• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM KEKERASAN DAN PKPA

2.3. Sejarah Berdirinya PKPA

Pada tahun 1998 sejumlah LSM yang peduli anak mengedepankan kembali masalah perlindungan dan dari mereka kepedulian sejumlah LSM memunculkan sebuah draft rancangan undang-undang tentang perlindungan anak yang pertama. Tetapi situasi politik dan keamanan di Indonesia yang berkembang pada waktu itu kurang menguntungkan/terbentur akibat masa reformasi penurunan Presiden Soeharto lalu disusul dengan krisis ekonomi yang menyebabkan pembahasan RUU tersebut tertunda cukup lama.

Situasi reformasi yang membawa akibat tertundanya RUU perlindungan anak mendorong pihak UNICEF untuk memfasilitasi penyusunan suatu RUU tentang perlindungan anak melalui suatu tim yang dikenal dengan tim-7 yang anggota-anggotannya terdiri atas wakil departemen kehakiman, departemen sosial, kantor menteri kesejahteraan rakyat, lembaga bantuan hukum, perguruan tinggi, yayasan kesejahteraan anak Indonesia, dan komisi nasional perlindungan anak. RUU kemudian disampaikan oleh DPR RI kepada Presiden RI dengan surat nomor RU-02/1090/DPR-RI/2002 tanggal 20 Febuari 2002 dengan permintaan persetujuan untuk dibicarakan dengan pemerintah guna mendapatkan persetujuan. Selanjutnya setelah melalui beberapa tahap yang panjang RUU disetujui bersama oleh DPR-RI dan Pemerintah dan disahkan sebagai UU No.23 tahun 2002

tentang perlindungan anak pada tanggal 22 oktober 2002 dan diberlakukan hingga kini.

Sebuah LSM pelopor peduli anak di Indonesia yakni PKPA telah berdiri pada tahun 1996 pada zaman reformasi di Jalan Mustafa dekat UMSU Medan. Berdirinya sebuah wadah perlindungan anak ini merupakan inisiatif dari Bang Ahmad Sofian (salah satu pendiri PKPA) yang jeli menangkap isu-isu anak yang belum tampak di masyarakat tapi mempunyai dampak besar kepada perkembangan anak Indonesia. Awalnya Bang Ahmad Sofian masih aktif di lembaga anak LAAI yang sekarang sudah tutup. Bang Ahmad melihat bahwa LAAI ini lebih terfokus kepada anak dalam advokasi hukum sementara persoalan anak tidak hanya dalam perspektif hukum, tetapi ada perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan lainnya terutama anak jalanan pada masa itu. Kemudian Bang Ahmad berpikir bahwa harus ada lembaga lain yang konsern dengan anak yang tidak hanya fokus pada isu hukum saja. Kemudian Bang Ahmad mengajak dan melobi beberapa orang seperti Alm.Ibu Aminah Azis, Bang Fadly Nurzal, dan mahasiswa untuk ikut terlibat membangun dan mendirikan lembaga PKPA secara swadaya karena tidak ada pendanaan.

Berdirinya kantor PKPA melalui sumbangsih kepemilikan rumah oleh Alm.Ibu Aminah (pendiri PKPA) di Jalan Mustafa dari tahun 1996-2007. Tahun 2007 PKPA pindah ke Setia Budi dikarenakan pemilik kantor PKPA Alm.Ibu Aminah ingin menggunakan rumahnya yang telah dijadikan kantor tersebut untuk suatu keperluan. Oleh sebab itu PKPA mendirikan sebuah kantor atas nama kepemilikan PKPA sendiri di Setia Budi pada April 2007 dengan dana yang sudah ada atas kepercayaan para donatur. PKPA sendiri telah berkarya dalam isu dan

