• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Sejahtera

yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota, serta antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya” Artinya, pemerintah Indonesia mendefinisikan sejahtera terkait dengan kemampuan ekonomi, sosial dan psikologis. Namun, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS, 2005) menegaskan adanya beberapa kriteria minimal

untuk menentukan keluarga sejahtera yang pada dasarnya adalah kemampuan ekonomi. Kriteria-kriteria tersebut meliputi :

1. Bangunan fisik tempat tinggal, meliputi :

a. Luas bangunan tempat tinggal tidak kurang dari 8 m2 per orang. b. Jenis lantai tempat tinggal tidak terbuat dari tanah/bambu/kayu

murahan.

c. Jenis dinding tempat tinggal tidak dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

2. Fasilitas rumah tempat tinggal, meliputi :

a. Memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.

b. Sumber penerangan rumah tangga menggunakan listrik.

c. Sumber air minum tidak berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.

d. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari bukan kayu bakar/arang/minyak tanah.

3. Konsumsi sehari-hari, meliputi :

b. Membeli satu stel pakaian baru dalam setahun c. Sanggup makan hanya satu/dua kali dalam sehari. 4. Pengelolaan penghasilan keluarga, meliputi :

a. Sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. b. Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan

500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan Rp. 600.000,- (Enam Ratus Ribu) per bulan.

c. Memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah), seperti sepeda motor kredit/non-kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

5. Tingkat pendidikan kepala keluarga

a. Pendidikan minimal kepala keluarga : tamat SD.

Jika minimal 9 item di atas terpenuhi, maka sebuah keluarga di Indonesia dikategorikan sebagai keluarga sejahtera. Standar sejahtera berdasarkan kriteria BPS menunjukkan bahwa sisi psikologis warga negara belum menjadi tolak ukur kesejahteraan itu sendiri. Seperti yang telah diungkapkan di atas, standar

kesejahteraan masyarakat Indonesia masih berbicara tentang kemampuan ekonomi saja.

Beberapa ahli menyampaikan bahwa tingkat kesejahteraan sesungguhnya tidak hanya diukur dari kemampuan ekonomi saja (Ryff, 1989; Soembodo, 2005; Murphy, 2001). Penelitian Benny Soembodo (2005) tentang Aspirasi Sosial Budaya Masyarakat Pedesaan terhadap Kesejahteraan Keluarga di Desa Ngadirejo kecamatan Tanjung Anom Kabupaten Nganjuk, Jawa Tengah juga menyampaikan bahwa kesejahteraan bagi masyarakat Jawa tidak hanya dilihat dari kemampuan ekonomi. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa masyarakat Jawa mengukur tingkat kesejahteraannya dari apa yang dianggap paling berharga dalam hidup orang Jawa, meliputi wiryo (drajad atau kedudukan), arto (harta benda), dan winasis (kepandaian). Artinya, penelitian Benny Soembodo tersebut mengatakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat tidak hanya diukur dari tingkat kemampuan ekonomi saja, namun juga meliputi drajad (kedudukan), danwinasis(kepandaian).

Dalam ranah psikologi, istilah sejahtera juga sering dikaitkan dengan psychological well-being (Ryff, 1989) . Menurut Ryff (1995), karakteristik dari hal tertinggi yang dapat diraih manusia adalah usaha-usaha untuk mencapai kesempurnaan yang merupakan perwujudan dari segala potensi yang dimiliki oleh individu. Maka dalam pandangan Ryff, psychological well-being pada seorang individu tidak sekedar terbebas dari perasaan negatif dan problem mental saja, namun lebih kepada sejauh mana individu memandang dirinya secara positif

(menerima dirinya sendiri), memiliki penguasaan lingkungan, autonomi diri, membina hubungan yang positif dengan orang lain, memiliki kejelasan tujuan dan makna hidup serta yang tidak kalah pentingnya adalah perasaan akan pertumbuhan dan perkembangan yang berkesinambungan sebagai seorang pribadi.

Konsep psychological well-being menurut Ryff ini merupakan konsep yang digunakan untuk menggambarkan kesejahteraan psikologis dengan ciri-ciri memiliki kriteria fungsi psikologis positif, yaitu: penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Carol D. Ryff (1989) dalam menjelaskan konsep ini menggabungkan beberapa teori. Teori-teori tersebut mencakup teori Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), teori Rogers tentang orang yang berfungsi secara penuh (fully functioning person), teori Allport tentang konsep kedewasaan (maturity), Jung tentang individuasi manusia (individuation), teori Jahoda tentang kesehatan mental, dan teori Erikson tentang tugas perkembangan.

