa konsepsi mengenai kerajaan buton diambil dari struktur perahu. Perahu di anggap dapat membawa seluruh penumpang warga negara berlayar menuju cita-cita yang di harapkan.

(2)

Layaknya sebuah perahu yang mempunyai keseimbangan sehingga tidak mudah goyang apalagi sampai terbalik. Konsepsi perahu yang dibayangkan Kerajaan Buton adalah perahu bercadik ganda, yang mempunyai dua sayap di kanan dan dua sayap di kiri. Pada setiap pertemuan dua sayap dan pengapitnya ada ikatan berfungsi sebagai penguat. Ke empat penguat tersebut barata. Dalam bahasa Wolio, barata selain berarti “tenaga” atau “kekuatan” juga berarti ikatan pasak pengapung sayap perahu dengan tangannya. Barata yang dimaksud dengan penopang kesultanan Buton adalah Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa. (Zuhdi, 2010:120). Ke empat barata itu dinamakan barata patapalena artinya barata yang ke empat. Antara Buton dan daerah barata tersebut saling bantu membantu dalam segala hal demi kepentingan bersama, terutama dalam bidang pertahanan dan keamanan.

Dalam buku dokumenta yang diterbitkan oleh DPD Sulawesi Tenggara dinyatakan bahwa “barata dalam arti politis adalah kerajaan-kerajaan yang bersiri sendiri dalam lingkungan Kesultanan Buton, terdiri dari Kerajaan Muna, kerjaan Tiworo, Kerajaan Kulisusu dan Kerajaan Kaledupa, yang masing mempunyai dan mengatur pemerinthannya sendiri (Anonim, tt:198). La Ode Zaenu menjelaskan bahwa “barata” artinya diberikan kekuasaan otonom untuk langsung bertindak apabila ada musuh yang mengganggu Buton, bertanggung jawab atas keamanan masing-masing. (La Ode Zaenu, 1985:36) selanjutnya ia mengatakan pula bahwa barata berarti susah (bergabung) yabarata yolipu artinya negara berkabung bukan berarti ada kematian akan tetapi berkabung di sini berarti menghadapi huru hara besar sebagai keadaan Buton saat itu (La Ode Zaenu, 1985:36) walaupun agak

(3)

berbeda redaksinya, arti kedua pernyataan di atas sebenarnya mempunya maksud yang sama, yaitu barata adalah suatu basis pertahanan keamanan yang dibentuk terutama untuk mengantisipasi segala macam ancaman dan gangguan terhadap integritas wilayah dan kedaulatan Kesultanan Buton. Istilah yabarata yolipu boleh jadi muncul pada waktu buton mendapat serangan dari luar sehingga ketika itu di anggap berkabung.

Keempat barata itu berkewajiban melindungi dari serangan musuh yang datang dari luar. Kulisusu dan Kaledupa berkewajiban menjaga serangan dari arah timur sementara itu Tiworo dan Muna menjaga keamanan kerajaan dari arah barat. Kedudukan dari ke empat barata itu juga merupakan fasal atau daerah taklukan yang memberi keuntungan bagi Buton.

Pada umumnya ke empat barata itu masuk kedalam kekuasaan Buton melalui penaklukan kecuali Kulisusu. Wilayah bagian timur Buton ini masuk kedalam kekuasan Buton dengan jalan damai. Penduduk Kulisusu menyatakan diri memeluk Islam sekitar awal abad ke-17, ketika sultan La Elangi mengadakan kunjungan ke Kulisusu. Ketika itu sudah ada dua kampung yang berdiri yakni Lampani dan Kancuancua. Pada masa La Ode Ode di Kulisusu yang tidak lain adalah putra Sultan La Elangi, mulailah ditetapkan hak kekusaan sendiri Kulisusu.

b. Latar Belakang Terbentuknya Barata Kulisusu

Kerajaan Muna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa dikukuhkan sebagai barata atau basis pertahanan kesultanan buton setelah pemerintahan sultan Dayanu Ikhsanudin (sultan ke-4 Buton), namun kerja sama dibidang pertahanan antara

(4)

wilayah-wilayah barata dengan Buton jauh sebelum sudah terjalin yakni sejak Sultan Murhum (Sultan I). Kerja sama ini dilatarelakangi gangguan dari serangan bajak laut Tobelo (Ternate). Berdasarkan sumber-sumber sejarah bahwa Buton pernah mengalami tiga kali serangan dahsyat dari bajak laut Tobelo. Serangan pertama terjadi pada masa pemeriritahan Tua Rade (Raja IV), serangan kedua yang dipimpin La Bolontio, terjadi pada masa pemenintahan Raja Mulae (Raja V), sedangkan serangan ketiga terjadi setelah Sultan Murhum berkuasa di Buton. Serangan ketiga dipimpin Iangsung oleh Sultan Ternate, Baabullah. Narnun serangan ketiga ini tanpa diperkirakan sebelumnya (unintended resuIt) pada akhirnya menimbulkan persahabatan yang erat antara Buton dan Ternate.

1. Serangan Tobelo Masa Pemerintahan Tua Rade (Raja IV)

Meskipun Ternate menjadi sekutu bagi Buton akan tetapi Ternate sewaktu-waktu menjadi ancaman dan gangguan Buton selama beratus-ratus tahun. Susanto Zuhdi mengatakan bahwa di bawah komando VOC, Buton dan Ternate bersekutu melawan Gowa. Akan tetapi pada waktu yang lain, keduanya berseteru. Ternate selalu berusaha menganeksasi Kulisusu dan Pulau Wawoni yang dianggapnya sebagai wilayah bagian utara kekuasaan Buton (Zuhdi, 2010: 11). Sampai abad ke-19 ada tiga wilayah yang menjadi sumber sengketa Buton dan Ternate, yaitu Wawoni, Tiworo, dan Kulisusu (Zuhdi, 2010 : 38-39).

Pasukan Ternate yang selalu mengganggu wilayah Buton adalah “bajak laut” Tobelo. Susanto Zuhdi mengatakan bahwa bajak laut merupakan gejala yang rnenjadi ancaman bagi kedaulatan Buton, terutarna dalarn segi ekonomi dan

(5)

peduduk. Bajak laut merampok dn merampas harta benda dan menculik orang-orang sebagai budak maupun untuk komoditas perdagangan. Dalam ingatan orang-orang Buton, yang juga didukung sumber VOC, bajak laut merupakan trauma yang berkepanjangan. Ancaman itu dirasakan baik oleh penguasa, maupun orang kebanyakan terutama yang tinggal di pantai. Sumber tradisional banyak mencatat kisah tentang “kepahlawanan” di lingkungan kekuasaan Baton yang berhasil membebaskan suatu negeri dan serangan bajak laut, yaitu Tobelo (Zuhdi, 2013 : 14).

Di masa pemenintahan Tua Rade atau Raja IV untuk pertamakali Tobelo melakukan serangan ke Buton. Sasaran utama dalam serangan ini adalah daerah-daerah pesisir, utamanya Siompu dan Kadatua. Rakyat kedua daerah-daerah ini rnenyelamatkan diri dari marabahaya dengan cara meminta perlindungan di Kraton Buton. Orang-orang yang melarikan diri mendapat perlindungan dari raja dan diberikan tempat pemukiman di Kraton Buton. Perkampungan-perkampungan itu kemudian dikenal dengan nama Limbo Sambali, Limbo Melai, Limbo Rakia, Limbo Gama, Limbo Wandailolo. Seluruh kekuatan kerajaan bersatu padu menumpas bajak laut tersebut melalui pertempuran yang sengit. Penamaan limbo (kampung) tersebut masing-masing rnengandung pengertian tersendiri sesuai peristiwa yang terjadi pada saat itu.

Limbo Sambali artinya kampung luar (limbo=kampung; sambali=Iuar). Dinamakan demikian karena bajak laut datangnya dari luar. Limbo Melai artinya kampung mulai (melai=mulai), artinya bajak laut mulai menggempur Buton.

(6)

Limbo Rakia artinya kampung bagian (turakia=bagian) artinya bahwa orang-orang yang ada di Siompu dan Kadatua adalah bagian dari Wolio (Buton) karena itu harus dibela. Limbo Gama artinya kampung gema (goma=gema), artinya bahwa peristiwa yang menggemparkan tersebut menggema di seluruh penjuru kerajaan. Limbo Wandailolo artinya kampung angin laut (wondailolo=angin laut) mengingatkan bahwa peristiwa tersebut datangnya dari arah laut, diantar oleh angin laut (La Ode Zaenu, 1990 dalam Amasa, 1991: 45). Dalam pertempuran tersebut para bajak laut dapat ditaklukan oleh pasukan Buton.

Setelah keadaan stabil kembali maka struktur pemerintahan mengalami perubahan sesuai dengan pertambahan limbo-limbo tersebut. Sebelum kedatangan bajak laut wilayah kerajaan hanya dibagi atas empat limbo (kampung) yaitu kampung-kampung; Baluwu, Peropa, Gundu-gundu, dan Barangkatopa yang biasa disebut dengan istilah Pato Limbona (empat kampung). Dari Pata Limbona ditingkatkan menjadi Sio Limbona (sembilan kampung) yang ditambah dengan limbo-limbo tersebut di atas sehingga dijadikan sebagai Bonto Sio Limbona, yang terdiri dari; Bontona Baluwu, Bontona Peropa, Bontona Gundu-gundu, Bontona Barangkatopa, Bontona Siompu, Bontona Melai, Bontona Rakia, Bontona Gama, dan Bontona Wandailolo. Kesembilan bonto tersebut diangkat sebagai pengawas dan pelaksana adat.

