PERSEPSI ORANG TUA TENTANG PENDIDIKAN
MENENGAH DAN ALOKASI PENGELUARAN UNTUK
PENDIDIKAN PADA KELUARGA PETANI DI KOTA BOGOR
WINDA DWI GUSTIANA
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluaga Petani di Kota Bogor adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing skripsi dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2012
Winda Dwi Gustiana
ABSTRACT
WINDA DWI GUSTIANA. Parent’s Perception of High School Education and Allocation of Expenditure for Education in Farmer Family at Bogor City. Supervised by ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.
Education is one of the most important factors to support human resources improvement. But, in fact, there was many children dropped out or did not continue to high school because of cost constrains. The purpose of research was to investigate parent’s perception of high school for children and allocation of expenditure for education in farmer family at urban area. This study used survey method in Kertamaya Village. Data collection was conducted in May 2012. The research involved 60 farm families who had children aged 6-18 years. The results showed that families agreed about sent their children to high school could improved human resources and developed children’s potential. However, families had a hunch that the cost of high school was too expensive, so they could be burdened. Therefore, the perception of high school education was classified as medium category. Family who had higher income per capita and education level had higher perception about high school education for children. Family who had higher income per capita and wife’s age had higher allocation of expenditure for education.
Keywords : allocation of expenditure, farmer family, perception.
ABSTRAK
WINDA DWI GUSTIANA. Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluarga Petani di Kota Bogor. Dibimbing oleh ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia. Namun, pada kenyataanya masih banyak anak putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah karena kendala biaya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan pada keluarga petani di perkotaan. Penelitian ini menggunakan metode survei yang dilakukan di Kelurahan Kertamaya. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei 2012. Penelitian melibatkan 60 keluarga petani yang memiliki anak usia 6-18 tahun. Hasil penelitian menunjukan bahwa responden menyetujui pendidikan menengah dapat meningkatkan kualitas dan mengembangkan potensi anak. Namun, responden beranggapan biaya pendidikan menengah terlalu mahal hingga memberatkan keluarga. Oleh karena itu, persepsi orang tua tentang pendidikan menengah termasuk dalam kategori sedang. Meningkatnya pendidikan istri dan pendapatan per kapita akan meningkatkan persepsi tentang pendidikan menengah. Meningkatnya pendapatan per kapita dan usia istri akan meningkatkan alokasi pengeluaran untuk pendidikan.
RINGKASAN
WINDA DWI GUSTIANA. Persepsi Orang tua tentang Pendidikan Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluarga Petani di Kota Bogor. Dibimbing oleh ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.
Pertanian merupakan salah satu sektor yang turut berkontribusi dalam pembangunan Indonesia. Pendidikan merupakan salah satu hak dasar bagi setiap warga negara, termasuk keluarga petani. Namun, mahalnya biaya pendidikan, khususnya pendidikan menengah membuat keluarga terbebani. Pada akhirnya banyak orang tua yang lebih mementingkan anak bekerja membantu perekonomian keluarga dibandingkan dengan melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya. Kebutuhan pendidikan merupakan suatu hal yang perlu dipertimbangkan cukup matang bagi setiap keluarga petani. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan pada keluarga petani di Kota Bogor. Tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) mengetahui persepsi orang tua tentang pendidikan menengah pada keluarga petani, (2) menganalisis alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani, (3) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi orangtua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani.
Desain penelitian adalah cross sectional study dengan metode survey.
pengambilan data dilaksanakan pada bulan Mei 2012. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu Kelurahan Kertamaya, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Populasi dalam penelitian ini ialah keluarga petani di Kelurahan Kertamaya. Metode penarikan contoh dilakukan dengan cara non probability sampling secara purposive dengan syarat keluarga petani yang memiliki anak usia 6-18 tahun. Jumlah contoh yang diambil sebanyak 60 keluarga. Responden dalam penelitian ini adalah istri petani.
Data primer dalam penelitian ini meliputi karakteristik keluarga, persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan yang diperoleh melalui wawancara menggunakan bantuan kuesioner. Data sekunder meliputi keadaan umum wilayah penelitian dan data kependudukan yang diperoleh dari instansi terkait yang meliputi Kantor Kelurahan Kertamaya, Kantor Kecamatan Bogor Selatan, dan Kantor Badan Pusat Statistik Kota Bogor.
Pertanian merupakan pekerjaan utama seluruh kepala keluarga. Berdasarkan kepemilikan lahan pertanian, sebesar 85,0 persen keluarga tidak memiliki lahan pertanian sendiri yang meliputi petani penggarap (28,3%) dan buruh tani (56,7%). Sementara itu, sebesar 15,0 persen keluarga memiliki lahan pertanian sendiri atau berstatus sebagai petani pemilik.
Rata-rata usia istri adalah 41,55 tahun dan tergolong pada usia dewasa madya (41-60 tahun). Begitu pula dengan usia suami dengan rata-rata 47,42 tahun yang tergolong kategori dewasa madya. Rata-rata pendidikan suami adalah 6,07 tahun dan istri 6,33 tahun. Hal tersebut menunjukan bahwa tingkat pendidikan suami dan istri masih rendah. Hampir separuh istri (45,0%) tidak bekerja atau hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Lebih dari separuh keluarga responden (55,0%) termasuk dalam keluarga sedang (5-7 orang). Tipe keluarga dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti
merupakan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain seperti nenek, kakek, menantu, cucu, dan lain-lain. Hasil penelitian menunjukan bahwa lebih dari tiga perempat keluarga (76,7%) merupakan keluarga inti. Jumlah anak sekolah yang dimiliki oleh setiap keluarga petani berkisar antara satu sampai tiga orang. Lebih dari separuh keluarga contoh (61,7%) memiliki anak sekolah sebanyak satu orang.
Rata-rata pendapatan per kapita adalah Rp310.105/bulan. Rata-rata pengeluaran per kapita adalah Rp309.600,32. Lebih dari separuh keluarga responden (61,7%) memiliki pendapatan per kapita di bawah Garis Kemiskinan Kota Bogor. Hal tersebut menunjukan bahwa keluarga petani masih banyak yang tergolong keluarga miskin.
Persepsi responden tentang pendidikan menengah bagi anak termasuk dalam kategori sedang (58,4%). Hampir seluruh responden menyetujui bahwa pendidikan menengah merupakan hak setiap anak (98,3%), pendidikan menengah penting untuk meningkatkan kualitas anak (95,0%), pendidikan menengah penting sebagai gerbang pencapaian cita-cita (93,3%). Namun, masih ada responden yang beranggapan bahwa setelah tamat pendidikan dasar anak lebih diutamakan membantu perekonomian keluarga dibandingkan dengan melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah (36,6%) karena kendala ekonomi. Selain itu, lebih dari tiga per empat responden beranggapan bahwa pendidikan menengah membutuhkan biaya yang besar (80,4%) sehingga memberatkan keluarga.
Rataan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga responden sebesar Rp319.914,26 dengan presentase 23,9 persen dari total pengeluaran keluarga. Proporsi terbesar pada alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak terdapat pada pengeluaran untuk uang saku (37,2%). Terdapat perbedaan nyata antara persepsi responden yang memiliki anak putus sekolah dan yang tidak memiliki anak putus sekolah. Responden yang tidak memiliki anak putus sekolah memiliki persepsi tentang pendidikan menengah lebih baik dibandingkan dengan responden yang memiliki anak putus sekolah. Terdapat pernedaan nyata antara persepsi responden yang memiliki suami berstatus sebagai petani pemilik, petani penggarap, dan buruh tani. Responden yang memiliki suami berstatus sebagai petani pemilik memiliki persepsi pendidikan menengah yang lebih baik dibandingkan dengan responden yang memiliki suami berstatus sebagai petani penggarap dan buruh tani.
