• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

RIWAYAT HIDUP

   

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat tanggal 25 Agustus 1990. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Uun Sumiarsa (alm) dengan Nina Herlina. Pada tahun 2005 penulis menamatkan pendidikannya di SMP Negeri 4 Bogor. Penulis menamatkan pendidikan sekolah menengah atas pada tahun 2008 di SMA Negeri 1 Bogor. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan strata satu di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti organisasi dan kepanitiaan. Organisasi yang diikuti penulis ialah Forsia (Forum Syi’ar Islam Fakultas Ekologi Manusia) sebagai sekertaris divisi Infokom (Informasi dan Komumunikasi). Kepanitiaan yang diikuti penulis antara lain anggota divisi medis Masa Pengenalan Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen 2010 dan ketua

divisi konsumsi dalam kepanitiaan Forsia Islamic Festival tahun 2011.

Penulis telah menerbitkan dua novel yang berjudul Shadow of Death dan

Heart Reflections yang keduanya diterbitkan oleh Penerbit Leutika Prio pada tahun 2010. Penulis menjadi salah satu kontributor kisah non-fiksi pada

komunitas LRS (Leutika Reading Society) Chapter Tegal tahun 2011 dan

menerbitkan buku berjudul Gerakan Cinta Membaca (Leutika Prio 2011) bersama komunitas tersebut. Karya lainnya ialah kontributor kisah pada buku kumpulan flash fiction berjudul Dear Love (Hasfa Publisher 2010), Serba-serbi Poligami (Elex Media Komputindo 2011), Bukan Cinta Ala Valentine (Indie Publishing

2011), Flash True Story Share Your Unforgettable Moment in This Year (AG

Publishing 2011), True Story Scary Moment (Indie Publishing 2010) dan buku

Antologi Hirawling Kingdom (Leutika Prio 2011). Pada tahun 2012 penulis menjadi kontributor kisah fiksi dalam buku Simfoni Balqis Vol. 1 (Sayembara Cerita Mini Internasional) yang dikoordinasi oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia Yaman (PPI Yaman).

 

   

ABSTRACT

WINDA DWI GUSTIANA. Parent’s Perception of High School Education and Allocation of Expenditure for Education in Farmer Family at Bogor City. Supervised by ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.

Education is one of the most important factors to support human resources improvement. But, in fact, there was many children dropped out or did not continue to high school because of cost constrains. The purpose of research was to investigate parent’s perception of high school for children and allocation of expenditure for education in farmer family at urban area. This study used survey method in Kertamaya Village. Data collection was conducted in May 2012. The research involved 60 farm families who had children aged 6-18 years. The results showed that families agreed about sent their children to high school could improved human resources and developed children’s potential. However, families had a hunch that the cost of high school was too expensive, so they could be burdened. Therefore, the perception of high school education was classified as medium category. Family who had higher income per capita and education level had higher perception about high school education for children. Family who had higher income per capita and wife’s age had higher allocation of expenditure for education.

Keywords : allocation of expenditure, farmer family, perception.

ABSTRAK

WINDA DWI GUSTIANA. Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluarga Petani di Kota Bogor. Dibimbing oleh ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia. Namun, pada kenyataanya masih banyak anak putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah karena kendala biaya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan pada keluarga petani di perkotaan. Penelitian ini menggunakan metode survei yang dilakukan di Kelurahan Kertamaya. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei 2012. Penelitian melibatkan 60 keluarga petani yang memiliki anak usia 6-18 tahun. Hasil penelitian menunjukan bahwa responden menyetujui pendidikan menengah dapat meningkatkan kualitas dan mengembangkan potensi anak. Namun, responden beranggapan biaya pendidikan menengah terlalu mahal hingga memberatkan keluarga. Oleh karena itu, persepsi orang tua tentang pendidikan menengah termasuk dalam kategori sedang. Meningkatnya pendidikan istri dan pendapatan per kapita akan meningkatkan persepsi tentang pendidikan menengah. Meningkatnya pendapatan per kapita dan usia istri akan meningkatkan alokasi pengeluaran untuk pendidikan.

   

   

RINGKASAN

WINDA DWI GUSTIANA. Persepsi Orang tua tentang Pendidikan Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluarga Petani di Kota Bogor. Dibimbing oleh ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.

