• Tidak ada hasil yang ditemukan

   

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kelurahan Kertamaya adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Bogor

Selatan, Provinsi Jawa Barat. Luas Kelurahan Kertamaya ialah 360 ha/m2.

Secara administratif Kelurahan Kertamaya terdiri dari 9 RW dan 25 RT (Lampiran

1). Lahan pertanian yang meliputi lahan sawah dan perkebunan seluas 30 ha/m2.

Lahan pertanian tersebut terdiri dari berbagai macam jenis tanaman yaitu jagung, singkong, kacang panjang, padi, ubi kayu, tomat, mentimun, buncis, talas, pepaya, dengan komoditas unggulan yaitu singkong, pepaya, dan mentimun. Para petani biasanya menjual langsung ke konsumen, pasar, KUD, tengkulak, lumbang desa, dan pengecer.

Dari data tahun 2011, jumlah penduduk Kelurahan Kertamaya adalah 4.958 orang yang terdiri dari 2.539 laki-laki dan 2.419 perempuan dengan 1.301 kepala keluarga. Kelurahan Kertamaya merupakan kelurahan dengan keluarga petani terbanyak di Kecamatan Bogor Selatan, yaitu sebanyak 172 keluarga. Sebanyak 16 keluarga memiliki lahan pertanian lebih dari satu hektar, keluarga yang memiliki lahan pertanian kurang dari satu hektar sebanyak 55 keluarga, sedangkan 101 keluarga tidak memiliki lahan pertanian. Jumlah buruh tani di Kelurahan Kertamaya sebanyak 412 orang yang terdiri dari 387 laki-laki dan 25 perempuan, sedangkan petani penggarap sebanyak 296 orang yang terdiri dari 284 laki-laki dan 12 perempuan. Jumlah anak sekolah dan putus sekolah di Kelurahan Kertamaya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah anak sekolah dan putus sekolah berdasarkan tingkat pendidikan di Kelurahan Kertamaya tahun 2010

Tingkat Pendidikan Sekolah Putus Sekolah

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

Sekolah Dasar (SD) 301 227 47 51

Sekolah Menengah Pertama (SMP) 259 213 78 62

Sekolah Menengah Atas (SMA) 183 157 214 164

Sumber : Data Profil Kelurahan Kertamaya, tahun 2011

Fasilitas pendidikan yang terdapat di Keluarahan Kertamaya antara lain dua Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), satu TPA yang dikelola oleh kelurahan, satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) yang dikelola oleh pemerintah dan dua Sekolah Islam Ibtidyah. Tidak terdapat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di wilayah Kelurahan Kertamaya.

 

Karakteristik Usaha Tani

Luas lahan yang dimiliki oleh keluarga dengan status petani pemilik

berkisar antara 700 m2 hingga 2 hektar, begitu juga dengan luas lahan yang

digarap oleh petani penggarap dan buruh tani. Petani yang berstatus sebagai buruh tani bekerja pada lahan pertanian yang cukup luas. Petani pemilik yang memiliki lahan pertanian di atas 1 hektar biasanya menggunakan jasa buruh tani untuk mengolah lahannya, dengan memberikan upah harian, mingguan, ataupun bulanan. Upah harian buruh tani berkisar antara Rp15.000-Rp25.000. Sedangkan petani penggarap mendapatkan penghasilan dengan kisaran yang tidak menentu, karena petani penggarap mendapatkan penghasilan setiap kali panen, tergantung jenis tanaman dan lama masa panennya.

Petani pemilik pada umumnya sudah memiliki alat-alat pertanian modern,

seperti seeder, air sprayer, traktor, mesin penumbuk, mesin penggiling, mesin

penghancur biji, dan sebagainya. Sebagian dari pertani pemilik memiliki home

industry, seperti pabrik pembuat keripik singkong dan pembuat obat-obatan tradisional. Jenis tanaman yang banyak ditanam oleh responden ialah singkong, pepaya, ubi, padi, ketimun, jagung, cabai, dan jahe. Petani pemilik maupun penggarap tanggap terhadap kendala cuaca yang menjadi penghalang berhasilnya panen. Kemarau panjang terkadang membuat petani harus mengganti tanaman yang ditanam.