Perbedaan tingkat psychological well-being seseorang lebih berhubungan dengan bagaimana individu menginterpretasi pengalaman hidupnya melalui proses perbandingan sosial, yaitu membandingkan pengalamannya dengan orang lain, mengevaluasifeedbackorang lain yang diperoleh darisignificant othersatau melalui pemahaman mereka mengenai sebab-sebab pengalaman itu (Ryff, 1995). Adakalanya evaluasi-evaluasi terhadap pengalaman tersebut akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat

psychological well-being-nya menjadi rendah atau bahkan berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya sehingga psychological well-being-nya menjadi meningkat (Ryff & Singer, 1996).

Standar kesejahteraan yang telah diberikan oleh pemerintah adalah berkaitan dengan hal-hal materiil. Penelitian ini hendak menggali konsep sejahtera yang ada di dalam masyarakat sehingga bisa menjadi bahan atau alat ukur sejauh mana standar yang telah diberikan pemerintah relevan dalam kehidupan masyarakat karena ada juga yang mengungkapkan bahwa sejahtera itu tidak hanya berkaitan dengan hal-hal materiil, Ryff (1995) misalnya.. Dengan adanya penelitian ini, pemerintah sebagai institusi yang memberikan kebijakan tentang kesejahteraan lebih bisa memberikan kebijakan-kebijakan yang berguna dalam kehidupan masyarakat.

Penelitian ini tertarik untuk mengungkap konsep sejahtera pada lansia di Sumbermulyo, Bantul. Penelitian ini berfokus pada lansia di Sumbermulyo. Dilihat dari perkembangan kognitifnya, Horn (1980) mengungkapkan bahwa kecerdasan yang mengkristal (crystallized intelligence) yaitu sekumpulan informasi dan kemampuan-kemampuan verbal yang dimiliki individu meningkat seiring dengan usia. Dengan demikian, pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi dalam hidup lansia masih bisa diingat dengan jelas oleh lansia. Ingatan tersebut memudahkan lansia untuk melakukan refleksi atas pengalamanya. Lansia dalam konteks kebudayaan Jawa dianggap sebagai “guru”, juga dimengerti sebagai orang yang bijak. Oleh karena itu, masyarakat jawa akan

cenderung meminta nasehat pada lansia sebagai orang tua yang sudah berpengalaman dalam hidup. Lansia juga cenderung untuk menularkan pengalamannya pada generasi yang lebih muda.

Penelitian ini hendak dilakukan di Kelurahan Sumbermulyo karena di Kelurahan Sumbermulyo masih ada 23,6 % keluarga yang belum sejahtera (monografi Kelurahan Sumbermulyo, 2009) dan peneliti tinggal di Kelurahan tersebut. Sumbermulyo adalah suatu desa di Bantul bagian selatan. Kelurahan ini masuk dalam wilayah kecamatan Bambanglipuro. Kelurahan ini mempunyai 17.512 penduduk dengan jumlah penduduk laki-laki 8.553 dan jumlah penduduk perempuan 8.959 dengan jumlah lansia 3.249 jiwa (lihat data Dinas Kependudukan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2009)

Dilihat dari penghasilan penduduk Sumbermulyo, masih ada sekitar 23,6% yang penghasilannya di bawah Rp 500.000/bulan (Bappeda Bantul, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa masih ada 23,6% penduduk yang pendapatan yang masih berada di bawah Rp 500.000. Hal ini menunjukan bahwa 23,6% penduduk itu masih berada di bawah garis standar kemiskinan internasional. Standar kemiskinan Dinas Sosial DIY menyatakan bahwa penduduk miskin adalah penduduk yang penghasilannya di bawah 600rb. Jika tingkat kesejahteraan itu diukur berdasarkan kemampuan ekonomi dengan standar Dinas Sosial DIY yang mengadopsi standar internasional (Dinas Sosial DIY, 2006), maka 23,6% penduduk Sumbermulyo masih dikatakan belum sejahtera. Dibalik semua itu, kehidupan di Sumbermulyo terlihat baik-baik saja. Mereka tidak

begitu mempermasalahkan status sejahtera atau tidak. Hal ini menimbulkan peneliti untuk meneliti tentang konsep sejahtera di Sumbermulyo sehingga dapat diketahui konsep seperti apa yang tertanam dalam masyarakat Sumbermulyo.

