• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resume Hukum Acara Perdata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Resume Hukum Acara Perdata"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Pengertian Hukum Acara Perdata

Hukum dapat dibedakan menjadi hukum materiil dan hukum formil.Hukum materiil adalah hukum yang mengatur isi dari hukum itu sendiri secara tertulis maupun tidak

tertulis.Sedangkan hukum formil merupakan hukum yang mengatur tata cara bagaimana menegakkan hukum materiil.Apabila hukum materiil dilanggar, hukum formil berfungsi untuk menegakkan atau mempertahankannya.Jadi dapat diketahui bahwa hukum acara perdata yang termasuk dalam hukum formil, adalah peraturan hukum yang mengatur cara – cara untuk mempertahankan hukum perdata materiil, apabila timbul pelanggaran hak dan kewajiban pada hukum perdata materiil.1

2. Sumber Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata menurut pasal 5 ayat 1 UUDar. 1/1951, dilakukan berdasarkan peraturan perundang – undangan yang telah ada dan berlaku dalam daerah Republik Indonesia terdahulu2.Yang dimaksud oleh UUDar. 1/1951 tersebut adalah Het Herziene Indonesisch

Reglement(HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui yang berlaku untuk darah Jawa dan Madura, dan Rechsreglement Buitengewesten atau reglemen dsersh seberang(Rbg) untuk luar Jawa dan Madura.Selain itu Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering(RV) atau reglemen hukum acara perdata untuk golongan eropa juga merupakan sumber dari hukum acara perdata.

Kemudian ada UU no. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, yang telah mengalami perubahan, yang dulu organisasi, administrasi, dan finansialnya berada pada

kekuasaan Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman, dengan berlakunya UU no 48 tahun 2009 hanya berada pada kekuasaan Mahkamah Agung saja.Kemudian peraturan perundang – undangan lainnya yang mengatur mengenai hukum acara perdata yaitu UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP no. 9 tahun 1975 tentang pelaksanan UU no. 1 tahun 1974 yang mengatur antara lain tentang acara pemberian izin perkawinan, pencegahan perkawinan,

perceraian, pembatalan perkawinan, dan sebagainya sepanjang mengenai perkawinan.Kemudian

1 R. Soesilo,RIB/HIR dengan penjelasan, Hlm. 78

(2)

berlaku pula UU no. 20 tahun 1947 yang mengatur hukum acara perdata dalam hal banding yang dilakukan di pengadilan tinggi untuk daerah Jawa dan Madura(untuk diluar Jawa dan Madura berlaku ketentuan dalam pasal 199-205 Rbg).Perlu diperhatikan juga UU no. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung serta UU no. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.Ketentuan mengenai hukum acara perdata dapat juga kita temukan dalam UU no. 32 tahun 2009 tentang kepailitan, UU no. 4 tahun 1982 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, UU no. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, UU no. 2 tahun 2003 tentang mediasi, PERMA 1 tahun 2002 tentang Class Action, PERMA 1 tahun 2000 tentang Gijzeling, PERMA 2 tahun 2003 tentang Mediasi.

Yurisprudensi atau putusan hakim juga merupakan sumber hukum acara perdata, misalnya putusan Mahkamah Agung tanggal 14 April 1971 no. 99/K/Sip/1971, yang

menyeragamkan hukum acara dalam perceraian bagi mereka yang tunduk pada BW.Mengenai Surat Edaran Mahkamah Agung, sepanjang mengatur hukum acara perdata dan hukum perdata materiil tidaklah mengikat hakim sebagaimana undang-undang, namun dapat menjadi suatu referensi bagi hakim dalam menggali hukum acara perdata maupun hukum perdata

materiil.Misalnya SEMA no. 19 tahun 1964 dan SEMA no. 3 tahun 1965 yang menegaskan berlakunya HIR dan Rbg.Kemudian SEMA no 3 tahun 1963 yang menginstruksikan agar hakim menyesuaikan BW dengan perkembangan masyarakat.

Hukum acara perdata dapat pula diatur dalam adat kebiasaan sebagaimana disebutkan oleh Wirjono Projodikoro.Namun adat kebiasaan ini yang merupakan hukum tidak tertulis tidak dapat menjamin kepastian hukum.Kemudian perjanjian internasional juga termasuk sumber hukum acara perdata.Misalnya perjanjianm kerja sama dibidang peradilan antara Republik Indonesia dengan Thailand mengenai kesepakatan mengadakan kerja sama menyampaikan dokumen – dokumen pengadilan dan memperoleh bukti – bukti dalam hal perkara – perkara hukum perdata dan dagang.Doktrin atau pendapat para ahli hukum juga termasuk sumber hukum acara perdata.

3. Asas –Asas Hukum Acara Perdata

(3)

putusan disertai alasan – alasan, beracara dikenakan biaya, dan tidak ada keharusan untuk mewakilkan.

Asas dari hukum acara perdata pada umumnya ialah bahwa pelaksanaanya, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak hakim. Demikianlah bunyi pameo yang tidak asing lagi ( wo kein klager ist, ist kein reichter, nemo judex sine actore ).3 Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya “index ne procedat EX officio” ( lihat pasal 118 HIR, 142

Rgb.).Begitulah maksud dari asas hakim bersifat menunggu. Hanya yang menyelenggarakan proses adalah negara. Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009).

Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dala arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya di tentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan ( pasal 4 ayat (2) UU No.48 tahun 2009). Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak (secendum allegata iudicare). Hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Para pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan hakim.Jadi pegertian pasif ini yaitu bahwa hakim tidak menentukan luas dari pada pokok sengketa. Hakim tidak boleh menambah atau menguraninya. Akan tetapi itu semuanya tidak berarti bahwa hakim tidak aktif sama sekali. Selaku pimpinan sidang harus aktif memimpin dan memeriksa perkara dan tidak merupakan pegawai atau sekedar alat dari pada para pihak, dan haruslah berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan.

Kemudian persidangan sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari pada asas ini tidak lain untuk memberikan perlindungan hak-hak

(4)

asasi manusia dalam peradilan serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan

mempertanggungjawabkan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat. Asas ini dapat kita jumpai pada Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 : “Semua sidang

pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain”. Secara formil asas ini membuka kesempatan untuk “social kontrol”. Asas terbukanya

persidangan tidak mempunyai arti bagi acara yang berlangsung secara tertukis. Kecuali apabila ditentukan lain oleh undang-undang atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting yang dimuat di dalam berita acara yang diperintahkan oleh hakim, maka persidangan dia lakukan dengan pintu tertutup.

Asas kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas “audi et alteram partem” , Bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak di beri kesempatan untuk mengeluarkan

pendapatanya.Jadi kedua belah pihak diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang, seperti yang dimuat dalam pasal 4 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 yang mengandung arti bahwa didalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus di beri kesempatan untuk memberi pendapatnya.

Semua putusan pegadilan harus memuat alsasn-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (pasal 184 ayat (1), 319 HIR, 618 Rgb.). alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebgai pertanggung jawaban hakim dari pada putusanya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunya nilai objektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan yang mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkanya. Putusan MA yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertanggungjwabkan (onvoldoende gemotiveerd) mrupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan. Kenyataanya sekarang tidak sedikit hakim yang terikat oleh putusan pengadilan tinggi atau mahkamah agung mengenai perkara yang sejens. Bukan karena kita mengikuti asas “the binding force of precedent”, melainkan terikatnya hakim itu karena yakin bahwa putusan yang mengenai perkara yang sejenis itu meyaknkan putusan itu tepat. Ilmu pengetahuan hukum merupakan sumber pula untuk mendapatkan bahan guna

(5)

Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya ( pasal pasal 2 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009, 121 ayat 4, 182,183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rgb.). Biaya perkra ini meliputi biaya kepanitraan dan biaya panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara, maka harus pula dikeluarkan biaya. Namun bagi yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi ( pasal 23 HIR, 273 Rgb.).

HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilakan perkara orang lain, sehingga pemerikasaan terjadi secara langsung terhadap pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau di wakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya. Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa. Wewenang untuk mengajukan gugatan dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa.Dengan memeriksa para pihak yang berkepentingan secara langsung hakim dapat mengetahui lebih jelas persoalannya. Walaupun HIR menentukan, bahwa para pihak dapat dibantu atau diwakili, akan tetapi tidak ada ketentuan bahwa seorang pembantu atau diwakil harus seorang ahli atau sarjana hukum. Menurut RO ada persyaratanya untuk bertindak sebagai prosedur. Antara lain ia harus sarjana hukum ( pasal 186). Pada hakikatnya tujuan dari pada perwakilan wajib oleh sarjana hukum (verplichte procureurstelling) ini tidak lain untuk lebih menjamin pemeriksaan yang objektif, melancarkan jalanya peradilan dan memperoleh putusan yang adil.Perwakilan dapat terjadi karena ketentuan undang-undang, misalnya untuk anak dibawah umur oleh orangtua atau wali, sakit ingatan oleh pengampunya, perjanjian kuasa khusus, untuk perwakilan yang dilakukan oleh pengacara atau penasehat hukum, Tanpa surat kuasa khusus, untuk acara gugatan perwakilan kelompok oleh satu atau beberapa orang dari kelompoknya (Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok).

