• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, Kota Jakarta, Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Achmadsyah Kidam dan Erni Rita. Pada tahun 2002, penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri 06 Pagi Cipinang Jaya, Jakarta Timur. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di sekolah menengah pertama di SMP Negeri 52 Jakarta dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2008, penulis menamatkan sekolah mengengah atas di SMA Negeri 50 Jakarta. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan strata satu ke Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Petanian Bogor melalui jalur SNMPTN.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti kepanitian sebagai divisi logistik dan transportasi pada Masa Perkenalan Departemen tahun 2010. Penulis juga merupakan anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen.

ABSTRACT

ARYANI DELANITA. Parental Emotional Style and Its Relation Between Emotional Intelligence and Academic Achievement of Human Ecology Faculty Bogor agricultural university’s students. Supervised by DIAH KRISNATUTI.

Adolescent with good academic achievement not necessarily had good emotional intelligence also. Emotional intelligence could be developed through the pattern of parental emotional style that were carried out by parents. The objective of the research was to analyze parental emotional style, emotional intelligence, and

student’s academic achievement at human ecology faculty Bogor agricultural university. This research used cross sectional study design with proportional random sampling method that involved 77 students of the human ecology faculty. Results of the research showed parental emotional style was negatively correlatte with family

size. Woman’s emotional intelligence was higher than men’s. Father’s pare tal emotional style was positively correlated with self regulatio a d e pathy. Mother’s parental emotional style was positively correlated with empathy. Father’s occupation

was positively correlated with adolescent’s self-regulation and mother’s occupation was negatively correlated with adolescent’s self-awareness. Parental emotional style was positively correlated with emotional intelligence. Parental emotional style and emotional intelligence did not have significant relationship with student’s academic

achievement.

Keywords: adolescent, emotional coaching, father’s parental emotional style ABSTRAK

ARYANI DELANITA. Gaya Pelatih Emosi Ayah Ibu Hubungannya dengan Kecerdasan Emosional dan Prestasi Akademik Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI.

Remaja dengan prestasi akademik baik belum tentu memiliki kecerdasan emosional yang baik pula. Kecerdasan emosional dapat dikembangkan melalui gaya pelatih emosi yang dilakukan orang tua. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis gaya pelatih emosi, kecerdasan emosional, dan prestasi akademik mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dengan metode proporsional random sampling yang melibatkan 77 mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Hasil penelitian menunjukkan gaya pelatih emosi berhubungan negatif besar keluarga. Kecerdasan emosional remaja perempuan lebih baik dari remaja laki-laki. Gaya pelatih emosi ayah berhubungan positif signifikan dengan penagturan diri dan empati. Gaya pelatih emosi ibu berhubungan positif dengan empati. Ayah yang bekerja berhubungan positif signifikan dengan pengaturan diri remaja dan ibu yang bekerja berhubungan negatif signifikan dengan kesadaran diri remaja. Gaya pelatih emosi juga berhubungan positif signifikan dengan kecerdasan emosional. Gaya pelatih emosi dan kecerdasan emosional tidak berhubungan dengan prestasi akademik mahasiswa.

RINGKASAN

ARYANI DELANITA. Gaya Pelatih Emosi Ayah Ibu Hubungannya dengan Kecerdasan Emosional dan Prestasi Akademik Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis pola asuh emosi, kecerdasan emosional, dan prestasi akademik mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi gaya pelatih emosi yang diterapkan orang tua menurut persepsi contoh, (2) mengukur tingkat kecerdasan emosional contoh (kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial), (3) mengukur prestasi akademik contoh, (4) menganalisis hubungan variabel gaya pelatih emosi, kecerdasan emosional, dan prestasi akademik.

Desain penelitian adalah cross sectional study. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Juli- Agustus 2012. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Metode penarikan contoh dilakukan secara proportional random sampling, jumlah contoh yang diambil sebanyak 77 mahasiswa angkatan 47 (2010) dengan pertimbangan mahasiswa angkatan 47 yang saat ini menjalani semester lima sudah cukup memiliki pengalaman tentang kehidupan dan kegiatan akademik di kampus.

