• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor Bagian Barat

Bagian III - Wilayah Pengelolaan Perikanan RI 573

1. Sumber Daya Ikan Demersal dan Ikan Karang

1.1. Penyebaran/Daerah Penangkapan

Daerah konsentrasi penyebaran ikan demersal di Samudera Hindia sebelah selatan Jawa terdapat di perairan Binuangeun, Palabuhanratu, Pangandaran hingga selatan Yogyakarta, Pacitan-Grajagan, Teluk Waworada, sebelah selatan Flores dan timur Sumba. Daerah penyebaran ikan karang yang umumnya berasosiasi dengan terumbu karang terdapat di perairan sebelah Selatan Binuangeun, Pangandaran, Yogyakarta, Selat Lombok, Selat Alas, sebelah selatan Sumbawa, Selat Sape (sekitar Pulau Komodo, Rinca), selatan Bajawa-Ende, sekitar Pulau Rote dan Teluk Kupang (Sumiono et al., 1992; Badrudin et

al., 1992; Lohmeyer, 1996; McManus, 1996).

1.2 Komposisi Jenis

Berdasarkan Statistik Perikanan (DJPT, 2012), sepuluh jenis ikan demersal dominan tertangkap di WPP-RI 573 meliputi ikan layur (23,2% dari produksi ikan demersal), diikuti oleh kakap merah 16,0%, peperek 12,8%, kakap putih 9,9%, kuwe 9,8%, kurisi 9,3%, gulamah 6,1%, bawal hitam 4,9%, manyung 4,8% dan biji nangka 3,3% (Gambar III-1).

Gambar III-1. Komposisi (%) sepuluh jenis ikan demersal dominan tertangkap di WPP-RI 573.

Penelitian dengan rawai dasar di perairan Binuangeun, Jawa Barat pada tahun 2013, menunjukkan komposisi hasil tangkapan ikan demersal terdiri dari ikan krapu

(Epinephelus coiodes) sebesar 17,4% dari total hasil tangkapan, diikuti oleh ikan jenaha (Lutjanus erytropterus) sebesar 9,5%, kakap merah (Lutjanus malabaricus) sebesar 8,7%, ikan lencam (Lethrinus lentjan) sebesar 6,9% dan ikan lainnya kurang dari 6%. Hasil tangkapan arring insang dasar di perairan Palabuhan ratu dan sekitarnya didominasi oleh ikan layur (Trichiurus lepturus) sebesar 44,4% dari total hasil tangkapan, diikuti ikan laosan (Polydactylus xanthonemus) sebesar 22,2%, petek (Leiognathus bindus, L.

splenden) sebesar 11,1%, kapas-kapas (Gerres spp,. Pentaprion longimanus) sebesar 11,1%

dan lainnya masing-masing kurang dari 10% (BPPL, 2013) (Gambar III-2).

35

Bagian III - Wilayah Pengelolaan Perikanan RI 573

36

(B)

Gambar III-2. Komposisi (%) ikan demersal dominan tertangkap dengan rawai dasar di perairan Binuangeun (A) dan arring insang dasar di perairan Palabuhan ratu (B) tahun 2013.

Menurut Statistik Perikanan (DJPT, 2012), produksi ikan karang ekonomis di WPP-RI 573 yang paling tinggi adalah jenis ikan krapu karang sebesar 42,3% dari total produksi ikan karang yang besarnya 22.600 ton, diikuti oleh ekor kuning 25,0%, beronang 15,1%, krapu sunu 6,4 % dan jenis lainnya masing-masing kurang dari 5% (Gambar III-3).

Gambar III-3. Komposisi (%) jenis ikan karang ekonomis yang dominan tertangkap di WPP-RI 573.

1.3 Potensi Lestari, JTB, Effort Optimum dan Tingkat Pemanfaatan

1.3.1. Ikan Demersal

Aplikasi Model Produksi Surplus melalui analisis korelasi linier dari Schaeffer (1957) terhadap data catch dan effort ikan demersal tahun 2000-2011 di WPP-RI 573 diperoleh nilai dugaan potensi lestari (Maximum Sustainable Yield) sebesar 70.605 ton dengan upaya optimum (fopt.) sebesar 15.603 unit setara dogol (Gambar III-4). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 80% dari potensi lestarinya atau sebesar 56.484 ton. Pada tahun 2011, jumlah alat tangkap dogol sebanyak 15.742 unit dan produksi ikan demersal 59.168 ton. Memperhatikan Gambar III-4, maka tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di WPP-RI 571 sebesar 1,01 (indikator warna merah), atau di sekitar nilai MSY.

Bagian III - Wilayah Pengelolaan Perikanan RI 573

Gambar III-4. Kurva hubungan antara produksi dan upaya sumber daya ikan demersal di WPP-RI 573. Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga Sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor bagian Barat.