Hasil uji regresi linear menunjukan beberapa faktor yang secara signifikan memengaruhi persepsi istri terhadap pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan. Persepsi tentang pendidikan menengah dipengaruhi oleh pendidikan istri dan pendapatan per kapita. Meningkatnya pendapatan per kapita dan semakin lama pendidikan yang ditempuh istri akan menaikan persepsi tentang pendidikan menengah bagi anak. Sementara itu, alokasi pengeluaran untuk pendidikan dipengaruhi oleh usia istri dan pendapatan per kapita. Semakin tinggi pendapatan per kapita dan usia istri, semakin banyak keluarga mengalokasikan dana untuk pendidikan anak.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
PERSEPSI ORANG TUA TENTANG PENDIDIKAN
MENENGAH DAN ALOKASI PENGELUARAN UNTUK
PENDIDIKAN PADA KELUARGA PETANI DI KOTA BOGOR
WINDA DWI GUSTIANA
Skripsi
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluarga Petani di Kota Bogor
Nama : Winda Dwi Gustiana
NRP : I24080016
Disetujui,
Dr.Ir. Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si Dosen Pembimbing
Diketahui,
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc
Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluarga Petani di Kota Bogor” dapat diselesaikan. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana sains di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan doa, dukungan, bimbingan, motivasi, dan kerja sama dengan berbagai pihak. Sebagai bentuk penghargaan kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing, mengarahkan, dan memberi saran serta dukungan selama penulis mengerjakan skripsi.
2. Dosen penguji ujian sidang skripsi: Dr. Ir. Lilik Noor Yulianti, M.FSA dan Alfiasari, Sp., M.si atas saran dan kritik yang telah diberikan kepada penulis untuk perbaikan skripsi.
3. Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc, selaku Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen dan Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik atas ilmu dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.
4. Seluruh Staff Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen atas segala bantuannya
5. Orang tua yang saya sayangi, Bapak Uun Sumiarsa (alm), Ibu Nina Herlina yang selalu memberikan dukungan, doa, saran dan nasehat, serta kakak-kakak dan adikku, Teh Riesa, A Hendi, dan Angga Tri Yudha. 6. Rekan penelitian satu bimbingan, Annisa Saraswati, Dewi Sekar Mukhti,
Rr. Dewi Suci C.I.A, Arina Zuliany, dan Iin Khoirunnisa atas saran-sarannya.
7. Pengurus Kelurahan Kertamaya yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di Kelurahan Kertamaya dan warga Kelurahan Kertamaya khususnya ibu-ibu/istri petani yang telah bersedia menjadi responden penelitian ini.
8. Yayang Ayesya, Amania Farah, Fasih Vidyastuti, R. Ifah Kholifah, Rafida Zakiman, Eka Istiqomah, Putri Wika Sari, Putri Widha Sari, Intan Islamia, Nisrinah Kharisma, dan Tri Sari Asih, atas persahabatan, keceriaan, dan semangatnya yang sangat memotivasi.
9. Teman-teman IKK 45 atas kebersamaan selama tiga tahun di departemen. 10. Untuk pihak-pihak yang belum penulis sebutkan, terima kasih atas kerja
sama, bantuan, dan bimbingannya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi berbagai pihak.
Bogor, November 2012
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………. xii
DAFTAR LAMPIRAN………. xiii
PENDAHULUAN……… 1
Latar Belakang……….. 1
Perumusan Masalah………... 3
Tujuan Penelitian………. 5
Kegunaan Penelitian………... 6
TINJAUAN PUSTAKA………... 7
Keluarga Petani……… 7
Peran Keluarga dalam Investasi Sumber Daya Manusia……... 8
Pendidikan Menengah………. 9
Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan……….. 10
Alokasi Pengeluaran Uang untuk Pendidikan Anak……… 11
KERANGKA PEMIKIRAN………. 13
METODE PENELITIAN………. 15
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian……….. 15
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh………. 15
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data………. 15
Pengolahan dan Analisa Data……….. 17
Definisi Operasional……….. 18
HASIL DAN PEMBAHASAN………. 21
Gambaran Umum Lokasi Penelitian………... 21
Karakteristik Usaha Tani……….. 22
Karakteristik Keluarga………... 23
Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah……….. 33
Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan……..……… 38
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Pengeluaran untuk
Pendidikan Anak………... 42
PEMBAHASAN………... 45
SIMPULAN DAN SARAN……….. 49
Simpulan………. 49
Saran……… 49
DAFTAR PUSTAKA………... 51
LAMPIRAN………. 55
RIWAYAT HIDUP………... 60
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Jenis data, variabel, skaala data, dan pengkategorian data………….. 16
2. Jumlah anak sekolah dan putus sekolah berdasarkan tingkat pendidikan di Kelurahan Kertamaya, tahun 2010……… 21
3. Sebaran keluarga berdasarkan usia suami dan istri……… 23
4. Sebaran keluarga berdasarkan tingkat pendidikan suami dan istri….. 24
5. Sebaran keluarga berdasarkan status pekerjaan suami………. 24
6. Sebaran keluarga berdasarkan pekerjaan utama istri………. 25
7. Sebaran keluarga berdasarkan tipe keluarga……….. 25
8. Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarga………. 26
9. Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anak sekolah………. 26
10. Sebaran anak sekolah dan putus sekolah berdasarkan tingkat pendidikan……….. 27
11. Jumlah anak sekolah dan putus sekolah berdasarkan pendapatan per kapita……… 27
12. Sebaran keluarga berdasarkan status kepemilikan rumah……… 27
13. Sebaran keluarga berdasarkan kepemilikan aset keluarga……… 28
14. Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan keluarga……… 29
15. Rataan pendapatan berdasarkan sumber pendapatan ………. 30
16. Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan per kapita………...…..… 30
17. Sebaran keluarga berdasarkan dana bantuan yang diterima……..….. 31
18. Sebaran keluarga berdasarkan kepemilikan tabungan untuk pendidikan……….. 31
19. Rata-rata alokasi pengeluaran keluarga dan per kapita………...…….. 32
20. Sebaran keluarga berdasarkan persepsi pendidikan menengah... 33
21. Sebaran persepsi orang tua tentang pendidikan menengah…………. 34
22. Sebaran keluarga berdasarkan kategori persepsi pendidikan menengah, kepemilikan anak SMA, rata-rata, dan standar deviasi….. 35
24. Sebaran keluarga berdasarkan kategori persepsi pendidikan
menengah, status bekerja istri, rata-rata, dan standar deviasi……… 37
25. Sebaran keluarga berdasarkan kategori persepsi pendidikan
menengah, status petani, rata-rata, dan standar deviasi……….. 38
26. Statistik deskriptif alokasi pengeluaran keluarga untuk pendidikan
anak pada keluarga responden……….. 39
27. Rataan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak berdasarkan
jenjang pendidikan dan rata-rata per anak ... 40
28. Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi orang tua tentang
pendidikan menengah ... 41
29. Faktor-faktor yang memengaruhi alokasi pengeluaran untuk
pendidikan anak………... 42
30. Faktor-faktor yang memengaruhi alokasi pengeluaran untuk
pendidikan anak dalam persentase……… 44
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Peta Kelurahan Kertamaya……….. 57 2. Koefisien Korelasi antar Variabel Penelitian………. 58 3. Dokumentasi Penelitian……… 59
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertanian merupakan salah satu sektor yang turut berkontribusi dalam
pembangunan Indonesia. Pertanian memegang peranan untuk menyediakan
bahan baku pangan maupun non pangan. Begitu pentingnya peran petani dalam
negara agraris ini, namun, kesejahteraan keluarga petani masih kurang
mendapat perhatian. Menurut Witrianto (2005), pada umumnya keluarga petani
yang tinggal di daerah padat penduduk ataupun perkotaan hidup di bawah garis
kemiskinan.
Kemiskinan yang dialami oleh petani merupakan kondisi nyata yang saat
ini banyak terjadi. Tingkat produktivitas yang tidak menaik (atau bahkan turun)
menyebabkan pendapatan rendah. Seseorang yang bermatapencaharian
sebagai petani sangat tergantung kepada keadaan alam yang tak terduga.
Banyak di antara petani, terutama buruh tani dan petani yang memiliki lahan
sempit tidak dapat mencukupi atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya,
terutama jika panen gagal akibat hama atau buruknya cuaca. Selain itu, para
petani juga dihadapkan pada kendala panen di mana frekuensi panen tidak
selalu sesuai harapan, hal tersebut menyebabkan petani mengalami penurunan
penghasilan dan kendala ekonomi dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari
termasuk untuk biaya pendidikan.