4. Pihak – Pihak dalam Hukum Acara Perdata

(6)

tergugat(disebut juga gedaagde atau defendant) merupakan pihak yang digugat oleh penggugat yang dirasa telah melanggar haknya.Kedua pihak inilah yang terlibat langsung dalam suatu perkara perdata.Kedua pihak ini dapat bertindak atas namanya sendiri atau dapat pula seseorang yang bertindak sebagai pihak – pihak tersebut untuk kepentingan pihak – pihak

tersebut.Misalnya seorang pengampu, wali, ataupun kuasa hukum.Meskipun bertindak untuk kepentingan pihak yang diwakilkan, mereka bertindak tetap atas nama mereka sendiri.Dapat terlihat dari suatu gugatan maupun dalam putusan dimana nama wakilnya juga disebutkan disamping nama – nama yang diwakilinya.Khusus untuk badan hukum, harus memiliki seorang wakil untuk beracara di pengadilan.Lalu pihak yang ketiga yaitu turut tergugat, yaitu pihak – pihak yang demi formalitas gugatan harus dilibatkan sebagai pihak – pihak yang tunduk dan taat pada putusan hakim.

5. Tuntutan Hak/Gugatan

Sebagaimana telah dijelaskan dalam pengertian hukum acara perdata, hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur tata cara mempertahankan hak dalam bidang

keperdataan.Cara untuk mempertahankan ini adalah dengan mengajukan tuntutan hak.Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang dilakukan melalui pengadilan.4 Tututan hak lazinya disebut sebagai gugatan.Tuntutan hak atau gugatan ini harus dibedakan dengan permohonan.Perbedaan ini dapat terlihat dari kepentingannya.Dalam gugatan, terdapat konflik kepentingan antara pihak satu dengan pihak lainnya.Sedangkan dalam

permohonan kepentingannya adalah kepentingan sepihak dan tidak ada kepentingan pihak lain.Dengan kata lain dalam gugatan terdapat suatu sengketa sedangkan dalam permohonan tidak terdapat sengketa.Mengenai gugatan akan dibahas lebih lanjut dalam bab tersendiri.

(7)

BAB II

Kompetensi Mengadili dan Tahap Beracara

1. Kompetensi Mengadili

Sebelum masuk ketahap mengajukan gugatan, peggugat terlebih dahulu harus

mengetahui gugatanya akan diajukan kemana.Jadi penggugat harus mengetahui pengadilan mana yang memiliki kompetensi untuk menangani tuntutan haknya.Kompetesi pengadilan dibagi menjadi dua yaitu kompetensi absolut dan kompetensi relatif.5

a. Kompetensi Absolut

Mengenai kompetensi absolut ini, pertama harus ditentukan terlebih dahulu suatu perkara tersebut jenisnya apa.Dalam hal ini perkara dalam hukum acara perdata adalah perkara perdata sehingga kompetensi ada pada Peradilan Umum.Kemudian perlu ditentukan pengadilan mana yang memiliki kompetensi.Dalam peradilan umum terdapat tiga institusi yang memiliki hubungan hierarki, yaitu Pengadilan Negeri(Kotamadya/Kabupaten) atau pengadilan tingkat pertama, lalu Pengadilan Tinggi(Provinsi) atau pengadilan tingkat banding yang bertugas memeriksa kembali atau memeriksa ulang perkara yang diputus oleh Pengadilan

Negeri.Kemudian yang terakhir adalah Mahkamah Agung, wewenangnya adalah memeriksa pengajuan kasasi dengan memeriksa hanya penerapan hukumnya pada tahap banding.

b. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif diatur dalam pasal 118 HIR jo. pasal 125 ayat (2) HIR.Kompetensi relatif yaitu kompetensi mengenai kewenangan mengadili pada pengadilan yang sejenis. Hal ini berkaitan dengan penentuan domisili atau pengadilan mana yang tepat sebagai tempat

mengajukan gugatan6.Terdapat enam macam kondisi yang memperngatuhi kompetensi relatif Pengadilan Negeri diajukannya gugatan, yaitu Actor Sequitor Forum Rei, Actor Sequitor Forum Rei ditambah Hak Opsi, Actor Sequitor Forum Rei tanpa Hak Opsi, Forum Rei Sitae, Domisili Penggugat, dan Pemilihan Domisili.

Asas Actor Sequitor Forum Rei berdasarkan pasal 118 ayat (1) HIR,maksudnya adalah gugatan diajukan penggugat kepada Ketua Pengadilan Negeri sesuai domisili tergugat. Adapun

5 Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, hlm. 11

(8)

dokumen-dokumen tergugat yang dapat menjadi sumber penentuan domisili seperti KTP, Kartu Rumah Tangga, Surat Pajak, dan Anggaran Dasar Perseroan. Asa Actor Sequitor Forum Rei ditambah Hak Opsi berdasarkan pasal 118 ayat (2) HIR kalimat pertama dijelaskan tergugat terdiri dari dua pihak atau lebih. Inilah mengapa disebut “ditambah Hak Opsi” sebab penggugat dalam hal ini diberi hak opsi untuk memilih Pengadilan Negeri di domisili salah satu tergugat dalam mengajukan gugatan. Jadi apabila terdapat beberapa tergugat, gugatan cukup diajukan di domisili salah satu tergugat.Asas Actor Sequitor Forum Rei tanpa Hak Opsi berdasarkan pasal berdasarkan pasal 118 ayat (2) HIR kalimat kedua yaitu apabila tergugat terdiri lebih dari satu tetapi dalam kondisi salah satu tergugat merupakan penanggung atau debitur pokok sehingga penggugat dalam mengajukan gugatan tidak memiliki hak opsi sendiri untuk menentukan Pengadilan Negeri dari salah satu domisili tergugat, melainkan hanya bisa mengajukan

gugatannya di Pengadilan Negeri domisili tergugat penanggung.Sedangkan asas Forum Rei Sitae berdasarkan pasal 118 ayat (3) HIR kalimat terakhir, pengajuan gugatan diajukan di Pengadilan Negeri berdasarkan domisili atau letak suatu benda tetap yang merupakan objek sengketa.Ada juga pengajuan gugatan berdasarkan Domisili Penggugat berdasarkan pasal 118 ayat (3) HIR kalimat pertama, yaitu apabila terdapat lebih dari satu tergugat di mana salah satu dari tergugat tersebut merupakan tergugat penanggung atau debitur pokok, maka penggugat hanya bisa mengajukan gugatannya di Pengadilan Negeri berdasarkan domisili tergugat penanggung.Dalam hal Pemilihan Domisili berdasarkan pasal 118 ayat (4) HIR jo. pasal 1338 BW, para pihak telah menentukan Pengadilan Negeri domisili mana yang nantinya berhak mengadili sengketa yang mungkin akan terjadi antara mereka, ditetapkan dalam klausul perjanjian. Namun hal ini tidak mutlak dalam arti nantinya penggugat bisa saja mengikuti klausul perjanjian atau tetap

berpegang pada prinsip Actor Sequitor Forum Rei. Selain itu nantinya tergugat juga tidak bisa mengajukan eksepsi terkait pilihan penggugat.

2. Tahap Beracara

Tahapan beracara secara umum dibedakan menjadi tahap admiistrasi dan tahap

(9)

majelis hakim yang akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut.Kemudian majelis hakim menentukan sidang hari pertama.Kemudian Panitera membuat surat panggilan dan disampaikan kepada para pihak oleh juru sita, dan selanjutnya masuk ke tahap yudisial

Pada tahap yudisial, secara garis besar dibagi lagi menjadi empat tahap, yaitu: a) Tahap hari sidang pertama

Terdapat empat kemungkinan yang dapat terjadi :

1. Penggugat dan tergugat sama-sama hadir, hakim terlebih dahulu harus berusaha mendamaikan seperti yang diatur dalam pasal 130 HIR

2. Penggugat hadir tetapi tergugat tidak hadir, maka majelis hakim memeriksa apakah pemanggilan telah dilakukan dengan sah atau tidak, kemudian tergugat dipanggil sekali lagi (pasal 126 dan pasal 127 HIR), jika tidak juga hadir, maka gugatan diputus verstek (pasal 125 ayat (1) HIR), putusan verstek dapat diajukan upaya hukum verzet (pasal 129 HIR).

3. Penggugat tidak hadir, tegugat hadir, maka majelis hakim seperti sebelumnya memeriksa terlebih dahulu apakah pemanggilannya sah atau tidak, kemudian penggugat dipanggil sekali lagi.Jika penggugat tidak hadir maka gugatannya dinyatakan gugur dan

menanggung seluruh biaya perkara (pasal 124 HIR).

4. Penggugat dan tergugat sama sama tidak hadir, mmaka sidang ditunda dan para pihak dipanggil sekali lagi.

b) Tahap Jawab menjawab, terdiri dari tahap jawaban tergugat, replik, duplik, kesimpulan pengugat dan tergugat;

c) Tahap pembuktian;

d) Tahap pembacaan putusan dan pelaksanaan putusan.