perlindungan anak dan perempuan ± 17 Tahun sejak berdirinya. Cara memperkenalkan PKPA awalnya kepada masyarakat ada dua sasaran. Sasaran pertama adalah komunitas anak-anak jalanan yang menjadi basis awal dibentuknya PKPA. Pendampingan kepada anak jalanan yang ada di Pinang Baris dilakukan dengan menggunakan beberapa kios-kios kosong di sekitar terminal pasar untuk berdikusi dengan anak-anak, menggali perasaan dan keinginan mereka, dan mewujudkan apresiasi keinginan meeka dalam sebuah wadah yang diberi nama Sanggar Kreativitas Anak (SKA) pada tahun 1998. Sasaran kedua memperkenalkan PKPA dengan lembaga yang sudah mempunyai jaringan donor saat itu yakni: LAAI dan KKSP yang membantu memperkenalkan PKPA dengan jaringan lembaga donor mereka melalui surat yang menunggu waktu balasan cukup lama karena akses internet pada masa itu masih terbatas. Hingga satu lembaga yang mempunyai program di Medan tertarik dengan visi dan misi dan mengajak PKPA untuk bekerja sama membuat aturan-aturan dan kebijakan- kebijakan termasuk anggaran dasar, mendaftarkan lembaga PKPA ke Kantor Sosial Politik, dan mengnotariskan lembaga PKPA. Setelah mempunyai status legal hukum PKPA berani memperkenalkan dirinya ke pemerintah lokal dan nasional yang pada masa itu situasi masih rezim otoriter.

Awalnya staf yang bekerja di PKPA enam orang. Mereka berbagi peran menjalankan setiap program yang terbentuk dan saling membantu. PadaTahun 2001 bertahap para staff masuk ke PKPA. Tahun 2004 masa bencana PKPA merekrut banyak pekerja karena sangat membutuhkan pekerja-pekerja untuk isu anak dalam situasi darurat.

Gambar 2:Kantor PKPA (dokumen pribadi 11 Juni 2013)

Menyikapi kasus anak dan perempuan yang terjadi pada zaman orde baru pada masa Presiden Soeharto sejumlah LSM, dosen, dan mahasiswa di Medan mendirikan sebuah lembaga nirlaba37 yang terfokus pada anak dan perempuan khususnya di Sumatera Utara dan Aceh. PKPA bergerak dalam advokasi, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan bagi anak yang dalam situasi sulit seperti korban trafficking, pekerja anak, pemerkosaan, anak jalanan, anak miskin kota, anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang mengalami kekerasan38. PKPA lebih memfokuskan untuk menaungi anak di bawah usia 18 tahun sesuai dengan pengertian anak dalam UU Perlindungan Anak.

“Pada awal PKPA terbentuk tahun 1996 telah memfokuskan untuk melindungi anak jalanan di Medan, tahun 1998 memfokuskan melakukan perlindungan dan pendampingan pada anak buruh, pada tahun 1999 PKPA melindungi anak korban trafficking dan lebih meluas, hingga pada tahun 2001 PKPA masuk dalam perlindungan isu HIV dan AIDS, lalu melindungi anak dan perempuan korban bencana alam dan mengembangkan layanan untuk melindungi anak korban kekerasan. PKPA sendiri memiliki lokasi cabang lainnya di Jakarta, Aceh, Aceh Simeulue, dan Nias. Lokasi PKPA di Aceh terbentuk saat bencana tsunami yang terjadi pada tahun 2004 yang menewaskan ratusan ribu jiwa dan anak menjadi yatim dan piatu”

       37

 Lembaga nirlaba adalah Suatu organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung isu atau perihal dalam menarik publik untuk suatu tujuan yang tidak komersial atau mencari keuntungan. 38

(Wawancara, Informan Bang Misran, 27 Maret 2013)

Adanya kesadaran untuk menyikapi realita kehidupan PKPA bergerak dalam visi dan misi sebagai tonggak untuk menjalankan setiap aktivitas.Visi PKPA “Terwujudnya kepentingan terbaik anak” disertai Misi “ Menegakkan hak- hak anak”. Dengan adanya visi dan misi dibentuklah program-program yang telah dilaksanakan program tersebut antara lain:

1. Penelitian dan pengkajian masalah anak. Visi ini ditempatkan di nomor satu, karena posisi PKPA adalah masyarakat sipil bukan negara jadi bukan orang yang sebenarnya bertanggungjawab kepada anak. Peran yang bertanggungjawab pada hal ini adalah negara. Ketika negara belum bisa melakukan kewajibannya sesuai mandat konstitusi, lembaga boleh mengambil peran sampai negara siap mengambil ahli peran tersebut. Misal anak yang berhadapan dengan hukum untuk membayar pengacara itu mahal PKPA dapat mengambil ahli dalam memberikan bantuan perlindungan kepada anak. Dulu negara tidak mengambil peran perlindungan ini, terjunlah masyarakat sipil mengambil peran ini hingga peran negara akhirnya masuk untuk memberikan dana guna membayar pengacara pada setiap kasus anak.

