• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH EKONOMI ISLAM

Dalam dokumen MODUL PENGANTAR EKONOMI ISLAM (Halaman 34-88)

Sejarah Perekonomian Umat Islam pada Masa Awal Pemerintahan Rasulallah SAW dan Al-Khulafa Ar-Rasyidun

Islam dan Perkembangan Pemikiran Ekonomi a. Islam Sebagai Sistem Hidup (Way of Life)

Dalam Islam, Prinsip utama dalam kehidupan adalah Allah SWT. Merupakan zat yang Maha esa, satu-satunya Tuhan dan Pencipta seluruh alam semesta beserta isinya. Ia adalah Subbuhun dan Quddusun, yakni bebas dari kekurangan, kelemahan, kesalahan serta suci dan bersih dalam segala hal.

Sementara itu manusia diciptakan dalam bentuk yang paling baik dan melaksanakan tugas kekhalifahan dalam kerangka pengabdian kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:

“Orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka dimuka bumi ini, nsicaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar ” [QS Al-Hajj (22) : 41]

Ayat tersebut menyatakan, mendirikan shalat merupakan refleksi hubungan yang baik dengan Allah SWT, dan menunaikan zakat merupakan refleksi keharmonisan hubungan dengan sesama manusia, sedangkan ma’ruf berkaitan dengan semua yang dianggap baik oleh agama, akal, serta budaya dan munkar sebaliknya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sebagai hidayah atas segala persoalan akidah. Syariah, dan akhlak. Akidah dan akhlak

perubahan terkait tempat dan waktu), sedangkan syariah senantiasa berubah sesuai kebutuhan dan taraf peradaban umat, bersifat komprehensif (merangkum seluruh aspek kehidupan, ritual/ibadah maupun sosial/muamalah) dan universal berarti syariah islam diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai yaum al-hisab nanti. Adapun untuk merespon perputaran zaman dan mengatur kehidupan duniawi manusia secara terperinci, Allah SWT menganugerahi akal pikiran dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda:

“kamu lebih mengetahui urusan keduniaanmu” (Riwayat Muslim)

b. Kedudukan Akal dalam Islam serta Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Dalam pengertian islam, akal adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia, yaitu daya memperoleh pengetahuan dengan memerhatiakn alam sekitar/semesta. Dalam al-qur’an banyak terdapat anjuran, dorongan bahkan perintah agar manusia mempergunakan akalnya, Allah SWT berfirman:

Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” [QS. Shad (38): 29]

Rasulallahu Saw pun menyerahkan berbagai urusan duniawi yang bersifat deail dan teknis kepada akal manusia.

Kedua nash, tersebut menjelaskan bahwa akal memiliki kedudukan yang tinggi dan penting dalam ajaran agama islam. Dan ini semua dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, sebagai hasilnya muncul para cendikiawan di berbagai bidang termasuk di

ekonomi, pemikiran mereka sangat mendomisili peradaban dunia sejak abad VII hingga abad XIII Masehi.

c. Sejarah Pemikiran Ekonomi dalam Islam

Kontribusi kaum muslim yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi dan peradaban dunia umunya, telah diabaikan oleh para ilmuwan barat. Menurut Capra meski sebagian besar kesalahan umat muslim dikarenakan tidak mengartikulasikan secara memadai kaum muslim, tetap saja ilmuwan barat memiliki andil karena tidak memberikan penghargaan yang layak bagi kemajuam manusia.

Ini semua disebabkan ilmuwan barat tidak menyadari sejarah pengetahuan merupakan suatu prosesn kesinambungan yang dibangun dengan fondasi yang diletakkan oleh generasi sebelumnya. Menurut Capra, Schumpeter mungkin tidak akan mengasumsikan adanya kesenjangan selama 500 tahun, dan mencoba menemukan fondasi diatas para ilmuwan skolastik dan barat mendirikan bangunan intelektual mereka.

Meski telah memberikan kontribusi yang besar, sebaliknya kaum muslimin tidak lupa mengakui utang mereka kepada para ilmuwan Yunani, Persia, India, dan Cina. Hal ini mengindikasikan inklusivitas para cendikiawan muslim masa lalu terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar selam tidak bertentangan dengan ajaran islam. Dan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi, konsep dan teori ekonomi islam merupakan respun para cendikiawan muslin terhadap tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu (Zaman). Dengan begitu pemikiran ekonomi islam seusia islam itu sendiri.