Pertanian merupakan salah satu sektor yang turut berkontribusi dalam pembangunan Indonesia. Pendidikan merupakan salah satu hak dasar bagi setiap warga negara, termasuk keluarga petani. Namun, mahalnya biaya pendidikan, khususnya pendidikan menengah membuat keluarga terbebani. Pada akhirnya banyak orang tua yang lebih mementingkan anak bekerja membantu perekonomian keluarga dibandingkan dengan melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya. Kebutuhan pendidikan merupakan suatu hal yang perlu dipertimbangkan cukup matang bagi setiap keluarga petani. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan pada keluarga petani di Kota Bogor. Tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) mengetahui persepsi orang tua tentang pendidikan menengah pada keluarga petani, (2) menganalisis alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani, (3) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi orangtua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani.

Desain penelitian adalah cross sectional study dengan metode survey.

pengambilan data dilaksanakan pada bulan Mei 2012. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu Kelurahan Kertamaya, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Populasi dalam penelitian ini ialah keluarga petani di Kelurahan Kertamaya. Metode penarikan contoh dilakukan dengan cara non probability sampling secara purposive dengan syarat keluarga petani yang memiliki anak usia 6-18 tahun. Jumlah contoh yang diambil sebanyak 60 keluarga. Responden dalam penelitian ini adalah istri petani.

Data primer dalam penelitian ini meliputi karakteristik keluarga, persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan yang diperoleh melalui wawancara menggunakan bantuan kuesioner. Data sekunder meliputi keadaan umum wilayah penelitian dan data kependudukan yang diperoleh dari instansi terkait yang meliputi Kantor Kelurahan Kertamaya, Kantor Kecamatan Bogor Selatan, dan Kantor Badan Pusat Statistik Kota Bogor.

Pertanian merupakan pekerjaan utama seluruh kepala keluarga. Berdasarkan kepemilikan lahan pertanian, sebesar 85,0 persen keluarga tidak memiliki lahan pertanian sendiri yang meliputi petani penggarap (28,3%) dan buruh tani (56,7%). Sementara itu, sebesar 15,0 persen keluarga memiliki lahan pertanian sendiri atau berstatus sebagai petani pemilik.

Rata-rata usia istri adalah 41,55 tahun dan tergolong pada usia dewasa madya (41-60 tahun). Begitu pula dengan usia suami dengan rata-rata 47,42 tahun yang tergolong kategori dewasa madya. Rata-rata pendidikan suami adalah 6,07 tahun dan istri 6,33 tahun. Hal tersebut menunjukan bahwa tingkat pendidikan suami dan istri masih rendah. Hampir separuh istri (45,0%) tidak bekerja atau hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga.

Lebih dari separuh keluarga responden (55,0%) termasuk dalam keluarga sedang (5-7 orang). Tipe keluarga dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti

(nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Keluarga inti merupakan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Sedangkan keluarga luas

 

   

merupakan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain seperti nenek, kakek, menantu, cucu, dan lain-lain. Hasil penelitian menunjukan bahwa lebih dari tiga perempat keluarga (76,7%) merupakan keluarga inti. Jumlah anak sekolah yang dimiliki oleh setiap keluarga petani berkisar antara satu sampai tiga orang. Lebih dari separuh keluarga contoh (61,7%) memiliki anak sekolah sebanyak satu orang.

Rata-rata pendapatan per kapita adalah Rp310.105/bulan. Rata-rata pengeluaran per kapita adalah Rp309.600,32. Lebih dari separuh keluarga responden (61,7%) memiliki pendapatan per kapita di bawah Garis Kemiskinan Kota Bogor. Hal tersebut menunjukan bahwa keluarga petani masih banyak yang tergolong keluarga miskin.

Persepsi responden tentang pendidikan menengah bagi anak termasuk dalam kategori sedang (58,4%). Hampir seluruh responden menyetujui bahwa pendidikan menengah merupakan hak setiap anak (98,3%), pendidikan menengah penting untuk meningkatkan kualitas anak (95,0%), pendidikan menengah penting sebagai gerbang pencapaian cita-cita (93,3%). Namun, masih ada responden yang beranggapan bahwa setelah tamat pendidikan dasar anak lebih diutamakan membantu perekonomian keluarga dibandingkan dengan melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah (36,6%) karena kendala ekonomi. Selain itu, lebih dari tiga per empat responden beranggapan bahwa pendidikan menengah membutuhkan biaya yang besar (80,4%) sehingga memberatkan keluarga.