2. Serangan La Bolontio di Masa Pemerintahan Raja Mulae (Raja V)

Pada masa pemenintahan Raja Mulae, kehidupan rakyatnya sangat makmur. OIeh karena itu Raja Mulae mendapat julukan Sangia Igola yang artinya

(7)

keramat yang manis (sangia=keramat/yang dihormati; igolo=gula/manis). Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa hasil panen pada waktu itu melimpah ruah. Kraton banyak sekali menerima pemberian-pemberian hasil bumi sebagai tanda syukur rakyatnya. Namun pada saat ia memerintah ada suatu kabar yang tidak menyenangkan, yaitu akan ada serangan besar-besaran di bawah pimpinan salah seorang panglima perang Ternate yang berkedudukan di Banggai bernama La Bolontio. Diriwayatkan bahwa La Bolontio adalah seorang panglima yang sakti dan kebal. Dengan demikian ia digelari La Bolontio Kakadona Banggai, artinya La Bolontio yang paling diandalkan di Banggai. Berita yang menggemparkan seluruh wilayah Kerajaan Buton, bahwa suatu armada dari Ternate yang dipimpin oleh Panglima La Bolontio, datang menggempur Buton. Ia berhasil merampas setiap wilayah yang dilaluinya. Tujuannya ke Buton adalah untuk menghukum atau membalas dendam terhadap pasukan Buton atas kehancuran Tobelo pada waktu serangan pertama.

Mendengar berita yang menggemparkan itu, Raja Mulae menyusun kekuatan untuk menghadapi armada Ternate. Diputuskan bahwa musuh yang dihadapi harus dihadang di luar Kraton Buton. Keputusan ini diambil dengan alasan bahwa, karena pasukan yang dihadapi itu sangat kuat. Apabila meluas sampai di kraton akan terjadi kcpanikan di kalangan masyarakat, utamanya kaum wanita dan anak-anak, bahkan diperkirakan akan menmbulkan kehancuran total, sekalipun dihadapi dengan penuh ksatria dan dapat memenangkan pertempuran.

(8)

Sebagai medan pertempuran maka dipilihnya suatu tempat yang baik sekali untuk mengadakan perang tanding di Boneatiro, suatu daratan luas dan rata. Lokasinya di pinggir pantai, dasarnya pasir melulu, ditumbuhi alang-alang tandus. Suatu tempat yang tepat sekali untuk permainan para ksatria untuk mengadu kekuatannya. Raja Mulae serta seluruh pasukannya segera berangkat ke Boneatiro menyongsong kedatangan armada panglima La Bolontio. Setelah Beberapa hari armada Buton berada di Boneatiro maka datanglah bala bantuan dari kerajaan- kerajaan tetangga seperti yang dituturkan oleh La Ode Zaenu, 1990 (dalarn Amasa 1991 : 48) bahwa, dalam menunggu kedatangan pasukan La Bolontlo datanglah tiga orang ksatria yang membantu Buton yaitu Manjawari sebagai Oputa dari Selayar, yang waktu itu Selayar dan Kabaena rnasih bersatu di bawah kekuasaan Manjawari, Betoambari sebagai Raja Wajo yang daerahnya meliputi pantai-pantai Boepinang sampai di Sua-sua, dan Lakilaponto sebagai anak dari Raja Muna. Ketiga hulubalang tersebut datang bersama-sama untuk membantu Buton. Dalam peperangan ini musuh dapat ditaklukan. Panglima La Bolontio tewas dalam suatu perang tanding antara Lakilaponto (Murhum) dan La Bolontio. Sedangkan pengikut La Bolontio langsung ditawan oleh Raja Mulae.

Seusai pertempuran tersebut Manjawari, Betoambari, dan Lakilaponto diajak oleh raja untuk bersama-sama kembali ke Kraton Buton, yang disambut dengan senang hati oleh seluruh masyarakat. Dalam kemenangan ini, Raja Mulae rnemeritahkan untuk mengundang para ksatria Kabaena utamanya anak istri Manjawari. Demikian pula halnya dengan Betoambari Raja Wajo. Utusan istimewa dasampaikan untuk mengundang Sugimanuru Raja Muna sekeluarga

(9)

bersama Raja Tiworo sebagai kakek dan Lakilaponto yang bernama Kiy Jola dengan memperistrikan Wa Randea. Kedua suami istri ini meninggal di Buton yang dikuburkan di Gunung Wa Nepa-Nepa, Kecamatan Gu sekarang.

Kerajaan Tiworo, Muna, dan Buton sejak awal sudah membina persahabatan yang erat, merupakan kerajaan bersaudara. Sebab sesungguhnya bila ditelusuri silsilah raja-rajanya sesuai versi Buton maka ketiga kerajaan ini memiliki pertalian darah. Lakilaponto yang lebih dikenal dan mashur dengan nama Murhum, adalah anak dan Raja Muna Sugi Manuru dengan Watubapala. Sugi Manuru berasal dan Sugi La Ende Raja Muna II atau juga dikenal beliau ini dengan nama Sugi Mpeari, sedangkan Watubala berasal dan Kiy Jola dengan Wa Randea. Sugi La Ende adalah anak dan La Eli Bata Laiworu yang juga disebut Mobeteno Itombule atau juga Sugi Mpatani Raja Muna pertama. L.a Eli adalah putra dari Sibatara dengan Wa Bokeo dan bersaudara sebapak dengan Bulawambona Raja Buton II. Sedangkan Kiy Jola berasal dan Bataraguru Raja Buton III, lalu Wa Randea dan La Tiworo Mobeteno Iparia dengan istrinya Wa Sitao adalah putri bangsawan dari Konawe (Zahani, 1980, dalam Alihadara, 2010:54).

Selain adanya hubungan pertalian darah yang telah terjalin sebelumnya para pembesar kerajaan secara bersama-sama mengadakan pendekatan dengan kerajaan-kerajaan di sekitarnya demi keutuhan dan kesatuan kerajaan secara keseluruhan terutama melalui pendekatan asimilasi. Untuk mengadakan pendekatan dengan Kerajaan Kaledupa, maka anak raja Manguntu yang bernama

(10)

La Kuku dikawinkan dengan anak Raja Kaledupa, selanjutnya anaknya yang perempuan dikawinkan dengan Kasawari anak Lakina Mancuana dan La Kabaura anak La Maindo. Betoambari kawin dengan Wa Guruncangia anak raja Manguntu, sedangkan anak perempuan Manjawari kawin dengan cucu raja Manguntu. Demikian jalinan persahabatan masa Raja Mulae, sehingga setelah kegagalan dan tewasnya La Bolontio, terjadilah perubahan struktur pemerintahan demi rnemperkokoh persatuan dan kesatuan wilayah Kerajaan Buton. Sebagai imbalan atas jasa para pahlawan yang secara langsung ikut dalam pertempuran untuk mempertahankan Kerajaan Buton, maka untuk memperkuat hubungan, selain dengan jalan perkawinan, juga dengan pemberian penghargaan berupa jabatan-jabatan istimewa seperti Lakilaponto dikawinkan dengan anak Raja Mulae bernama Wa Tampaidonga. Tidak lama sesudah perkawinan tersebut Raja Mulae menyerahkan kekuasaan kepada Lakilaponto menjadi Raja Buton VI. Manjawani diangkat sebagai Sapati I Kerajaan Buton merangkap dengan tugasnya semula sebagai Opu di Selayar dan Kabaena. Begitu pula halnya dengan Betoambari, selain diangkat sebagai Kenepulu I juga merangkap sebagai Raja Wajo.

3. Serangan Ternate di Masa Pemerintahan Raja VI (Sultan I)

Tradisi lisan menuturkan bahwa kekalahan Panglima La Bolontio sangat berpengaruh terhadap Kerajaan Ternate. Seluruh daerah-daerah kekuasaan Kerajaan Ternate bertekad bulat untuk menghancurkan Kerajaan Buton. Penguasa Ternate pada saat itu adalah Sultan Baabullah. Dan nama ini berarti bahwa Ternate saat itu sudah menganut islam. Sultan Baabullah dan seluruh

(11)

masyarakatnya sangat marah atas tewasnya La Bolontio, sehinga sultan bersama rakyatnya sepakat untuk rnenggempur Buton. Dalam pertempuran ini sultan sendiri yang akan memimpinnya. Panglima besar serta sebahagian besar angkatan perangnya diperintahkan berangkat lebih dahulu menuju Buton, menyusun formasi pertempuran di wilayah Buton, sambil menunggu kedatangan panglima tertinggi yaitu Sultan Baabullah.