Masyarakat Sumbermulyo adalah masyarakat Jawa yang kental dengan falsafah hidup orang Jawa. Falsafah ini dialiri berbagai berbagai hal, antara lain sendi-sendi kejawen, yang meliputi: wawasan tri-sila, panca-sila, sinkretisme, tantularismedan pengalaman mistik(Endraswara, 2003). Falsafah/prinsip hidup itu diturunkan dari generasi ke generasi sejak kecil. Saat ini, prinsip hidup tersebut mulai diperdebatkan seiring dengan perkembangan jaman yang menuntut kemampuan ekonomi dalam kelangsungan hidup masyarakat (Soembodo, 2005). Perkembangan jaman dengan masuknya prinsip kapitalisme di Indonesia semakin mendukung pemahaman bahwa sejahtera itu selalu dikaitkan dengan kemampuan ekonomi saja. Di balik semua itu, masyarakat Sumbermulyo yang notabene masih banyak yang berada di bawah standar kesejahteraan Dinas Sosial masih hidup dan menghidupi prinsip-prinsip hidup masyarakat Jawa yang mengutamakan kekeluargaan dan saling menghormati.

Peneliti ingin mengungkap pandangan konsep sejahtera pada lansia. Lansia adalah generasi yang sudah mengalami beberapa fase hidup. Harapan peneliti dengan mengambil subyek pada orang yang sudah melewati beberapa fase hidup adalah supaya data yang diperoleh adalah hasil refleksi seseorang atas pengalaman hidupnya. Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian ini adalah hasil refleksi subyek atas hidupnya yang berkaitan dengan konsep sejahtera.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah : Bagaimana gambaran konsep sejahtera pada lansia di Kelurahan Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang gambaran konsep sejahtera pada lansia di Kelurahan Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul.

D. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis :

1. Penelitian ini berguna untuk memperoleh gambaran konsep sejahtera pada lansia di kelurahan Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul. Dalam dunia psikologi, penelitian ini dapat memperkaya kajian kritis di bidang Gerontologi.

Manfaat Praktis :

1. Sebagai bahan evaluasi bagi pihak pemerintahan terutama pemerintahan Desa Sumbermulyo sehingga pemerintah dapat menentukan secara bijak usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka menyejahterakan masyarakatnya, khususnya bagi para lansia.

2. Bagi lansia, penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan dalam menularkan pengalaman hidup bagi generasi yang lebih muda.

10

Konsep sejahtera pada Lansia di Kelurahan Sumbermulyo’. Dalam landasan teori ini akan dibahas mengenai pengertian sejahtera dan pandangan berbagai teori tentang kesejahteraan, budaya dan etika Jawa, serta tentang lansia.

A. Sejahtera

1. Pengertian Sejahtera

Ada berbagai definisi tentang “kesejahteraan”, masing-masing dengan sudut pandangnya yang berbeda. Terdapat pula berbagai pandangan yang menyamakan maupun yang membedakan antara “kesejahteraan”, “hidup sejahtera”, “kemakmuran”, dan “hidup makmur”. Dalam kamus bahasa Indonesia (2003), sejahtera (kata sifat) diartikan sebagai: aman sentosa dan makmur; selamat (terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dsb.). Kesejahteraan (kata benda) diartikan sebagai: keamanan dan keselamatan (kesenangan hidup, dsb.); kemakmuran. Makmur (kata sifat) diartikan sebagai: serba cukup (mewah, tidak kekurangan). Kemakmuran (kata benda) diartikan sebagai: keadaan makmur (serba cukup, sejahtera dsb.). Makmur dan kemakmuran maupun sejahtera dan kesejahteraan, diterjemahkan: (1) welfare (well-being: somebody s state or condition with respect to wether he or she is wealthy, safe, happy or prospering), (2) prosperous (financially successful) dan prosperity, yang kadang-kadang saling dipertukarkan dengan

(3) wealth dan wealthy (an abundance of valuable material possessions or resources; the state of being rich).

Dalam sudut pandang filosofis, manusia dikatakan dalam keadaan sejahtera (memperoleh kesejahteraannya) bila mendapatkan keseimbangan pada hakikat kebutuhannya. Dalam hal ini adalah kebutuhan jasmani (material) dan rohani (non-material) (Besari, 2005). Lebih lanjut, sejahtera dianggap lebih fundamental dibandingkan dengan makmur, dimana kemakmuran lebih bermakna hanya pada terpenuhinya yang menjadi objek material (jasmani). Dengan demikian, sejahtera bukan hanya terpenuhi kebutuhan material saja, namun juga kebutuhan non-material.