Data primer dalam penelitian ini meliputi karakteristik contoh, karakteristik keluarga, pola asuh emosi, kecerdasan emosional, dan prestasi akademik yang diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner. Data sekunder dalam penelitian ini adalah daftar nama mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) yang diperoleh dari komisi pendidikan tiap departemen. Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry data, dan cleaning data. Analisis data yang dilakukan adalah analisis deskriptif, uji beda paired sample T test, dan uji korelasi Pearson.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh berjenis kelamin perempuan yang berusia 20 tahun dan merupakan anak pertama dalam keluarga. Lebih dari separuh keluarga contoh (57,1%) termasuk dalam kategori keluarga sedang (5-7 orang). Hampir seluruh orang tua contoh berada pada kategori dewasa madya (41-60 tahun). Persentase terbesar pendidikan ayah adalah S1/sarjana dan persentase terbesar pendidikan ibu adalah tamat SMA. Mayoritas pekerjaan ayah contoh (35%) adalah wiraswasta sedangkan ibu contoh tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga. Mayoritas pendapatan keluarga contoh (42,9%) berada pada kisaran Rp1.000.000-Rp3.000.000 per bulan.

Gaya pelatih emosi terbagi menjadi empat, yaitu disapproving style, dismissing style, laissez faire, dan emotional coaching. Gaya pelatih emosi yang dilakukan ayah dan ibu mayoritas berada pada gaya emotional coaching dengan persentase 44,2 persen untuk ayah dan 65,1 persen untuk ibu. Terdapat 19,4 persen ayah dan 10,3 persen ibu yang melakukan pola asuh emosi jenis laissez faire, 364 persen ayah yang melakukan pola asuh emosi jenis dismissing dan ibu sebanyak 24,6 persen, dan tidak terdapat orang tua yang melakukan pola asuh emosi jenis disapproving.

Kecerdasan emosional memiliki lima dimensi, yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. Sebanyak 74,0

contoh memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) lebih dari 2,75.

Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa gaya pelatih emosi berhubungan negatif dengan besar keluarga. Kecerdasan emosional berhubungan positif signifikan dengan jenis kelamin. Pekerjaan ayah berhubungan positif signifikan dengan pengaturan diri remaja dan pekerjaan ibu berhubungan negatif signifikan dengan kesadaran diri remaja. Terdapat hubungan yang positif signifikan antara gaya pelatih emosi dengan kecerdasan emosional. Gaya pelatih emosi ayah berhubungan positif signifikan dengan kecerdasan emosional dimensi pengaturan diri dan empati. Gaya pelatih emosi ibu berhubungan positif signifikan dengan empati. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gaya pelatih emosi dan kecerdasan emosional dengan prestasi akademik remaja. Kecerdasan emosional dimensi keterampilan sosial berhubungan negatif signifikan dengan prestasi akademik.

Beberapa saran yang disampaikan dalam penelitian ini diantaranya: orang tua perlu untuk menambah wawasan tentang gaya pelatih emosi. Ibu yang bekerja tetap mementingkan perkembangan anak dengan cara meningkatkan kualitas hubungan dengan anak diantara sedikitnya kuantitas waktu yang tersedia. Keterampilan sosial yang masih dalam kategori rendah perlu ditingkatkan dengan cara memperbanyak acara atau training soft skill. Ruang lingkup responden diperluas dengan proporsi yang seimbang antara perempuan dan laki-laki serta menambahkan variabel keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak dan hubungan orang tua dengan sekolah.

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk memasuki era globalisasi yaitu, era dimana pertukaran budaya, seni, dan kemajuan ilmu pengetahuan terjadi sangat pesat dan bebas. Salah satu hal yang perlu dipersiapkan adalah memiliki sumber daya manusia yang berkualitas tinggi tidak hanya dari segi IQ (Intelligence Quotient) melainkan juga EQ (Emotional Quotient), kesehatan yang prima, handal, serta berdaya saing tinggi. Proses pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas dimulai dari kegiatan sehari-hari dalam keluarga dengan menjalankan fungsi sosialisasi dan pengasuhan anak. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki peranan penting sebagai pendidik pertama dan utama setiap anak.

Namun demikian, kenyataan yang terjadi di lapangan saat ini menunjukkan orang tua yang hanya memikirkan cara untuk mengoptimalkan kecerdasan intelektual anak (IQ) dan sedikit mengabaikan aspek kecerdasan emosional (EQ). Padahal menurut Goleman (2007) EQ menyumbang 80 persen bagi keberhasilan hidup di masa dewasa sedangkan IQ hanya menyumbang 20 persen dari keberhasilan hidup seseorang. Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul, dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia prasekolah dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosional tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, minuman keras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.