Petani pemilik dan penggarap di lokasi penelitian cukup kreatif dalam mengatasi kendala lahan pertanian yang semakin menyempit, dengan mengoptimalisasikan lahan yang ada, seperti mengembangkan tanaman hidroponik dan hortikultura. Petani pemilik dan penggarap biasanya giat mencari informasi tentang bibit yang baik, waktu panen yang tepat, dan ikut serta dalam pelatihan-pelatihan pertanian untuk meningkatkan pengetahuan tentang pertanian. Petani pemilik tidak setiap hari terlibat langsung dalam mengolah lahan pertaniannya, sehingga petani pemilik biasanya memiliki waktu lebih untuk bekerja di sektor lain ataupun mengurus industri rumahan mereka. Sementara itu, buruh tani di lokasi penelitian bekerja seharian penuh, sehingga buruh tani biasanya tidak memiliki waktu untuk mencari pekerjaan lain di samping pekerjaan utamanya.

23   

   

Karakteristik Keluarga Usia Suami dan Istri

Usia suami dan istri dalam penelitian ini mengacu pada Hurlock (1980), di mana usia dewasa dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa tua (>61 tahun). Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir tiga perempat keluarga (71,7%) memiliki suami pada usia dewasa madya. Berbeda dengan usia suami, lebih dari separuh keluarga (51,70%) memiliki istri pada usia dewasa muda. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa usia suami dan istri berada pada usia produktif.

Tabel 3 Sebaran keluarga berdasarkan usia suami dan istri

Usia Suami Istri

n % n %

Dewasa muda (18-40 tahun) 15 25,0 31 51,7

Dewasa madya (41-60 tahun) 43 71,7 29 48,3

Dewasa tua (>60 tahun) 2 3,3 0 0,0

Total 60 100,0 60 100,0

Min-max (tahun) 29 – 70 26 – 58

Rataan ± std. (tahun) 47,42 ± 9,42 41,55 ± 8,46 Pendidikan Suami dan Istri

Pendidikan menjadi salah satu ukuran kemampuan berpikir seseorang, pada umumnya semakin tinggi pendidikan, seseorang akan semakin baik dalam berpikir dan mengatasi permasalahan dalam hidupnya. Pendidikan dasar merupakan pendidikan yang terdiri dari enam tahun di sekolah dasar dan tiga tahun di sekolah menengah pertama. Sementara itu, pendidikan menengah merupakan kelanjutan pendidikan dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga (68,3%) memiliki suami dengan pendidikan Sekolah Dasar/sederajat. Sama halnya dengan suami, lebih dari separuh keluarga (65,0%) memiliki istri dengan pendidikan Sekolah Dasar/sederajat. Pendidikan suami maupun istri pada umumnya hanya sampai sekolah dasar saja. Terdapat 5,0 persen dan 1,7 persen istri yang sama sekali tidak pernah sekolah. Suami dan istri yang dapat menuntaskan hingga sekolah menengah atas hanya 5,0 persen dan 6,7 persen. Tidak ada suami dan istri dari keluarga contoh yang mencapai tingkat pendidikan hingga perguruan tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan suami dan istri masih tergolong rendah. Rata-rata lama pendidikan suami ialah 6,33 tahun, sedangkan rata-rata lama pendidikan istri ialah 6,07 tahun.