Praktik dan kebijakan ekonomi masa Rasulallahu dan Al-Khulafa Al-Rasyidun merupakan contoh empirisyang menjadi pijakan cendikiawan muslim melahirkan teori- teori ekonominya. Fokus perhatian mereka tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan yaitu objek utama yang menginspirasi pemikiran ekonomiislam sejak awal. Berkenaan dengan hal itu, shiddiqi menguraikan sejarah ekonomi islam dalam tiga fase, yaitu fase dasar-dasar ekonomi islam, fase kemajuan dan fase stagnasi, sebagai berikut.

1. Fase Pertama

Merupakan fase abad awal sampai dengan abad ke-5 Hijriyah/ abad masehi, yang dirintis oleh para fukaha diikuti sufi dan kemudian oleh filosof. Awalnya pemikiran mereka berasal dari orang yang berbeda, namun kemudian hari para ahli harus memiliki dasar kemampuan dari ketiga disiplin tersebut. Fokus fiqih adalah apa yang diturunkan syariah dan para fukaha mendiskusikan fenomena ekonomi dengan mengacu pada al-qur’an dan hadist Nabi, mereka mengeksplorasi konsep maslahah (utility) dan mafsadah (disutility) terkait aktivitas ekonomi.

Pemikiran terfokus pada apa manfaat sesuatu yang dianjurkan dan apa kerugian bila melaksanakan apa yang dilarang agama. Pemaparan ekonomi para fukaha tersebut mayoritas bersifat normatif dengan wawasan positif ketika berbicara tentang perilaku yang adil, kebijakan yang baik, dan batasan-batasan yang diperbolehkan berkaitan dengan permasalahan dunia. Sedangkan kontribusi utama tasawuf terhadap pemikiran ekonomi adalah pada keajegannya mendorong kemitraan yang saling menguntungkan, tidak rakus, dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan Allah SWT, serta menoak penempatan tuntutan

kekayaan dunia yang terlalu tinggi. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi islam pada fase pertama antara lain diwakili oleh :

a. Zaid bin Ali (80-120 H/699-738 M)

Adalah pengagas awal penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.

b. Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)

Lebih dikenal sebagai imam madzhab hukum yang sangat rasionalistis, Ia juga menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay’ al-salām dan al-murābah

c. Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)

Adalah seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya (akīm al-Qadli H) Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan umum serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan pertanian. Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian. Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan dari penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat wa al- jawali (al-jizyah). Tulisan Abu Yusuf ini mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari seni dan menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan amanat yang dibebankan rakyat kepada pemerintah

untuk mensejahterakan mereka. Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada tanggungjawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari “diambil” oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada pandanganya yang menentang pengendalian harga atau tas’ir, yakni penetapan harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara lebih rinci dengan menyatakan bahwa tas’ir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas, kapan tas’ir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan pemerintah wajib melakukanya.

d. Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (132-189 H/ 750-804 M)

Adalah salah satu rekan sejawat Abu Yusuf dalam mazhab hanafiyah. Risalah kecilnya berjudul al- fi ar-Rizq al-Mustathab membahas pendapatan dan belanja rumah tangga. Ia mengklasifikasikan jenis pekerjaan kedalam empat hal, yakni ijarah (sewa-menyewa), tijarah (perdagangan), zira’ah (Pertanian), Shina’ah (Industri). Dan ia menilai pertanian adalah pekerjaan yang terbaik, meski masyarakat arab pada masa itu lebih tertarik dengan perdagangan dan perniagaan.

Dalam risalah lain, yakni kitab al-Asl, ia telah membahas masalah kerja sama usaha dan bagi hasil. Secara umum, yang tercermin dari berbagai karyanya cenderung berkaitan dengan perilaku ekonomi seorang muslim sebagi individu. Berbeda dengan Abu Yusuf cenderung berkaitan dengan perilaku pengusaha dan kebijakan publik.

e. Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M )

Pandangan Ibnu Miskawaih terkait aktifitas ekonomi adalah tentang pertukaran dan peranan uang. Ia menyatakan manusia adalah makhluk sosial dan tidak bisa hidup sendiri, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia harus bekerja sama dan saling membatu sesamanya. Oleh karena itu, mereka akan saling mengambil dan memberi, dan konsekuensinya mereka menuntut kompensasi yang pantas. Ia pun menegaskan logam yang dapat dijadikan sebagai mata uang adalah logam yang dapat diterima secara universal melalui konvensi, yakni tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah rusak, dikehendaki orang dan fakta orang senang melihatnya.