Rataan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga responden sebesar Rp319.914,26 dengan presentase 23,9 persen dari total pengeluaran keluarga. Proporsi terbesar pada alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak terdapat pada pengeluaran untuk uang saku (37,2%). Terdapat perbedaan nyata antara persepsi responden yang memiliki anak putus sekolah dan yang tidak memiliki anak putus sekolah. Responden yang tidak memiliki anak putus sekolah memiliki persepsi tentang pendidikan menengah lebih baik dibandingkan dengan responden yang memiliki anak putus sekolah. Terdapat pernedaan nyata antara persepsi responden yang memiliki suami berstatus sebagai petani pemilik, petani penggarap, dan buruh tani. Responden yang memiliki suami berstatus sebagai petani pemilik memiliki persepsi pendidikan menengah yang lebih baik dibandingkan dengan responden yang memiliki suami berstatus sebagai petani penggarap dan buruh tani.

Hasil uji regresi linear menunjukan beberapa faktor yang secara signifikan memengaruhi persepsi istri terhadap pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan. Persepsi tentang pendidikan menengah dipengaruhi oleh pendidikan istri dan pendapatan per kapita. Meningkatnya pendapatan per kapita dan semakin lama pendidikan yang ditempuh istri akan menaikan persepsi tentang pendidikan menengah bagi anak. Sementara itu, alokasi pengeluaran untuk pendidikan dipengaruhi oleh usia istri dan pendapatan per kapita. Semakin tinggi pendapatan per kapita dan usia istri, semakin banyak keluarga mengalokasikan dana untuk pendidikan anak.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertanian merupakan salah satu sektor yang turut berkontribusi dalam pembangunan Indonesia. Pertanian memegang peranan untuk menyediakan bahan baku pangan maupun non pangan. Begitu pentingnya peran petani dalam negara agraris ini, namun, kesejahteraan keluarga petani masih kurang mendapat perhatian. Menurut Witrianto (2005), pada umumnya keluarga petani yang tinggal di daerah padat penduduk ataupun perkotaan hidup di bawah garis kemiskinan.

Kemiskinan yang dialami oleh petani merupakan kondisi nyata yang saat ini banyak terjadi. Tingkat produktivitas yang tidak menaik (atau bahkan turun) menyebabkan pendapatan rendah. Seseorang yang bermatapencaharian sebagai petani sangat tergantung kepada keadaan alam yang tak terduga. Banyak di antara petani, terutama buruh tani dan petani yang memiliki lahan sempit tidak dapat mencukupi atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya, terutama jika panen gagal akibat hama atau buruknya cuaca. Selain itu, para petani juga dihadapkan pada kendala panen di mana frekuensi panen tidak selalu sesuai harapan, hal tersebut menyebabkan petani mengalami penurunan penghasilan dan kendala ekonomi dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari termasuk untuk biaya pendidikan.

Pendidikan merupakan salah satu hak dasar bagi setiap warga negara. Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan, semakin mudah suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini karena telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan, dan teknologi oleh sumberdaya manusia sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakan pembangunan nasional (Sulistyatuti 2007).

Pendidikan diharapkan dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia serta kualitas sumberdaya manusia. Pendidikan yang ditempuh oleh anak merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama antara ketiga lembaga tersebut. Pendidikan bagi anak petani merupakan salah satu bentuk pendidikan pada umumnya yang dirasakan oleh setiap manusia. Dalam hal ini, kebutuhan pendidikan merupakan suatu hal yang perlu dipertimbangkan cukup matang bagi setiap keluarga petani.

 

Karakteristik keluarga merupakan faktor yang memengaruhi persepsi atau cara pandang keluarga, termasuk tentang pendidikan. Para petani lebih memilih pendidikan yang seperlunya dibanding pendidikan yang dijalani oleh masyarakat pada umumnya. Kebanyakan para petani lebih memilih pendidikan yang bersifat agama dan kemasyarakatan daripada pendidikan formal, karena dalam proses menempuh pendidikan formal, mereka terkendala berbagai masalah yang membuat anak petani kebanyakan mengalami putus sekolah karena masalah biaya (Barada 2008).

Keluarga memegang peranan penting dalam proses peningkatan sumber daya manusia. Keluarga merupakan tempat pertama dan utama untuk mendidik (Sadli 1993). Keadaan keluarga yang mendukung terbentuknya pertumbuhan dan perkembangan anak yang baik dapat menghasilkan manusia yang berkualitas. Keluarga yang berpendidikan setidaknya dapat mewujudkan tiga hal, yaitu: Pertama, dapat membebaskan dirinya dari kebodohan dan keterbelakangan. Kedua, mampu berpartisipasi dalam proses politik untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis dan ketiga, memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari kemiskinan (Sulistyastuti 2008). Oleh karena itu, pendidikan adalah unsur penting bagi manusia untuk menjadi sejahtera dan mandiri. Melalui pendidikan, manusia memperoleh pengetahuan sehingga memiliki kesempatan lebih besar untuk meraih peluang kemajuan (Muchtar 2003). Pendidikan yang baik merupakan salah satu prasyarat terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas. Namun, yang masih menjadi kendala ialah biaya pendidikan, khususnya pada jenjang pendidikan menengah yang memerlukan biaya lebih mahal dibandingkan jenjang pendidikan sebelumnya.