Untuk lebih jelasnya pada tahap persidangan dapat dilihat dari bagan pada halaman berikut ini.7

(10)
(11)

BAB III

MEDIASI

1. Pengertian Mediasi

Menurut ketentuan pasal 130 HIR, hakim diwajibkan untuk mendamaikan kedua belah pihak pada hari sidang yang telah ditetapkan.Dalam hal ini hakim secara tidak langsung dituntut untuk dapat berperan secara aktif dalam usaha pendamaian kedua belah pihak.Mengenai mediasi diatur dalam ketentuan Perma No. 1 Tahun 2008 yang menggantikan ketentuan Perma No. 2 Tahun 2003 tentang mediasi. Mengenai ketentuan yang dimuat dalam Perma No. 1 Tahun 2008 ini hanya menyangkut mengenai proses berperkara dalam pengadilan.Proses mediasi dianggap menjadi salah satu bagian utama dari keseluruhan proses persidangan, hal ini dibuktikan dengan ketentuan bahwa apabila proses mediasi ini tidak dilaksanakan maka dapat mengakibatkan putusannya akan batal demi hukum. Selanjutnya sebagai bukti telah diupayakannya suatu pendamaian maka hasil mediasi harus ikut dimuat dalam dictum atau amar putusan secara lengkap. Mediasi harus ditempuh oleh para pihak atas dasar itikad baik, sebab apabila tanpa didasari oleh itikad baik dan salah satu pihak mengetahui hal tersebut maka itu sama saja proses mediasi gagal dan salah satu pihak bisa mengundurkan diri dari proses mediasi. Proses mediasi dapat dilakukan secara terbuka sesuai dengan kesepakatan antaa para pihak, meskipun pada umumnya dilakukan secara tertutup. Mediasi diwajibkan untuk semua jenis perkara perdata yang diajukan di pengadilan tingkat pertama, kecuali mengenai hal-hal seperti pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan BPSK, dan keberatan atas putusan KPPU.

2. Mediator

mediator adalah pihak netral yang bertugas membantu para pihak melalui proses

(12)

maupun yang bukan termasuk dalam majelis hakim pemeriksa perkara, advokat atau akademisi hukum, profesi bukan hukum yang sesuai pandangan para pihak merupakan pihak yang

menguasai topik sengketa, serta gabungan antar berbagai pihak yang telah dijabarkan sebelumnya.

Selanjutnya yang menjadi peranan penting dari seorang mediator adalah mempersiapkan jadwal mediasi para pihak, melakukan kaukus, mendorong para pihak untuk dapat secara langsung berperan aktif, mendorong para pihak untuk dapat terus menggali kepentingan mereka dalam rangka mencari berbagai pilihan penyelesaian sengketa yang terbaik bagi setiap pihak.

3. Proses Mediasi

Sekali lagi pada dasarnya proses mediasi ini sudah dianggap sebagai salah satu tahapan penting dari keseluruhan tahapan persidangan, maka dari itu proses mediasi menjadi suatu hal yang mutlak untuk dalam persidangan. Terhitung sejak hari sidang pertama hakim sudah diharuskan untuk mendamaikan kedua belah pihak yang terwujud dengan pengunduran proses persidangan dan memberikan waktu kepada kedua belah pihak untuk berdamai. Dalam waktu tersebut Ketua Majelis Hakim memberikan waktu kepada para pihak untuk dapat memilih mediator untuk menengahi mereka. Apabila ternyata para pihak gagal memilih satu pun mediator maka Ketua Majelis Hakim dalam hal ini akan menunjuk hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat atau bahkan hakim pemeriksa berperkara. Selanjutnya para pihak diwajibkan untuk menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dalam waktu maksimal lima hari kerja.

Proses mediasi berlangsung selama 40 hari kerja, dengan tambahan 14 hari kerja apabila diminta oleh para pihak berdasarkan kesepakatan bersama. Proses mediasi dilakukan di dalam maupun di luar lingkungan pengadilan, yang dilakukan di dalam lingkungan pengadilan

khususnya mengenai mediasi yang dipimpin oleh seorang hakim aktif. Mengenai proses mediasi yang telah dilakukan di luar lingkungan pengadilan tetap pada akhirnya hasil mediasi diajukan ke pengadilan bersangkutan disertai dengan bukti-bukti tertulis hasil mediasi untuk selanjutnya menjadi bahan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pendamaian.

(13)

isi surat perjanjian perdamaian yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Atas putusan ini tidak diperbolehkan diajukan banding meskipun kekuatan putusan ini layaknya kekuatan putusan biasa pada umumnya. Putusan seperti ini disebut juga dengan acte van vergelijk.

Apabila proses mediasi berujung pada kegagalan maka mediator dalam hal ini tetap diwajibkan untuk menyampaikan hasil mediasi yang telah gagal kepada hakim secara tertulis dan selanjutnya hakim dapat melanjutkan proses pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Beberapa hal yang perlu diingat adalah bahwa pengakuan dari para pihak yang telah dikeluarkan selama proses mediasi tidak dapat dijadikan suatu alat bukti dalam proses persidangan. Selain itu mediator sendiri tidak dapat dimintai sebagai saksi dan tidak dapat dikenai pertanggungjawaban hukum berupa perdata maupun pidana atau mengenai hasil mediasi.

(14)

BAB VII

Sita Jaminan

1. Pengertian Sita Jaminan

Seeseorang mengajukan suatu gugatan ke pengadilan tentunya dengan harapan

memperoleh putusan yang menguntungkannya.Namun seberapa pun menguntungkannya putusan tersebut apabila tidak dilaksanakan oleh pihak tergugat tentunya tidak akan berarti apa –

apa.Apalagi hukum acara perdata kita mengenal lembaga banding maupun kasasi bagi pihak yang kalah, sehingga proses akan berjalan sangat lama hingga bertahun – tahun.Maka dari itu, diperlukan suatu lembaga yang melindungi kepentingan si pihak penggugat ini, yaitu lembaga sita jaminan.Sita jaminan hendaknya selalu dimohonkan agar diletakkan terutama dalam perkara – perkara besar.8Mengingat ketentual pasal 178 ayat (3) HIR dimana hakim dilarang

menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau memutus melebihi yang dituntut.Jadi apabila sita jaminan tidak dimohonkan, maka hakim tidak akan memerintahkan untuk

meletakkan sita jaminan maupun mengesahkan suatu sita jaminan yang telah dilakukan sebelumnya oleh penggugat.

Ketentuan mengenai sita jaminan diatur dalam pasal 227 HIR yang pada pokoknya sebagai berikut:

1) Dimohonkan sebelum ada putusan maupun sesudah ada putusan namun belum dilaksanakan.

2) Tentang orang yang harus menjalankan penyitaan itu dan tentang peraturan yang harus dituruti serta akibat yang berhubungan dengan hal itu, berlaku pasal 197, 198 dan 199 HIR.

3) Pada hari yang ditentukan, pemeriksaan perkara dijalankan dengan cara biasa. Jika gugatan itu diterima, maka penyitaan itu disahkan; jika ditolak, maka diperintahkan supaya dicabut penyitaan itu.

4) Permintaan tentang pencabutan penyitaan selalu boleh diajukan, jika diadakan jaminan atau tanggungan lain yang cukup.

(15)

Dalam prakteknya, permohonan sita jaminan selalu disertakan dalam gugatan, dengan kata lain dimohonkan sebelum adanya putusan.Apabila dimohonkan setelah adanya putusan, namun putusan tersebut belum dijalankan atau sedang dilaksanakan, maka permohonan sitanya adalah sita eksekutorial.Apabila sita jaminan diajukan pada tahap banding, permohonan sita jaminan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang akan meneruskan permohonan tersebut kepada Hakim atau Majelis Pengadilan Tinggi yang sedang memeriksa perkara

tersebut.Kemudian Pengadilan Tinggi akan mengeluarkan penetapan yang memerintahkan Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk melaksanakan sita tersebut.Hal ini tidak diatur dalam HIR, namun dalam prakteknya berjalan demikian.

Mengenai “Permintaan tentang pencabutan penyitaan selalu boleh diajukan, jika diadakan jaminan atau tanggungan lain yang cukup” hal ini dapat dijelaskan dengan contoh yang ada dalam buku Ny Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek.Misalnya dalam hal yang disita jaminan adalah sebuah mobil, lalu kemudian mobil tersebut hendak dibeli oleh orang lain.Dalam hal ini, tergugat yang barangnya disita tersebut dapat mengajukan

permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar Hakim atau Majelis Hakim yang memeriksa perkaranya tersebut menggati mobil tersebut dengan barang lain.Atau dapat pula dimohonkan agar sita tersebut diangkat dan tergugat menyerahkan sejumlah uang kepada Pengadilan Negeri apabila dalam hal sita tersebut sebagai jaminan pembayaran hutang.