Berita yang cukup menggetarkan itu tiba pula di telinga penguasa Buton. Sultan Buton, Murhum saat itu sangat risau mendengar berita yang sangat menggemparkan itu. Meninjau situasi yang sangat genting saat itu, sultan merasa perlu mengangkat pejabat tinggi pemerintahan di bidang pertahanan yakni kepala angkatan perang serta menetapkan daerah-daerah otonom untuk sewaktu-waktu dapat bertindak sendiri jika ada musuh yang menyerang secara tiba-tiba. Maka diangkatlah dua orang kepala angkatan perang yang disebut Kapitalao Matanaeo (motanaeo=tempat terbit matahari atau timur) dan Kapitolao Sukanaeo (sukanaeo=tempat terbenam matahari atau barat). Sebagai Kapitalao Matanaeo I dangkat La Kabaura, sedangkan Kapitalao Sukanaeo I diangkat Katimanuru. Daerah oparasi Kapitalao Matanaeo meliputi daerah Buton bagian timur, sedangkan Kapitalao Sukanaeo meliputi wilayah Buton bagian barat. Kemudian mengangkat pula empat daerah yang diberi tanggung jawab atas keamanan serta keutuhan daerah masing-masing sekalian keutuhan Kesultanan Buton secara keseluruhan, yang kemudian wilayah-wilayah tersebut diistilahkan Barata Patapalena (barata empat bagian), yaitu Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa.

(12)

Langkah selanjutnya adalah mengadakan musyawarah tertinggi yang dihadiri oleh Sultan, Sapati, Kenepulu, Kapitalao Matanaeo, dan Kapitalao Sukanaeo. Dalam musyawarah itu ada beberapa keputusan yang langsung diketengahkan dalam majelis, yaitu : (1) Pusat pertempuran adalah di Kulisusu; (2) Kapitalao Matanaeo dan Kapitalao Sukanaeo supaya segera ke Kulisusu menyusun garis strategi dan mengurus semua persiapan lainnya; (3) Seluruh kekuatan kerajaan dipusatkan di Kulisusu; (4) Yang menjadi pemimpin pertempurari adalah sultan sendiri (La Ode Zaenu, 1990, dalam Amasa, 1991: 52).

Setelah selesai musyawarah tersebut kapitalao dan rombongan diperintahkan berangkat terlebih dahulu ke Kulisusu menyusun formasi tempur. Tempat berlabuhnya pasukan Buton ini kelak diabadikan dengan nama Labuan Wolio artinya tempat berlabuhnya orang-orang atau pasukan Buton (Wolio). Sampai di ujung utara Kulisusu kapitalao serta rombongan melihat adanya kapal Belanda berlabuh di Tampunakoro, ujung utara Kulisusu. Hal mana oleh armada Buton menyangka bahwa kapal Belanda tersebut adalah bagian dari armada Ternate. Maka tanpa pikir panjang serentak menggempur kapal Belanda tersebut dan berhasil melumpuhkannya serta semua muatan kapal disita sebagai rampasan perang, sedangkan anak buah kapal dibawa ke Kraton Buton sebagai tawanan perang.

Sesudah peristiwa tersebut pasukan Ternate datang ke Buton. Mereka tidak langsung mengadakan pertempuran, akan tetapi menunggu komando Iangsung dari Raja (Sultan Baabullah) yang sementara ditunggu kedatangannya.

(13)

Panglima perang dan pasukan Ternate berlabuh di suatu teluk yang kelak diabadikan dalam sejarah dengan nama Labuan Tobelo artinya pelabuhan orang-orang atau pasukan Tobelo (Ternate).

Berselang beberapa lama datang tiga buah kapal tempur Belanda berlabuh di sebuah tempat yang kelak dinamakan Labuan Walanda artinya pelabuhan orang-orang atau pasukan Belanda, dengan tujuan menggempur Buton sebagai balasan atas penyerangan kapal Belanda di Kulisusu serta hendak menyelamatkan orang-orang Belanda yang tertawan. Setelah sampai di Buton Utara (sekitar Kulisusu) mereka rnenyaksikan armada Ternate telah berlabuh di tempat tersebut, ditandai dengan panji-panji yang ditancapkan di sepanjang pantai tempat mereka berlabuh. Panji kebesaran Ternate di Labuan Tobelo menandakan disana ada panglima besar Ternate.

Melihat keadaan yang demikian, Belanda menduga bahwa Buton bersekutu dengan Ternate, dan sebaliknya pula Ternate menyangka bahwa ketiga buah kapal perang ini adalah utusan Belanda untuk membantu Buton melawan Ternate. Akibat dan kesalahdugaan tersebut maka pecahlah perang antara Belanda dan Ternate. Dalam peristiwa tersebut Sultan Buton sempat bertemu dengan Sultan Ternate, dan disaat itulah Sultan Ternate mendapatkan kepastian tentang tujuan sesungguhnya ketiga kapal Belanda tersebut yaitu untuk menggempur Buton. Olehnya itu pasukan Buton dan Ternate pada saat itu kemudian bersatu melawan Belanda. Dalam pertempuran tersebut sebuah kapal Belanda dapat ditenggelamkan, dan kedua kapal lainnya lolos mengundurkan diri. Sejak

(14)

peristiwa inilah awal terjadinya hubungan kerja sama antara Buton dan Ternate. Sekembalinya Sultan Baabullah ke Tarnate dikawal oleh Kapitalao Matanaeo, La Kabaura, dan beberapa hulubalang lainnya. lnilah yang disebut dalam sejarah dengan istilah unintended result, artinya sesuatu yang terjadi tanpa diperkirakan sebelumnya, sesuatu yang tidak terduga dan tidak direncanakan, terjadi di luar skenario atau secara kebetulan yang dapat mengubah jalan sejarah.

Namun demikian Ternate selalu mengganggu Kulisusu. Artinya pada suatu saat Ternate menjadi sekutu Buton dan saat yang lain Ternate tampil sebagai seteru Buton yang harus dilawan, sasarannya selalu wilayah paling ujung uatar Buton, yakni Kulisusu dan Pulau Wawonii. Karena wilayah ini secara langsung berbatasan dengan Kerajaan Ternate. Labuan Tobelo, Labuan Walanda, dan Labuan Wolio adalah daerah-daerah yang berada di daratan bagian barat laut Buton Utara menghadap ke Pulau Wawonii. Hingga abad ke-19, Kulisusu dan Pulau Wawonii selalu menjadi incaran Ternate. Dalam kaitan sekutu sekaligus seteru ini, Ternate pernah diminta bantuannya oleh Sultan Buton, La Awu (1654-1664), untuk membebaskan dua negeri Kulisusu dan Kumbewaha yang jatuh ke tangan kelompok yang masuk ke jalan pengaruh Makassar. Gubernur Banda juga meminta kepada Gubernur Ambon dan Gubernur Ternate untuk menghadapi Kulisusu, karena seorang warga bebas (burger) Banda dibunuh oleh orang Kulisusu. Maka Sultan Ternate, Mandarsyah, pada tahun 1663 merencanakan untuk mengirim satu ‘chialoup’ dengan empat kora-kora dari Kepulauan Sula ke Buton untuk bersama angkatan perang Buton menghukum Kulisusu. Hasil ekspedisi ini tidak diketahui. Akan tetapi, pada tahun 1663 penduduk Kulisusu

(15)

tidak dikirim ke Ternate (Franssen, 1978 dalam Zuhdi, 2010: 119). Sementara itu, sesudah penandatanganan Perjanjian Bungaya tahun 1667, Kapitan Laut Reti (Ternate) telah membawa orang Kulisusu ke Ternate pada tahun 1690. Persoalan yang menimbulkan konflik ini disebabkan oleh perbedaan kepentingan Buton dan Ternate. Bagi Buton, Kulisusu merupakan salah satu baratanya, sedangkan bagi Ternate orang Kulisusu dapat menarnbah penduduknya yang minim. Akan tetapi tampaknhya, mereka dijadikan budak oleh orang Ternate di bawah para bobato. Keluhan orang Kulisusu didengar oleh VOC dan menetapkan bahwa penduduk Kulisusu tidak lagi menjadi warga VOC, tetapi warga Ternate, menjadi orang bebas di dalam soa-siu (Franssen, 1978 dalam Zuhdi, 2010: 119).

Dengan demikian berdasarkan fakta-fakta historis sebagaimana dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi cikal bakal terbentuknya Barata Patapalena adalah karena adanya serangkaian gangguan dan serangan bajak laut Tobelo (Ternate). Pembentukan barata sebagai salah satu basis pertahanan Kesultanan Buton sudah dimulai sejak serangan Ternate di masa pemerintahan Sultan I. Ketika itu penguasa Buton mulai mengadakan politik aliansi dengan kerajaan-kerajaan disekitarnya yang bertujuan membina ketentraman bersama dan menghadapi ancaman yang datang dari luar. Kerajaan pertama yang ditarik untuk bergabung adalah Muna, kemudian menyusul Tiworo dan Kaledupa. Pada masa pemerintahan Sultan IV, Dayanu lkhsanuddin, Kerajaan Kulisusu berhasil ditarik secara damai melalui jalur perkawinan dan menyatakan diri bergabung dengan Buton. Keempat kerajaan tersebut kemudian dikukuhkan sebagai bagian dari kerajaan Buton dengan status masing-masing sebagai barata. Ketentuan mengenai

(16)

struktur, fungsi, hak dan kewajiban masing-masing barata tertuang dalam Undang-U ndang Barata, bagian dan Konstitusi Martabat Tujuh.

c. Fungsi Barata Kulisusu

1. Bagian Strategi Perjuangan Islam

Ekspansi Buton ke wilayah-wilayah disekitarnya bukan didorong oleh nafsu imperilisme seperti yang dilakukan oleh orang-orang Eropa, melainkan yang menjadi motivasi utama adalah syiar Islam, perluasan dan pengembangan Islam melalui apa yang dinamakan falsafah perjuangan Islam. Falsafah ini sekaligus digunakan untuk menempa sernangat prajurit Buton dalam menghadapi ancaman dari luar. Falsafah perjuangan Islam di Buton untuk pertama kali dicetuskan oleh Sultan I, Murhum. Urutan-urutan falsafah perjuangan Islam sebagaimana dikemukakan oleh Moersidi (1990) dalam Amasa (1991: 60) adalah sebagal berikut:

Yinda-yindamo aratao somanomo karo; Yindo-yindomo karo somanamo lipu; Yinda-yindamo lipu somonomo yara; Yinda-yindamo syaro somanamo agama.