Terdapat dua kata kunci makna sejahtera dan kesejahteraan, yaitu kecukupan dan keamanan (memperoleh rasa aman). Makna dari kedua kata kunci tersebut adalah kecukupan atas berbagai kebutuhan untuk menikmati kehidupan bersosial tanpa kurang suatu apa, dimana terlibat unsur-unsur hakiki manusia, yaitu jasmaniah maupun rohaniah, serta keamanan terhadap berbagai bentuk ancaman, baik atas gangguan (ketidaknyamanan) sosial (termasuk unsur gangguan karya manusia) maupun gangguan alam (Murphy, 2005).

Konsep kesejahteraan di Indonesia lebih menunjuk pada konsep kesejahteraan keluarga (BKKBN, 2009). Kesejahteraan keluarga menjadi hal pokok dalam mensukseskan program keluarga berencana di Indonesia.

Kesejahteraan keluarga mendapat perhatian lebih dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BKKBN mengungkapkan tingkat kebutuhan dalam mengukur tingkat kesejahteraan keluarga. Adapun tingkat kebutuhan yang dikemukakan BKKBN untuk menilai tingkatan keluarga sejahtera, terdiri dari : 1) basic needs (spiritual, pangan, sandang, papan dan kesehatan; 2) socio-psychological needs (pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal, dan transportasi); dan 3) development needs (kebutuhan untuk menabung dan untuk memperoleh informasi). Dalam pandangan Miles dan Irvings (1985) lebih memandang bahwa persoalan kesejateraan keluarga berhubungan erat dengan konsep martabat manusia. Dalam konteks ini, pengukuran kesejahteraan keluarga dapat diedentifikasi melalui 4 (empat) dimensi, yaitu : rasa aman (security), kesejahteraan (welfare), kebebasan (freedom), dan jati diri (identity).

Dimensi rasa aman dapat diukur melalui indikator seperti derajat kerentanan terhadap kematian (kesakitan) karena kecelakaan atau kekerasan dan kerentanan untuk jatuh ke dalam jurang kemiskinan atau pengangguran. Kemudian dimensi kesejahteraan diukur melalui indikator kesehatan fisik dan pemilikan barang. Dalam dimensi kebebasan tingkat kesejahteraan keluarga diukur dengan sejauh mana keluarga memiliki akses terhadap berbagai sumber daya seperti pemilikan kapital, mobilitas pekerjaan dan lapisan sosial serta pemilikan waktu luang. Dimensi jati diri diukur melalui insiden bunuh

diri, ketergantungan atau kecanduan pada obat-obat penenang, insiden gangguan jiwa dan tindak kekerasan terhadap anak atau anggota keluarga lain. Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam kesejahteraan ada dua hal penting dalam mencapai kesejahteraan, yaitu tercapainya kebutuhan material dan tercapainya kebutuhan non-material. Kebutuhan material dapat berupa kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan non-materiil berupa kebutuhan akan rasa aman. Dengan demikian, sejahtera bukan hanya terpenuhi kebutuhan material saja, namun juga kebutuhan non-material. 2. Kesejahteraan Psikologis

Dalam dunia psikologi, ada juga kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan psikologis tersebut dikemukakan oleh Carol D. Ryff (1989). Dalam bahasa Inggris, kesejahteraan psikologis ini sering disebut dengan psychological well being, namun dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan istilah kesejahteraan psikologis dalam bahasan selanjutnya.

Kesejahteraan psikologis merupakan konsep yang digunakan untuk menggambarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologis individu yang positif seperti yang dikemukakan oleh Carol D. Ryff (1989). Menurut Ryff, kesejahteraan psikologis adalah gabungan dan teori Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), Rogers tentang orang yang berfungsi secara penuh (fully functioning person), Allport tentang konsep kedewasaan (maturity). Jung tentang individuasi manusia (individuation), Jahoda tentang