Pendidikan merupakan salah satu hak dasar bagi setiap warga negara.
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama
pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin
banyak orang yang berpendidikan, semakin mudah suatu negara untuk
membangun bangsanya. Hal ini karena telah dikuasainya keterampilan, ilmu
pengetahuan, dan teknologi oleh sumberdaya manusia sehingga pemerintah
lebih mudah dalam menggerakan pembangunan nasional (Sulistyatuti 2007).
Pendidikan diharapkan dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia
serta kualitas sumberdaya manusia. Pendidikan yang ditempuh oleh anak
merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Oleh karena
itu, diperlukan kerjasama antara ketiga lembaga tersebut. Pendidikan bagi anak
petani merupakan salah satu bentuk pendidikan pada umumnya yang dirasakan
oleh setiap manusia. Dalam hal ini, kebutuhan pendidikan merupakan suatu hal
Karakteristik keluarga merupakan faktor yang memengaruhi persepsi atau
cara pandang keluarga, termasuk tentang pendidikan. Para petani lebih memilih
pendidikan yang seperlunya dibanding pendidikan yang dijalani oleh masyarakat
pada umumnya. Kebanyakan para petani lebih memilih pendidikan yang bersifat
agama dan kemasyarakatan daripada pendidikan formal, karena dalam proses
menempuh pendidikan formal, mereka terkendala berbagai masalah yang
membuat anak petani kebanyakan mengalami putus sekolah karena masalah
biaya (Barada 2008).
Keluarga memegang peranan penting dalam proses peningkatan sumber
daya manusia. Keluarga merupakan tempat pertama dan utama untuk mendidik
(Sadli 1993). Keadaan keluarga yang mendukung terbentuknya pertumbuhan
dan perkembangan anak yang baik dapat menghasilkan manusia yang
berkualitas. Keluarga yang berpendidikan setidaknya dapat mewujudkan tiga hal,
yaitu: Pertama, dapat membebaskan dirinya dari kebodohan dan
keterbelakangan. Kedua, mampu berpartisipasi dalam proses politik untuk
mewujudkan masyarakat yang demokratis dan ketiga, memiliki kemampuan
untuk membebaskan diri dari kemiskinan (Sulistyastuti 2008). Oleh karena itu,
pendidikan adalah unsur penting bagi manusia untuk menjadi sejahtera dan
mandiri. Melalui pendidikan, manusia memperoleh pengetahuan sehingga
memiliki kesempatan lebih besar untuk meraih peluang kemajuan (Muchtar
2003). Pendidikan yang baik merupakan salah satu prasyarat terbentuknya
sumber daya manusia yang berkualitas. Namun, yang masih menjadi kendala
ialah biaya pendidikan, khususnya pada jenjang pendidikan menengah yang
memerlukan biaya lebih mahal dibandingkan jenjang pendidikan sebelumnya.
Berbagai program kebijakan pemerintah telah dibuat untuk membantu
biaya pendidikan, namun ironisnya pencapaian HDI (Human Development Index)
di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Berdasarkan data United Nation for
Development Programe (UNDP), Indeks Pembangunan Manusia atau HDI pada tahun 2011 Negara Indonesia menempati peringkat ke-124 dari 187 negara.
Peringkat ini jauh di bawah negara tetangga yaitu Singapura, Brunei Darussalam,
dan Malaysia yang masing-masing secara berurutan menempati peringkat ke-26,
33, dan 61 (UNDP 2011). Hal ini menunjukan pendidikan di Indonesia masih
relatif rendah dan tertinggal dari Negara lain. Selain itu, Suprianto1 mencatat
hanya sekitar 23 persen siswa yang dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan
1
3
menengah pada tahun 2011. Hal tersebut menunjukan bahwa sebanyak 77
persen siswa pendidikan dasar tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan
menengah. Hal ini dikarenakan kendala biaya dan persepsi orang tua yang lebih
mementingkan anak bisa secepatnya mencari uang untuk membantu memenuhi
kehidupan keluarga dibanding dengan melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang
menengah. Dana bantuan dari pemerintah, seperti BOS (Bantuan Operasional
Sekolah) hanya diberikan hingga sembilan tahun, yang artinya, pada saat orang
tua dan anak ingin melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah, maka
bantuan dana pemerintah sudah tidak diberikan lagi. Hal tersebut yang
memberatkan keluarga petani, khususnya orang tua untuk membiayai sekolah
anak hingga ke jenjang pendidikan menengah, ataupun jika anak dapat
melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah, orangtua tidak dapat
mencukupi kebutuhan yang menunjang pendidikan anak, hingga mengakibatkan
anak putus sekolah. Pendidikan orang tua memengaruhi pandangan atau
persepsi orangtua mengenai pentingnya anak untuk masa depan. Persepsi
pentingnya pendidikan akan berpengaruh terhadap perilaku yang dicerminkan
dalam alokasi pengeluaran untuk pendidikan (Jerrim dan Micklewright 2009).
Alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak merupakan cerminan
investasi yang dilakukan oleh orangtua untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia. Bryant (1990) mengemukakan bahwa bentuk investasi dalam
keluarga yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas anak dalam rangka
membentuk sumber daya manusia yang berkualitas adalah waktu dan
pendapatan.
Perumusan Masalah
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang sebagian besar
matapencaharian penduduknya ialah petani. Para petani pada umumnya
bertempat tinggal di pedesaan dekat dengan lokasi lahan garapan mereka.
Masyarakat petani yang tinggal di pedesaan pada umumnya memiliki lahan
garapan yang cukup luas jika dibandingkan dengan lahan garapan petani di
pinggir perkotaan. Masyarakat tani perkotaan semakin sulit untuk memanfaatkan
sumber daya alam yang tersedia karena maraknya pengalihan fungsi lahan
pertanian.
Jika melihat perkembangan pembangunan di perkotaan yang semakin
pesat, tentunya semakin jarang pula ditemukan lahan pertanian seperti sawah
pemandangan perumahan, mall, dan tempat-tempat rekreasi. Meski masih dapat
ditemui, namun keberadaan lahan pertanian sudah sangat sempit dan jarang
ditemui. Semakin sempitnya lahan pertanian di perkotaan dapat dilihat dari salah
satu kota di Jawa Barat, yaitu Kota Bogor, dengan luas total 11.850 hektar.
Lahan pertanian sawah hanya terdapat 3,46 persen saja sedangkan lahan
pertanian bukan sawah sekitar 10,74 persen (BPS 2010).
Menurut data dari Dinas Pertanian tahun 2010 di Kota Bogor lahan yang
berpotensi sebagai lahan pertanian ialah 1.315,621 hektar yang meliputi 1.006
hektar lahan sawah, dan 309,621 hektar lahan perkebunan. Sedangkan
perumahan penduduk, dan lainnya yang meliputi (pusat perbelanjaan,
infrastruktur industri, dan lahan kering bekas lahan pertanian yang akan dijadikan
bangunan) masing-masing sebanyak 6.217,292 hektar dan 3.186,327 hektar.
Lebih lanjut, Data Dinas Pertanian Kota Bogor menyatakan pada tahun 2011
lahan pertanian sawah dan perkebunan di Kota Bogor menghilang sekitar 300
hektar. Hal tersebut disebabkan adanya pembangunan perumahan dan juga para
petani yang tidak lagi memanfaatkan lahannya. Perbandingan yang cukup besar
antara luas lahan pertanian (lahan sawah dan perkebunan) dengan lahan
non-pertanian akibat pengalihan fungsi lahan membuat masyarakat petani di
perkotaan mengalami kendala ekonomi, bahkan kehilangan pekerjaannya,
sehingga banyak dari mereka yang memutuskan untuk beralih profesi ke bidang
lain, misalnya bidang industri atau memilih untuk berwirausaha. Namun, ada pula
petani yang masih bertahan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tetap
menjadi petani di pinggiran kota.
