• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Class Action

Dalam dokumen Resume Hukum Acara Perdata (Halaman 44-47)

BAB XII CLASS ACTION

2. Sejarah Class Action

Dalam sejarah dan perkembangannya, class action pertama kali dikenal di Negara Inggris pada awal abad ke-18, yang kemudian dianut pula oleh negara persemakmurannya. Penerapan class action di Inggris awalnya berdasarkan judge made law dan khusus untuk perkara-perkara berdasarkan equity yang diterapkan melalui Court Of Chancery. Saat itu Court Of Chancery mengadili suatu perkara yang melibatkan pihak penggugat yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan orang secara kumulasi. Kemudian sejak tahun 1873 barulah class action dapat digunakan di Supreme Court, dengan diundangkannya Supreme Court Judicature Act. Sedangkan penerapan class action untuk negara-negara civil law hanya mengadopsi dan disesuaikan dengan sistem hukum yang berlaku di negara masing-masing termasuk di Indonesia.

Tolak ukur dari pengakuan class action di Indonesia yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut sebagai UUPLH). Dari tolak ukur tersebut sejarah class action di Indonesia dibagi menjadi dua periode, yaitu periode sebelum tahun 1997 (Before Recognition of Class Action) dan sesudah tahun 1997 (After Recognition of Class Action).34

Sebelum tahun 1997 belum ada aturan hukum yang mengatur mengenai class action secara resmi, tetapi pernah dipraktikkan dalam dunia peradilan di Indonesia. Gugatan class action yang terkenal pertama kali dilakukan adalah kasus R.O. Tambunan melawan perusahaan rokok PT Bentoel Remaja pada tahun 1987. R.O. Tambunan mendalilkan dalam gugatannya bahwa Ia tidak hanya mewakili dirinya sebagai orang tua dari anaknya, tetapi juga mewakili semua remaja yang telah diracuni oleh iklan rokok Bentoel Remaja.Pada tahun 1988, gugatan class action juga dilakukan oleh Muchtar Pakpahan yang menggugat Gubernur DKI Jakarta dan Kakanwil Kesehatan DKI Jakarta dalam kasus endemi demam berdarah. Dalam kasus ini, Muchtar Pakpahan mendalilkan pada gugatannya bahwa Ia bertindak untuk mewakili dirinya sendiri dan masyarakat DKI Jakarta yang telah terserang wabah penyakit demam berdarah. Menyusul kemudian pada tahun 1997, YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) melawan PT. PLN (Persero) dalam kasus pemadaman listrik se-Jawa Bali pada tanggal 13 April

1997.Gugatan dari ketiga kasus diatas tidak dapat diterima oleh pengadilan dengan pertimbangan bahwa gugatan class action bertentangan dengan hukum yang berlaku. Dalam Pasal 123 HIR disebutkan bahwa untuk dapat mewakili pihak lain yang tidak ada hubungan hukum diperlukan

34 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor; 2008, hlm. 160.

surat kuasa khusus.Sedangkan pada waktu gugatan class action tersebut diajukan di pengadilan tidak disertai dengan surat kuasa khusus.

Dengan diterbitkannya UUPLH, maka diakuilah class action dalam sistem hukum Indonesia. Meski telah diakui dalam sistem hukum Indonesia, class action hanya terbatas dan diatur dalam beberapa pasal saja. Dalam UUPLH class action disebutkan dalam Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2), yang mana bunyi pasal tersebut sebagai berikut:

Pasal 37 ayat (1)

“Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat”

Pasal 37 ayat (2)

“Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat”

Class action dalam periode ini juga dikenal dalam UU Perlindungan

Konsumen(selanjutnya disebut UUPK), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Pasal 46 ayat (1) huruf b UUPK menyebutkan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Selanjutnya dalam

penjelasan Pasal 46 ayat (1) Huruf b menjelaskan bahwa UUPK mengakui gugatan kelompok atau class action yang mana gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.Pengaturan mengenai gugatan class action dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diatur dalam Pasal 71 ayat (1) yang menyatakan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat. Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi juga mengakui class action yang disebutkan dalam Pasal 38 ayat (1), yang berbunyi:masyarakat yang dirugikan akibat

penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara : Orang perorangan; Kelompok orang dengan pemberian kuasa; Kelompok orang tidak dengan kuasa

melalui gugatan perwakilan.Sedangkan dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hak mengajukan gugatan perwakilan” adalah hak sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor hukum, dan ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 disebutkan bahwa gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (1) adalah tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu dan/atau berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan pasal 39 UU No. 18 Tahun 1999 disebutkan bahwa khusus gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat tidak dapat berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu:

a. Memohon kepada pengadilan agar salah satu pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan

konstruksi untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan dengan kewajibannya atau tujuan dari kontrak kerja konstruksi;

b. Menyatakan seseorang (salah satu pihak) telah melakukan perbuatan melawan hukum karena melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan bersama dalam kontrak kerja konstruksi;

c. Memerintahkan seseorang (salah satu orang) yang melakukan usaha atau kegiatan jasa konstruksi untuk membuat atau memperbaiki atau mengadakan penyelamatan bagi para pekerja jasa konstruksi.

Indonesia baru mengakui secara formal dan resmi class action setelah dikeluarkannya peraturan yang secara khusus mengatur mengenai acara dan prosedur gugatan class action. Peraturan tersebut berbentuk Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (selanjutnya disebut sebagai PERMA 1/2002). Istilah class action di dalam PERMA 1/2002 lebih dikenal dengan gugatan perwakilan kelompok sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 huruf (a).

Dalam dokumen Resume Hukum Acara Perdata (Halaman 44-47)

Dokumen terkait