Terkait tata cara penyitaan seta akibat hukumnya diatur dalam pasal 197, 198 dan 199 HIR yang pada pokoknya sebagai berikut:

a) Penyitaan dijalankan oleh Panitera Pengadilan Negeri.Apabila berhalangan digantikan oleh orang lain yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri.Cara Penunjukannya cukup dilakukan dengan penyebutan dalam surat perintah. b) Panitera atau penggantinya dalam melakukan penyitaan harus disertai dua orang

saksi, yang nama, pekerjaan, dan tempat tinggalnya disebutkan dalam berita acara dan ikut menandatangani berita acara.Saksi – saksi tersebut biasanya pegawai pengadilan, setidak – tidaknya harus sudah dewasa dan dapat dipercaya. c) Pelaksanannya dimulai dari benda bergerak terlebih dahulu, kecuali dalam hal

sengketa kepemilikan benda tetap.

(16)

e) Benda tidak bergerak yang disita atau sebagian disita itu harus dibiarkan berada ditangan orang yang disita atau dibawa untuk disimpan di tempat yang patut.Dalam hal barang tersebut dibiarkan ditangan orang yang disita, maka harus diberitahukan kepada aparat di lingkungan yang disita agar melakukan pengawasan jangan sampai barang tersebut dialihkannya.

f) Terhadap benda tidak bergerak, maka berita acaranya harus diumumkan, dicatat dalam buku letter C di Desa, dicatat di dalam buku tanah di kantor pertanahan, dan salinan berita acara dimuat dalam buku yang khusus disediakan untuk itu di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri dengan menyebutkan hari, tanggal, dan waktu penyitaannya.Penyitaan benda tidak bergerak itu harus diumumkan agar diketahui masyarakat.Pihak yang tidak sita sejak berita acara diumumkan tidak dapat lagi mengalihkan maupun membebankan barang tidak bergerak yang disitanya tersebut.Apabila dilakukan maka tindakan tersebut batal demi hukum

3. Jenis – Jenis Sita Jaminan

Jenis – jenis sita jaminan antara lain sita conservatoir, sita revindicatoir, sita marital, dan pandbeslag.Mengenai jenis jenis sita tersebut akan dijelaskan berikut dibawah ini.

a.Sita Conservatoir

Sita conservatoir bertujuan untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan di kemudian hari, dengan cara menyita benda milik tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak selama proses perkara berlangsung terlebih dahulu.Hal ini dilakukan agar benda yang disita tersebut tidak dapat dialihkan atau diperjualbelikan ataupun dipindahtangankan oleh si tergugat.

Mengenai sita conservatoir ini diatur dalam pasal 227 ayat (1) HIR yang berbunyi sebagai berikut:9

(17)

diberitahukan bahwa ia harus menghadap persidangan pengadilan negeri berikutnya untuk mengajukan dan menguatkan gugatannya. (Rv. 720 dst.; IR. 124 dst., 1 163 dst.) Inti dari pasal 227 ayat (1) HIR ini yaitu:10

a) Harus ada sangka yang beralasan bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang – barangnya; b) Barang yang disita itu barang orang yang terkena sita;

c) Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan;

d) Permohonan harus diajukan dengan surat tertulis;

e) Sita conservatoir dapat diletakkan pada benda bergerak maupun tidak bergerak.

Pasal 227 ayat (1) ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam hal permintaan sita conservatoir.Hal ini dinyatakan dalam salah satu putusan Mahkamah Agung, yaitu putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Mei 1984 No. 597 K/Sip/2009.

b.Sita Revindicatoir

Diatur dalam pasal 226 HIR yang berbunyi sebagai berikut:11

(1) Pemilik barang bergerak, boleh meminta dengan surat atau dengan ban kepada ketua pengadilan negeri yang berkuasa di tempat diam atau tempat tinggal orang yang memegang barang itu supaya barang itu disita.

(2) Barang yang hendak disita itu harus diterangkan dengan jelas dalam permintaan itu. (3) Jika permintaan itu diluluskan, maka penyitaan akan dilakukan menurut surat perintah ketua.

Tentang orang yang harus melakukan penyitaan itu dan tentarkg persyaratan yang harus dipenuhi, berlaku juga pasal 197.

(4) Panitera pengadilan harus segera memberitahukan penyitaan itu kepada orang yang mengajukan permintaan, dan menerangkan kepadanya, bahwa ia harus menghadap

persidangan pengadilan negeri berikutnya untuk mengajukan dan meneguhkan gugatannya. (5) Orang yang memegang barang yang disita itu harus dipanggil atas perintah ketua untuk menghadap persidangan itu.

(6) Pada hari yang ditentukan, pemeriksaan perkara dan pengambilan keputusan dijalankan dengan cara biasa. (TR. 130 dst., 139 dst., 155 dst., 163 dst., 178 dst.)

10 Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm 100.

(18)

(7) Jika gugatan itu diterima, maka penyitaan itu disahkan, lalu diperintahkan supaya barang yang

disita itu diserahkan kepada si penggugat; sedang kalau gugatan itu ditolak, harus diperintahkan supaya dicabut penyitaan itu.

Berdasarkan ketetentuan pasal 226 HIR tersebut dapat diketahui syarat – syarat agar dapat diletakkan sita revindicatoir yaitu:

a) Harus berupa barang bergerak

b) Barang bergerak tersebut merupakan brang bergerak milik penggugat yang berada ditangan tergugat.

c) Permintaannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri d) Permintaan dapat diajukan secara lisan dan tertulis

e) Barang harus disebut dengan terperinci.Misalnya sebuah Motor bebek merek Jupiter MX berwarna hitam tahun 2008 dengan nomor polisi DK 2374 IL.

c.Sita Gadai (Pandbeslag)

Diatur dalam pasal 751 Rv yaitu sita yang dimohonkan oleh seseorang yang menyewakan rumah agar perabot – perabot milik penyewa disita untuk menjamin agar ia membayar uang sewa rumah.Pada pakteknya sekarang dapat pula berbentuk uang jaminan.

d. Sita Marital

Diatur dalam pasal 823a Rv, yaitu sita jaminan yang dimohonkan istri terhadap benda – benda suami, agar selama proses perceraian suami tidak mengalihkan barang baranya yang

kemudian hari akan dihitung sebagai harta bersama atau harta dalam perkawinan.Sita ini hanya dapat dimohonkan oleh pihak istri, namun pada prakteknya suami juga dapat mengajukan sita ini.

BAB VIII

PEMBUKTIAN

(19)

Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang sangat penting. Kita ketahui bahwa hukum acara atau hukum formal bertujuan hendak memelihara dan

mempertahankan hukum material. Jadi secara formal hukum pembuktian itu mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam RBg dan HIR. Sedangkan secara materil, hukum pembuktian itu mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang

kebenaran peristiwa yang dikemukakan12.Dalam melakukan pembuktian, para pihak yang

berperkara dan hakim yang memimpin pemeriksaan perkara di persidangan harus mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam hukum pembuktian yang mengatur tentang cara pembuktian, beban pembuktian, macam-macam alat bukti serta kekuatan alat-alat bukti tersebut, dan sebagainya. Hukum pembuktian ini termuat dalam HIR ( Herziene Indonesische Reglement ) yang berlaku di wilayah Jawa dan Madura, Pasal 162 sampai dengan Pasal 177; RBg ( Rechtsreglement voor de Buitengewesten ) berlaku diluar wilayah Jawa dan Madura, Pasal 282 sampai dengan Pasal 314; Stb. 1867 No. 29 tentang kekuatan pembuktian akta di bawah tangan; dan BW ( Burgerlijk Wetboek ) atau KUHPerdata Buku IV Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1945.

2. Beban Pembuktian

Pasal 163 HIR menyatakan : “ Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.”.Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan Dalam hal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya seperti pada hukum acara pidaa. Hakim yang memeriksa perkara tersebut yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau pihak tergugat. Dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana akan memikul beban pembuktian. Hakim berwenang membebankan kepada para pihak untuk mengajukan suatu pembuktian dengan cara yang seadil-adilnya.13

12 H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 83.

(20)

3. Hal – Hal yang Harus Dibuktikan

Seperti telah disebutkan dalam pasal 163 sebelumnya, hal – hal yang harus dibuktikan adalah peistiwa –peristiwa yang didalilkan oleh pihak yang mendalilkan.Dengan kata lain harus dicari suatu kebenaran formil dari peristiwa tersebut.Kebenaran formil disini maksudnya adalah adanya alat – alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan undang – undang yang berlaku.Namun tidak semua dalil yang didalilkan harus dibuktikan.Dalil – dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.Selain itu keadaan – keadaan yang sudah diketahui khalayak ramai atau keadaan – keadaan yang secara umum merupakan suatu pengetahuan yang umum, misalnya hari libur nasional atau hari Minggu kantor – kantor pemerintah tutup, juga tidak perlu dilakukan pembuktian.

4. Macam – Macam Alat Bukti

(21)

Jadi alat-alat bukti dalam hukum acara perdata menurut ketentuan pasal 164 HIR terdiri atas :

a) Bukti surat (diatur dalam pasal 165-167 HIR); b) Bukti saksi (diatur dalam pasal 168-172 HIR); c) Persangkaan (diatur dalam pasal 173-174 HIR); d) Pengakuan (diatur dalam pasal 175-176 HIR); e) Sumpah (diatur dalam pasal 177 jo 155, 156 HIR).