2. Pendidikan dan pelatihan anak. Ada Pendidikan yang bersifat institusi dengan membangun sebuah wadah (PAUD dan TK) dan tidak teristitusi seperti media-media kelompok yang dibentuk dikalangan anak-anak maupun orang muda dengan mengadakan diskusi-diskusi pelatihan.

3. Advokasi litigasi dan non litigasi39. Advokasi litigasi dimaknai layanan langsung kepada anak-anak yang membutuhkan layanan hukum. Non litigasi berbentuk memberikan pemahaman kepada orang, masyarakat, tentang masalah hukum anak tanpa kita harus melakukan pendampingan langsung.

4. Publikasi dan sosialisasi hak-hak anak. PKPA memilki media yang digunakan untuk penyadaran kepada masyarakat. Media seperti majalah dan brosur diberikan PKPA secara gratis kepada masyarakat, lalu terdapat juga media publikasi melalui poster dan internet yang dapat diakses masyarakat. Publikasi dan sosialiasi hak-hak anak ini dilakukan untuk memberitahu tentang apa yang sudah dilakukan PKPA dan mempublikasikan apa yang harus dilakukan masyarakat. Publikasi dan sosialiasi hak-hak ini bertujuan untuk membuat masyarakat sadar dan menginformasikan apa yang sudah dilakukan PKPA kepada masyarakat. 5. Pembangunan dan penguatan jaringan bagi anak. PKPA menyadari bahwa

konteks anak bukan hanya sebagai objek semata tetapi anak juga merupakan bagian dari sistem masyarakat itu sendiri sehingga diperlukan anak untuk berpartisipasi baik dalam kepentingan mereka sendiri begitu juga dalam kebijakkan pembangunan daerah ataupun daerahnya, maka mereka harus diberikan kekuatan, pengetahuan, untuk itulah tidak selamanya anak harus dijadikan objek tetapi mereka boleh mengkritiksi tentang apa yang harus dilakukan oleh negara dan mereka tidak sendiri

      

39

Litigasi adalah proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus ke pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas kerusakan. Sedangkan Non Litigasi : Penyelesaian masalah di luar persidagan pengadilan :http://id.shvoong.com/law- and-politics/law/2094342-pengertian-litigasi-dalam-proses-hukum/#ixzz2ODwGBK1k (diakses 21 Maret 2013)

maka dibangun organisasi mereka dan digabungkan antara organisasi yang lain. Seperti di Sumut ada pertemuan anak di tingkat kabupaten, kongres hak anak tingkat provinsi, dan ada juga kongres hak anak tingkat nasional dalam rangka memperkuat jaringan anak agar anak-anak tahu masalah di daerah lain seperti apa sehingga mereka menjadi sesuatu kekuatan dimana perubahan itu terjadi.

6. Program dan perlindungan anak pada situasi emergency. Ini merupakan tambahan visi PKPA pada situasi dan kondisi khusus. Perlakuan berbeda akan diberikan kepada anak pada kondisi emergency seperti anak korban bencana.

Gambar 3: Logo PKPA

Dalam antropologi, kebudayaan itu timbul dari sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan untuk menginterprestasikan dunia sekeliling mereka, dan sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka40. Adapun pengertian kebudayaan tersebut di PKPA terdapat juga strategi untuk menjalankan dan menjabarkan program-program yang telah dibuat dengan tahap-tahap sebagai berikut:

      

40 Ibid

1. Menciptakan kondisi lembaga yang penuh semangat kekeluargaan, profesional dan mandiri melalui penyadaran dan budaya kritis. Budaya kritis pada lembaga PKPA merupakan budaya yang tidak membiasakan staff untuk pasif. Semua staf yang terlibat di PKPA diharapkan dapat memberikan pendapat dan masukkannya kepada PKPA guna mengarah kearah yang lebih baik. Didalam PKPA tidak ada budaya budaya feodalisme, ditaktor, dan otoriterisme hal ini untuk mencegah adanya sistem kekuasaan dan kepemimpinan yang ada pada satu orang.