Yindo-yindamo arataa somanamo koro artinya hilang-hilanglah harta asalkan diri pribadi selamat. Arotaa (harta benda) baik yang dimiliki oleh orang seorang maupun yang dimiliki oleh sekelompok orang wajib dipelihara. Namun sewaktu-waktu harta benda dapat dikorbankan demi kesalamatan diri (karo).

(17)

Yindo-yindamo karo somanamo lipu artinya hilang-hilanglah diri asalkan negara selamat. Setiap diri pribadi wajib dilindungi keselamatannya oleh negara atau pemerintah akan tetapi setiap diri pribadi dapat dikorbankan demi keselamatan bangsa dan negara. Hal ini mengandung pengertian bahwa, bila negara dalam keadaan bahaya, misalnya perang, maka rakyat wajib membela negaranya walaupun dengan mengorbankan jiwa raganya. Azas ini bersumber dari semangat juang dari para ksatria yang selalu menyiapkan jiwa raganya untuk berjihad bagi keselamatan bangsa dan negaranya.

Yinda-yindamo lipu somanamo syara artinya hilang-hilanglah negara asalkan pamenintahan selamat. Lipu atau negara adalah milik bersama seluruh rakyat dan pemerintah. Oleh karena itu negara wajib dipelihara, dilindungi dan dipertahankan keutuhannya dan bahaya-bahaya yang mengancam dari manapun datangnya. Namun apabila kepentingan yang lebih tinggi dan lebih utama menghendaki yaitu keselamatan pemerintah (syara) maka bagian-bagian negara tertentu bila keadaan terpaksa boleh dikorbankan.

Yinda-yindamo syara somanamo agamo artinya hilang-hilanglah pemerintah asalkan agama selamat. Syara (pemerintah) menduduki urutan tertinggi yang wajib diselamatkan sesudah lipu (regara). Namuri bila ada keadaan yang sangat genting dimana keselamatan syara benar-benar sudah terancam, maka pemenintah terpaksa menyerah demi keselamatan Agama Islam. Jadi, keselamatan agama menjadi cita-cita tertinggi Kesultanan Buton. Kulisusu sebagai salah satu barata Kesultanan Buton tentunya mengemban amanah tersebut. Artinya bahwa

(18)

apapun yang dimiliki oleh Kulisusu harus rela dikorbankan demi tegaknya Agama Islam di Barata Kulisusu. Pengorbanan dimulai dari pengorbanan harta, diri, negara, dan terakhir adalah pengorbanan pemerintah (syara). Apa saja yang dimiliki oleh Barata Kulisusu boleh dikorbankan asalkan Agama Islam tetap tegak berdiri. Disinilah letaknya Buton dengan perangkat baratanya sebagai negara berdasarkan Islam.

2. Sebagai Bagian Strategi Pertahanan

Mengingat luasnya wilayah Kesultanan Buton maka dibangun suatu strategi pertahanan yang kokoh dan tangguh. Sistem pertahanan yang dimaksud adalah sistem pertahanan berlapis yaitu Bisa Potamiana, Lakina/Bobata, Matona Soromba, Barata Patapaleno. Keempat basis pertahanan tersebut dikoordinasikan oleh Kapitalao/Kapitaraja dari pusat. Jabatan Kapitalao/Kapitaraja sebagai pemimpin di bidang pertahanan dan keamanan berjumlah dua orang, yaitu bertugas di sebelah barat dan di sebelah timur kesultanan. Keduanya mengepalai tentara yang berjumlah 77 orang. Kapitaraja hanya mengenal satu kali perintah saja dari sultan, artinya tidak dapat kembali sebelum dapat melaksanakan tugasnya. Kapitaraja membawahi beberapa jabatan keamanan seperti Barata, Matana Sorumba, Lakina/t3obato, dan Bisa Patamiana.

Barata adalah Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa. Keempatnya disebut barata Potapaleno (barata empat bagian). Keempat borata ini diberikan kekuasaan mengatur daerahnya sendiri, dengan Undang-Undangnya sendiri yang dibuat atas persetujuan syara Buton. Diberikannya kekuasaan itu atas

(19)

pertimbangan keamanan, karena letaknya yang strategis bagi Kesultanan Buton. Masing-masing barata berfungsi sesuai letaknya. Dikemukakan oleh Hazirun Kudus dalam Amasa (1991: 68) bahwa, di bagian utara merupakan wilayah patroli Barata Muna, di bagian timur wiayah patroli Barata Kulisusu, di bagian selatan wilayah patroli Barata Kaledupa, sedangkan di bagian Barat wilayah patroli Barata Tiworo. Maka jelaslah bahwa

Barata Kulisusu sebagai salah satu komponen dalam sistem pertahanan Buton bertanggungjawab untuk mempertahankan Buton dari berbagai ancaman dan gangguan yang datang dari arah timur seperti ancaman Ternate. Secara geografis kawasan Barata Kulisusu secara Iangsung bersentuhan dengan wilayah Kerajaan Ternate. Karena itu beberapa peristiwa penting serangan Ternate terhadap Buton selalu terlehih dahulu diarahkan ke Barata Kulisusu.

Dalam tugas patroli setiap barato diwajibkan untuk memakai identitas yang disebut dayalo dan sebuah bendera yang disebut tombi pagi sebagai tanda pengenal dengan ketentuan bahwa apabila dari kejauhan diperkirakan telah nampak ibukota Kraton Buton, maka doyalo dan tompi pagi tersebut harus diturunkan. Sebagai pengenal lainnya masing-masing barata pula telah ditetapkan tempat pelabuhannya yaitu: Muna berlabuh di Kanakea, Tiworo di Bonesala, Kulisusu di Loji, dan Kaledupa di Kalampa. Aturan-aturan seperti ini merupakan tindakan preventif untuk tetap menjaga keamanan.

Matana Sorumbo adalah suatu daerah kadie yang berfungsi sebagai ujung tombak dalam menyerang musuh. Yang termasuk wilayah Matano Sorumba

(20)

adalah Lapandewa yang bertugas mengawasi keamanan dari arah utara, Wabua mengawasi keamanan dari arah selatan, Mawasangka mengawasi keamanan dari arah barat, dan Watumatobe mengawasi dari arah timur (La Boci, 1988, dalam Alihadara, 2010:62). Daerah ini dijadikan Matana Sorumba, juga atas pertimbangan keamanan karena letaknyapun strategis. Melalui Matona Sorumba inilah, apabila daerah barata tidak dapat mempertahankan diri dari serangan musuh, maka segera diutus untuk membantu, sesuai dengan pembagian wilayah patrolinya masing-masing.

Bisa Potamiano sebagai salah satu pertahanan keamanan yang melindungi negara dan pemerintah bersama rakyatnya dari ancaman musuh yang datang dari luar maupun dari dalam kesultanan. Pertahanan mi dilakukan secara batiniah dalam arti bahwa, meramalkan situasi yang akan terjadi di masa mendatang. Jumlah bisa ini ada empat orang sehingga disebut Bisa Patamiana (bisa empat orang), masing-masing adalah Mojina Silea, Mojina Peropa, Mojina Kalau, dan Mojina Waberongalu. Talombo berfungsi sebagai pengamanan dan pelaksana hukuman potong tangan (pande tatolima). Hukuman potong tangan ini dilaksanakan bila seseorang melakuan pencurian. Selain itu Talombo juga berfungsi sebagai pengamanan jalannya suatu pertemuan resmi. Sebagai lapisan terakhir pertahanan adalah benteng kerajaan yang sekaligus sebagai tempat peralatan dan persenjataan dilengkapi dengari gode, yaitu suatu tempat untuk peralatan senjata, baluara, sebagai tempat pertahanan bila ada musuh yang datang menyerang; Lowana Kompebuni (pintu rahasia) sebuah pintu yang langsung ke tempat lain di luar benteng.

(21)

4. Fungsi Politik

Barata Kulisusu secara struktural mengakui Buton sebagai pusat pemerintahannya. Meskipun barata diberikan hak otonorn untuk mengatur pemerintahannya sendiri, undang-undangnya sendri namun dilakukan atas persetujuan Sultan Buton. Dalam UU Barata ditetapkan pejabat-pejabat yang nama dan fungsinya sama seperti yang ada pada Syara Kesultanan Buton namun tidak lengkap seperti yang ada dalam pemerintah pusat, bisa lengkap bila keempat barata tersebut disatukan. Dengan kondisi seperti ini maka tiap-tiap barata diwajibkan untuk selalu berkonsultasi dengan aparat pemerintahan pusat.