Kecamatan Bogor Selatan adalah kecamatan yang memiliki jumlah
keluarga pra sejahtera terbanyak, yaitu sebanyak 38,0 persen dari total
penduduk yang tergolong ke dalam keluarga pra sejahtera di Kota Bogor (BPS
2010), yang diantaranya ialah masyarakat petani. Kecamatan ini memiliki lahan
pertanian seluas 898,9 hektar dari luas total 2.926,7 hektar, dengan jumlah
rumah tangga petani terbanyak di Kota Bogor, yaitu 240 rumah tangga dan
memiliki kelompok tani terbanyak di Kota Bogor, yaitu 26 kelompok tani (BPS
2010).
Kecamatan Bogor Selatan terdiri dari 16 kelurahan. Lima kelurahan di
Kecamatan Bogor Selatan yaitu Lawanggintung, Batutulis, Bondongan, Empang
dan Pakuan tidak memiliki lahan pertanian (sawah dan non-sawah) sama sekali,
5
perkebunan) yang relatif sempit, yaitu 898,9 hektar tersebar di 11 kelurahan.
Wijayanti (2003) mengemukakan bahwa keadaan petani di pinggiran kota
keadaannya cukup memprihatinkan, hal tersebut salah satunya dikarenakan
perubahan fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman penduduk ataupun
infrastruktur industri, terutama di perkotaan yang menyebabkan menurunnya
penghasilan petani. Menurunnya penghasilan petani berdampak pada rendahnya
alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak. Hasil penelitian Permatasari (2010)
menunjukan bahwa keluarga yang tergolong miskin masih sedikit
mengalokasikan pengeluaran untuk pendidikan anak, baik karena kemampuan
ekonomi yang rendah atau karena kesadaran yang masih kurang terhadap
pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik pertanyaan pada
penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana persepsi orang tua pada keluarga petani tentang pentingnya
pendidikan menengah?
2. Bagaimana alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga
petani?
3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap persepsi orang tua
tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan
anak pada keluarga petani?
Tujuan Umum
Mengkaji persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi
pengeluaran untuk pendidikan pada keluarga petani di Kota Bogor.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui persepsi orang tua pada keluarga petani tentang pentingnya
pendidikan menengah.
2. Mengetahui alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga
petani.
3. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi orang tua
tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan
Kegunaan penelitian Manfaat penelitian ini bagi beberapa pihak antara lain :
a. Bagi peneliti, dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah didapatkan dan
sebagai media pengembangan keilmuan sesuai bidang keilmuan peneliti.
b. Bagi civitas akademika (IPB) dapat menyumbang referensi tentang kajian
mengenai persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi
pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani.
c. Bagi pemerintah, khususnya Pemerintah Kota Bogor ialah untuk
memberikan informasi terkait persepsi orang tua tentang pendidikan
menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga
petani di wilayah penelitian. Selain itu, dapat digunakan sebagai salah
satu referensi untuk memecahkan permasalahan dan pengambilan
keputusan penentu kebijakan bagi masyarakat, khususnya masalah
TINJAUAN PUSTAKA
Keluarga Petani
Keluarga petani ialah keluarga yang kepala keluarga atau anggota
keluarganya bermatapencaharian sebagai petani. Keluarga petani mendapatkan
penghasilan utama dari kegiatan bertani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Secara umum, petani bertempat tinggal di pedesaan dan sebagian besar di
antaranya di pinggiran kota, keluarga petani yang tinggal di daerah-daerah yang
padat penduduk ataupun perkotaan hidup di bawah garis kemiskinan (Witrianto
2005). Pendapatan yang diterima seorang petani dalam satu musim atau satu
tahun berbeda dengan pendapatan yang diterima oleh petani lainnya. Bahkan
petani yang mengusahakan pada lahan yang sama dari musim ke musim
menerima pendapatan yang berbeda-beda pula dari tahun ke tahun. Berbagai
faktor mempengaruhi pendapatan petani, namun ada beberapa faktor yang tidak
dapat diubah, salah satunya yaitu kendala iklim. Kemampuan petani dalam
mempengaruhi iklim sangat terbatas. Selain kendala iklim, luas lahan, efisiensi
kerja, dan efisiensi produksi masih ada dalam batas kemampuan petani untuk
mengubahnya (Soeharjo dan Patong 1977). Lebih lanjut, Soeharjo dan Patong
membedakan status petani dalam usaha tani menjadi empat, yaitu :
a. Petani pemilik
Petani pemilik adalah petani yang memiliki tanah dan secara langsung
mengusahakan dan menggarapnya. Semua faktor-faktor produksi, baik berupa
tanah, peralatan, dan sarana produksi yang digunakan adalah milik petani
sendiri.
b. Petani penyewa
Petani penyewa adalah petani yang mengusahakan tanah orang lain,
dengan cara menyewa karena tidak memiliki tanah sendiri. Besarnya sewa dapat
berbentuk produksi fisik atau sejumlah uang yang sudah ditentukan sebelum
penggarapan dimulai. Dalam sistem sewa, resiko usaha tani hanya ditanggung
oleh penyewa. Pemilik tanah hanya menerima sewa tanahnya tanpa dipengaruhi
oleh resiko usaha taninya.
c. Petani penggarap
Petani penyakap adalah petani yang mengusahakan tanah orang lain
dengan sistem bagi hasil. Resiko usaha tani ditanggung bersama dengan pemilik
setiap daerah. Biasanya bagi hasil ini ditentukan oleh tradisi daerahnya
masing-masing.
d. Buruh tani
Buruh tani adalah orang yang bekerja untuk sawah orang lain, yang
nantinya akan memperoleh upah dari pemilik sawah. Hidupnya sangat
bergantung pada pemilik sawah yang mempekerjakannya.
Peran Keluarga dalam Investasi Sumber Daya Manusia
Keluarga berperan penting untuk menentukan investasi sumberdaya
manusia. Undang-undang No. 10 tahun 1992, mendefinisikan keluarga sebagai
unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami, isteri,
dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Mead (1949) diacu
dalam Guhardja, et. al (1992) mendefinisikan keluarga sebagai dasar dari
masyarakat yang berfungsi mengantarkan sejarah kebudayaan, menanamkan
sistem nilai yang dianut, dan melaksanakan sosialisasi pada generasi penerus
untuk menjadi manusia dan warga masyarakat yang efektif dan produktif.
Sehingga dapat terbentuk sumberdaya manusia yang berkualitas.
Peran keluarga diterapkan berdasarkan teori struktural fungsional yang
terlihat dalam struktur dan aturan yang diterapkan. Struktur dan fungsi yang
terbentuk dalam keluarga tidak akan pernah lepas dari pengaruh budaya, norma,
dan nilai sosial yang melandasi sistem masyarakat. Struktural fungsional
berpegang bahwa sebuah struktur keluarga membentuk kemampuannya untuk
berfungsi secara efektif dan bahwa sebuah keluarga inti tersusun dari seorang
suami pencari nafkah dan wanita ibu rumah tangga adalah yang paling cocok
untuk memenuhi kebutuhan anggota dan ekonomi industry baru (Parson dan
Bales 1955, diacu dalam Hill 2006).
Megawangi (1999) menyatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang
jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga
akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar
lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang peranannya tidak dapat
dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena adanya kebingungan peran. Menurut
Megawangi (1993) fungsi penting keluarga adalah menjadi fungsi penerus nilai,
karena lingkungan keluargalah yang pertama mempersiapkan anggotanya untuk
9
Pendidikan Menengah
Pendidikan adalah salah satu aspek penting untuk meningkatkan mutu
kehidupan seseorang yang akan berlanjut pada pembangunan suatu bangsa ke
arah yang lebih baik. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 11 menyebutkan bahwa jenjang pendidikan
formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi. Selanjutnya, bagian kedua pasal 17 tentang Pendidikan Dasar Ayat 1-2
menyebutkan bahwa pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang
melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk sekolah
dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau
bentuk lainnya yang sederajat.