Sekarang ini dapat dilihat bahwa orang yang memiliki IQ tinggi belum tentu sukses dan hidup bahagia. Orang dengan IQ tinggi tetapi emosinya tidak stabil dan mudah marah sering keliru dalam menentukan dan memecahkan persoalan hidup karena tidak dapat berkonsentrasi. Emosi yang tidak berkembang dan terkuasai akan menimbulkan berbagai konflik. Emosi yang kurang terolah juga menyebabkan seseorang tidak konsisten terhadap keputusannya (Goleman 2007).

Disisi lain, beberapa orang yang tidak memiliki IQ tinggi, karena ketekunan dan emosinya yang seimbang akan sukses dalam belajar dan bekerja. Orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi akan berupaya menciptakan

keseimbangan diri dan lingkungannya, mengusahakan kebahagiaan dari dalam dirinya sendiri, dapat mengubah sesuatu yang buruk menjadi lebih baik, serta mampu bekerja sama dengan orang lain yang mempunyai latar belakang yang beragam.

Kecerdasan emosional dapat dipelajari dan guru pertama yang dapat mengajarkan mengenai emosi kepada anak adalah orang tua. Pola interaksi antara orang tua dengan anak dalam sebuah keluarga untuk mengajar, membimbing, dan mendidik dengan suatu tujuan tertentu dinamakan gaya pengasuhan (parenting style). Gaya pengasuhan merupakan cara yang khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam berinteraksi antara orang tua dengan anaknya. Gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua dalam keluarga sangat penting bagi anak karena pengaruhnya sangat besar pada kehidupan anak di masa depan. Pola asuh yang keliru dapat menjadikan anak bermasalah (Gottman & DeClaire, 1997). Lingkungan keluarga merupakan tempat orang tua melakukan bimbingan, pengasuhan, dan pemberian kasih sayang secara langsung maupun tidak langsung akan membawa dampak yang cukup besar terhadap perkembangan moral anak. Kondisi lingkungan keluarga dengan model pola asuh tertentu akan memengaruhi cara bertutur kata, cara bersikap, dan pola tingkah laku anak termasuk perkembangan jiwanya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pola asuh orang tua (parenting style) memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak (Collins & Kuczaj, 1991).

Orang tua dapat membantu mengembangkan kecerdasan emosional anak dengan memberikan pelatihan emosi pada anak yang disebut dengan istilah “emotion coaching”. Anak yang orang tuanya secara baik dan stabil memraktekkan emotion coaching akanmemperoleh nilai yang lebih tinggi secara akademik bila dibandingkan dengan anak yang orang tuanya tidak secara baik dan stabil dalam memberikan emotion coaching (Gottman & DeClaire, 1997). Hasil penelitian lain menunjukkan kecerdasan emosional bisa dijadikan prediktor kuat atas keberhasilan akademik karena kecerdasan emosional berkaitan dengan kompetensi individual yang mengarah pada perilaku yang task-oriented atau berorientasi pada tugas (Schickedanz 1995).

Kecerdasan intelektual anak (IQ) dalam hal ini dibahas sebagai capaian prestasi akademik. Kualitas mahasiswa dapat dilihat dari prestasi akademik yang diraihnya. Prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kecakapan

3

ataupun kemampuan akademik yang bertambah selama beberapa waktu yang tidak disebabkan oleh proses pertumbuhan tetapi karena adanya situasi atau kegiatan belajar, sehingga prestasi akademik dapat dipandang sebagai bukti usaha yang diperoleh mahasiswa. Hasil penelitian Abimsara (2000) menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dan prestasi akademik. Hal ini juga ditunjang oleh hasil penelitian Low dan Nelson (2004) yang mengatakan tingkat kecerdasan emosional menjadi faktor kunci dalam pencapaian prestasi akademik seseorang.

Perumusan Masalah

Saat ini tuntutan globalisasi semakin mendesak bangsa Indonesia untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) terutama di bidang pendidikan baik

laki-laki maupun perempuan. HDI (Human Development Index) adalah

pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara di seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara termasuk negara maju, negara berkembang, atau negara terbelakang. HDI Indonesia pada tahun 2011 menempati peringkat 124 dari 187 negara yang menggambarkan bahwa pembangunan manusia di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara asia tenggara lainnya, seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina (Maulia, 2011).