 

Tabel 4 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat pendidikan suami dan istri

Tingkat Pendidikan Suami Istri

n % n %

Tidak pernah sekolah (0 tahun) 3 5,0 1 1,7

SD/Sederajat (1-6 tahun) 41 68,3 39 65,0 SMP/Sederajat (7-9 tahun) 13 21,7 16 26,7 SMA/Sederajat (10-12 tahun) 3 5,0 4 6,6 Total 60 100,0 60 100,0 Min-Max (tahun) 0-12 0-12 Rataan + std. (tahun) 6,33 + 2,772 6,07 + 2,574 Pekerjaan Suami

Melalui pendidikan yang tinggi diharapkan seorang kepala keluarga akan mendapatkan pekerjaan yang baik. Suami adalah kepala keluarga yang bekerja

sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga (primary breadwinner). Seluruh

suami pada keluarga contoh memiliki pekerjaan sebagai petani. Status pekerjaan suami sebagai petani dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu petani pemilik, petani penggarap, dan buruh tani. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat lebih dari separuh keluarga (56,7%) memiliki suami dengan status pekerjaan sebagai buruh tani. Sisanya sebesar 28,3 persen dan 15,0 persen keluarga memiliki suami dengan status pekerjaan sebagai petani penggarap dan petani pemilik. Pekerjaan tambahan yang dimiliki suami selain bertani antara lain menjadi tukang kayu, mengurus industri rumahan, menjadi kuli panggul, kuli bangunan, supir “tembak”, ataupun dengan melakukan kegiatan pertanian lainnya di luar pekerjaan utama.

Tabel 5 Sebaran keluarga berdasarkan status pekerjaan suami

Status Pekerjaan Jumlah (n) Persen (%)

Buruh tani 34 56,7

Petani penggarap 17 28,3

Petani pemilik 9 15,0

Total 60 100,0

Pekerjaan Istri

Pekerjaan istri merupakan pekerjaan utama yang dilakukan oleh istri. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pada umumnya seorang istri pun ikut membantu menambah penghasilan keluarga. Tabel 6 menunjukan bahwa hampir separuh keluarga (45,0%) memiliki istri yang tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumah tangga. Sementara itu lebih dari seperempat keluarga (36,7%) memiliki istri yang bekerja sebagai pedagang/berwirausaha. Istri yang bekerja sebagai buruh tani dan buruh non-tani secara berturut-turut ialah sebesar 5,0 persen dan 1,7 persen. Pekerjaan lainnya yang dimiliki istri yaitu sebagai

25   

   

pembantu rumah tangga dan wiraswasta sebesar 11,7 persen. Beberapa istri memiliki pekerjaan tambahan di samping pekerjaan utamanya, seperti menjadi distributor pakaian dan makanan.

Tabel 6 Sebaran keluarga berdasarkan pekerjaan utama Istri

Status Pekerjaan Jumlah (n) Persen (%)

Tidak bekerja 27 45,0 Buruh tani 3 5,0 Buruh non-tani 1 1,7 Wirausaha/pedagang 22 36,7 Lainnya 7 11,7 Total 60 100,0

*lainnya : pembantu rumah tangga, wiraswasta

Tipe Keluarga

Tipe keluarga dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti (nuclear family)

dan keluarga luas (extended family). Keluarga inti merupakan keluarga yang

terdiri dari ayah, ibu, dan anak, sedangkan keluarga luas merupakan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain seperti nenek, kakek, menantu, cucu, dan lain-lain. Tabel 7 menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat keluarga (76,7%) merupakan keluarga inti.

Tabel 7 Sebaran keluarga berdasarkan tipe keluarga

Tipe Keluarga Jumlah (n) Persen (%)

Keluarga inti 46 76,7

Keluarga luas 14 23,3

Total 60 100,0

Besar Keluarga

Besar keluarga merupakan jumlah anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan orang tua. Menurut BKKBN (1995), besar keluarga dikelompokkan

menjadi tiga, yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan

keluarga besar (≥8 orang). Tabel 8 menunjukan bahwa lebih dari separuh

keluarga (55,0%) termasuk dalam kategori keluarga sedang (5-7 orang).