Berbagai program kebijakan pemerintah telah dibuat untuk membantu

biaya pendidikan, namun ironisnya pencapaian HDI (Human Development Index)

di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Berdasarkan data United Nation for

Development Programe (UNDP), Indeks Pembangunan Manusia atau HDI pada tahun 2011 Negara Indonesia menempati peringkat ke-124 dari 187 negara. Peringkat ini jauh di bawah negara tetangga yaitu Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia yang masing-masing secara berurutan menempati peringkat ke-26, 33, dan 61 (UNDP 2011). Hal ini menunjukan pendidikan di Indonesia masih

relatif rendah dan tertinggal dari Negara lain. Selain itu, Suprianto1 mencatat

hanya sekitar 23 persen siswa yang dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan       

1

Kepala Bagian Perencanaan dan Penganggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendikbud. www.edukasi.kompas.com (2011) Biaya Mahal Picu Anak Putus Sekolah. 

3   

   

menengah pada tahun 2011. Hal tersebut menunjukan bahwa sebanyak 77 persen siswa pendidikan dasar tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah. Hal ini dikarenakan kendala biaya dan persepsi orang tua yang lebih mementingkan anak bisa secepatnya mencari uang untuk membantu memenuhi kehidupan keluarga dibanding dengan melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang menengah. Dana bantuan dari pemerintah, seperti BOS (Bantuan Operasional Sekolah) hanya diberikan hingga sembilan tahun, yang artinya, pada saat orang tua dan anak ingin melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah, maka bantuan dana pemerintah sudah tidak diberikan lagi. Hal tersebut yang memberatkan keluarga petani, khususnya orang tua untuk membiayai sekolah anak hingga ke jenjang pendidikan menengah, ataupun jika anak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah, orangtua tidak dapat mencukupi kebutuhan yang menunjang pendidikan anak, hingga mengakibatkan anak putus sekolah. Pendidikan orang tua memengaruhi pandangan atau persepsi orangtua mengenai pentingnya anak untuk masa depan. Persepsi pentingnya pendidikan akan berpengaruh terhadap perilaku yang dicerminkan dalam alokasi pengeluaran untuk pendidikan (Jerrim dan Micklewright 2009).

Alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak merupakan cerminan investasi yang dilakukan oleh orangtua untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Bryant (1990) mengemukakan bahwa bentuk investasi dalam keluarga yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas anak dalam rangka membentuk sumber daya manusia yang berkualitas adalah waktu dan pendapatan.

Perumusan Masalah

Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang sebagian besar matapencaharian penduduknya ialah petani. Para petani pada umumnya bertempat tinggal di pedesaan dekat dengan lokasi lahan garapan mereka. Masyarakat petani yang tinggal di pedesaan pada umumnya memiliki lahan garapan yang cukup luas jika dibandingkan dengan lahan garapan petani di pinggir perkotaan. Masyarakat tani perkotaan semakin sulit untuk memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia karena maraknya pengalihan fungsi lahan pertanian.

Jika melihat perkembangan pembangunan di perkotaan yang semakin pesat, tentunya semakin jarang pula ditemukan lahan pertanian seperti sawah dan perkebunan. Masyarakat perkotaan saat ini lebih akrab dengan

 

pemandangan perumahan, mall, dan tempat-tempat rekreasi. Meski masih dapat

ditemui, namun keberadaan lahan pertanian sudah sangat sempit dan jarang ditemui. Semakin sempitnya lahan pertanian di perkotaan dapat dilihat dari salah satu kota di Jawa Barat, yaitu Kota Bogor, dengan luas total 11.850 hektar. Lahan pertanian sawah hanya terdapat 3,46 persen saja sedangkan lahan pertanian bukan sawah sekitar 10,74 persen (BPS 2010).