Alat – alat bukti tersebut akan dibahas lebih lanjut sebagai berikut. a. Bukti Surat

Menurut Sudikno Mertokusumo, alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda- tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.14 Alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan tulisan bukan akta, yang kemudian akta masih dibedakan lagi dalam akta otentik dan akta di bawah tangan.

1. Akta

Yang dimaksud dengan akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Dengan demikian, unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat, dan harus ditandatangani.Akta dapat dibedakan menjadi:

a. Akta Otentik

Pasal 165 HIR menyebutkan bahwa : akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang- undang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut. Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, camat, panitera, pegawai pencatat perkawinan, dan lain sebagainya.

(22)

Berita acara pemeriksaan suatu perkara di persidangan pengadilan yang dibuat panitera, berita acara penyitaan dan pelelangan barang-barang tergugat yang dibuat oleh juru sita, dan berita acara pelanggaran lalu lintas yang dibuat oleh polisi juga merupakan akta-akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang,. Sedangkan akta di buat di hadapan di hadapan pejabat umum yang berwenang selaku misalnya akta jual beli tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ), yaitu camat dan notaris.

b. Akta di Bawah Tangan

Dalam penjelasan pasal 165 HIR dijelaskan bahwa akta di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani para pihak dan tidak dibuat dengan perantaraan pejabat umum.Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 286 ayat ( 1 ) RBg dan pasal 1874 KUHPerdata.Contohnya akta jual beli, sewa menyewa maupun hutang piutang.Akta ini memiliki kekuatan yang sama dengan akta otentik apabila akta tersebut diakui oleh kedua pihak.

2.Surat Bukan Akta

Surat bukan akta merupakan surat biasa yang dibuat tidak dengan maksud dijadikan alat bukti.

b. Bukti Saksi

Dalam hukum acara perdata alat bukti saksi diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR sampai dengan Pasal 179 RBg/152 HIR tentang pemeriksaan saksi, Pasal 306 RBg/169 HIR sampai dengan Pasal 309 RBg/172 HIR tentang keterangan saksi, serta dalam Pasal 1895, Pasal 1902 sampai dengan Pasal 1912 KUHPerdata.Berdasarkan pasal 171 HIR, Kesaksian harus terbatas pada peristiwa-peristiwa yg dilhat, didengar, dan dialaminya sendiri, sedangkan pendapat-pendapat atau persangkaan yg didapat secara berfikir bukan merupakan kesaksian.Selain itu saksi haruslah orang yang sudah dewasa dan tidak berada dibawah pengampuan.Dalam hukum acara perdata juga berlaku prinsip unnus testis nullus testis, yaitu satu saksi bukanlah saksi.Berdasarkan pasal 169 HIR, perlu adanya bukti lain disamping bukti saksi untuk dapat membuktikan suatu dalil.

(23)

172 RBg/145 HIR, Pasal 174 RBg/146 HIR, serta Pasal 1909 dan Pasal 1910 KUHPerdata. Orang-orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah :

1. Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan lurus dari salah satu pihak;

2. Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai; 3. Anak-anak yang belum berusia 15 ( lima belas ) tahun;

4. Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.

Saksi juga tidak boleh menyimpulkan, membuat dugaan ataupun memberikan pendapat tentang kesaksiannya, karena hal ini bukan dianggap sebagai kesaksian ( Pasal 308 RBg/171 ayat ( 2 ) HIR dan Pasal 1907 KUHPerdata ). Kesaksian juga harus dikemukakan dengan lisan dan secara pribadi di muka persidangan. Dengan demikian, saksi harus memberitahukan sendiri apa yang diketahuinya, tidak boleh secara tertulis dan diwakilkan oleh orang lain. Ketentuan ini ditafsirkan dari Pasal 166 ayat ( 1 ) RBg/140 ayat ( 1 ) HIR dan Pasal 176 RBg/148 HIR yang menentukan bahwa terhadap saksi yang telah dipanggil dengan patut dan tidak datang diberi sanksi dan terhadap saksi yang telah datang di persidangan tetapi enggan memberikan keterangan juga dapat diberi sanksi.

Bukti saksi juga dapat berupa keterangan ahli, sebagaimana dimaksud dalam pasal 154 HIR.Mengenai syarat orang – orang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berlaku juga untuk keterangan ahli.Pengadilan Negeri juga tidak memiliki kewajiban mengikuti pendapat ahli apabila bertentangan dengan keyakinannya.

c. Persangkaan

Persangkaan berdasarkan pasal 1915 KUHPerdata adalah Kesimpulan yg oleh UU atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang dan nyata kearah peristiwa lain yg belum terang dan nyata.Terdapat dua macam persangkaan, yaitu:

1. Persangkaan Hakim

(24)

dalam satu kamar yang hanya punya satu tempat tidur, maka perbuatan perzinahan tersebut telah terjadi menurut persangkaan hakim.15

2. Persangkaan atas dasar hukum/undang-undang

Dalam hal ini undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang diajukan dengan peristiwa yang tidak diajukan.Misalnya : ersangkaan berdasarkan hukum ini dapat dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu :praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan; dan praesumtiones juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.Contoh persangkaan hukum ini misalnya, Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang harus dibayar kepada si pembawa, maka barangsiapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya ( Pasal 1977 ayat ( 1 ) KUHPerdata ). Misalnya lagi, Tiap tembok yang dipakai sebagai tembok batas antara 2 ( dua ) pekarangan dianggap sebagai milik bersama pemilik pekarangan yang berbatasan, kecuali ada suatu alas hak atau tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya ( Pasal 633 KUHPerdata ), Tiap anak yang dilahirkan selama perkawinan, maka suami dari perempuan yang melahirkan adalah ayahnya ( Pasal 250 KUHPerdata ) dan Mengenai pembayaran sewa rumah, sewa tanah, tunjangan nafkah, bunga pinjaman uang, dan pada umumnya segala apa yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu yang lebih pendek, maka dengan adanya 3 ( tiga ) surat tanda pembayaran 3 ( tiga ) angsuran berturut-turut, terbitlah persangkaan bahwa angsuran-angsuran yang lebih dahulu telah dibayar lunas, kecuali dibuktikan sebaliknya ( Pasal 1394 KUHPerdata ).

d. Pengakuan

pengakuan adalah suatu keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam perkara, baik secara lisan atau tertulis yang bersifat membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang dikemukakan atau didalilkan oleh pihak lain. Dengan demikian, pengakuan merupakan suatu pembenaran terhadap peristiwa, hak atau hubungan hukum yang didalilkan oleh lawan baik sebagian atau seluruhnya. Alat bukti pengakuan harus diterima seluruhnya, hakim tidak bebas untuk menerima sebagian saja dan menolak sebagian lainnya, sehingga merugikan orang yang mengakui hal itu. Artinya pengakuan tidak boleh dipecah-pecah. ( Pasal 313 RBg/176

(25)

HIR, Pasal 1924 KUHPerdata ).Pengakuan dapat dilakukan di muka siding maupun diluar persidangan.

Pengakuan dimuka sidang merupakan pengakuan yang berisi keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dimuka persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak diperlukan lagi.16 Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa pengakuan didepan persidangan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.Dalam hal ini pengakuan di depan siding menurut pasal 1916 KUHPerdata sama dengan persangkaan menurut undang – undang.Pengakuan ini tidak dapat ditarik kembali, kecuali dalam hal apa yang diakuinya tersebut ternyata merupakan suatu hal yang keliru(pasal 1926 KUHPerdata).Pengakuan diluar siding merupakan keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara di luar persidangan untuk membenarkan pernyataan – pernyataan yang diberikan oleh lawannya.Pengakuan ini dapat dilakukan secara tertulis dan lisan.Dalam hal dilakukan secara lisan, harus dapat dilakukan terlebih dahulu dengan saksi atau dengan alat bukti lainnya sesuai dengan ketentuan pasal 1927 KUHPerdata.Berbeda dengan pengakuan di depan persidangan, pengakuan diluar persidangan ini dapat ditarik sewaktu – waktu(pasal 1927 KUHPerdata).

Terdapat beberapa jenis pengakuan, yaitu :

1. Pengakuan murni adalah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan. Pengakuan tersebut mutlak, tidak ada syarat apapun. Dengan demikian pengakuan tersebut harus dinyatakan terbukti oleh hukum. Misalnya, penggugat menyatakan bahwa tergugat meminjam uang sebesar Rp. 1.000.000,00 ( satu juta rupiah ), tergugat mengakui bahwa ia memang meminjam uang kepada penggugat sebesar Rp. 1.000.000,00 ( satu juta rupiah ).

2. Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian tuntutan si penggugat. Dengan kata lain, pengakuan ini adalah jawaban tergugat yang memuat sebagian berupa pengakuan dan sebagian lagi berupa sangkalan atau bantahan. Misalnya, penggugat menyatakan tergugat telah meminjam uang kepadanya sebesar Rp. 2.000.000,00 ( dua juta rupiah ), tergugat mengakui memang telah meminjam uang kepada

(26)

penggugat, tetapi bukan Rp. 2.000.000,00 ( dua juta rupiah ) melainkan Rp. 1.000.000,00 ( satu juta rupiah ).

3. Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Keterangan tambahan atau klausula semacam itu dapat berupa pembayaran, pembebasan atau kompensasi. Pengakuan ini sebenarnya adalah jawaban tergugat tentang hal pokok yang diajukan oleh penggugat, tetapi disertai dengan penjelasan tambahan yang menjadi dasar penolakan gugatan. Misalnya, penggugat menyatakan tergugat telah meminjam uang kepadanya sebesar Rp. 3.000.000,00 ( tiga juta rupiah ), tergugat mengakui memang meminjam uang kepada penggugat sebesar Rp. 3.000.000,00 ( tiga juta rupiah ), tetapi hutang tersebut sudah dibayar lunas.

e. Bukti Sumpah

Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 185 RBg/Pasal 155 sampai dengan Pasal 158 HIR, Pasal 314 RBg/Pasal 177 HIR, Pasal 1929 sampai dengan Pasal 1945 KUHPerdata. Terdapat dua macam sumpah yaitu, Sumpah oleh salah satu pihak memerintahkan kepada pihak lawan untuk menggantungkan putusan perkara kepadanya, yakni sumpah pemutus ( sumpah decissoir ); dan Sumpah yang oleh hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah satu pihak, yaitu sumpah penambah/pelengkap ( sumpah suppletoir ) dan sumpah penaksir ( sumpah taxatoir ).

1. Sumpah Pemutus (sumpah decissoir), Sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak terhadap lawannya.Jadi inisiatifnya ada pada salah satu pihak.Ketentuannya diatur dalam pasal 156 HIR.Berdasarkan pasal 156 ayat (2) HIR, sumpah yang dibebankan pada salah satu pihak dapat dikembalikan pada pihak satunya.Kemudian pada ayat (3) diatur seseorang yang enggan untuk melakukan sumpah adalah pihak yang kalah.Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Agung No 39 K/Sip/1951 tertanggal 31 Juli 1952 yang menyatakan siapa yang mengucapkan sumpah pemutus dialah yang memenangkan perkara itu.

(27)

belum cukup dan tidak ada bukti lain lagi.Dengan ditambahnya sumpah penambah ini bersama dengan alat bukti tersebut maka akan memiliki kekuata pembuktian sempurna. 3. Sumpah penaksir, yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakimkarena jabatannya

hanya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian.Dasar hukumnya adalah pasal 155 ayat (2) HIR.

BAB IX

(28)

1. Pengertian Putusan dan Jenis-Jenisnya

Setelah melalui proses pembuktian, maka hakim terhadap berkas – berkas alat bukti yang sudah diperiksanya pada saat tahap pembuktian, akan mengambil suatu putusan.Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo putusan merupakan sutu pernyataan oleh hakim, sebagai pejabat yang memiliki wewenang untuk itu, yang diucapkan di depan sidang untuk mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.Putusan dibedakan menjadi dua, yaitu putusan sela dan putusan akhir.Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Semua putusan sela diucapakan dalam sidang dan merupakan bagian dari berita acara persidangan.Sedangkan putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu perkara dalam suatu pengadilan.Contoh putusan sela misalnya putusan provisional yaitu putusan yang menjawab permintaan pihak yang berperkara supaya diadakan tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan, misalnya dalam hal sita jaminan.Contoh lainnya misalnya putusan insidentiil, yang dipergunakan apabila ada insiden yang timbul, misalnya dalam hal penggabungan, intervensi dan adanya pemanggilan pihak ketiga sebagai penjamin.17

Berdasarkan sifatnya putusan juga dibedakan menjadi tiga, yaitu putusan declaratoir, putusan constitutif, dan putusan condemnatoir.Putusan declaratoir yaitu putusan yang hanya semata-mata bersifat menerangkan suatu keadaan saja, contohnya putusan yang menyatakan seseorang bernama Amin adalah anak angkat yang sah dari Budi dan Nini.Sedangkan putusan constitutive adalah putusan yang meniadakan dan/atau menimbulkan suatu keadaan

hukum.Misalnya putusan perceraian, putusan yang menyatakan seseorang pailit.18 Lain halnya dengan putusan condemnatoir, yaitu putusan yang berisi suatu penghukuman.Misalnya suatu putusan dimana seseorang dihukum untuk menyerahkan sebidang tanah miliknya.Putusan biasanya terdiri dari kombinasi dari sifat – sifat putusan sebagaimana dijelaskan sebelumnya tersebut.

Terdapat pula jenis – jenis putusan lainnya, seperti putusan perdamaian, putusan gugur, putusan verstek, putusan contradictoir, putusan serta merta, dan putusan yang berkekuata hukum

17 Ny. Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju,2009), hlm 109.

(29)

tetap.Putusan perdamaian dijatuhkan apabila perkara selesai ditahap perdamaian.Para pihak dihukum untuk memenuhi segala hal yang sudah diperjanjikan dalam perjanjian perdamaian sebelumnya.Putusan perdamaian memiliki kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.19 Putusan gugur, verstek, dan putusan contradictoir adalah putusan yang berkaitan dengan kehadiran para pihak.Putusan gugur diatur dalam pasal 124 HIR, yaitu putusan yang dijatuhkan kepada penggugat yang tidak hadir pada siding hari pertama tanpa alasan yang sah padahal sudah dipanggil secara sah dan patut.Pada putusan verstek, putusan verstek dijatuhkan karena tergugat tidak hadir pada siding hari pertama walaupun telah dipanggil secara sah dan patut.Putusan verstek diatur dalam pasal 125 HIR.Sedangkan putusan contradictoir dijatuhkan dalam hal tergugat pernah datang di persidangan, namun tidak datang lagi di sidang-sidang berikutnya.Lain lagi halnya dengan putusan serta merta.Putusan serta merta adalah putusan yang dijatuhkan terlebih dahulu (uit voorbar bij voorad) walupun terhadap putusan tersebut terdapat suatu upaya hukum.Putusan serta merta diatur dalam pasal 180 ayat (1) HIR.Sedangkan putusan berkekuatan hukum tetap merupakan putusan yang sudah tidak lai diajukan upaya hukum biasa seperti perlawanan, banding, dan kasasi, namun terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum luar biasa.

2. Asas-asas dalam Putusan

Beberapa asas – asas putusan baik yang diatur dalam HIR dan UU Kekuasaan Kehakiman akan dijelaskan sebagai berikut.20

1. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci

Berdasarkan asas ini setiap putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup.Hal ini ditegaskan dalam pasal 25 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.

2. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

Asas yang diatur dalam pasal 178 ayat (2) HIR dan pasal 50 RV ini, maksudnya adalah dalam setiap putusan hakim harus secara menyuluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan.

3. Diucapkan di Muka Umum

19 Putusan MA no. 1038 K/Sip/1973 tertanggal 1 Agustus 1973

(30)

Dijelaskan dalam pasal 20 Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa setiap putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam siding terbuka untuk umum.Jadi dalam hal ini setiap putusan harus diucapkan di depan siding yang dibuka untuk umum.Namun hal ini tidak menyebabkan suatu putusan yang diatur dalam undang – undang harus tertutup menjadi tidak

berkekuatan hukum.Putusan – putusan tersebut, atau biasanya disebut penetapan tetap mengikuti pengaturannya yang menyatakan tertutup tersebut.

3. Tata cara Penyampaian Putusan

Mula – mula putusan ditentukan dengan hakim melakukan sidang permusyawaratan hakim yang sifatnya rahasia, yang setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangannya dan apabila tidak tercapai mufakat bulat, maka pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan sebagai dissenting opinion.Kemudian setelah mencapai mufakat, Putusan Hakim tersebut harus dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum.

4. Sistematika Putusan

Berdasarkan pasal 184 HIR suatu putusan hakim harus berisi:

a. Suatu keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan dan jawaban. b. Alasan-alasan yang dipakai sebagai dasar dari putusan hakim. c. Keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara.

d. Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu keputusan itu dijatuhkan.

e. Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang, ini harus disebutkan. f. Tandatangan hakim dan panitera.

Kemudian pasal 23 UU No. 14/1970 menentukan isi keputusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari

perturan–peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.Berdasarkan pengaturan – pengaturan tersebut, maka dapat ditentukan sistematika suatu putusan biasanya berisikan hal – hal sebagai berikut :

(31)

Pada bagian ini dicantumkan titel eksekutorial sebagai dasar bagi pelaksanaan dan eksekusi putusan. Contoh dari titel eksekutorial ini adalah pernyataan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

2. Identitas para pihak yang berperkara

Identitas yang dimuat harus lengkap dan jelas. 3. Pertimbangan-pertimbangan hukum dari hakim

Bagian ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu pertimbangan mengenai duduk perkara atau feitelijke gronden dan pertimbangan mengenai hukumnya sendiri atau rechts gronden. Dalam pertimbangan mengenai duduk perkara berisi apa saja yang muncul dalam persidangan secara lengkap, sedangkan dalam pertimbangan mengenai hukum berisi alasan-alasan hukum yang mendasari putusan hakim. 4. Amar putusan atau dictum

Merupakan jawaban atas petitum dari suatu gugatan, bersifat deklaratif dan dispositif. Sifat deklaratif di sini berarti amar itu merupakan penerapan dari hubungan hukum yang disengketakan.