Pola pembangunan SDM di Indonesia selama ini terlalu mengedepankan IQ (kecerdasan intelektual) dalam hal ini prestasi akademik dan materialisme tetapi mengabaikan EQ (kecerdasan emosional). Pada umumnya masyarakat Indonesia memang memandang IQ paling utama dan menganggap EQ hanya sebagai pelengkap. Fenomena ini sering tergambar dalam pola asuh dan arahan pendidikan yang diberikan orang tua dan juga instansi pendidikan. Hal tersebut menjadikan banyak remaja yang memiliki prestasi akademik baik tetapi tidak stabil secara emosi dan berperilaku menyimpang.

Ketidakseimbangan antara EQ dan IQ bisa menimbulkan beberapa masalah seperti kenakalan pelajar. Kenakalan pelajar adalah perilaku menyimpang dari aturan dan norma yang berlaku secara umum dimana kenakalan itu bisa berupa pelanggaran lalu lintas, narkoba, seks bebas, mencuri atau merampas barang milik orang lain, dan sebagainya. Data populasi kenakalan remaja di Indonesia pada tahun 2004 berkisar 193.115 anak dan

terdapat pelaporan kenakalan remaja setiap 28,17 menit di daerah Jabodetabek (Kusuma 2006).

Remaja sebagai generasi penerus memang dihadapkan pada tuntutan intelektual, selalu berperilaku baik, dan tuntutan untuk memenuhi harapan dari lingkungan sekitarnya. Disinilah pentingnya para remaja mengembangkan kecerdasan emosional secara baik dan tidak hanya mementingkan prestasi akademiknya agar remaja bisa sukses dalam hidupnya baik dalam pekerjaan maupun keluarga.

Berdasarkan permasalahan diatas, terdapat pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya melalui penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana karakteristik mahasiswa dan keluarganya? 2. Bagaimana gaya pelatih emosi yang diterapkan orang tua?

3. Bagaimana kecerdasan emosional mahasiswa Institut Pertanian Bogor? 4. Bagaimana prestasi akademik mahasiswa Institut Pertanian Bogor?

5

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Tujuan Umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gaya pelatih

emosi ayah ibu hubungannya dengan kecerdasan emosional dan prestasi

akademik mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi gaya pelatih emosi yang diterapkan ayah ibu menurut persepsi contoh

2. Mengukur tingkat kecerdasan emosional contoh (kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial)

3. Mengukur prestasi akademik contoh

4. Menganalisis hubungan gaya pelatih emosi, kecerdasan emosional, dan prestasi akademik

Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat sebagai sarana berlatih untuk memelajari fenomena yang terjadi di masyarakat sehingga diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dibangku kuliah agar bermanfaat bagi orang banyak.

2. Bagi para orang tua, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai suatu kajian mengenai gaya pengasuhan pelatih emosi dan kecerdasan emosional serta hubungannya dengan prestasi akademik remaja.

3. Bagi remaja, sebagai sumber informasi tentang kecerdasan emosional dan prestasi akademik yang dimilikinya untuk dapat digunakan dalam membantu meningkatkan kualitas dirinya.

4. Bagi institusi pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk meningkatkan kualitas yang berkaitan dengan kecerdasan emosional dan prestasi akademik mahasiswa.

5. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi yang berkaitan dengan hubungan gaya pelatih emosi dan kecerdasan emosional dengan prestasi akademik remaja sehingga masyarakat diharapkan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai hal ini.

TINJAUAN PUSTAKA

Prestasi Akademik

Prestasi akademik adalah istilah untuk menunjukkan suatu pencapaian tingkat keberhasilan tentang suatu tujuan, akibat proses belajar yang telah dilakukan oleh seseorang secara optimal (Setiawan 2006). Sobur (2006) menjelaskan prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kecakapan tingkah laku, ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama beberapa waktu dan tidak disebabakan oleh proses pertumbuhan, tetapi karena adanya situasi belajar. Perwujudan bentuk hasil proses belajar tersebut dapat berupa pemecahan lisan maupun tulisan, dan keterampilan serta pemecahan masalah langsung dapat diukur atau dinilai dengan menggunakan tes yang standar. Nilai-nilai tersebut akan menunjukkan apakah prestasi akademik seseorang termasuk kategori tinggi atau rendah.