Pejabat Barata Kulisusu dipilih dan diangkat dari barata itu sendiri namun atas persetujuan Sultan Buton. Pada saat-saat tertentu jabatan Lakina Barata dapat diambil alih oleh penguasa pusat dalam rangka pengamanan wilayah, namun bila keadaan mulai stabil maka jabatan tersebut diserahkan kembali pada barata. Hal ini pernah terjadi pada saat Muna ingin melepaskan diri dari Kesultanan Buton.

5. Fungsi Ekonomi

Fungsi Barata Kulisusu di bidang perekonomian dapat dilihat dan sistem perpajakan yang ditetapkan oleh Kesultanan Buton. Khusus wilayah barata, termasuk Kulisusu pajak yang paling diutamakan adalah pajak perdagangan. Ketetapan pajak yang telah digariskan dalam Undang-Undang Barata tidak sama untuk setiap barata, tetap disesuaikan dengan penghasilan yang ada di tiap-tiap barata tersebut. Ketetapan pajak khususnya di bidang perdagangan biasa disebut

(22)

dengan istilah Jawana Barata. Jawana Barata Kulisusu untuk setiap tahunnya adalah sebesar 45 boka (Zahari, 1980: 131 — 132).

Selain ketetapan-ketetapan di atas terdapat pula ketetapan-ketetapan lainnya yang ada kaitannya dengan perekonomian. Dalam UU Barata dinyatakan bahwa semua pedagang asing yang ada di perairan barata tidak diperkenankan dimintai bea, sekalipun kapitalao dari kesultanan sementara bertugas, kecuali atas izin Sultan Buton. Demikian pula halnya dengan pedagang-pedagang dari Buton yang berada di barata tidak dibenarkan untuk tinggal di barata tanpa ada suatu keterangan dari Sultan Buton secara resmi.

6. Fungsi Sosial Budaya

Barata Kulisusu yang sebelumnya merupakan kerajaan yang berdiri sendiri telah memiliki kader-kader prajurit yang tangguh dalam persiapan terjun ke medan perang. Kerajaan Kulisusu sejak dahulu kala sudah merupakan pelaut-pelaut yang ulung. Strategi perang kemaritiman bukanlah hal yang baru bagi mereka. Oleh karena itu di samping letaknya yang strategis sebagai barata juga memiliki manusia-manusia yang punya potensi di bidang pertahanan dan keamanan. Di lain pihak Barata Kulisusu memiliki andil besar dalam siar Islam, yang mana dalam benteng istana barata dilengkapi dengan sebuah bangunan masjid yang cukup megah untuk ukuran saat itu yang merupakan pusat kegiatan pengembangan Islam, dalam kaitannya dengan upaya pembinaan kader mubaligh yang menjadi motor penggerak Islam ke seluruh wilayah kekuasaan barata. Para mubaligh menduduki posisi yang terhormat dalam masyarakat, lebih-lebih karena

(23)

kemampuan menjadi teladan di tengah-tengah masyarakat dan dapat menyatu dengan mereka.

d. Benteng Lipu, Kraton Kulisusu

1. Sebagai Pusat Pemerintahan Barata Kulisusu

Barata Kulisusu sebagai suatu unit pemerintahan tentu mempunyai pusat kegiatan dan penyelenggaraan pemerintahan yang dinamakan Kraton Kulisusu yang dilindungi oleh sebuah benteng yang sangat kokoh. Benteng Kraton Kulisusu atau Benteng Lipu yang terletak di lingkungan Wapala Lakonea Kecamatan Kulisusu merupakan salah satu peninggalan sejarah dan budaya yang mulai dibangun sekitar akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17 oleh Lakina Kulisusu pertama, La Ode-Ode.

Nama Benteng Lipu berasal dari kata “Lipu” yang berarti pusat pemukiman masyarakat. Dari tempat ini kehidupan masyarakat berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi zamannya. Pemukiman ini muncul sebagai jawaban atas tuntutan dan tantangan masyarakat yang tadinya hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan kehidupan mereka.

Perkembangan jumlah penduduk dengan berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi adalah tuntutan secara alamiah dan manusiawi untuk dipenuhi. Pemenuhan tersebut hanya dapat dilaksanakan manakala masyarakat terintegrasi dalam bentuk organisasi sosial yang terpusat pada suatu ruang atau tempat yang dianggap strategis. Ini merupakan faktor internal yang merupakan latar belakang serta motivasi dasar dibangunnya Benteng Lipu. Sejalan dengan hal tersebut maka

(24)

pada saat yang bersamaan muncul kebutuhan akan perlunya stabilitas dan keamanan dalam kehidupan masyarakat dari berbagai tantangan, ancaman, dan gangguan baik dari dalam maupun dari luar.

Serangan bajak laut dari utara dan timur yang disebut Tobelo merupakan gangguan dan ancaman stabilitas yang datangnya dari luar sehingga untuk melindungi masyarakat Kulisusu yang terkosentrasi di Lipu diperlukan kekuatan untuk melindungi masyarakat dalam bentuk benteng. Tradisi lisan menuturkan bahwa ide awal untuk membangun benteng muncul dari La Kodangku yang rancangannya lebih luas dan yang ada sekarang dengan mempertimbangkan berbagai aspek perkembangan masyarakat baik politik, ekonomi, sosial dan budaya serta pertahanan dan keamanan. Rancangan tersebut membutuhkan waktu, tenaga, serta biaya yang cukup besar. Oleh tokoh Gaumalanga menganggap bahwa pemikiran tersebut terlalu ideal sementara kebutuhan masyarakat akan terbangunnya sebuah benteng semakin mendesak sehingga pada saat La Kodangku turun ke laut mencari tempat untuk pemasangan sero (toamano bala), kesempatan itu dimanfaatkan oleh Gaumalanga untuk mengerahkan tenaga guna membangun benteng tersebut (Abu Hasan, 1989: 54). Namun demikian ukurannya diperkecil dari ukuran yang telah dirancang oleh La Kodangku yang mencakup dari ee bula di sebalah barat hingga ee mataoleo di sebalah timur masuk dalam kawasan benteng yang direncanakan oleh Kodangku. Akibat perubahan itu Kodangku marah besar dan berwasiat kepada syara bahwa kelak ketika ia wafat jangan dikebumikan di dalam benteng (Rahmat, Desember 2010). Karena itu

(25)

makam Kodangku masih dapat disaksikan keberadaannya di luar benteng pada posisi sekitar 150 meter dari benteng Lipu.

e. Struktur Pemerintahan Barata Kulisusu

Pada masa pemerintahan Sultan Murhum, kerajaan-kerajaan Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa telah mengadakan persekutuan dalam hal petahanan dan keamanan bersama, untuk mempertahankan diri dari berbagai serangan yang datang dari luar. Semula persekutuan ini dibentuk atas dasar persetujuan dan kepentingan bersama tanpa ada aturan yang sifatnya mengikat. Akan tetapi pada masa kekuasaan Sultan Dayanu lkhsanuddin, kerajaan-kerajaan tersebut dikukuhkan sebagai bagian dan Kesultanan Buton dengan status dan nama Barata Patapalena.

Untuk mengatur dan mengendalikan sistem pemerintahan maka pertama-tama Lakina Barata harus berkedudukan di dalam benteng (Kraton Barata), di dalam sebuah istana yang dinamakan kamali sedangkan tempat musyawarah atau balai pertemuannya dinamakan baruga di depan mesjid kuno di Benteng Lipu. Di kedua tempat inilah ditetapkan berbagai kebijakan pemerintahan barata berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yaitu Syarana Barata (Undang-Undang Barata). Untuk melaksanakan setiap keputusan syara (pemerintah), maka struktur pemerintahan disusun sesuai pedoman yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan pertimbangan aspirasi yang berkembang dan setiap wilayah pemerintahan yang lebih kecil.

(26)

Undang-Undang Barata dibuat dan ditetapkan oleh Syara Buton dengan selalu mempertimbangkan kondisi setiap barata itu sendiri. Pada tiap-tiap barata dibentuk pula jabatan-jabatan yang nama dan gelarnya seperti yang ada pada Syora Buton, akan tetapi tidak lengkap seperti yang ada pada pemerintahan pusat kecuali keempat barata itu disatukan semua baru bisa sama dengan struktur pemerintahan pusat Kesultanan Buton. Misalnya di Barata Muna hanya ada jabatan kopitalao, sedangkan jabatan-jabatan lainnya seperti kenepulu ataupun bonto ogena tidak ada. Di Tiworo hanya ada jabatan sapati, di Kulisusu hanya ada kenepulu dan di Kaledupa hanya ada bonto ogena. Struktur inti pemerintahan Barata Kulisusu menurut Syarana Barata menurut Zahari, 1980 (dalam Alhadara 2010:83). adalah sebagai berikut:

(1) Lakina Kulisusu (Raja Kulisusu). (2) Kenepulu.