1.3.2. Ikan Karang

Berdasarkan Statistik Perikanan Tangkap jenis-jenis ikan yang digolongkan kedalam kelompok ikan karang antara lain: ekor kuning, ikan napoleon, kerapu, karang, kerapu bebek, kerapu balong, kerapu lumpur, kerapu sunu, dan beronang. Aplikasi Model Produksi Surplus melalui analisis korelasi linier dari Schaeffer (1957) terhadap data catch dan effort sumberdaya ikan karang ekonomis tahun 2000-2011 di WPP-RI 573 diperoleh dugaan potensi lestari (Maximum Sustainable Yield) sebesar 14.723 ton dengan upaya optimum (fopt.) sebesar 6.486 unit setara rawai dasar (Gambar III-5). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 80% dari potensi lestarinya atau sebesar 11.778 ton. Berdasarkan Statistik Perikanan, pada tahun 2011 diperoleh jumlah rawai dasar 9.821 unit dan produksi ikan karang ekonomis sebesar 12.702 ton. Memperhatikan Gambar III-5, maka tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan karang ekonomis di WPP-RI 571 sudah mencapai 1,51 (indikator warna merah), atau sudah melebihi pemanfaatan yang lestari dan sudah harus dilakukan penurunan upaya.

Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di WPP RI

39

MSY 2001 2009 2010 2011 2005 2003 2006 2004 2002 2008 2007 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 Pr oduks i ( T on) Upaya (Unit)

Gambar III-5. Kurva hubungan antara produksi dan upaya sumber daya ikan karang ekonomis di WPP-RI 573.

Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga Sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan

Laut Timor bagian Barat

Gambar III-5. Kurva hubungan antara produksi dan upaya sumber daya ikan karang ekonomis di WPP-RI 573. Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga Sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat

1.4 Indikator Perikanan dan Biologi

Penelitian dengan rawai dasar di perairan Binuangeun dan sekitarnya pada tahun 2013 diperoleh ukuran panjang total ikan kakap merah (Lutjanus gibbus) yang tertangkap berkisar antara 14,3 – 69,0 cm dengan rata-rata 25,3cm. Ukuran panjang total ikan layur (Trichirus lepturus) yang tertangkap dengan jaring insang dasar berkisar antara 20,3 – 97,5 cm dengan rata-rata 64,4 cm, ukuran panjang ikan beloso (Saurida micropectoralis) berkisar antara 16,4 – 51,3 cm dengan rata-rata 31,6 cm. Musim pemijahan ikan kakap merah (L. gibbus) dan layur (T.lepturus) terjadi beberapa kali dalam setahun yaitu pada bulan Januari, April dan Juli.

Rata-rata ukuran pertama kali tertangkap (Lc) ikan kakap merah (L. gibbus) dengan rawai dasar di perairan Binuangeun adalah 24,4 cmTL, yaitu lebih besar dari panjang pertama kali matang gonada (Lm) yang besarnya 20,5 cmTL. Nilai Lc ikan layur (T. lepturus) dengan jaring insang dasar di perairan Palabuhanratu adalah 63,2 cmTL, lebih panjang dari nilai Lm yang besarnya 53,8 cmTL. Ikan beloso (Saurida micropectoralis) mempunyai nilai Lc yang besarnya 29,2 cmTL, lebih besar dari nilai Lm yang besarnya 28,7 cmTL. Jenis ikan tersebut dapat mempertahankan keseimbangan stoknya dalam suatu populasi di Rata-rata ukuran pertama kali tertangkap (Lc) ikan kakap merah (L. gibbus) di perairan

Bagian III - Wilayah Pengelolaan Perikanan RI 573

Binuangeun adalah 24,4 cmTL, lebih besar dari panjang pertama kali matang gonada (Lm) 20,5 cmTL.WPP 573 untuk memberikan kesempatan bereproduksi, paling tidak sekali dalam hidupnya.

2. Sumber Daya Udang Penaeid dan Lobster

2.1 Penyebaran/Daerah Penangkapan

Daerah penyebaran udang penaeid di WPP-RI 573 relatif sempit, terutama menyebar pada kedalaman kurang dari 40 m di daerah muara sungai dan perairan yang masih dipengaruhi oleh hutan mangrove. Daerah konsentrasi penyebaran udang meliputi pantai selatan Binuangeun, Pangandaran, Cilacap sampai dengan selatan Yogyakarta dan Grajagan (Selatan Jawa), Teluk Cempi dan Teluk Waworada (Nusa Tenggara Barat) dan Teluk Kupang, pantai selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Belu (Nusa Tenggara Timur).

Daerah penyebaran lobster di WPP-RI 573 terutama terdapat di pantai selatan Binuangeun, Pangandaran, Cilacap, Kebumen, Yogyakarta dan Pacitan, pantai selatan Bali dan Lombok,

2.2 Komposisi Jenis

Jenis-jenis udang penaeid yang tertangkap di perairan selatan Jawa sampai dengan NTT umumnya memiliki nilai ekonomis penting. Dengan tertangkapnya jenis udang sungai (Palaemon spp.) di selatan Jawa merupakan petunjuk bahwa perairan selatan Cilacap dan selatan Yogyakarta merupakan perairan yang masih dipengaruhi muara sungai, merupakan habitat yang cocok bagi perkembangan populasi udang (Naamin, 1984).