Pada bagian ketiga pasal 18 tentang Pendidikan Menengah Ayat 1-3
menyebutkan bahwa pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan
dasar. Beberapa jenis pendidikan menengah mempersiapkan seseorang memiliki
keterampilan tertentu untuk dipersiapkan langsung ke lapangan kerja,
bentuk-bentuk sekolah menengah ialah Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), dan Sekolah Kejuruan seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
dan Madrasah Aliyah Kejuruan atau bentuk lain yang sederajat. Dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab V
pasal 15 Ayat 1 menyebutkan bahwa Pendidikan menengah diselenggarakan
untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mangadakan
hubungan timbal balik dengan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat
mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan
tinggi.
Pendidikan menengah diselenggarakan untuk mengembangkan potensi
individu yang telah ada sebelumnya. Pendidikan menengah mengarahkan siswa
untuk menghadapi tantangan yang lebih besar guna meningkatkan kemampuan
individu, baik untuk persiapan bekerja, maupun untuk meningkatkan status sosial
dalam masyarakat. Namun demikian, kendala biaya merupakan masalah yang
kerap kali terjadi pada keluarga untuk memutuskan apakah akan melanjutkan
sekolah anak hingga jenjang menengah atau tidak. Hasil penelitian Rout (2008)
dalam Journal of Health Management mengemukakan bahwa biaya untuk
sekalipun keluarga tersebut tergolong keluarga miskin, namun mahalnya biaya
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dapat membebani keluarga lebih
besar daripada pendidikan dasar. Hal tersebut dapat dilihat pula dari hasil
penelitian Septiana (2010) tentang Remaja Putus Sekolah usia SMA di Provinsi
Jawa Timur yang memperlihatkan hasil tingginya angka putus sekolah di lokasi
penelitian yang diakibatkan beberapa faktor yaitu biaya, lokasi tempat tinggal,
besar keluarga, jenis kelamin, dan pendidikan kepala keluarga.
Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan
Salah satu faktor yang sangat penting dalam memengaruhi kualitas hidup
individu dalam keluarga ialah pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang dapat
dilihat dari jenis pendidikan yang pernah dialami atau lamanya mengikuti
pendidikan formal atau non-formal. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1991)
tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan memengaruhi dan membentuk
cara, pola, dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadiannya
yang semua itu merupakan bagian integral sebagai bekal dalam berkomunikasi.
Persepsi merupakan suatu proses meningterpretasikan
rangsangan-rangsangan yang diterima menjadi suatu gambaran yang berarti dan lengkap
tentang dunianya (Schiffman dan Kanuk 2000). Sriyani, Muflikhati, dan Fatchiya
(2006) dalam penelitiannya mengenai persepsi nelayan tentang pendidikan
formal di Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah
menyatakan bahwa persepsi nelayan tentang pendidikan formal dapat diperoleh
dari lima variabel seperti: arti penting sekolah, manfaat sekolah, manfaat sekolah
tinggi, biaya pendidikan dan peningkatan status sosial melalui pendidikan formal.
Lebih lanjut penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki
tingkat persepsi yang tinggi terhadap pendidikan formal. Hal ini disebabkan
karena responden menganggap pendidikan penting bagi kehidupan
anak-anaknya kelak, karena dengan sekolah maka seseorang akan lebih dihormati
oleh masyarakat dan mampu mendapatkan kehidupan yang baik.
Persepsi pentingnya pendidikan dipengaruhi pula oleh tingkat pendidikan
orangtua. Suryawati (2002) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa
orangtua masih ragu-ragu untuk menyekolahkan anak-anaknya karena sebagian
besar orangtua tidak pernah duduk di bangku sekolah atau tidak selesai
sekolahnya, orangtua dengan pendidikan yang rendah berpandangan sempit
terhadap pendidikan dan lebih mengutamakan anak bekerja daripada
11
Hasil penelitian Permatasari (2010) menunjukkan bahwa sebagian besar
orang tua contoh memiliki persepsi yang tinggi terhadap tingkat kepentingan
pendidikan, memiliki tingkat pendapatan keluarga dan pendidikan orangtua yang
tinggi. Sementara itu Barada (2008) menganalisis persepsi orangtua terhadap
pendidikan anak pada masyarakat petani di Kabupaten Banjar. Hasil penelitian
ini menunjukan bahwa kebanyakan petani lebih memilih pendidikan yang bersifat
agama dan kemasyarakatan daripada pendidikan formal, karena dalam proses
menempuh pendidikan formal mereka terkendala berbagai masalah yang
membuat anak petani kebanyakan mengalami putus sekolah karena masalah
biaya, pendidikan orangtua pun berpengaruh terhadap persepsinya tentang
pentingnya pendidikan bagi anak.
Alokasi Pengeluaran Uang untuk Pendidikan Anak
Manusia berinvestasi dengan cara yang beranekaragam. Investasi pun
memiliki bentuk yang bermacam-macam. Investasi berupa pendidikan adalah
salah satu investasi yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
keluarga. Bryant (1990) menyatakan bahwa bentuk investasi dalam keluarga
yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas anak dalam rangka
pembentukan Sumberdaya Manusia yang berkualitas adalah waktu dan
pendapatan. Hartoyo (1998) mengemukakan bahwa Investasi orang tua dalam
bentuk uang adalah semua pendapatan keluarga yang digunakan untuk
kebutuhan anak dalam rangka meningkatkan kualitas anak. Investasi uang pada
anak digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pangan.
Menurut Bryant dan Zick (2006) investasi pada anak terdiri dari dua
komponen, yaitu nilai uang dan jasa (makanan, pakaian, rumah, transportasi,
pendidikan, dan perawatan kesehatan) dan nilai waktu (seperti waktu yang
dihabiskan orangtua, khususnya ibu untuk membesarkan anak baik melalui
perawatan ataupun pemeliharaan). Alokasi pengeluaran untuk pendidikan
merupakan salah satu bentuk cermin investasi untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya keluarga. Alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak meliputi: SPP,
uang untuk membeli buku sekolah, pakaian seragam, uang BP3, dan lain-lain
(Syarief 1997).
Suryawati (2002) dalam hasil penelitiannya menunjuakan
variabel-variabel yang memengaruhi alokasi pengeluaran keluarga untuk pendidikan anak
adalah besar keluarga, jumlah anak sekolah, tingkat pendidikan ibu dan tingkat
meneliti tentang alokasi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan
menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan orang tua
dengan alokasi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan keluarga, orang
tua yang pendidikannya tinggi, semakin perhatian pula terhadap pendidikan dan
kesehatan anggota keluarganya dibandingkan yang berpendidikan rendah.
Tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi nilai-nilai yang
dianutnya, cara berpikir, cara pandang, bahkan persepsi terhadap suatu masalah
(Sumarwan 2004).
Keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang banyak akan
menurunkan proporsi pengeluaran untuk pendidikan. Menurut Tjokrowinoto
(1984) keluarga dengan jumlah anak terlalu banyak menyebabkan pendidikan
dan pengasuhan anak menjadi terlantar. Hal tersebut dikarenakan penggunaan
uang yang dimiliki keluarga telah habis untuk pemenuhan kebutuhan seluruh
KERANGKA PEMIKIRAN
Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil yang memiliki peranan
penting dalam membentuk dan membina sumber daya manusia yang berkualitas,
begitu pula pada keluarga petani di perkotaan. Seperti pada keluarga lainnya,
keluarga petani melakukan investasi untuk meningkatkan kualitas sumberdaya
keluarga. Salah satu bentuk investasi yang dilakukan keluarga petani ialah
investasi pendidikan. Pendidikan terdiri dari tiga jenjang, yaitu pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan menengah merupakan
lanjutan dari pendidikan dasar. Pendidikan menengah sangat penting
dilaksanakan sebagai sarana pengembangan potensi anak. Namun, dalam
pelaksanaannya, pendidikan menengah membutuhkan biaya yang mahal dan
memberatkan keluarga, sehingga hal tersebut akan memengaruhi persepsi
pentingnya pendidikan menengah.
Persepsi pentingnya pendidikan menengah bagi anak dapat dipengaruhi
oleh karakteristik keluarga seperti jumlah anggota keluarga, usia orang tua,
pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua dan pendapatan per kapita. Persepsi
pentingnya pendidikan akan memengaruhi perilaku investasi keluarga dalam hal
pendidikan yang tercermin dalam alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak.