2. Fase Kedua

Dimulai pada abad ke-11 sampai dengan abad ke-15 Masehi dikenal sebagai fase yang cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Pada zaman ini para cendikiawan muslim mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana umat melaksanakan ekonomi berandaskan al-qur’an dan hadist.Mereka pun menghadapi realitas politik ditandai dua hal :

Pertama, Disintegrasi pusat kekuasaan Bani Abbasiyah dan terbaginya bebeapa kekuatan regional mayoritas didasarkan kekuatas (Power), ketimbang kehendak rakyat,

Kedua, Merebaknya korupsi dikalangan penguasa, diiringi dekadensi moral kalangan masyarakat mengakibatkan ketimpangan semakin besar antara si kaya dan si miskin.

Tokoh-tokoh pemikir ekonomi islam pada fase ini, antara lain diwakili oleh : a. Al-Ghazali (451-505 H/ 1055/1111 M)

Fokus Al-Ghazali tertuju pada perilaku individual, dibahas secara rinci merujuk pada al-qur’an, sunnah, Ijma sahabat, dan tabi’in. Serta pandangan para sufi terdahulu, seperti junaid al-baghdadi, Dzun Nun Al-Mishr dan Harits bin Asad al- Muhasibi. Menurutnya memenuhi kebutuhan hidup sesuai dengan syariah islam merupakan kewajiban beribadah kepada Allah SWT. Ia pun memiliki wawasan yang luas mengenai evaluasi pasar dan peranan uang.

b. Ibnu Taimiyah (728 H/1328 M)

Ibnu Tamiyyah dalam kitabnya, al-Siyasat al-Syar’iyyah fi` Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada al-amanat ila hliha. Pengelolaan negara serta sumber-sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni oleh negara (al-siyasat l-syariyyah) pengertian al-siyasah al-dusturiyyah maupun al- siyasat al-maliyyah (politik hukum publik dan privat). Sedangkan dalam karya lainya, al-Hisbah fi al-Islam, lebih menekankan intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar; pengawasan pasar; hinga akuntansi yang erat kaitanya dengan sistem dan prinsip zakat, pajak, dan jizyah. Dengan demikian, seperti halnya Abu ‘Ubayd, nampaknya Ibn Taymiyyah mempunyai kerangka pikir yang sejalan dalam pendapat yang menyatakan bahwa ekonomi syariah, baik sistem maupun hukumnya, merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dan ketatanegaran. c. Al-Maqrizi (845 H/1441 M)

Al-Maqrizi melakukan studi kasus uang dan kenaikan harga yang terjadi secara periodik dalam keadaan kelaparan dan kekeringan. Ia mengidentifikasi tiga sebab dari peristiwa ini yaitu, korupsi dan administrasi yang buruk, beban pajak yang berat terhadap para penggarap, dan kenaikan pasokan mata uang fulus. Emas dan perak

merupakan standart nilai yang telah ditentukan syariah. Dan fulus dapat diterima sebagai mata uang jika dibatasi penggunaannya untuk transaksi berskala kecil.

3. Fase Ketiga

Dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 masehi, merupakan fase tertutupnya pintu ijtihad, dikenal juga sebagai fase stagnasi. Perkembangan pemikiran ekonomi Islam selama satu setengah dekade terakhir menandai fase ketiga di mana banyak berisi upaya-upaya praktikal-operasional bagi realisasi perbankan tanpa bunga, baik di sektor publik maupun swasta. Bank-bank tanpa bunga banyak didirikan, baik di negara-negara muslim maupun di negara-negara non muslim, misalnya di Eropa dan Amerika. Dengan berbagai kelemahan dan kekurangan atas konsep bank tanpa bunga yang digagas oleh para ekonom muslim –dan karenannya terus disempurnakan-langkah ini menunjukkan kekuatan riil dan keniscayaan dari sebuah teori keuangan tanpa bunga.

Sistem Ekonomi dan Fiskal pada Masa Pemerintahan Rasulallahu Saw. a. Latar Belakang

Sebelum islam datang, situasi kota Yatsrib sangat tidak menentu dikarenakan tidak memiliki pemimpin yang berdaulat penuh. Oleh karena itu beberapa kelompok penduduk kota, meminta Nabi Muhammad Saw yang terkenal dengan sifat al-amiin (terpercaya) menjadi pemimpin mereka. Nabi Muhammad saw disambut sangat hangat sebagai pemimpin kota tersebut oleh penduduknya. Dan sejak saat itulah kota Yatsrib berubah nama menjadi kota Madinah.