Udang yang mempunyai penyebaran cukup luas dan mendominasi hasil tangkapan adalah kategori udang dogol (Metapenaeus ensis), diikuti oleh udang jerbung (Penaeus merguiensis,

P. orientalis dan P. chinensis), udang windu (Penaeus monodon dan P. semisulcatus), udang

krosok (Parapenaeopsis sculptilis, Parapenaeopsis stylifera, Metapenaeopsis elegans, M.

lysianassa) dan kelompok udang lain-lain (Metapenaeus choromandelica, Trachypenaeus asper, Solenocera spp, rebon dan udang-udang berukuran kecil lainnya).

Berdasarkan Statistik Perikanan Tangkap, komposisi jenis udang di WPP-RI 573 pada tahun 2011 didominasi oleh kelompok udang lainnya sebanyak 69,2% dari total produksi udang penaeid yang besarnya 6.308 ton, diikuti oleh kelompok udang krosok 15,6%, udang jerbung 10,5%, udang windu 1,9%, udang dogol 1,8% dan udang ratu 1,0% (Gambar III-6).

Gambar III-6.Komposisi (%) jenis udang di WPP-RI 573. Samudera Hindia sebelahSelatan Jawa hingga Sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat, tahun 2011

Jenis-jenis lobster yang terdapat di WPP-RI 573, antara lain lobster pasir (Panulirus

homorus), lobster batu (Panulirus penicillatus), lobster batik (Panulirus longipes), lobster

hijau (Panulirus versicolor), lobster bambu (Panulirus polyphagus), lobster mutiara (Panulirus ornatus). Menurut Statistik Perikanan tahun 2011, produksi lobster di WPP-RI 573 sebesar 532 ton dan menunjukkan kecenderungan menurun sejak tahun 2007.

2.3 Potensi Lestari, JTB, Effort Optimum dan Tingkat Pemanfaatan

2.3.1. Udang Penaeid

Aplikasi Model Produksi Surplus melalui model linier dari Schaeffer (1957) terhadap data catch dan effort udang penaeid tahun 2000-2011 di WPP-RI 573 diperoleh dugaan potensi lestari (Maximum Sustainable Yield) sebesar 5.244 ton dengan upaya optimum (fopt.) sebesar 5.623 unit setara trammel net (Gambar III-7). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 80% dari potensi lestarinya atau sebesar 4.195 ton. Berdasarkan data Statistik Perikanan Tangkap tahun 2011, jumlah alat tangkap trammel

Bagian III - Wilayah Pengelolaan Perikanan RI 573

net 7.213 unit dengan produksi udang sebesar 6.308 ton. Memperhatikan Gambar III-7, maka tingkat pemanfaatan sumberdaya udang penaeid di WPP-RI 573 pada tahun 2011 sebesar 1,3 (indikator warna merah), atau sudah melebihi potensi lestarinya.

Gambar III-7. Kurva hubungan antara produksi dan upaya sumber daya udang penaeid di WPP-RI 573. Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga Sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat.

2.3.2 Lobster

Aplikasi Model Produksi Surplus melalui korelasi linier dari Schaeffer (1957) terhadap data catch dan effort lobster tahun 2000-2011 di WPP-RI 573 diperoleh dugaan potensi lestari (Maximum Sustainable Yield) sebesar 843 ton dengan upaya optimum (fopt.) sebesar 27.390 unit setara jaring insang tetap (Gambar III-8). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 80% dari potensi lestarinya atau sebesar 675 ton. Berdasarkan Statistik Perikanan tahun 2011, jumlah jaring insang tetap sebanyak 12.540 unit dengan produksi lobster 532 ton. Memperhatikan Gambar III-8, maka tingkat pemanfaatan sumberdaya lobster di WPP-RI 573 sebesar 0,5 (indikator warna hijau), atau belum melebihi potensi lestarinya.

Gambar III-8. Kurva hubungan antara produksi dan upaya sumber daya lobster di WPP-RI 573. Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga Sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat

2.4 Indikator Perikanan dan Biologi

Hasil peelitian BPPL tahun 2013 menunjukkan ukuran udang penaeid yang tertangkap dengan trammel net di perairan selatan Jawa semakin kecil, rata-rata ukuran pertama kali tertangkap (Lc) lebih kecil dari pada rata-rata ukuran pertama kali matang kelamin (Lm). Hasil analisis secara analitik juga menunjukkan laju eksploitasi (exploitation rate, E) sudah melebihi batas potensi maksimalnya (E>0,5). Pengelolaan dalam jangka panjang harus diperhatikan agar kelestarian sumberdaya udang dapat berkesinambungan.