Dari hasil wawancara di lapang masih banyak keluarga yang belum melaksanakan program Keluarga Berencana, terutama keluarga dengan usia suami dan istri pada kategori dewasa tua cenderung masih memiliki banyak anak. Meskipun demikian, anak mereka yang sudah memiliki keluarga sendiri tidak tinggal satu rumah lagi karena sudah membentuk keluarga masing-masing. Sementara itu, keluarga yang memiliki usia suami dan istri yang lebih muda sudah memiliki kesadaran akan pentingnya Keluarga Berencana, sehingga

 

mereka berusaha membatasi kelahiran dengan menggunakan fasilitas-fasilitas KB yang tersedia dan memeriksakan diri secara rutin ke pusat kesehatan masyarakat terdekat.

Tabel 8 Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarga

Besar Keluarga Jumlah (n) Persen (%)

Keluarga kecil (<4 orang) 25 41,7

Keluarga sedang (5-6 orang) 33 55,0

Keluarga besar (>7 orang) 2 3,3

Total 60 100,0

Min-Max (orang) 3 – 8

Rataan ± SD 4,68 ± 1,02

Jumlah Anak Sekolah

Jumlah anak sekolah merupakan banyaknya anak yang masih sekolah dalam keluarga. Anak usia sekolah yang dimiliki oleh setiap keluarga dalam penelitian ini berbeda-beda, mulai dari satu anak hingga tiga orang anak sekolah. Tabel 9 menunjukan terdapat lebih dari separuh keluarga (61,7%) memiliki anak sekolah sebanyak satu orang. Sementara itu, terdapat lebih dari seperempat keluarga (35,0%) memiliki anak sekolah sebanyak dua orang. Hanya 3,3 persen keluarga contoh yang memiliki anak sekolah sebanyak tiga orang.

Tabel 9 Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anak sekolah

Jumlah Anak Sekolah Jumlah (n) Persen (%)

Satu 37 61,7

Dua 21 35,0

Tiga 2 3,3

Total 60 100,0

Rataan ± SD 1,42 ± 0,56

Tingkat Pendidikan Anak

Jenjang pendidikan formal terdiri dari pendidikan dasar yang meliputi jenjang Sekolah Dasar (SD/sederajat) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP/sederajat), serta pendidikan menengah yang merupakan jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA/sederajat). Pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa anak putus sekolah jenjang SD dan SMP hanya (4,4%) dan (17,1%). Jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah anak sekolah jenjang SMA yang mengalami putus sekolah. Lebih dari separuh anak SMA (64,9%) yang dimiliki oleh keluarga mengalami putus sekolah, sisanya sebanyak 35,1 persen masih berstatus sebagai pelajar SMA. Hal ini dikarenakan biaya sekolah jenjang pendidikan dasar tidak terlalu membebani keluarga, sementara biaya sekolah

27   

   

jenjang pendidikan menengah yang jauh lebih mahal dirasa sangat membebani keluarga.

Tabel 10 Sebaran anak responden berdasarkan status sekolah dan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan Sekolah Putus Sekolah

n % n %

Sekolah Dasar (SD) 43 95,5 2 4,4

Sekolah Menengah Pertama (SMP) 29 82,8 6 17,1 Sekolah Menengah Atas (SMA) 13 35,1 24 64,9

Berdasarkan hasil tabulasi silang antara pendapatan per kapita dengan jumlah anak sekolah dan anak putus sekolah yang dimiliki keluarga petani, didapatkan bahwa tiga puluh anak putus sekolah berasal dari keluarga yang memiliki pendapatan per kapita di bawah Garis Kemiskinan Kota Bogor tahun 2011 (<Rp278.530).

Tabel 11 Jumlah anak sekolah dan putus sekolah berdasarkan pendapatan per kapita

Pendapatan per kapita (Rp/bulan)

Sekolah Putus sekolah

n % n %

<Rp.278.530 53 63,86 30 36,14

≥Rp.278.530 32 94,11 2 5,80

Kepemilikan Aset

Aset dalam penelitiaan ini adalah sumberdaya materi yang dimiliki oleh keluarga dan bernilai ekonomi. Aset terdiri dari barang dan uang (tabungan). Aset keluarga dapat dikelompokkan menjadi aset kendaraan, barang berharga, barang elektronik, tabungan, dan ternak. Rumah merupakan salah satu aset yang tergolong barang berharga. Tabel 12 menunjukkan bahwa hampir seluruh keluarga (96,7%) memiliki rumah sendiri. Hanya 3,3 persen keluarga contoh yang tidak memiliki rumah sendiri. Hanya 3,3 persen keluarga yang masih tinggal di rumah orangtua.