Dana pendidikan yang dikeluarkan oleh orang tua untuk pendidikan anak
dipengaruhi oleh karakteristik keluarga dan persepsi orang tua tentang
pendidikan. Orang tua dengan persepsi yang baik tentang pentingnya pendidikan
bagi anak akan lebih memerhatikan kebutuhan anak-anaknya dalam hal
pendidikan dengan memenuhi biaya pendidikan dan menyediakan
fasilitas-fasilitas pendukung yang memadai. Alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak
merupakan salah satu bentuk investasi yang digunakan untuk meningkatkan
kualitas anak sehingga dapat meningkatkan sumber daya keluarga.
Secara ringkas, hubungan antara variabel-variabel yang mempengaruhi
Keterangan : = variabel yang diteliti
= variabel yang tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluarga Petani di Kota Bogor
Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan
Menengah Karakteristik Keluarga
‐Usia suami dan istri ‐ Pendidikan suami dan istri ‐ Pekerjaan suami dan istri ‐ Besar keluarga
‐Jumlah anak sekolah ‐Tipe Keluarga
‐Jenjang pendidikan anak ‐ Pendapatan per kapita ‐Aset
Alokasi Pengeluaran untuk
METODE PENELITIAN
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dengan metode
survey di Kelurahan Kertamaya, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan data BPS
Kota Bogor tahun 2010, karena Kelurahan Kertamaya memiliki jumlah rumah
tangga petani terbanyak di Kecamatan Bogor Selatan. Waktu pengambilan data
dilaksanakan pada bulan Mei 2012.
Contoh dan Metode Penarikan Contoh
Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga petani yang memiliki anak
usia 6-18 tahun di Kelurahan Kertamaya. Metode penarikan contoh dilakukan
dengan cara non probability sampling dengan contoh sebanyak 60 keluarga.
Populasi keluarga petani diketahui yaitu sebanyak 172 keluarga, namun tidak
tersedia data keluarga petani yang memiliki anak usia 6-18 tahun. Sehingga
contoh diambil secara purposive sesuai dengan kriteria penelitian dan yang
bersedia diwawancarai. Responden berasal dari 5 RW yang memiliki jumlah
keluarga petani terbanyak, yaitu RW 1, 2, 3, 4, dan 8. Responden penelitian ini
adalah ibu/istri dari keluarga petani.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data primer pada penelitian diambil dari contoh yang merupakan
keluarga petani yang berada di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Dalam
penelitian ini data primer diperoleh langsung dari contoh seperti karakteristik
keluarga petani, persepsi tentang pendidikan menengah, dan alokasi
pengeluaran untuk pendidikan anak yang dikumpulkan dengan teknik wawancara
menggunakan alat bantu kuesioner sebagai panduan pertanyaan. Karakteristik
keluarga petani terdiri dari usia suami istri, besar keluarga, tipe keluarga, jumlah
anak sekolah, jenjang pendidikan anak, pendidikan suami istri, pekerjaan suami
dan istri, jenjang pendidikan anak, dan aset. Data sekunder adalah data yang
dikumpulkan atau diolah oleh pihak lain, meliputi keadaan umum wilayah
penelitian dan data kependudukan yang diperoleh dari instansi terkait seperti
Kantor Kecamatan dan Badan Pusat Statistik Kota Bogor. Variabel yang diteliti
Tabel 1 Jenis data, variabel, skala data, dan pengkategorian data
Variabel Skala Data Kategori
Data Primer [2] Keluarga sedang (5-7 orang) [3] Keluarga besar (>7 orang) Tipe keluarga Nominal [1] Keluarga inti (nuclear family)
[2] Keluarga luas (extended family)
Jumlah anak sekolah (orang) Rasio [1] Satu orang [3] Tiga orang
[2] Dua orang [4] Empat orang
2. Karakteristik sosial ekonomi keluarga
Pendidikan suami (tahun) Rasio [0] Tidak sekolah (0 tahun) Pendidikan istri (tahun) Rasio [1] SD/sederajat (1-6 tahun)
[2] SMP/sederajat (7-9 tahun) [3] SMA/sederajat (10-12 tahun) Status usaha petani Nominal [1] Buruh tani
[2] Petani penggarap [3] Petani pemilik Pekerjaan istri Nominal [1] Petani
[2] Pedagang/wirausaha
[3] Ibu rumah tangga [4] Buruh
Pendapatan perkapita Rasio [1] <Rp278.530 [2] ≥Rp278.530 3. Persepsi tentang pendidikan
menengah (skor)
Rasio [1] Kurang (<40)
[2] Sedang (41-60) [3] Baik (>61) 4. Alokasi pengeluaran untuk
pendidikan anak (rupiah dan persentase)
Rasio
Data Sekunder
1. Gambaran umum lokasi penelitian
17
Pengukuran Data
Kuesioner persepsi orang tua tentang pendidikan menengah yang
digunakan untuk mengukur persepsi orang tua terhadap pendidikan menengah
(SMA) diadopsi dari Puspitawati (2009), yang dimodifikasi oleh peneliti.
Kuesioner persepsi orangtua tentang pendidikan menengah memiliki 20
pertanyaan dan diukur menggunakan skala likert. Tiap pernyataan memiliki
pilihan jawaban: sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju, dan sangat setuju. Pada
pernyataan positif, skor (1) untuk jawaban sangat tidak setuju, (2) tidak setuju, (3)
setuju, (4) sangat setuju. Sebaliknya, pada pernyataan negatif, skor (1) untuk
jawaban sangat setuju, (2) setuju, (3) tidak setuju, (4) sangat tidak setuju. Dalam
pengukuran persepsi orangtua tentang pendidikan menengah skor total dijumlah,
sehingga diperoleh skor total minimum yaitu 20, sedangkan skor total maksimum
yaitu 80. Kemudian total skor dikelompokan menjadi tiga kategori berdasarkan
interval, digunakan rumus :
Keterangan : = Interval
Berdasarkan rumus di atas, diketahui besar interval kelas yang digunakan
pada variabel persepsi orangtua tentang pendidikan menengah. Sehingga
didapat tiga kategori persepsi orangtua tentang pendidikan menengah, yaitu:
kurang (≤40), sedang (41-60), dan baik (≥61).
Pengolahan dan Analisis Data
Data-data yang diperoleh terlebih dahulu diolah melalui tahapan editing,
coding, scoring, entry, cleaning data, dan analisis data. Pengolahan dan analisis
data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel for Windows 2007
dan dilanjutkan dengan analisis menggunakan Statistical Program for Social
Science (SPSS) versi 16 for windows. Selanjutnya untuk menjawab tujuan, data dianalisis menggunakan :
1. Analisis deskriptif, digunakan untuk menggambarkan karakteristik keluarga,
persepsi orangtua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran
2. Uji korelasi pearson, digunakan untuk mengetahui hubungan antara
variabel-variabel yang diteliti.
3. Uji beda Independent sample t-test digunakan untuk membedakan persepsi
pendidikan menengah antara ibu bekerja dan tidak bekerja, keluarga yang
memiliki anak SMA dan tidak memiliki anak SMA, keluarga yang memiliki
anak putus sekolah dan keluarga yang tidak memiliki anak putus sekolah.
4. Uji beda anova digunakan untuk membedakan persepsi pendidikan
menengah antara petani pemilik, petani penggarap, dan buruh tani.