Ciri individu yang memiliki keinginan berprestasi tinggi menurut Sobur (2006) antara lain: a) memiliki tanggung jawab pribadi terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan; b) adanya kebutuhan untuk mendapatkan umpan balik atas pekerjaan yang dilakukan sehingga dapat diketahui dengan cepat hasil yang diperoleh dari kegiatannya, lebih baik atau lebih buruk; c) menghindari tugas-tugas yang sulit atau terlalu mudah, akan tetapi memilih tugas-tugas yang tingkat kesulitannya sedang; d) inovatif, yaitu dalam melakukan suatu pekerjaan dilakukan dengan cara yang berbeda, efisien, dan lebih baik dari cara sebelumnya. Hal ini dilakukan agar individu mendapat cara yang lebih baik dan menguntungkan dalam mencapai tujuan; e) tidak menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan atau karena tindakan orang lain, dan ingin merasakan kesuksesan yang disebabkan oleh tindakan individu itu sendiri.

Faktor yang memengaruhi prestasi akademik Rola (2006) diacu dalam Sahputra (2009): a) keluarga dan kebudayaan: besarnya kebebasan yang diberikan orang tua kepada anaknya, jenis pekerjaan orang tua, jumlah serta urutan anak dalam keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan prestasi. Produk-produk kebudayaan pada suatu daerah seperti cerita rakyat yang sering mengandung tema prestasi bisa meningkatkan semangat; b) jenis kelamin: prestasi akademik yang tinggi biasanya diidentikkan dengan maskulinitas, sehingga banyak wanita yang belajar tidak maksiamal khususnya jika wanita tersebut berada diantara pria. Pada wanita terdapat

8

kecenderungan takut akan kesuksesan yang artinya pada wanita terdapat kekhawatiran bahwa dirinya akan ditolak oleh masyarakat apabila dirinya memperoleh kesuksesan, namun sampai saat ini konsep tersebut masih diperdebatkan; c) peranan konsep diri: konsep diri merupakan bagaimana individu berpikir tentang dirinya sendiri. Apabila individu percaya bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu maka individu akan termotivasi untuk melakukan hal tersebut sehingga berpengaruh dalam tingkah lakunya; d) pengakuan dan prestasi: individu akan bekerja keras jika dirinya merasa dipedulikan oleh orang lain. Dimana prestasi sangat dipengaruhi oleh peran orang tua, keluarga, dan dukungan lingkungan tempat dimana individu berada. Individu yang diberi dorongan untuk berprestasi akan lebih realistis dalam mencapai tujuannya.

Selain keempat faktor diatas, motivasi hasil belajar juga memengaruhi prestasi akademik. Jika motivasi individu untuk berhasil lebih kuat daripada motivasi untuk tidak gagal, maka individu akan segera merinci kesulitan-kesulitan yang akan dihadapinya. Sebaliknya, jika motivasi individu untuk tidak gagal lebih kuat maka individu akan mencari soal yang lebih mudah (Soemanto, 2006). Menurut hasil penelitian Schickedanz (1995), anak yang orang tuanya tidak melakukan pengasuhan dengan baik dan bersikap pasif memiliki prestasi akademik yang kurang baik.

Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional atau emotional intelligence merupakan suatu kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan diri sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan (Goleman 1999).

Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan

dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya (Fitri 2008).

Daengsari (2009) menjelaskan bahwa pada dasarnya, perkembangan emosi dipengaruhi perkembangan beberapa aspek seperti fisik-motorik, kognitif, maupun sosial. Sifat bawaan atau tempramen anak, pola asuh, dan lingkungan sosial tempat anak dibesarkan juga berpengaruh terhadap perkembangan emosinya.

Emosi ternyata banyak memengaruhi fungsi-fungsi psikis seperti pengamatan, tanggapan, pemikiran, dan kehendak. Seseorang akan mampu melakukan pengamatan atau pemikiran dengan baik jika disertai dengan emosi yang baik pula. Seseorang juga akan memberikan tanggapan yang positif terhadap suatu objek manakala disertai dengan emosi yang positif juga. Sebaliknya, seseorang akan melakukan pengamatan atau tanggapan negatif terhadap suatu objek, jika disertai dengan emosi negatif terhadap objek tersebut (Ali & Asrori 2009).

Model six seconds yang dijelaskan oleh Hastuti (2008) menyebutkan bahwa ada sebelas indikator yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kecerdasan emosional seorang anak yaitu: (1) memiliki kemampuan

Dokumen terkait