5. Tanda Tangan

Setiap putusan harus ditandatangani oleh Majelis Hakim Ketua, Hakim Anggota, dan Panitera sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat (3) HIR dan pasal 24 UU no. 48 tahun 2009

BAB X

EKSEKUSI

1. Pengertian Eksekusi

(32)

putusan akan dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang kalah.Dalam hal ini pihak yang menang dapat meminta bantuan pihak pengadilan untuk memaksakan eksekusi putusan, sesuai dengan ketentuan pasal 196 HIR.Putusan Pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Ada pun yang memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan Pengadilan terletak pada kepada putusan yang berbuyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di samping itu putusan Pengadilan yang mempunyai titel eksekutorial adalah putusan yang bersifat atau yang mengandung amar “condemnatoir”, sedangkan putusan Pengadilan yang bersifat deklaratoir dan constitutif tidak dilaksanakan eksekusi karena tidak memerlukan eksekusi dalam menjalankannya.21

2. Asas – asas dalam Eksekusi

Dalam pelaksanaan eksekusi dikenal beberapa asas yang harus dijadikan pedoman oleh pihak pengadilan, yaitu sebagai berikut22 :

a. Putusan Pengadilan harus sudah berkekuatan hukum tetap.Sifat putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah tidak ada lagi upaya hukum, dalam bentuk putusan tingkat pertama, bisa juga dalam bentukputusan tingkat banding dan kasasi. Sifat dari putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah litis finiri opperte23, maksudnya tidak bisa lagi disengketakan oleh pihak-pihakyang berperkara.

b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela, Sesuai dengan ketentuan Pasal 196 HIR. dan Pasal 207 R.Bg maka ada dua cara menyelesaikan pelaksanaan putusan yaitu dengan cara sukarela karena pihak yang kalah dengan sukarela melaksanakan putusan tersebut, dan dengan cara paksa melalui proses eksekusi oleh Pengadilan.

c. Putusan bersifat condemnatoir. Ciri - ciri putusan yang bersifat condemnatoir biasanya mengandung amar yang menyatakan :

(1) Menghukum atau memerintahkan untuk “menyerahkan”. (2) Menghukum atau memerintahkan untuk “pengosongan” (3) Menghukum atau memerintahkan untuk “membagi”

(4) Menghukum atau memerintahkan untuk “melakukan sesuatu” (5) Menghukum atau memerintahkan untuk “menghentikan” (6) Menghukum atau memerintahkan untuk “membayar”

21 Makalah Prof. Dr. H. ABDUL MANAN, SH.,SIP.,M.Hum,Hakim Agung MA, EKSEKUSI DAN LELANG DALAM HUKUM ACARA PERDATA, hlm. 2, 18 September 2011, Jakarta.

(33)

(7) Menghukum atau memerintahkan untuk “membongkar”

(8) Menghukum atau memerintahkan untuk “tidak melakukan sesuatu”

d. Eksekusi di bawah pimpinan Ketua Pengadilan.Menurut Pasal 195 ayat (1) HIR dan Pasal 206 ayat (1) R.Bg yangberwenang melakukan eksekusi adalah Pengadilan yang memutus perkara yang diminta eksekusi tersebut sesuai dengan kompetentsi relatif. Pengadilan tingkatbanding tidak diperkenankan melaksanakan eksekusi.

3. Macam – Macam Eksekusi

Menurut Sudikno Mertokusumo terdapat tiga jenis eksekusi yaitu:

(1) eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang sebagaimana diatur dalam Pasal 196 HIR, dan Pasal 208 R.Bg.

(2) eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 225 HIR, dan Pasal 259 R.Bg.

(3) eksekusi riil yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan mengosongkan benda tetap kepada orang yang dikalahkan, tetapi perintah tersebut tidak di laksanakan secara sukarela. Eksekusi terakhir ini diatur dalam Pasal 1033 Rv. dalam Pasal 200 ayat (11) HIR, dan Pasal 218 ayat (2) R.Bg. hanya mengenal eksekusi riil dalam penjualan lelang.

4. Tahapan Eksekusi

A. Tata cara eksekusi riil

(1) Permohonan pihak yang menang

Jika pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang memutuskan perkara tersebut untuk dijalankan secara paksa hal-hal yang telah disebutkan dalam amar putusan.Permohonan pengajuan eksekusi kepada Ketua Pengadilan

merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan oleh pihak yang menang agar putusan tersebut dapat dijalankan secara paksa sebagaimana tersebut dalam Pasal 207 ayat (1) R.Bg. dan Pasal 196 HIR. Jika para pihak yang menang ingin putusan Pengadilan supaya dijalankan secara paksa, maka ia harus membuat surat permohonan yang diajukan kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara, memohon agar putusan supaya dijalankan secara paksa karena pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi putusan tersebut. Tanpa ada surat permohonan tersebut maka eksekusi tidak dapat dilaksanakan. .

(34)

Jika Ketua Pengadilan telah menerima permohonan eksekusi dari pihak yang

berkepentingan, maka segera memerintahkan meja satu untuk menaksir biayaeksekusi yang diperlukan dalam pelaksanaan eksekusi yang dilaksanakannya.Biaya yang

diperlukan meliputi biaya pendaftaran eksekusi, biaya saksi-saksi dan biaya pengamanan serta lain-lain yang dianggap perlu. Setelah biaya eksekusitersebut dibayar oleh pihak yang menghendaki eksekusi kepada Panitera atau petugas yang ditunjuk untuk mengurus biaya perkara, barulah permohonan eksekusi tersebut didaftarkan dalam register eksekusi.

(3) Aanmaning

Aan maning merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan berupa teguran kepada pihak yang kalah agar ia melaksanakan isi putusan secara

sukarela. Aan maning dilakukan dengan melakukan panggilan terhadap pihak yang kalah dengan menentukan hari, tanggal dan jam persidangan dalam surat panggilan tersebut. Memberikan peringatan (Aan maning) dengan cara pertama tama melakukan siding insidentil yang dihadiri oleh Ketua Pengadilan, Panitera dan pihak yang kalah, kemudian memberikan peringatan atau tegoran supaya ia menjalankan putusan Hakim dalam waktu delapan hari, (3) membuat berita acara Aan maning dengan mencatat semua peristiwa yang terjadi di dalam sidang tersebut sebagai bukti othentik, bahwa Aan maning telah dilakukan dan berita acara ini merupakan landasan bagi perintah eksekusi yang akan dilaksanakan selanjutnya. Apabila pihak yang kalah tidak hadir dalam sidang Aan maning, dan ketidakhadirannya dapat dipertanggungjawabkan, maka ketidak hadirannya itu dapat dibenarkan dan pihak yang kalah itu harus dipanggil kembali untuk Aanmaning yang kedua kalinya. Jika ketidakhadiran pihak yang kalah setelah dipanggil secara resmi dan patut tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka gugur haknya untuk dipanggil lagi, tidak perlu lagi proses sidang peringatan dan tidak ada tenggang masa peringatan. Secara ex officio Ketua Pengadilan dapat langsung mengeluarkan surat penetapan perintah eksekusi kepada Panitera/Jurusita.

(4) Mengeluarkan surat perintah eksekusi

(35)

panggilan sidang peringatan tanpa alasan yang sah, maka Ketua Pengadilan

mengeluarkan perintah eksekusi.Yang diberi wewenang untuk melaksanakan eksekusi adalah Panitera. Apabila Panitera berhalangan maka dilakukan oleh Jurusita. Jadi tidak dilaksanakan bersama-sama, melainkan Panitera sendiri atau Jurusita sendiri dengan dibantu oleh dua orang saksisebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) HIR dan Pasal 209 RBg..Ketentuan untuk melaksanakan eksekusi antara lain :

(1) perintah eksekusi itu berupa penetapan,

(2) perintah ditujukan kepada Panitera atau Jurusita yang namanya harus disebut dengan jelas,

(3) harus menyebut dengan jelas nomor perkara yang hendak dieksekusi dan objek barang yang hendak dieksekusi,

(4) perintah eksekusi dilakukan di tempat letak barang dan tidak boleh di belakang letak meja

(5) isi perintah eksekusi supaya dilaksanakan sesuai dengan amar putusan

(5) Pelaksanaan

Panitera atau Jurusita yang melaksanakan eksekusi harus datang ke tempat objek barang yang di eksekusi, tidak dibenarkan mengeksekusi barang-barang hanya di belakang meja atau dengan cara jarak jauh. Eksekusi harus dilaksanakan sesuai dengan bunyi amar putusan, apabila barang-barang yang dieksekusi secara nyata berbeda dengan amar putusan, maka Panitera atau Jurusita yang melakukan eksekusi harus menghentikan eksekusi tersebut, dan membuat berita acara bahwa eksekusi tidak dapat dilaksanakan karena amar putusan dengan objek yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

B.Tata cara eksekusi dalam hal putusan yang menyatakan pembayaran sejumlah uang

(1) Mengeluarkan penetapan sidang eksekusi

(36)

pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan, padahal sudah dilaksanakan peringatan, maka Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan sita eksekusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 208 R.Bg. dan Pasal 197 HIR dan Pasal 439 Rv. Bentuk surat sita eksekusi adalah berupa penetapan yang ditujukan kepada Pantiera atau Jurusita dengan menyebutkan namanya secara jelas. Jika dalam surat putusan Pengadilan sudah ada diletakkan sita jaminan maka sita eksekusi tidak diperlukan lagi, sita jaminan tersebut dengan sendirinya menjadi sita eksekusi, cukup dikeluarkan surat penegasan bahwa sita jaminan itu menjadi sita eksekusi. Seluruh ketentuan dan tata cara sita jaminan berlaku sepenuhnya terhadap sita eksekusi.