(3) Bontona Kampani. (4) Bontona Kancua-ncua. (5) Kapitana Lipu

Berikut adalah daftar nama-nama Lakina Kulisusu dan periode kekuasaannya; La Ode-Ode gelar Sangia Eh (1620-1670), La Ode Kampulu gelar Tasau Ea (1670- 1710), La Ode Murhum gelar Sangla Ibangkudu (1710-1745), La Ode Bahira gelar Mokawana Lelena (1745-1775), La Ode Sampe gelar Sangia Mataoleo (1775.1800), Saynonda (1800-1830), La Ode Manja gelar Waopu Ilabunia (1830-1850), La Ode Eru gelar Waopu Ilemo (1850-1865), La Ode Ahmadi gelar Waopu Ilabuara (1865.1875), La Ode Gola gelar Waopu Iloji

(27)

(1875-1890), La Ode Zalymu (1890-1905), La Ode Gola gelar Waopu Loji (1905-1913), La Ode Falihi gelar Waopu Ibale (1913-1918), La Ode Aero (1918-1927), La Ode Mihi (1927-1939), La Ode Tibi (1939-1940), La Ode Husaeni (1940-1942), La Ode Tibi ((1940-1942), La Ode Ganiiru (1942-1949), La Ode Ampo (1949-1950), La Ode Ganiiru (1950-1955). (Abu Hasan, 1989 : 99). Setelah itu jabatan Lakina Kulisusu diganti dengan jabatan Kepala Distrik Kulisusu hingga tahun 1964 (Alam Syabdu, 2010: 34).

Pada dasarnya tugas dan kewajiban Syara Barata sama dengan tugas aparat kesultanan di wilayah inti, tetapi Syara Barata hanya terbatas dalam wilayahnya masing-masing. Pada tiap-tiap wilayah barata terdapat benteng istana yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pusat pertahanan, dan sekaligus sebagai pusat pengembangan Islam. Dikatakan bahwa benteng tersebut merupakan pusat pemerintahan, sebab di dalam benteng itulah bermukim Lakina Barata (Raja Barata) dan para pembantunya. Adapun struktur lengkap pemerintah Barata Kulisusu adalah sebagai berikut:

1) Lakino Kulisusu, didampingi oleh:

a. Kinipulu, jabatan untuk kaomu (kaum bangsawan), dibantu seorang juru bicara (pandegau).

b. Kopitano Lipu, jabatan untuk kaomu, dibantu seorang juru penerang (talombo).

c. Kopitano Suludadu, jabatan untuk kaomu, memimpin dua regu prajurit (saragenti).

(28)

d. Bonto Ea (Bontono Kampani, Bontono Kancua-ncua), jabatan untuk walaka.

2) Bonto Slolimbona, jabatan walaka, terdiri dan: a. Bontono Langkaudu.

b. Bontono Mowuru. c. Bontono Rotawo. d. Bontano Kalibu. e. Bontono Sakau dan f. Bontono Kodaawu.

3) Bobato, jabatan untuk kaomu, terdiri dan:

a. Lakino Lemo, merangkap todulako atau panglima perang darurat, dibantu dua orang juru bicara (pandegau) yaitu pandegau Ea (juru bicara besar) dan pandegau ete (juru bicara kecil).

b. Lakino Bone, dibantu seorang pandegau. c. Lakino Kalibu, dibantu seorang pandegau. d. Lakino Mataoleo, dibantu seorang pandegau. e. Lakino Kotawo, dibantu seorang pandegau. f. Lakino Tomoahi, dibantu seorang pandegau. g. Lakino Sampu, dibantu seorang pandegau. h. Lakino Wela-Welalo, dibantu seorang pandegau.

4) Sabandaro, satu orang, jabatan untuk kaum bangsawan, dibantu seorang juru bahasa (juru bahasa).

(29)

6) Talombo, dua orang, jabatan untuk walaka, terdiri dari : (1) Talombono Kompania dan (2) Talombono Kancua-ncua.

7) Pandegau, 11 orang, jabatan untuk walaka yang meliputi: a. Pandegauno Kampani. b. Pandegauno Kancua-ncua. c. Pandegauno Lemo. d. Pandegauno Bone. e. Pandegauno Tomoahi. f. Pandegauno Sampu. g. Pandegauno Wela-Welalo. h. Pandegauno Kalibu. i. Pandegauno Mataoleo. j. Pandegauno Kotawo. k. Pondegauno Sakau.

8) Belobaruga, empat orang, jabatan untuk walaka yang terdiri atas: a. Belobarugano Kinipulu.

b. Belobarugano Kapitano Lipu. c. Belobarugano Kampani. d. Belobarugono Kancua-ncua.

9) Syaragenti, 28 orang, jabatan untuk walaka yang terdiri dari dua orang Albahidiri, dua orang Alpirisi, dan 24 orang anggota pasukan. (Abu Hasan, 1989 :67-69).

(30)

Di samping pemerintahan yang disebut kabonto dan kabobato, masih ada syara yang disebut syarano hukumu yang dikepalai oleh Lakino Agama, terdiri dan dua syarano, yaitu syarano hukumu bidang adat dan syarano hukumu bidang agama. Lakina Agama pertama bernama La Ode Rustam dengan gelar Sangia Yi Agama Bangkudu mantan Lakina Kulisusu kedua (Abusaru, 2005 (dalam Alihadara, 2010:86). Selanjutnya menurut Abusaru bahwa La Ode Rustam menerima Agama Islam dari Sultan Murhum untuk dikembangkan di Kulisusu, diterima oleh Lakina Lemo I Wa Ode Bilahi dan Kopasarano. Keislaman rakyat Kulisusu diresmikan oleh Sultan Buton IV, Dayanu Ikhsanuddin, (Abusaru 2005, dalam Alihadara 2010:86).

Dalam pelaksanaan pemerintah, Lakino Lipu (Lakino Kulisusu), Mansuana (Lakino Kulisusu secara batin), Kinipulu, Kapitano Lipu, Bontono Kampani dan Bontono Kancua-ncua merupakan presidium aparat kerajaan yang mewakili semua unsur dan dipilih secara demokratis. Dan enam orang anggota presidium, tiga diantaranya mewakili golongan kaomu yakni : Lakino Lipu, Kapitano Lipu. dan Kinipulu, sedang tiga orang lainnya mewakli golongan walaka dan papara yakni Mansuana, Bontono Kampani dan Bontono Kancua-ncua (Abu Hasan, 1989 69). Sebagai satu kesatuan kepemimpinan kolektif di bawah pimpinan Lakino Lipu masing-masing mempunyai tugas khusus. Adapun tugas masing-masing aparat kerajaan (Barata Kulisusu) meliputi:

1) Lakino Lipu (Lakino Kulisusu) merupakan kepala wilayah dan sekaligus kepala pemerintahan, penentu kebijakan dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan kemasyarakatan. Walaupun Lakino Lipu adalah jabatan

(31)

untuk kaum bangsawan tetapi yang memillh dan mengangkatnya adalah kaum walaka.

2) Mansuana, merupakan kepala negeri di bidang kebatinan yang memelihar3 dan mengatur keselamatan dan kesulitan hidup yang diakibatkan oleb gangguan alam atau pun gangguan yang datangnya dari makhluk-makhluk halus secara gaib seperti wabah penyakit, kekurangan hasil panen, merajalelanya hama tanaman, banyaknya anak usia di bawah umur yang meninggal merupakan bahagian dari tugas-tugas Mansuana untuk dicarikan cara mengatasinya. Jabatan ini merupakan jabatan yang diwariskan secara turun temurun dengan mempertimbangkan kematangan generasi yang menerimanya.

3) Kinipulu adalah aparat pembantu Lakino Lipu dalam tugas pererintah utamanya yang berkaitan dengan pengawasan jalannya pemerintah baik dalam tubuh aparat kerajaan maupun pemimpin kadie (desa) yang secara ex officio adalah aparat kerajaan.

4) Kapitono Lipu adalah aparat kerajaan yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Selain daripada itu Kapitano Lipu juga merupakan penegak hukum dan pembina masyarakat. Dalam tugas-tugas yang lebih berat Kapitano Lipu bekerja sama dengan Kapitano Suludadu dengan pasukan syaragenti.

5) Bonto seperti diuraikan di muka merupakan pimpinan kadie (desa) dan kaum walaka. Suatu kadie di pimpin oleh bonto manakala kadie tersebut hanya

(32)

terdiri dari satu kampung. Bonto selain sebagai pimpinan kadie juga secara ex officio merupakan aparat kerajaan.

6) Bonto atau lakino pada prinsipnya sama dengan bonto dimana berfungi sebagai pimpinan kadie yang terdiri beberapa kampung yang berasal dari kaurn bangsawan. Seperti halnya bonto, lakino juga secara ex officio merupakan aparat kerajaan.

7) Sabandara sebagai alat atau aparat kerajaan yang bertugas sebagai kepala pelabuhan yang mengawasi perkembangan wilayah teritorial laut dan berbagai kemungkinanan yang dapat mengganggu stabililtas dan keamanan. Semua perkembangan yang ditemukan senantiasa dilaporkan kepada Lakino Lipu untuk dimusyawarakan dengan presidium kerajaan dalam rangka penentuan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan selanjutnya.