kesehatan mental, dan Erikson tentang tugas perkembangan. Dalam pandangan Ryff, kesejahteraan psikologis pada seorang individu tidak sekedar terbebas dari perasaan negatif dan problem mental saja, namun lebih kepada sejauh mana individu memandang dirinya secara positif (menerima dirinya sendiri), memiliki penguasaan lingkungan, autonomi diri, membina hubungan yang positif dengan orang lain, memiliki kejelasan tujuan dan makna hidup serta yang tidak kalah pentingnya adalah perasaan akan pertumbuhan dan perkembangan yang berkesinambungan sebagai seorang pribadi. Perbedaan tingkat kesejahteraan psikologis seseorang lebih berhubungan dengan bagaimana individu menginterpretasi pengalaman hidupnya melalui proses perbandingan sosial, yaitu membandingkan pengalamannya dengan orang lain, mengevaluasifeedback orang lain yang diperoleh dari significant others atau melalui pemahaman mereka mengenai sebab-sebab pengalaman itu (Ryff, 1995). Adakalanya evaluasi-evaluasi terhadap pengalaman tersebut akan menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat kesejahteraan psikologisnya menjadi rendah atau bahkan berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya sehingga kesejahteraan psikologisnya menjadi meningkat (Ryff & Singer, 1996). Berdasarkan gabungan dari berbagai teori di atas, Ryff (1989) memformulasikan konsep kesejahteraan psikologis dalam enam aspek yang mewakili kriteria fungsi psikologis positif, yaitu: penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

a. Aspek-aspek Kesejahteraan Psikologis

Ryff (1989) membuat enam aspek kesejahteraan psikologis yang mewakili kriteria fungsi psikologis positif yaitu:

1. Penerimaan diri

Penerimaan diri dalam kesejahteraan psikologis mengarah pada sikap seseorang terhadap dirinya terkait dengan masa kini maupun masa lalu dari kehidupannya. Dalam kesejahteraan psikologis, penerimaan diri merupakan inti dari kondisi yang berarti dapat mengaktualisasikan diri dan berfungsi secara optimal. Adanya kedewasaan serta penerimaan diri seseorang terhadap kehidupan yang sudah dilewatinya. Mereka yang memiliki sikap positif terhadap dirinya, mengenal dan menerima semua aspek yang ada dalam diri baik kelebihan maupun kekurangannya serta merasa positif terhadap masa lalunya adalah orang yang mempunyai penerimaan diri yang kuat.

2. Relasi positif dengan orang lain

Relasi positif dengan orang lain dalam kesejahteraan psikologis mengarah pada kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan antar pribadi yang hangat, memuaskan, saling percaya, serta terdapat hubungan saling memberi dan menerima, memiliki empati yang kuat, menjalin hubungan secara mendalam dan bersahabat. Individu yang memiliki relasi positif dengan orang lain adalah individu yang mampu

menciptakan kehangatan, kenyamanan serta kepercayaan dalam berelasi dengan orang lain, mereka memperhatikan kesejahteraan orang lain, mampu memiliki empati yang kuat, memiliki perasaan kasih, keakraban, pemahaman, serta saling memberi dan menerima dalam relasi persahabatan.

3. Otonomi

Otonomi pada kesejahteraan psikologis mengarah pada kemampuan menentukan pilihan bagi diri sendiri, kemerdekaan diri dan mengatur perilaku diri sendiri. Otonomi diartikan sebagai kehebasan yang ada dalam diri individu untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan diri sendiri, mampu bertahan dalam menghadapi tekanan sosial dan menemukan cara untuk mengatasinya, serta mengevaluasi diri berdasarkan ukuran pribadi bukan berdasarkan ukuran orang lain.

4. Penguasaan lingkungan

Penguasaan lingkungan dalam kesejahteraan psikologis mengarah pada kemampuan untuk mengatur, mengendalikan, serta menangani permasalahan. Individu mampu mengontrol berbagai aktivitas lingkungan yang kompleks, menggunakan secara efektif berbagai kesempatan yang tersedia di lingkungan, mampu membuat dan

memilih lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi.

5. Tujuan hidup

Individu yang memiliki tujuan hidup adalah individu yang memiliki keinginan yang akan dicapai, percaya pada keyakinan tertentu yang memberikan arah kehidupan dan mampu memaknai pengalaman yang penting untuk mencapai tujuan hidup.

6. Pertumbuhan pribadi

Pertumbuhan pribadi dilihat sebagai kemampuan individu untuk menyadari potensi yang dimiliki, mampu membuka diri terhadap pengalaman baru, serta kemampuan untuk memproses diri ke arah yang lebih baik dan tidak berhenti pada tahap pencapaian tertentu.

b. Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Menurut Ryff dan Singer (1996), ada empat faktor utama yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Keempat faktor tersebut adalah :

1. Usia

Usia berpengaruh pada otonomi yang semakin meningkat dan dewasa awal ke dewasa madya kemudian mulai menurun ketika memasuki masa dewasa akhir. Tujuan hidup pada masa dewasa madya

lebih tinggi dan pada masa dewasa awal dan dewasa akhir. Penguasaan lingkungan semakin meningkat pada masa dewasa akhir hal ini berlawanan dengan pertumbuhan pribadi yang mencapai puncak pada masa dewasa awal yang kemudian menurun pada masa dewasa madya dan dewasa akhir.