2. Meningkatkan sumber daya insani (staf) lembaga dan kualitas program dalam rangka peningkatan pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat. PKPA memberikan kesempatan kepada setiap staff, mahasiswa yang menjadi volunteer untuk ikut dalam setiap kegiatan-kegiatan pelatihan maupun workshop mengenai isu anak sebagai peningkatan daya staff didalam lembaga dengan tujuan segala kegiatan yang diselenggarakan PKPA melalui kerja sama dengan lembaga- lembaga nasional dan internasional dapat meningkat kualitas program-program PKPA kepada masyarakat.

3. Memberdayakan lembaga, meningkatkan sumber daya lembaga dan memperhatikan kesejahteraan staf. PKPA dapat dikatakan sebagai salah satu pelopor perlindungan anak di Indonesia harus bisa jauh lebih kuat dalam merespon berbagai masalah anak di Indonesia bukan saja di Medan, sehingga PKPA meningkatkan kapasitas lembaga baik dari kapasitas administratif maupun isu. Pelan-pelan sudah tebukti bahwa awalnya PKPA hanya di kota Medan pada tahun 2004 sudah memperluas

wilayah kerja di Nias, Aceh, Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan sedang merintis kantor cabang di Jakarta. Untuk isu awalnya PKPA hanya terfokuskan pada anak jalanan lalu meluaskan isu dengan mengkaji hukum internasional tentang konvensi hak anak dan mulai menangani isu pekerja anak jermal, perdagangan anak, tahun 2003 masuk kepada situasi anak dalam kondisi darurat atau bencana, dan sekarang memulai pada isu ekspolitasi seksual anak. PKPA tidak hanya terfokus pada situasi khusus pada anak tetapi melihat anak-anak lain dalam konteks pemberdayaan dan pencegahan. Untuk Staf diberikan pelatihan secara internal regular dan eksternal melalui kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki program training untuk meningkatkan staf dan mengirim beberapa staff untuk pelatihan tersebut, seperti pelatihan manajemen keuangan, manajeman organisasi, dan lainnya. Sehingga staf yang ada di PKPA yang mengikuti pelatihan tersebut dapat menyalurkan kepada teman-teman di PKPA. 4. Membangun budaya disiplin, partisipasi dan kepekaan sosial dalam rangka

menggali informasi dan isu terbaru. PKPA mempunyai aturan-aturan internal terkait dengan standart operasional prosedur. Kedisplinan merupakan menjaga ritme kerja terkait dengan kotmitmen PKPA dengan stakeholder seperti lembaga donor, klien, dan dengan mitra-mitra kerja. Ritme kerja seperti memberikan laporan kepada lembaga donaatur, monitoring, dan evaluasi. Adapun jadwal kerja yang dilihat setiap bulan akan dievaluasi kembali apakah tercapai jadwal-jadwal yang telah disusun. Untuk staff/volunteer yang masuk ke PKPA ada training dasar. Di posisi apapun dalam PKPA tidak berarti hanya seperti orang yang berkacamata

kuda yang fokus kepada pekerjaan dan material saja, setiap orang harus dapat membuat komitmen bahwa organisasi ini ada didalam dirinya, bahwa PKPA merupakan lembaga sosial perlindungan anak. Saat melihat satu keresahan sosial yang dialami anak-anak staff PKPA harus respon terhadap situasi tersebut. Hal ini diberlakukan kepada para staf yang melihat situasi tersebut di lapangan meskipun tidak dapat melakukan secara langsung setidaknya hal tersebut dicatat bahwa itu adalah persoalan dan membawa ke PKPA

5. Membangun dan mengembangkan jaringan kerja (network) dengan berbagai pihak yang berkepentingan dalam rangka pengembangan program. LSM bukan pemegang mandat atau eksekutor terhadap apa yang dibutuhkan masyarakat. LSM memainkan banyak peranan seperti peranan advokasi, pelayanan, peranan penyadaran, dan lainnya. Setiap peranan tidak dapat dilakukan sendiri sebab itu PKPA membangun kemitraan dengan lembaga hukum, lembaga tingkat lokal, lembaga tingkat nasional dan lembaga tingkat internasional.

Dokumen terkait