Tabel 12 Sebaran keluarga berdasarkan status kepemilikan rumah Status kepemilikan rumah Jumlah (n) Persen (%)

Milik sendiri 58 96,7

Sewa 0 0,0

Orang tua 2 3,3

Lainnya 0 0,0

Total 60 100,0

Selain rumah, barang berharga lain yang banyak dimiliki oleh keluarga petani adalah tanah dan kebun dengan persentase masing-masing 60,0 persen dan 56,67 persen. Tanah berfungsi sebagai tabungan, jika suatu saat

 

membutuhkan uang, tanah tersebut dapat dijual. Alat transportasi yang paling banyak dimiliki keluarga contoh adalah motor, yaitu sebesar 60,0 persen. Barang elektronik yang paling banyak dimiliki ialah televisi (98,3%). Ternak yang paling banyak dimiliki keluarga contoh adalah ternak ayam, dengan persentase sebesar 68,3 persen. Seluruh keluarga contoh memiliki alat-alat pertanian tradisional, seperti cangkul, garu, arit, linggis, kapak, sedangkan hanya 13,3 persen keluarga contoh yang memiliki alat pertanian modern seperti mesin penghancur biji, mesin

penggiling, seeder dan mesin penumbuk, yang pada umumnya dimiliki oleh

petani pemilik. Tabel 13 menyajikan jenis-jenis aset yang dimiliki oleh keluarga petani.

Tabel 13 Jumlah keluarga berdasarkan kepemilikan aset

Jenis Aset Jumlah (n) Persen (%)

Alat trasportasi :

‐ Mobil 6 10,0

‐ Motor 36 60,0

‐ Sepeda 19 31,7

Alat pertanian :

‐ Alat pertanian tradisional 60 100,0

‐ Alat pertanian modern 8 13,3

Barang berharga : ‐ Rumah 58 96,6 ‐ Tanah 36 60,0 ‐ Kebun 34 56,6 ‐ Emas 23 38,3 ‐ Sawah 7 11,7 Barang elektronik : ‐ TV 59 98,3 ‐ Radio 23 38,3 ‐ Kulkas 28 46,6 ‐ VCD/DVD 32 53,3 ‐ Microwave 0 0,0 ‐ Kipas angin 17 28,3 ‐ Handphone 56 93,3 ‐ Komputer/laptop 5 8,3 ‐ Telepon 0 0,0 ‐ Mesin cuci 6 10,0 ‐ Rice cooker 27 36,6 Tabungan : ‐ Di bank 13 21,6 ‐ Di rumah 11 18,3 ‐ Dipinjam orang 1 1,6 Ternak : ‐ Kambing 22 36,6 ‐ Ayam 41 68,3 ‐ Bebek 5 8,3 ‐ Ikan 8 13,3

29   

   

Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga merupakan sejumlah uang yang diterima dari seluruh anggota keluarga yang bekerja. Tabel 14 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan keluarga sebesar Rp1.453.777,7. Proporsi terbesar terdapat pada rentang Rp1.000.000-Rp1.499.999 per bulan yaitu sebesar 38,3 persen. Hanya 18,30 persen keluarga yang memiliki pendapatan keluarga lebih dari Rp2.000.000.