5. Uji regresi linear berganda, digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan
alokasi pengeluaran untuk pendidikan, pendidikan orangtua, seperti usia
orang tua, pendidikan, pekerjaan, besar keluarga, serta pendapatan
keluarga. Berikut adalah model persamaan regresi linear :
a. Rumus yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap persepsi orang tua tentang pendidikan
menengah :
Y1= α+β1X1+β2X2+β3X3+β4X4+β5X5+β6X6+β7X7+e
b. Rumus yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran untuk pendidikan :
Y2=α+β1X1+β2X2+β3X3+β4X4+β5X5+β6X6+β7X7+β8X8+e Keterangan :
Y1 = persepsi orangtua tentang pendidikan menengah (skor)
Y2 = alokasi pengeluaran untuk pendidikan (rupiah/anak/bulan)
α = konstanta regresi
β = koefisien regresi
X1 = usia istri (tahun)
X2 = pendidikan istri (tahun)
X3 = pekerjaan istri ((0=tidak bekerja, 1=bekerja)
X4 = status petani (1=buruh tani, 2=petani penggarap, 3=petani pemilik)
X5 = jumlah anak sekolah (orang)
X6 = besar keluarga (orang)
X7 = pendapatan per kapita (rupiah/kapita/bulan)
X8 = persepsi pendidikan menengah (skor)
e = error
Definisi Operasional
Petani adalah orang yang memiliki pekerjaan utama sebagai petani
19
Petani penggarap adalah petani penyewa yang aktif mengelola lahan pertanian karena golongan ini mengerjakan usaha tani dari sejak persemaian, olah
tanah, tanam, pemupukan, hingga panen. Petani penggarap juga bisa
disebut petani pemaro atau bagi hasil.
Buruh tani adalah orang yang bekerja sebagai petani dan bekerja untuk sawah orang lain, yang nantinya akan memperoleh upah dari pemilik sawah.
Karakteristik keluarga adalah keadaan keluarga yang meliputi pendapatan keluarga, pendidikan, pekerjaan dan usia orang tua.
Usia adalah tingkatan masa hidup seseorang yang dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu (1) dewasa awal (19-40 tahun); (2) usia pertengahan
(41-60 tahun); (3) lanjut usia (≥61 tahun).
Pendidikan adalah lamanya bangku sekolah yang pernah dilalui orangtua. Tingkat pendidikan diklasifikasikan dalam tidak sekolah (0 tahun),
Sekolah Dasar (1-6 tahun), Sekolah Menengah Pertama/sederajat (7-9
tahun), Sekolah Menengah Atas/sederajat (10-12 tahun).
Pekerjaan adalah aktivitas produktif baik bersifat komersial maupun tidak, yang dilakukan oleh seseorang yang berumur 15 tahun ke atas sesuai kriteria
BKKBN (1998), dan di mana sebagian besar waktu digunakan untuk
bekerja dalam mendapatkan penghasilan.
Besar keluarga adalah jumlah total dari anggota keluarga contoh yang terdiri dari suami, isteri, anak, orangtua, mertua, dan lainnya yang tinggal dalam
satu rumah. Besar keluarga dapat dikategorikan berdasarkan jumlah,
yaitu: kecil (<4 orang), sedang (5-7 orang), besar (>7 orang).
Jumlah anak sekolah adalah banyaknya anak sekolah yang dimiliki keluarga. Pendapatan per kapita adalah hasil pembagian total pendapatan keluarga per
bulan dengan jumlah anggota keluarga.
Pendapatan keluarga adalah total uang yang diterima keluarga dari seluruh anggota yang bekerja dan memperoleh upah baik melalui pekerjaan
utama maupun sampingan yang dihitung perbulan dalam rupiah.
Persepsi orangtua tentang pendidikan menengah adalah pandangan istri dalam menilai penting atau tidaknya pendidikan menengah.
Alokasi pengeluaran untuk Pendidikan adalah sejumlah uang yang dikeluarkan oleh keluarga dalam waktu satubulan/tahun untuk biaya
21
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kelurahan Kertamaya adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Bogor
Selatan, Provinsi Jawa Barat. Luas Kelurahan Kertamaya ialah 360 ha/m2.
Secara administratif Kelurahan Kertamaya terdiri dari 9 RW dan 25 RT (Lampiran
1). Lahan pertanian yang meliputi lahan sawah dan perkebunan seluas 30 ha/m2.
Lahan pertanian tersebut terdiri dari berbagai macam jenis tanaman yaitu jagung,
singkong, kacang panjang, padi, ubi kayu, tomat, mentimun, buncis, talas,
pepaya, dengan komoditas unggulan yaitu singkong, pepaya, dan mentimun.
Para petani biasanya menjual langsung ke konsumen, pasar, KUD, tengkulak,
lumbang desa, dan pengecer.
Dari data tahun 2011, jumlah penduduk Kelurahan Kertamaya adalah
4.958 orang yang terdiri dari 2.539 laki-laki dan 2.419 perempuan dengan 1.301
kepala keluarga. Kelurahan Kertamaya merupakan kelurahan dengan keluarga
petani terbanyak di Kecamatan Bogor Selatan, yaitu sebanyak 172 keluarga.
Sebanyak 16 keluarga memiliki lahan pertanian lebih dari satu hektar, keluarga
yang memiliki lahan pertanian kurang dari satu hektar sebanyak 55 keluarga,
sedangkan 101 keluarga tidak memiliki lahan pertanian. Jumlah buruh tani di
Kelurahan Kertamaya sebanyak 412 orang yang terdiri dari 387 laki-laki dan 25
perempuan, sedangkan petani penggarap sebanyak 296 orang yang terdiri dari
284 laki-laki dan 12 perempuan. Jumlah anak sekolah dan putus sekolah di
Kelurahan Kertamaya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah anak sekolah dan putus sekolah berdasarkan tingkat pendidikan di Kelurahan Kertamaya tahun 2010
Tingkat Pendidikan Sekolah Putus Sekolah
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Sekolah Dasar (SD) 301 227 47 51
Sekolah Menengah Pertama (SMP) 259 213 78 62
Sekolah Menengah Atas (SMA) 183 157 214 164
Sumber : Data Profil Kelurahan Kertamaya, tahun 2011
Fasilitas pendidikan yang terdapat di Keluarahan Kertamaya antara lain
dua Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), satu TPA yang dikelola oleh kelurahan,
satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) yang dikelola oleh pemerintah dan dua
Sekolah Islam Ibtidyah. Tidak terdapat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
Karakteristik Usaha Tani
Luas lahan yang dimiliki oleh keluarga dengan status petani pemilik
berkisar antara 700 m2 hingga 2 hektar, begitu juga dengan luas lahan yang
digarap oleh petani penggarap dan buruh tani. Petani yang berstatus sebagai
buruh tani bekerja pada lahan pertanian yang cukup luas. Petani pemilik yang
memiliki lahan pertanian di atas 1 hektar biasanya menggunakan jasa buruh tani
untuk mengolah lahannya, dengan memberikan upah harian, mingguan, ataupun
bulanan. Upah harian buruh tani berkisar antara Rp15.000-Rp25.000.
Sedangkan petani penggarap mendapatkan penghasilan dengan kisaran yang
tidak menentu, karena petani penggarap mendapatkan penghasilan setiap kali
panen, tergantung jenis tanaman dan lama masa panennya.
Petani pemilik pada umumnya sudah memiliki alat-alat pertanian modern,
seperti seeder, air sprayer, traktor, mesin penumbuk, mesin penggiling, mesin
penghancur biji, dan sebagainya. Sebagian dari pertani pemilik memiliki home
industry, seperti pabrik pembuat keripik singkong dan pembuat obat-obatan tradisional. Jenis tanaman yang banyak ditanam oleh responden ialah singkong,
pepaya, ubi, padi, ketimun, jagung, cabai, dan jahe. Petani pemilik maupun
penggarap tanggap terhadap kendala cuaca yang menjadi penghalang
berhasilnya panen. Kemarau panjang terkadang membuat petani harus
mengganti tanaman yang ditanam.
Petani pemilik dan penggarap di lokasi penelitian cukup kreatif dalam
mengatasi kendala lahan pertanian yang semakin menyempit, dengan
mengoptimalisasikan lahan yang ada, seperti mengembangkan tanaman
hidroponik dan hortikultura. Petani pemilik dan penggarap biasanya giat mencari
informasi tentang bibit yang baik, waktu panen yang tepat, dan ikut serta dalam
pelatihan-pelatihan pertanian untuk meningkatkan pengetahuan tentang
pertanian. Petani pemilik tidak setiap hari terlibat langsung dalam mengolah
lahan pertaniannya, sehingga petani pemilik biasanya memiliki waktu lebih untuk
bekerja di sektor lain ataupun mengurus industri rumahan mereka. Sementara
itu, buruh tani di lokasi penelitian bekerja seharian penuh, sehingga buruh tani
biasanya tidak memiliki waktu untuk mencari pekerjaan lain di samping pekerjaan
23
Karakteristik Keluarga
Usia Suami dan Istri
Usia suami dan istri dalam penelitian ini mengacu pada Hurlock (1980), di
mana usia dewasa dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: dewasa awal
(18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa tua (>61 tahun). Tabel 3
menunjukkan bahwa hampir tiga perempat keluarga (71,7%) memiliki suami
pada usia dewasa madya. Berbeda dengan usia suami, lebih dari separuh
keluarga (51,70%) memiliki istri pada usia dewasa muda. Berdasarkan hal
tersebut dapat dikatakan bahwa usia suami dan istri berada pada usia produktif.