8) Juru Bahasa adalah aparat pembantu sabandara secara operasional mengadakan kontak di lapangan dengan oknum-oknum yang mencurigakan. Karena tugas tugasnya yang sangat teknis operasional, maka Juru Bahasa disebut biri, mata dan elo lakino (raja). Biri artinya Juru Bahasa merupakan “telinga” atau alat pendengaran raja. Mata artinya Juru Bahasa merupakan “mata” alat penglihatan raja. Elo artinya Juru Bahasa merupakan “lidah” atau alat perasaan raja.

9) Talombo adalah aparat yang membantu pelaksanaan tugas-tugas daripada bonto. Talombo bekerja atas nama bonto dan melaksankan tugas setelah mendapat mandat dimana setelah tugas-tugasnya selesai dilaksanakan harus menyampaikan hasilnya serta berbagai masalah yang ditemukan dalam

(33)

pelaksanaannya. Tugas talombo antara lain mengurus upeti dan setiap kadie, untuk kesejahteraan dan kelancaraan pelaksanaan tugas-tugas aparat kerajaan. 10) Pandegau adalah merupakan aparat kerajaan yang bertugas mendampingi

bonto yang bertugas untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat umum yang berkaitan dengan pengumuman atau instruksi pemerintah atau syara. Selain daripada itu pandegau juga bertugas untuk mengkomunikasikan berbagai kebijaksanaan pemerintah kerajaan kepada aparat kadie. Dengan fungsinya sebagai mediator maka berbagai aspirasi dari bawah juga dikomunikasikan oleh pandegau kepada bonto yang selanjutnya menjadi bahan atau agenda musyawarah dalam pertemuan syara atau aparat kerajaan. 11) Belobaruga adalah aparat yang bertugas melayani berbagai urusan atau

kepentingan presidium kerajaan dimana masing-masing anggota presidium mempunyai seorang belobaruga atau ajudan. Sesuatu urusan sebelum sampai di tangan anggota presidium harus diperiksa terlebih dahulu oleh belobaruga dan untuk selanjutnya diteruskan kepada pejabat yang dimaksud.

12) Syaragenti adalah aparat yang bertugas menjaga stabilitas dan keamanaan utamanya dalam soal-soal yang berhubungan dengan perang, gangguan keamanan yang bersifat politik. Syaragenti ini di bawah pimpinan Kopitano Suludadu yang diturunkan oleh syara pada saat menghadapi keadaan-keadaan genting. Nama syaragenti berarti aparat yang menangani masalah-masalah genting. Sistem pemerintah seperti yang dikemukakan di atas berjalan terus hingga tahun 1951 dan tetap menjadikan Benteng Lipu sebagai pusat kedudukan pemenintah. Pemerintah yang berpusat dalam benteng ini baru

(34)

berakhir setelah pemerintah La Ode Ompo yang masih bergelar Lakino digantikan oleh La Ode Abdul Gani dengan gelar Jabatan Kepala Distrik yang memerintah tahun 1951-1956 (Abu Hasan, 1989: 69-73).

F. Falsafah Pemerintahan

Abusaru (dalam Alihadara, 2010: 90) menjelaskan bahwa sejak pertemuan La Ode-Ode dengan ayahnya di Wolio, ia telah diberikan kekuasaan untuk menjadi Lakina Kulisusu I. Dalam pelaksanaan pemerintahannya ia mengacu pada dua buku yang berjuduI Mir’atuttama dan Martabat Tujuh. Di dalam Martabat Tujuh antara lain dilukiskan beberapa petunjuk mengenai sifat laku atau sifat hidup dalam kekeluargaan islam, dalam bermasyarakat dan berpemerintahan serta sifat batin dalam bertanah air dilengkapi dengan pengertian amanah Tuhan. Islam dalam bermasyarakat dan berpemerintahan dilandaskan pada:

1. Tokonukui Kulinto, merupakan azas tenggang rasa, tidak saling menyakiti. Dalam pelaksanaannya hendaknya setiap orang, setiap pejabat senantiasa bersikap dalam suasana peka maa maasiako atau saling mengasihi, pekaengka-engkaako atau saling hormat-menghormati, pekapia piara atau saling memelihara, pekameme toko atau saling takut-menakuti. Seperti anak-anak kita sayangi, yang tua kita hormati, sesama umur kita asuh dan orang tua kita takuti, jadi saling asih, saling hormat-menghormati, saling asuh dan saling toleransi, malunya orang adalah malunya semua sebagai satu kesatuan. 2. Topamentoso larondo mia atau sebagai azas mengasah hati segala manusia dalam wujud pemberian anugrah dapat berupa pengangkatan dalam suatu

(35)

kedudukan jabatan, juga pemberian fasilitas kerja. Beberapa persyaratan yang menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan yang diberikan anugrah itu adalah:

a. Karena ikut membantu melawan musuh. b. Karena ilmu pengetahuan.

c. Karena kepahaman dan kemahiran tentang seluk beluk sejarah Kulisisu serta seluk beluk tata pemerintahan.

d. Karena pengorbanan harta bendanya.

e. Karena mengorbarikan kepandalan, keahlian, dan kesetiaannya. Kesemdanya dalam rangka keikhlasan pengabdiannya kepada pemerintah tanah air Kulisusu.

Mengenai sikap batin dalam bertanah air dilandaskan pada azas berikut: a. Hina hinomo idaa arataa sumano wuto (kepentingan diri di atas

kepentingan harta benda).

b. Hina hinamo wuto sumono lipu (kepentingan negeri di atas kepentingan diri).

c. Hina hinamo lipu sumano sara (kepentingan pemerintah di atas kepentingan negeri).

d. Hina hinamo sara sumano agama (kepentingan agama di atas kepentingan pemenintah).

Adapun maksud falsafah tersebut adalah apalah arti harta benda dibandingkan dengan arti manusia, apalah arti manusia pribadi dibandingkan

(36)

dengan tanah air, apa arti tanah air jika hukum dan pemerintah tidak ditegakkan dan apa arti semuanya itu jika manusianya tidak beragama.

Sedangkan azas yang berbentuk semboyang yang dituturkan Abusaru, 2005(dalam Alihadara, 2010:92) adalah:

a. Ydaa umowoseno kadio sara, artinya tidak ada yang lebih kuasa selain dari pemerintah.

b. Ydaa umentaano kadlo sara, artinya tidak ada yang lebih tinggi seain pemerintah.

c. Ydaa mokorano kadio Sara, artinya tidak ada yang lebih kuat selain pemerinah.

d. Ydaa mosegano kadio Sara, artinya tidak ada yang lebih berani selain pemeintah.

Amanat yang “tujuh” yang diturunkan Tuhan kepada manusia adalah:

a. Hidup, laksana permata bagi manusia, wajib senantiasa memperbaikinya, tidak dibawa kehidupan itu dalam kerusakan.

b. Ilmu pengetahuan, wajib atas kita menggunakannya pengetahuan untuk memiliki keadaan diri sendiri dan mengetahui kebesaran Tuhannya dan segala sesuatu yang wajib diketahui, dipelihara, dipahami dengan baik agar tidak salah mengerti.

c. Kekuasaan, wajib kita menggunakannya untuk kebaikan dunia akhirat. d. Kamauan, wajib kita menggunakannya untuk kebaikan dunia akhirat. e. Pendengaran, wajib kita menggunakannya untuk mendengarkan petunjuk,

(37)

untuk mendengarkan yang tidak benar, baik berupa perkataan, ucapan bohong maupun berupa makian nista dan dengki.

f. Penglihatan, wajib kita menggunakannya bagi hayat sendiri, dan janganlah digunakan untuk melihat atau memandang yang tidak benar.

1.2 Kehidupan Sosial Ekonomi Masa Prabarata

3.2.1 Kehidupan Sosial

Pada masyarakat Buton Utara pada Masa Prabarata memiliki kehidupan sosialnya sangat nampak baik dalam proses interaksi sesama masyarakat maupun interkasi dengan pemimpin (Sangiano). Masyarakat dalam hari-harinya Sangat mengedepankan rasa solidaritas yang tinggi ketimbang kepentingan pribadinya. Misalnya salah satu dari pemukiman yang ada pada Buton Utara pada masa Prabarata yaitu perkampungan Doule setelah panen hasil pertanian padi, maka akan mengadakan pesta panen sebagai wujud rasa sukur, maka semua masyrakat yang ada di pemukiman lain akan menghadiri pesta ini dan turun serta dalam membantu masyarakat pemukiman Doule demi untuk terselenggaranya acara tersebut. Hal ini terjadi bukan hanya satu daerah tapi seluruh pemukiman yang ada di Buton Utara pada masa Prabarata dan itu sangat nampak dalam acara apapun baik dalam rangka pembukaan lahan, acara perkawinan maupun pertujukan acara acara lain yang mencirikan kekhasan Buton Utara pada masa Prabarata, seperti alionda. Alionda ini adalah pertunjukan masyarakat Buton utara pada masa Prabarata, sebagai satu pertunjukan yang sangat menarik disetiap acara-acara

(38)

keramaian yang akan menghibur para penyelenggra acara maupun para pendatang dari pemukiman atau daerah lain.