Tabel 14 Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan keluarga Pendapatan (Rp/bulan) Jumlah (n) Persen (%)

< 500.000 0 0,0 500.000-999.999 19 31,7 1.000.000-1.499.999 23 38,3 1.500.000-2.000.000 7 11,7 > 2.000.000 11 18,3 Total 60 100,0 Min-Max (Rp/bulan) 575.000 – 5.166.666 Rataan ± SD (Rp/bulan) 1.453.777,7 ± 923.189,04

Berdasarkan sumber pendapatan keluarga, suami merupakan penyumbang materi terbesar dalam pendapatan keluarga. Tabel 15 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan suami sebagai petani adalah Rp1.076.416,55 per bulan. Dengan pendapatan utama sebagai petani sebesar itu diperkirakan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun non-pangan keluarga, sehingga kepala keluarga mencari sumber penghasilan lain di samping pekerjaannya sebagai petani. Sementara itu, sumberdaya keluarga yang lain pun ikut bekerja untuk menambah penghasilan keluarga.

Proporsi tertinggi kedua adalah pendapatan yang bersumber dari pekerjaan utama istri. Berdasarkan hasil wawancara. beberapa keluarga contoh memiliki istri yang aktif bekerja di samping pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga, baik dengan berwirausaha/berdagang, ataupun dengan menjadi buruh tani dan non-tani. Mengingat banyaknya pabrik dan perusahaan yang didirikan di perkotaan, sehingga peluang kerja bagi masyarakat perkotaan cenderung besar. Sementara itu, peran anak yang bekerja sangat membantu dalam perekonomian keluarga. Pada keluarga contoh, ditemukan banyak dari mereka yang tidak melanjutkan sekolah (hanya lulus SD/SMP/SMA saja) dan bekerja sebagai karyawan di perusahaan ataupun bekerja sebagai buruh pabrik. Biasanya anak yang bekerja ialah anak sulung yang masih memiliki beberapa adik lagi yang

 

masih sekolah, sehingga mereka harus membantu orang tua membiayai kebutuhan adik-adiknya.

Tabel 15 Rataan pendapatan berdasarkan sumber pendapatan keluarga Sumber

Pendapatan

Utama Tambahan Jumlah Rp % Rp % Rp % Suami 1.076.416,5 35,0 858.698,3 27,9 1.935.114,9 62,9

Istri 548.611,1 17,8 200.000,0 6,5 748.611,1 24,3

Anak 390.526,3 12,7 0,0 0,0 390.526,3 12,8

Total 2.015.553,9 65.5 1.058.692,38 34,4 3.074.252,33 100,0

Pendapatan Per Kapita

Pendapatan per kapita adalah pendapatan yang dihitung berdasarkan pendapatan seluruh anggota keluarga dibagi dengan jumlah seluruh anggota keluarga yang dinyatakan dalam rupiah/kapita/bulan. Pendapatan per kapita dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan Garis Kemiskinan BPS Kota Bogor tahun 2011. Tabel 16 menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga (61,7%) memiliki pendapatan per kapita <Rp278.530/bulan. Sedangkan sisanya (38,3%) berada di atas Garis Kemiskinan dengan pendapatan per kapita

≥Rp278.530/bulan. Hal tersebut menunjukan bahwa keluarga petani masih

banyak yang tergolong keluarga miskin.

Tabel 16 Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan per kapita Pendapatan Perkapita (Rp/bulan) Jumlah (n) Persen (%)

Miskin (< 278.530) 37 61,7

Tidak Miskin (≥278.530) 23 38,3

Total 60 100,0

Min-Max (Rp/bulan) 111.666 – 833.200

Rataan ± SD (Rp/bulan) 310.105 ± 164.568,50

Bantuan Dana yang Diterima Keluarga

Dana bantuan ialah sejumlah uang, ataupun jaminan investasi yang diberikan oleh pemerintah atau perusahaan tertentu untuk keluarga yang membutuhkan, terutama untuk keluarga miskin. Jenis bantuan dana bermacam-macam jenisnya, diantaranya yaitu PKH (Program Keluarga Harapan), BLT (Bantuan Langsung Tunai), Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), Askes (Asuransi Kesehatan), Asuransi Pendidikan, Askeskin, dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 18,3 persen keluarga yang menerima Dana Bantuan Langsung Tunai lima tahun terakhir ini, sementara itu hanya 1,7 persen keluarga contoh yang menginvestasikan sebagian dana untuk menerima