2. Jenis kelamin

Jenis kelamin memberi pengaruh pada aspek relasi positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi. Wanita memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menjalin relasi positif dengan orang lain dibanding pria, potensi pertumbuhan pribadi pun lebih tinggi dibanding kaum pria.

3. Situasi hidup

Termasuk dalam situasi hidup adalah kondisi keuangan, status perkawinan, kondisi kesehatan serta tingkat pendidikan. Status menikah merupakan hal yang diperkirakan dapat mempengaruhi penerimaan diri dan tujuan hidup. Tingkat pendidikan tidak memberikan pengaruh signifikan pada aspek Kesejahteraan psikologis. Kondisi keuangan dan kesehatan memberikan pengaruh pada penerimaan diri dan penguasaan lingkungan.

4. Budaya

Budaya memberikan pengaruh pada kemampuan disintegrasi diri seseorang serta relasi positif dengan orang lain. Pada budaya barat dengan karakteristik masyarakatnya yang cenderung individualistik menunjukkan tingkat otonomi yang tinggi pada masyarakat. Berbeda dengan budaya timur dimana masyarakatnya bersifat kolektif, hal ini meningkatkan kecenderungan untuk sedapat mungkin mampu menjalin relasi yang positif dengan orang lain

B. Masyarakat Jawa

Dalam kajian ini akan dibahas mengenahi kebudayaan Jawa termasuk juga etika Jawa di dalamnya sebagai latar belakang budaya subyek penelitian. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta. Kelurahan tersebut adalah salah satu bagian dari daerah yang menganut budaya Jawa. Pembahasan mengenai kebudayaan Jawa ini berisikan tentang daerah kebudayaan Jawa dan etika Jawa.

1. Daerah Kebudayaan Jawa

Orang Jawa berasal dari pulau Jawa, yaitu suatu pulau yang kurang lebih memilki panjang 1.200 kilometer dan lebar rata-rata 500 kilometer bila diukur dari ujung-ujungnya yang terjauh. Letaknya di tepi sebelah selatan kepulauan Indonesia, kurang lebih tujuh derajat disebelah garis khatulistiwa (Koentjaraningrat, 1994). Pulau Jawa merupakan salah satu pulau dari

kepulauan Indonesia. Kepulauan Indonesia secara georafis terbentang antara 6º Lintang Utara, 11º Lintang Selatan dan 95º-141º Bujur Timur. Pulau Jawa sendiri terletak antara 5º-10º Lintang Selatan dan 105º-115º Bujur Timur (Herususanto, 2003). Pulau Jawa memuat 7 % dari tanah seluruh Indonesia, daerahnya terdiri dari dataran-dataran rendah dengan tanah vulkanis yang subur, beberapa daerah kering khususnya disebelah selatan pulau dan gunung berapi aktif yang cukup banyak. Pulau Jawa beriklim tropis, suhu pada umumnya konstan. Beberapa wilayah di pulau Jawa dengan lingkungan alam yang berbeda hanya sedikit mengalami perubahan suhu, yaitu antara 80° C di dataran rendah sedangkan di daerah pantai dan di daerah pedalaman suhu rata-ratanya yaitu 60° C (Koentjaraningrat, 1994).

Menurut Koentjaraningrat (1984) daerah kebudayan Jawa yaitu berasal dari masyarakat yang tinggal atau mendiami bagian tengah dan timur dari seluruh pulau Jawa sedangkan sebelah baratnya (yang hampir seluruhnya merupakan dataran tinggi Priangan) merupakan daerah Sunda yang merupakan suku bangsa tersendiri. Wilayah kebudayaan Jawa dibagi menjadi wilayah kebudayaan penduduk pesisir utara dan wilayah kebudayaan ujung timur serta wilayah kebudayaan penduduk pedalaman. Wilayah kebudayaan penduduk pesisir utara berhubungan dengan perdagangan, pekerjaan nelayan dan pengaruh Islam lebih kuat, sehingga menghasilkan kebudayaan Jawa yang khas

Dokumen terkait