Beberapa sumber lain menurut hasil cerita rakyat yang diperoleh menjelaskan bahwa kenampakan dari wujud rasa sosial masyarakat Buton Utara pada masa Prabarata, akan sangat dirasakan ketika keluarga yang mengadakan acara perkawinan, berasal dari keluarga yang sangat tidak mampu, maka semua kalangan baik sebagai pemimpinnya pemukiman, Sangia, maupun dari kalangan rakyat akan turut membantu demi suksesnya acara. Bantuan-bantuan yang diberikan kepada keluarga tergantung dari apa yang mereka miliki, kalau tidak ada barang yang diberikan maka akan membantu dengan tenaganya.

Adapun sumber dari hasil informan peneliti juga sangat nampak ketika ada keluarga yang berduka, maka semua masyarakat akan turut mengulurkan tangan, memberikan bantuan yang dimiliki untuk keluarga yang menderita musibah. Modelnya bukan hanya keluarganya yang ditimpa musibah yang akan dibantu, akan tetapi masyarakat secara umum, pada saat seperti ini sangat nampak akan rasa solidaritasnya. Rasa solidaritas sebagai wujud rasa sosialnya masyarakat Buton Utara Pada Masa Prabarata sesuai salah satu informan mengatakan bahwa : Kehidupan sosial masyarakat Buton Utara pada masa prabarata, sangat nampak ketika masyarakat mengadakan aktivitas, baik itu pembukaan lahan pertanian, acara perkawinan, acara kedukaan, dan acara pesta panen. Pada saat itu saling memberi antara sesama, dan bekerja tanpa mengharapkan imbalan jasa. (wawanca dengan informan Waumbe tanggal 22-april 2013)

(39)

Hal yang diutamakan pada masa Buton Utara pada masa prabata hal yang paling diutamakan dalam kehidupan keseharianya dalam bermasyakat saling memberi tanpa mengenal keluarga akan tetapi secara umum sesuai atas apa yang dimilikinya. (wawancara dengan Lambeke pada tanggal 23 April 2013).

Sedangkan menurut informan lain mengatakan bahwa :

Model dari wujud rasa solidaritas dalam keseharian masyarakat Buton Utara pada masa prabarata bukan hanya kalangan Sangia (pemimpin) yang akan merasa dihargai akan tetapi semua kalangan masyarakat pada umumnya mengutamakan rasa kebersamaan. ( wawancara dengan informan Lahanu pada tanggal 4 April 2013).

4.3.2 Kehidupan Ekonomi

Adapun yang menjadi kehidupan ekonomi masyarakat pada masa prabarata belum adanya sistem pasar yang menjadi pusat perekonomian kehidupannya, akan tetapi hanya megandalkan hasil pertanian untuk menyambung kelangsungan kehidupan hari-harinya, seperti bertani padi ladang, dan berbagai macam ubi-ubian. Model proses pertukaran pada masa ini, ketika diantara pemukiman yang ada masa ini ada yang kekurangan pasokan makan karena masih menunggu tiba saatnya panen maka kebiasaan masyarakat akan datang kedaerah yang sudah panen untuk meminjam padi atau ubi-ubian, akan tetapi ketika daerahnya sudan tiba saatnya panen maka wajib untuk menggantikan sesuai dengan hasil panen yang dipinjamnya pada saat kehabisan pasokan makanan. Dalam perkembangan Buton Utara pada masa Prabarata proses perekonomiannya, dengan bertambahnya hasil pertanian, dan bertambahnya jumlah masyarakat

(40)

sehingga bertambah pula kebutuhan masyarakat akan bahan pangan dalam kelangsungan hidupnya. Atas dasar inilah maka perkembangan mengarah kepada sistem perekonomian yang disebut Sungku Dalo. Makna dari Sungkudalo saling menukar rezki yang dimiliki dan dibagikan antara sesama. Artinya ketika musim panen tiba dan datang tidak bersamaan di antara beberapa pemukiman, untuk mempertahankan kehidupan atau prinsip subsistensi, maka penduduk yang duluan panen akan meminjamkan hasil penennya pada penduduk lain yang belum panen, dan akan dikembalikan setelah musim yang meminjam sebelumnya telah menuai hasil panennya. Prinsip subsistensi ini menggambarkan keselarasan dan keharmonisan kehidupan sosial masyarakat Buton Utara pada masa Prabarata. Hal ini seperti yang dikutip dari wawancara dibawah ini:

Model awal proses perekonomian masyarakat Buton Utara pada masa Prabarata, dengan mekansaaru (meminjam) hasil panen pada daerah lain untuk memenuhi kebutuhannya, hal ini dilakukan untuk mempertahankan kehidupannya, sambil menunggu daerahnya tiba sasatnya panen, ketika daerahnya panen maka akan menggantinya sesuai dengan hasil pangan yang dipinjamnya misalnya padi-padian. (wawancara dengan informan Waumbe tangagal 22 april 2013).

Informan lain mengatakan bahwa:

Model perekonomian masyarakat Buton Utara pada masa Prabarata, dalam prosesnya hanya mengharapkan hasil panen, dari tanaman yang masyarakat panen, ada pemukiman hanya yang berhasil dengan panen ubi-ubian dan daerah lain berhasil panen padi-padian maka maka dari kedua model ini akan saling

(41)

menukarkan barangnya . (wawancara dengan informan Lambeke tanggal 23 april 2013).

Sedangkan menurut informan lainnya mengatakan bahwa:

Model proses pertukaran pada masyarakat Buton Utara pada masa Prabarata dengan saling menukarkan rezki atau hasil panen kepada sesama, seperti Ubi dengan padi atau sungkudalo (wawancara dengan Informan Lahanu tanggal 4 april 2013).

Berdasarkan model perekonomian masyarakat Buton Utara pada Prabarata menurut analisis peneliti. Belum mengenal dunia pasar akan tetapi Bahwa pada masa ini berangkat dari rasa solidaritasnya yang begitu tinggi dan sangat nampak dalam kehidupan sehari-harinya, maka mengarah juga dalam menentukan kehidupan ekonominya, saling menolong dan kerja sama untuk kelangsungan hidupnya, cukup nampak mewarnai kehidupan ekonomi masyarakat Buton Utara pada masa Prabarata. Sehingga Pada masa ini sangat ketergantung pada hasil panen untuk mempertahankan hidup, untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka yaitu dengan menggunakan model mekasansaru (simpan pinjam) hasil penen, karena pada masa ini hanya mengharapkan dukungan cuaca, berhasil dan tidaknya yang menjadi sumber penghidupannya.

Pada saat Buton Utara terintegrasi dengan kesultanan Buton daerah ini baru mengenal alat tukar yakni “ringgit” hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan informan mengatakan bahwa masyarakat Buton Utara mengenal doi (uang) pada saat bersatunya dengan kerajan Kesultanan Buton, yang

(42)

diperkenalkan oleh bangsa Belanda di Buton (hasil wawancara dengan Waumbe tanggal 22 april 2013)

Adapun kehidupan ekonomi masyarakat Buton Utara pada masa sekarang, tidak pernah terlepas dari sejarahnya yakni, belum pernah terlepas dari keadaan geografi setempat, karena mayoritas penduduknya masih banyak menjadi petani akan tetapi modelnya sudah berubah yakni sudah mulai menanam tanaman jangka panjang seperti, kelapa, jambu mete, kopi, akan tetapi juga menam tanaman jang pendek seperti ubi-ubian padi tada hujan. (Alihadara, 2010:25) dan sudah mengenal dunia pasar, untuk menjual hasil tanaman mereka sehingga menghasilkan uang. Perkembangan ini tidak terlepas dari perjalan sejarahnya pada Buton Utara pada masa prabarata. Perbedaan mekanismenya, dimana pada masa prabarata tidak menanam tanaman jangka panjang, hanya menam tanaman jangka pendek untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka dan belum mengenal dunia pasar seperti halnya Buton Utara pada masa sekarang.

Referensi

Dokumen terkait

Berbagai arah kebijakan pembangunan daerah tersebut akan dilaksanakan melalui pendekatan pokok, yaitu (1) memantapkan otonomi daerah dalam pelaksanaan tugas-tugas

(1) Kepala Dinas mempunyai tugas merumuskan, menyelenggarakan, membina dan mengevaluasi penyusunan dan pelaksanaan urusan pemerintahan Daerah serta tugas pembantuan

(1) Kepala Bidang Pelayanan dan Sumber Daya Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan operasional di bidang pelayanan kesehatan primer dan

Penelitian ini dilakukan di Desa Rombo Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara dengan tujuan untuk memberikan gambaran implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa di Desa Rombo

Tugas pokok kepala seksi pemerintahan adalah membantu camat dalam menyiapkan bahan perumusan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan urusan

Camat juga berperan sebagai kepala wilayah (wilayah kerja, namun tidak memiliki daerah dalam arti daerah kewenangan), karena melaksanakan tugas umum pemerintahan di

(1) Kepala Badan mempunyai tugas membantu Walikota dalam memimpin, mengendalikan, dan mengkoordinasikan perumusan kebijakan teknis dan pelaksanaan urusan Pemerintahan

4.Pelaksanaan Teknis Desa Pelaksanaan teknis desa terdiri dari beberapa kepala urusan pemerintahan yaitu : a.Kepala Urusan Pemerintahan KAUR PEM Tugas Kepala Urusan Pemerintahan