Menurut data dari Dinas Pertanian tahun 2010 di Kota Bogor lahan yang berpotensi sebagai lahan pertanian ialah 1.315,621 hektar yang meliputi 1.006 hektar lahan sawah, dan 309,621 hektar lahan perkebunan. Sedangkan perumahan penduduk, dan lainnya yang meliputi (pusat perbelanjaan, infrastruktur industri, dan lahan kering bekas lahan pertanian yang akan dijadikan bangunan) masing-masing sebanyak 6.217,292 hektar dan 3.186,327 hektar. Lebih lanjut, Data Dinas Pertanian Kota Bogor menyatakan pada tahun 2011 lahan pertanian sawah dan perkebunan di Kota Bogor menghilang sekitar 300 hektar. Hal tersebut disebabkan adanya pembangunan perumahan dan juga para petani yang tidak lagi memanfaatkan lahannya. Perbandingan yang cukup besar antara luas lahan pertanian (lahan sawah dan perkebunan) dengan lahan non-pertanian akibat pengalihan fungsi lahan membuat masyarakat petani di perkotaan mengalami kendala ekonomi, bahkan kehilangan pekerjaannya, sehingga banyak dari mereka yang memutuskan untuk beralih profesi ke bidang lain, misalnya bidang industri atau memilih untuk berwirausaha. Namun, ada pula petani yang masih bertahan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tetap menjadi petani di pinggiran kota.

Kecamatan Bogor Selatan adalah kecamatan yang memiliki jumlah keluarga pra sejahtera terbanyak, yaitu sebanyak 38,0 persen dari total penduduk yang tergolong ke dalam keluarga pra sejahtera di Kota Bogor (BPS 2010), yang diantaranya ialah masyarakat petani. Kecamatan ini memiliki lahan pertanian seluas 898,9 hektar dari luas total 2.926,7 hektar, dengan jumlah rumah tangga petani terbanyak di Kota Bogor, yaitu 240 rumah tangga dan memiliki kelompok tani terbanyak di Kota Bogor, yaitu 26 kelompok tani (BPS 2010).

Kecamatan Bogor Selatan terdiri dari 16 kelurahan. Lima kelurahan di Kecamatan Bogor Selatan yaitu Lawanggintung, Batutulis, Bondongan, Empang dan Pakuan tidak memiliki lahan pertanian (sawah dan non-sawah) sama sekali, sementara sebelas kelurahan lainnya masih memiliki lahan pertanian (sawah dan

5   

   

perkebunan) yang relatif sempit, yaitu 898,9 hektar tersebar di 11 kelurahan. Wijayanti (2003) mengemukakan bahwa keadaan petani di pinggiran kota keadaannya cukup memprihatinkan, hal tersebut salah satunya dikarenakan perubahan fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman penduduk ataupun infrastruktur industri, terutama di perkotaan yang menyebabkan menurunnya penghasilan petani. Menurunnya penghasilan petani berdampak pada rendahnya alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak. Hasil penelitian Permatasari (2010) menunjukan bahwa keluarga yang tergolong miskin masih sedikit mengalokasikan pengeluaran untuk pendidikan anak, baik karena kemampuan ekonomi yang rendah atau karena kesadaran yang masih kurang terhadap pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik pertanyaan pada penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana persepsi orang tua pada keluarga petani tentang pentingnya pendidikan menengah?

2. Bagaimana alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani?

3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani?

Tujuan Umum

Mengkaji persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan pada keluarga petani di Kota Bogor.

Tujuan Khusus

1. Mengetahui persepsi orang tua pada keluarga petani tentang pentingnya pendidikan menengah.

2. Mengetahui alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani.

3. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani.

 

Kegunaan penelitian Manfaat penelitian ini bagi beberapa pihak antara lain :

a. Bagi peneliti, dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah didapatkan dan sebagai media pengembangan keilmuan sesuai bidang keilmuan peneliti. b. Bagi civitas akademika (IPB) dapat menyumbang referensi tentang kajian

mengenai persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani.

c. Bagi pemerintah, khususnya Pemerintah Kota Bogor ialah untuk memberikan informasi terkait persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani di wilayah penelitian. Selain itu, dapat digunakan sebagai salah satu referensi untuk memecahkan permasalahan dan pengambilan keputusan penentu kebijakan bagi masyarakat, khususnya masalah peningkatan kualitas sumber daya manusia.

TINJAUAN PUSTAKA

Keluarga Petani

Keluarga petani ialah keluarga yang kepala keluarga atau anggota keluarganya bermatapencaharian sebagai petani. Keluarga petani mendapatkan penghasilan utama dari kegiatan bertani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum, petani bertempat tinggal di pedesaan dan sebagian besar di antaranya di pinggiran kota, keluarga petani yang tinggal di daerah-daerah yang padat penduduk ataupun perkotaan hidup di bawah garis kemiskinan (Witrianto 2005). Pendapatan yang diterima seorang petani dalam satu musim atau satu

Dokumen terkait