31   

   

bantuan berupa asuransi pendidikan di kemudian hari. Sebaran keluarga berdasarkan dana bantuan yang lain dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Sebaran keluarga berdasarkan dana bantuan yang diterima

Aset Jumlah (n) Persen (%)

PKH 5 8,3 BLT 11 18,3 Jamkesmas 10 16,7 Asuransi Kesehatan 2 3,3 Asuransi Pendidikan 1 1,7 Beasiswa 2 3,3 Askeskin 6 10,0

Tabungan untuk Pendidikan Anak

Keluarga menyimpan dana untuk pendidikan anak dengan berbagaimacam cara, namun pada Tabel 18 dapat terlihat sebanyak 68,3 persen keluarga tidak memiliki tabungan atau persiapan dana untuk pendidikan anak sama sekali dalam bentuk apapun. Hal tersebut dikarenakan himpitan ekonomi, yang menyebabkan keluarga lebih mengutamakan hal lain seperti kebutuhan pangan, dibandingkan dengan keperluan untuk dana pendidikan. Sebanyak 25,0 persen keluarga menyimpan dana pendidikan di rumah, sebanyak 5,0 persen menyimpan dana pendidikan dalam bentuk deposito, serta hanya 1,7 persen keluarga responden yang menggunakan jasa asuransi pendidikan.

Tabel 18 Sebaran keluarga berdasarkan kepemilikan tabungan untuk pendidikan

Tabungan Pendidikan Jumlah (n) Persen (%)

Tidak memiliki tabungan 41 68,3

Tabungan di rumah 15 25,0

Deposito 3 5,0

Asuransi Pendidikan 1 1,7

Total 60 100,0

Pengeluaran Keluarga

Tabel 19 menunjukkan rataan alokasi pengeluaran keluarga berdasarkan jenis pengeluaran. Jenis pengeluaran keluarga dibagi menjadi dua yaitu, pengeluaran untuk pangan dan non-pangan. Pengeluaran untuk pangan terdiri dari pengeluaran untuk bahan makanan pokok, protein hewani, kacang-kacangan, sayur-sayuran, buah-buahan, dan pangan lainnya.

Rataan pengeluaran keluarga contoh untuk pangan adalah Rp530.291,63 atau sebesar 39,76 persen dari total pengeluaran keluarga. Proporsi terbesar pengeluaran pangan keluarga terdapat pada pengeluaran untuk makanan pokok

 

(16,24%), diikuti dengan pengeluaran untuk kebutuhan lainnya seperti gula, garam, kopi, dan minyak goreng sebesar 9,48 persen, lalu kemudian kebutuhan akan sumber protein hewani (8,30%). Pengeluaran pangan yang paling sedikit ialah pengeluaran untuk sayur-sayuran (1,82%) dan untuk membeli buah-buahan (1,26%) hal ini dikarenakan keluarga contoh yang merupakan keluarga petani lebih memilih menanam tanaman sayur dan buah sendiri di pekarangan rumahnya, atau meminta pada tetangga yang memiliki kebun sendiri, dibandingkan dengan sengaja membeli sayur-mayur dan buah-buahan di pasar.

Berdsarkan perbandingan persentase antara alokasi pengeluaran untuk kebutuhan pangan dan non-pangan, dapat terlihat bahwa proporsi pengeluaran untuk kebutuhan non-pangan lebih besar daripada proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pangan. Hal ini dikarenakan keluarga petani adalah keluarga yang memproduksi bahan-bahan makanan mentah, seperti sayur-sayuran, buah-buahan, bahkan bahan makanan pokok utama yang mayoritas masyarakat konsumsi yaitu beras. Sehingga, untuk pengeluaran pangan, mereka pada umumnya mengambil dari hasil produksi mereka sendiri dan hanya sesekali membeli jika sedang tak ada persediaan.