(2) Mengeluarkan perintah eksekusi

Setelah penetapan sita eksekusi dilaksanakan, maka proses selanjutnya adalah

mengeluarkan surat perintah eksekusi yang dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan. Surat perintah eksekusi tersebut berisi perintah penjualan lelang barang-barang yang telah diletakkan sita eksekusinya dengan menyebut jelas objek yang akan dieksekusi serta menyebutkan putusan yang menjadi dasar eksekusi tersebut.

(3) Melaksanakan lelang24

Tahap berikutnya adalah melaksanakan pengumuman melalui surat kabar dan mass media terhadap barang-barang yang akan dieksekusi lelang sesuai dengan Pasal 200 ayat (6) HIR dan Pasal 217 ayat (1) R.Bg. Pengumuman lelang barang bergerak dilakukan

menurut kebiasaan setempat dengan cara menempelkan pemberitahuan lelang pada papan pengumuman Pengadilan atau pengumuman melalui surat kabar dan mass media lainnya. Saat pengumuman ini boleh dilaksanakan sesaat setelah sita eksekusi diperintahkan, atau sesaat setelah lewat peringatan bila telah ada sita jaminan sebelumnya. Penjualan lelang dapat dilakukan paling cepat delapan hari dari tanggal sita eksekusi atau paling cepat delapan hari dari peringatan apabila barang yang hendak dilelang telah diletakkan dalam sita jaminan sebelumnya. Jika barang yang akan dilelang meliputi barang yang tidak bergerak, pengumumannya disamakan dengan barang yang tidak bergerak yaitu melalui mass media.pengumuman cukup satukali dan dilaksanakan paling lambat 14 hari dari tanggal penjulan lelang.

(4) Permintaan lelang

(37)

Jika pengumuman telah dilaksanakan sebagaimana ketentuan tersebut di atas, Ketua Pengadilan meminta bantuan Kantor Lelang Negara untuk menjual lelang barang-barang yang telah diletakkan sita eksekusi. Surat permintaan lelang yang ditujukan kepada Kantor Lelang Negara itu dilampiri surat-surat sebagai berikut25 :

- Salinan surat putusan Pengadilan. - Salinan penetapan eksekusi. - Salinan berita acara sita. - Salinan penetapan lelang.

- Salinan surat pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan. - Perincian besarnya jumlah tagihan.

- Bukti pemilikan (sertifikat tanah) barang lelang. - Syarat-syarat lelang.

- Bukti pengumuman lelang. (5) Pendaftaran permintaan lelang26

Kewajiban pendaftaran permintaan lelang pada Kantor Lelang sesuai Pasal 5 Peraturan Lelang Stb. 1908 Nomor : 189. Kantor Lelang mendaftarkan permintaan lelang itu dalam buku yang khusus untuk itu dan sifat pendaftaran itu terbuka untuk umum. Hal ini

dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada siapa saja supaya melihat

pendaftaran tersebut, sehingga bagi yang berminat untuk ikut dalam pelelangan tersebut dapat menentukan sikapnya.Yang berhak menetapkan hari lelang adalah Kantor Lelang Negera yang berwenang. Ketua Pengadilan boleh mengusulkan hari lelang agar

dilaksanakan pada hari yang ditentukan oleh Pengadilan, tetapi sepenuhnya terserah kepada Kantor Lelang Negara untuk menetapkannya.

(6) Penentuan syarat lelang dan floor price27

Berdasarkan Pasal 1b dan Pasal 21 Peraturan Lelang Stb. 1908 No. 189 ditentukan bahwa yang menetapkan dan yang menentukan syarat lelang adalahKetua Pengadilan yang bertindak sebagai pihak penjual untuk dan atas namatereksekusi. Kewenangan ini meliputi juga berubah syarat lelang yang sudah ditentukan sebelumnya.Syarat yang paling penting dalam pelaksanaan lelang adalah tata carapenawaran dan tata cara

(38)

pembayaran. Syarat-syarat ini harus dilampirkan pada permintaan lelang agar umum mengetahuinya. Penggugat atau Tergugat dapat mengusulkan syarat, tetapi usul tersebut dapat dipertimbangkan, dan tidak berpengaruh pada pelaksanaan lelang sebab yang menentukan adalah Ketua Pengadilan yang melaksanakan lelang. Dalam Pasal 9 Peraturan Lelang Stb, 1908 No. 189 ditetapkan pula bahwa patokan harga terendah merupakan harga yang disetujui untuk membenarkan penjualan lelang. Dalam hal ini yang berwenang adalah Kantor Lelang Negera,

bukan pihak Penggugat atau tereksekusi. Ukuran floor price adalah sesuai dengan harga pasaran dengan memperhatikan nilai ekonomis barang.

(7) Tata cara penawaran

Bagi pihak-pihak yang berminat ikut dalam acara lelang yang diselenggarakan oleh Kantor Lelang Negara, maka pihak tersebut harus mengajukan penawaran secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyebut nama dan alamat penawar secara jelas dan terang, menyebutkan harga yang disanggupinya dan ditandatangani oleh pihak penawar. Penawaran harus dilaksanakan secara sendiri-sendiri, tidak boleh dilakukan secara bersama-sama. Juru lelang harus menolak penawaran yang lebih dari satu orang dalam satu surat penawaran.

(8) Penentuan pemenang

Pembeli lelang adalah penawar tertinggi dan tawaran itu minimal sesuai dengan floor price. Untuk mendukung kemenangannya diperlukan syarat yaitu penelitian secara seksama tentang keabsahan pendaftaran, disamping itu perlu diteliti kemampuan pembayaran sehingga jangan sampai terjadi hal-hal yang merugikan pihak pelaksana lelang dan pemohon eksekusi. Setelah hal tersebut di atas dilaksanakan, maka barulah juru lelang mengumumkan atau menentukan pemenangnya. Jika terjadi beberapa penawaran yang sama nilai penawarannya, maka pihak yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan atas penentuan pemenang lelang tersebut, keberatan terseut diajukan kepada Pengadilan yang melaksanakan lelang (penjual), namun terserah Pengadilan untuk menerima atau menolak keberatan tersebut.28

(39)

BAB XI

UPAYA HUKUM

1. Pengertian Upaya Hukum

Upaya hukum menurut Prof. Sudikno Mertokusumo adalah upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.Sedangkan menurut Retnowulan Sutantio upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang – undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim.Jadi dapat dikatakan bahwa upaya hukum adalah suatu lembaga yang diberikan oleh undang – undang sebagai alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan kepada seseorang atau badan hukum.Seseorang atau badan hukum ini tentunya adalah orang yang merasa dirugikan dengan adanya putusan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

D 18 Juli 2013 10:30 wib MARIO ANTONIUS - MARIO BONAVENTURA LUKAS Yanita Petriella 090903774. 13 HUBUNGAN ANTARA KUALITAS

Keberadaan Undang-Undang tentang Keterbukaan Iinformasi Publik sangat penting sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan (1) Hak setiap orang untuk memperoleh informasi;

 Peran strategis kawasan perbatasan sbg “ Belt of Security ”, secara sosial- ekonomi sebagai nasional “ image dan gateway ” dan secara lingkungan sbg “

Dari tabel 3 dapat dilihat perbedaan nilai rata-rata skala nyeri pada ibu post seksio sesaria sebelum dan sesudah diberikan kompres panas yaitu dengan selisih 1,41.. Hasil

Sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah 50 remaja sampai dewasa (usia 17-50 tahun), yang mempunyai handphone / smartphone dan sudah pernah melakukan

Dari hasil penelitian tentang berat badan tikus putih yang ditimbang pada akhir penelitian diketahui bahwa kelompok kontrol (K1) dan kelompok perlakuan dengan dosis daun

Ada pun beberapa pihak yang membuat hal yang sama saya buat tetapi tidak terfokus akan kota Medan, website ini dikembangkan di komputer dan handphone diharapkan

(2006: 1) bahwa “Penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di dalam kelas melalui refleksi diri dengan tujuan untuk memperbaiki