Tabel 3 Sebaran keluarga berdasarkan usia suami dan istri
Usia Suami Istri
Pendidikan Suami dan Istri
Pendidikan menjadi salah satu ukuran kemampuan berpikir seseorang,
pada umumnya semakin tinggi pendidikan, seseorang akan semakin baik dalam
berpikir dan mengatasi permasalahan dalam hidupnya. Pendidikan dasar
merupakan pendidikan yang terdiri dari enam tahun di sekolah dasar dan tiga
tahun di sekolah menengah pertama. Sementara itu, pendidikan menengah
merupakan kelanjutan pendidikan dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
lebih dari separuh keluarga (68,3%) memiliki suami dengan pendidikan Sekolah
Dasar/sederajat. Sama halnya dengan suami, lebih dari separuh keluarga
(65,0%) memiliki istri dengan pendidikan Sekolah Dasar/sederajat. Pendidikan
suami maupun istri pada umumnya hanya sampai sekolah dasar saja. Terdapat
5,0 persen dan 1,7 persen istri yang sama sekali tidak pernah sekolah. Suami
dan istri yang dapat menuntaskan hingga sekolah menengah atas hanya 5,0
persen dan 6,7 persen. Tidak ada suami dan istri dari keluarga contoh yang
mencapai tingkat pendidikan hingga perguruan tinggi. Hal tersebut menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan suami dan istri masih tergolong rendah. Rata-rata lama
pendidikan suami ialah 6,33 tahun, sedangkan rata-rata lama pendidikan istri
Tabel 4 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat pendidikan suami dan istri
Tingkat Pendidikan Suami Istri
n % n %
Melalui pendidikan yang tinggi diharapkan seorang kepala keluarga akan
mendapatkan pekerjaan yang baik. Suami adalah kepala keluarga yang bekerja
sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga (primary breadwinner). Seluruh
suami pada keluarga contoh memiliki pekerjaan sebagai petani. Status pekerjaan
suami sebagai petani dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu petani pemilik,
petani penggarap, dan buruh tani. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat
lebih dari separuh keluarga (56,7%) memiliki suami dengan status pekerjaan
sebagai buruh tani. Sisanya sebesar 28,3 persen dan 15,0 persen keluarga
memiliki suami dengan status pekerjaan sebagai petani penggarap dan petani
pemilik. Pekerjaan tambahan yang dimiliki suami selain bertani antara lain
menjadi tukang kayu, mengurus industri rumahan, menjadi kuli panggul, kuli
bangunan, supir “tembak”, ataupun dengan melakukan kegiatan pertanian
lainnya di luar pekerjaan utama.
Tabel 5 Sebaran keluarga berdasarkan status pekerjaan suami
Status Pekerjaan Jumlah (n) Persen (%)
Buruh tani 34 56,7
Petani penggarap 17 28,3
Petani pemilik 9 15,0
Total 60 100,0
Pekerjaan Istri
Pekerjaan istri merupakan pekerjaan utama yang dilakukan oleh istri.
Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pada umumnya seorang istri pun ikut
membantu menambah penghasilan keluarga. Tabel 6 menunjukan bahwa hampir
separuh keluarga (45,0%) memiliki istri yang tidak bekerja atau hanya sebagai
ibu rumah tangga. Sementara itu lebih dari seperempat keluarga (36,7%)
memiliki istri yang bekerja sebagai pedagang/berwirausaha. Istri yang bekerja
sebagai buruh tani dan buruh non-tani secara berturut-turut ialah sebesar 5,0
25
pembantu rumah tangga dan wiraswasta sebesar 11,7 persen. Beberapa istri
memiliki pekerjaan tambahan di samping pekerjaan utamanya, seperti menjadi
distributor pakaian dan makanan.
Tabel 6 Sebaran keluarga berdasarkan pekerjaan utama Istri
Status Pekerjaan Jumlah (n) Persen (%)
Tidak bekerja 27 45,0
Buruh tani 3 5,0
Buruh non-tani 1 1,7
Wirausaha/pedagang 22 36,7
Lainnya 7 11,7
Total 60 100,0
*lainnya : pembantu rumah tangga, wiraswasta
Tipe Keluarga
Tipe keluarga dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti (nuclear family)
dan keluarga luas (extended family). Keluarga inti merupakan keluarga yang
terdiri dari ayah, ibu, dan anak, sedangkan keluarga luas merupakan keluarga
yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain seperti nenek, kakek,
menantu, cucu, dan lain-lain. Tabel 7 menunjukkan bahwa lebih dari tiga
perempat keluarga (76,7%) merupakan keluarga inti.
Tabel 7 Sebaran keluarga berdasarkan tipe keluarga
Tipe Keluarga Jumlah (n) Persen (%)
Keluarga inti 46 76,7
Keluarga luas 14 23,3
Total 60 100,0
Besar Keluarga
Besar keluarga merupakan jumlah anggota keluarga yang masih menjadi
tanggungan orang tua. Menurut BKKBN (1995), besar keluarga dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan
keluarga besar (≥8 orang). Tabel 8 menunjukan bahwa lebih dari separuh
keluarga (55,0%) termasuk dalam kategori keluarga sedang (5-7 orang).
Dari hasil wawancara di lapang masih banyak keluarga yang belum
melaksanakan program Keluarga Berencana, terutama keluarga dengan usia
suami dan istri pada kategori dewasa tua cenderung masih memiliki banyak
anak. Meskipun demikian, anak mereka yang sudah memiliki keluarga sendiri
tidak tinggal satu rumah lagi karena sudah membentuk keluarga masing-masing.
Sementara itu, keluarga yang memiliki usia suami dan istri yang lebih muda
mereka berusaha membatasi kelahiran dengan menggunakan fasilitas-fasilitas
KB yang tersedia dan memeriksakan diri secara rutin ke pusat kesehatan
masyarakat terdekat.
Tabel 8 Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarga
Besar Keluarga Jumlah (n) Persen (%)
Jumlah anak sekolah merupakan banyaknya anak yang masih sekolah
dalam keluarga. Anak usia sekolah yang dimiliki oleh setiap keluarga dalam
penelitian ini berbeda-beda, mulai dari satu anak hingga tiga orang anak sekolah.
Tabel 9 menunjukan terdapat lebih dari separuh keluarga (61,7%) memiliki anak
sekolah sebanyak satu orang. Sementara itu, terdapat lebih dari seperempat
keluarga (35,0%) memiliki anak sekolah sebanyak dua orang. Hanya 3,3 persen
keluarga contoh yang memiliki anak sekolah sebanyak tiga orang.
Tabel 9 Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anak sekolah
Jumlah Anak Sekolah Jumlah (n) Persen (%)
Satu 37 61,7
Jenjang pendidikan formal terdiri dari pendidikan dasar yang meliputi
jenjang Sekolah Dasar (SD/sederajat) dan Sekolah Menengah Pertama
(SMP/sederajat), serta pendidikan menengah yang merupakan jenjang Sekolah
Menengah Atas (SMA/sederajat). Pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa anak
putus sekolah jenjang SD dan SMP hanya (4,4%) dan (17,1%). Jumlah tersebut
lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah anak sekolah jenjang SMA yang
mengalami putus sekolah. Lebih dari separuh anak SMA (64,9%) yang dimiliki
oleh keluarga mengalami putus sekolah, sisanya sebanyak 35,1 persen masih
berstatus sebagai pelajar SMA. Hal ini dikarenakan biaya sekolah jenjang