Berbeda halnya dengan periode mekkah, islam menjadi kekuatan politik pada periode madinah. Dan saat itu Rasulallahu menjadi pemimpin sebuah komunitas kecil

yang jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu, hingga menjadi pemimpn bangsa Madinah. Dengan demikian nabi Muhammad saw menjadi kepala Negara disamping pemimpin agama. Dengan kata lain Rasulallahu memiliki dua kekuasaan sekaligus yaitu, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi.

Setelah menjadi kepala Negara Rasulallahu saw langsung melakukan perubahan yang drastis dalam menata kehidupan di Madinah yaitu membangun kehidupan sosial, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, institusi, maupun pemerintahan yang bersih dari berbagai tradisi, ritual dan norma yang bertentangan dengan prinsip islam. Seluruh aspek masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai qur’ani seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan dan keadilan. Strategi yang dilakukan rasulallahu saw adalah dengan melakukan langkah-langkah berikut :

1. Membangun Mesjid

Mesjid ini menggunakan struktur yang sangat sederhana, menggunakan bebatuan dan batu bata sebagai dindinganya, daun-daun palem sebagai atapnya, serta batang-batang pohon kurma sebagai tiangnya. Yang kemudian diberi nama Mesjid Nabawi berfungsi sebagai Islamic Center.

2. Merehabilitasi Kaum Muhajirin

3. Memperbaiki tingkat kehidupan sosial dan ekonomi kaum muhajirin (Penduduk Mekah yang berhijrah ke Madinah)

4. Membuat Konstitusi Negara

Konstitusi Negara yang menyatakan tentang kedaulatan Madinah sebagai sebuah negara. Pemerintah menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara baik muslim maupun non-muslim, serta sistem keamanan dan pertahanan Negara.

5. Meletakkan Dasar-dasar Sistem Keuangan Negara

Dasar-dasar sistem keuangan Negara sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an. Dan menggunakan paradigma baru yang sesuai dengan nilai-nilai al-qur’an, yakni persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan.

b. Sistem Ekonomi

Seperti di Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi.Oleh karena itu,peletakan dasar- dasar sistem keuangan negara yang di lakukan oleh Rasulallah Saw.merupakan langkah yang sangat signifikan,sekaligus berlian dan spektakuler pada masa itu,sehingga Islam sebagai ssebuah agama dan negara dapat brkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.

Sistem ekonomi yag di terapkan oleh Rasulallah Saw.berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani.Alqur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam aktivitas di setiap aspek kehidupannya,termasuk di bidang ekonomi.

Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasan tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Dalam pandangan Islam,kehidupan manusia tidak bisa di pisahkan menjdai kehidupan ruhiyah dan jasmaniyah,melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan,bahkan setelah kehidupan dunia ini,Dengan kata lain,Islam tidak mengenal kehidupan yang hanya memikirkan materi duniawi tanpa memikirkan kehidupan akhirat.

c. Keuangan dan Pajak

Sebelum Nabi Muhamad s.a.w diangkat sebagai rasul dalam masyarakat jahilyah sudah terdapat lembaga politik semacam dewan perwakilan rakyat untuk ukuran

masa itu yang disebut Darun Nadriah. Di dalamnya para tokoh Mekkah berkumpul dan bermusyawarah untuk menentukan suatu keputusan etika dilantik sebagai rasul mengadakan semacam lembaga tandingan untuk itu yaitu darul arqam.

Perkembangan lembaga ini terkendala karena banyaknya tantangan dan rintangan sampai akhirnya Rasulullah memutuskan untuk hijrah ke Madinah. Ketika beliau hijrah ke Madinah maka yang pertama kali didirikan Rasulullah adalah Masjid (Masjid Quba). Yang bukan saja merupakan tempat beribadah tetapi juga sentral kegiatan kaum muslimin. Kemudian beliau masuk ke Madinah dan membentuk “lembaga”persatuan di antara para sahabatnya yaitu persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Hal ini di ikuti dengan pembangunan mesjid lain yang lebih besar (Mesjid nabawi) yang kemudian yang menjadi sentral pemerintah.

Untuk selanjutnya pendirian (lembaga) dilanjutkan dengan penertiban pasar. Rasulullah diriwayatkan menolak membentuk pasar yang baru yang khusus untuk kaum muslimin. Karena pasar merupakan sesuatu yang alamiah dan harus berjalan dengan sunatullah. Demikian halnya dalam penentuan harga dan mata uang tidak ada satupun bukti sejarah yang menunjukan bahwa nabi Muhamad membuat mata uang sendiri.