Tabel 19 Rata-rata alokasi pengeluaran keluarga dan per kapita Jenis pengeluaran Rata-rata pengeluaran

keluarga (Rp/bulan)

Rata-rata pengeluaran

per kapita(Rp/kapita) %

Pangan

Makanan pokok 216.641,70 47.347,78 16,24

Sumber protein hewani 110.708,30 24.957,99 8,30

Kacang-kacangan 35.458,33 7.938,19 2,66 Sayuran 24.250,00 5.492,77 1,82 Buah-buahan 16.750,00 3.717,50 1,26 Lainnya 126.483,30 27.708,89 9,48 Total Pangan 530.291,63 117.163,12 39,76 Non pangan Pendidikan 319.914,26 84.842,69 23,98 Kesehatan 83.033,16 18.172,91 6,22

Pakaian dan alas kaki 15.980,00 3.552,29 1,19

Energi 128.706,70 29.068,89 9,65

Lainnya 255.758,30 56.800,42 19,20

Total non pangan 803.392,52 192.437.20 60,24

Total 1.333.684,15 309.600,32 100,00

Pengeluaran untuk kebutuhan non-pangan terdiri dari pengeluaran untuk kesehatan, pendidikan, pakaian dan alas kaki, energi, dan kebutuhan non-pangan lainnya. Rataan pengeluaran keluarga contoh untuk non-non-pangan adalah Rp803.392,52 per bulan atau 60,24 persen dari total pengeluaran keluarga. Proporsi terbesar pengeluaran non-pangan keluarga terdapat pada pengeluaran

33   

   

untuk pendidikan, yaitu sebesar 23,98 persen. Pengeluaran terbesar kedua ialah kebutuhan lainnya (19,20%) yang meliputi rokok, transport selain anak, sewa/perawatan rumah, pembayaran listrik, PAM, pulsa telepon genggam, pembantu, dan pajak. Keluarga petani, terutama petani pemilik rutin membayar pajak lahan setiap tahunnya, begitu pula dengan keluarga lain yang memiliki kendaraan, seperti motor dan mobil. Beberapa keluarga pun tak lepas dari kebutuhan akan rokok yang dapat memperbesar pengeluaran kebutuhan lain-lain.

Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah

Persepsi merupakan pandangan orang tua, dalam penelitian ini adalah persepsi istri tentang pendidikan menengah bagi anak. Persepsi tentang pendidikan menengah dikelompokkan menjadi menjadi tiga, yaitu kurang (skor

≤40), sedang (skor 41-60), dan baik (skor ≥61). Tabel 20 menunjukkan bahwa

lebih dari separuh keluarga (58,4%) memiliki persepsi pada kategori sedang (skor 41-60). Hanya 5,5 persen yang memiliki persepsi pendidikan menengah

dalam kategori kurang (≤40).

Tabel 20 Sebaran keluarga berdasarkan persepsi pendidikan menengah Persepsi Pendidikan (skor) Jumlah (n) Persen (%)

Kurang (≤40) 3 5,0 Sedang (41–60) 35 58,4 Baik (≥61) 22 36,6 Total 60 100,0 Min-Max (skor) 38 – 71 Rataan ± SD (skor) 57,8 ± 9,2

Rata-rata persepsi orangtua berada pada kategori sedang. Hal ini dikarenakan meskipun hampir seluruh istri menyetujui bahwa pendidikan menengah merupakan hak setiap anak (98,3%), pendidikan menengah penting untuk meningkatkan kualitas anak (95,0%), pendidikan menengah merupakan kunci kemandirian (83,4%), dan pendidikan menengah sebagai gerbang pencapaian cita-cita (93,3%). Namun, masih ada istri yang beranggapan bahwa setelah tamat pendidikan dasar anak lebih diutamakan membantu perekonomian keluarga dibandingkan dengan melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah, karena kendala ekonomi. Selain itu, masih banyak istri yang beranggapan bahwa pendidikan menengah membutuhkan biaya yang besar (80,4%) sehingga memberatkan keluarga, biaya pendidikan menengah dapat

Dokumen terkait