Pada tahun-tahun awal sejak dideklarasikan sebagai sebuah negara, Madinah hampir tidak memiliki sumber pemasukan ataupun pengeluaran negara. Seluruh tugas negara dilaksanakan kaum musimin secara bergotong royong dan sukarela. Mereka memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya sendiri. Mereka memperoleh pendapatan dari bebagai sumber yang tidak terikat.

Tidak hanya masa sekarang saja adanya sumber anggaran negara semisal pajak, zakat, kharaj dsb tetapi di Madinah juga pada masa rasulullah sudah ada yang namanya sumber anggaran pendapatan negara semisal pajak, zaka, kharaj dsb. Pajak (dharibah) itu sebenarnya merupakan harta yang di fardhukan oleh Alloh kepada kaum muslimin dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Dimana Alloh telah menjadikan seorang imam sebagai pemimpin bagi mereka yang bisa mengambil harta dan menafkahkannya sesuai dengan objek-obyek tertentu. Dalam mewajibkan pajak tidak mengenal bertambahnya kekayaan dan larangan tidak boleh kaya dan untuk mengumpulkan pajak tidak akan memperhatikan ekonomi apapun. Namun pajak tersebut dipungut semata berdasarkan standar cukup. Tidak hanya harta yang ada di baitul mal, untuk memenuhi seluruh keperluan yang dibutuhkan sehingga pajak tersebut di pungut berdasarkan kadar kebutuhan belanja negara.

Karakteristik pekerjaan masih sangat sederhana dan tidak memerlukan perhatian penuh. Rasulullah sendiri adalah seorang kepala negara yang merangkap sebagai ketua mahkamah agung, mufti besar, panglima perang tertinggi, serta penanggungjawab seluruh administrasi negara. Ia tidak memperoleh gaji dari negara atau masyarakat, kecuali hadiah-hadiah kecil yang pada umumnya berupa bahan makanan.

Majelis syura terdiri dari para sahabat terkemuka yang sebagian dari mereka bertanggung jawab mencatat wahyu. Pada tahun keenam hijriah, sebuah sekretariat sederhana telah dibangun dan ditindak lanjuti dengan pengiriman duta-duta negara ke berbagai pemerintahan dan kerajaan.

Demikianlah adanya sumber pendapatan negara semisal sistem keuangan dan pajak yang ada pada masa rasulullah yang dapat menjadikan kaum muslimin bisa hidup sejahtera. Tanpa adanya permsuhan dan kesenjangan sosial subhanalloh begitu menakjubkan sekali ditengah kesederhanaannya tetapi bisa menjadikan seluruh kaum muslimin bisa menjalankan aktivitas perekonomian dengan tidak mengesampingkan rasa ukhuwah mereka.

1. Sumber-sumber Pendapatan Negara

a. Uang tebusan untuk para tawanan perang ( hanya khusus pada perang Badar, pada perang lain tidak disebutkan jumlah uang tebusan tawanan perang ).

b. Pinjaman-pinjaman ( setelah penaklukan kota Mekkah ) untuk pembayaran uang pembebasan kaum muslimin dari Judhayma/ sebelum pertemuan Hawazin 30.000 dirham ( 20.000 dirham menurut Bukhari ) dari Abdullah bin Rabia dan pinjaman beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sufyan bin Umaiyah ( sampai waktu itu tidak ada perubahan ).

c. Khums atas rikaz harta karun temuan pada periode sebelum islam.

d. Amwal fadillah yaitu harta yang berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negrinya.

e. Wakaf yaitu harta benda yang didedikasikan oleh seorang muslim untuk kepentingan agama Allah dan pendapatnya akan disimpan di Baitul mal. f. Nawaib yaitu pajak khusus yang dibebankan kepada kaum muslimin yang

kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaaraan negera selama masa darurat.

g. Zakat fitrah

h. Bentuk lain sedekah seperti hewan qurban dan kifarat. Kifarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan oleh seorang muslim pada saat melakukan kegiatan ibadah.

i. Ushr

j. Jizyah yaitu pajak yang dibebankan kepada orang-orang non muslim.

k. Kharaj yaitu pajak tanah yang dipungut dari kaum non muslim ketika wilayah khaibar ditakhlukkan.

l. Ghanimah. m. Fa’i

2. Sumber-sumber Pengeluaran Negara

a. Biaya pertahanan seperti persenjataan, unta, dan persediaan.

b. Penyaluran zakat dan ushr kepada yang berhak menerimanya menurut ketentuan Al-Qur’an, termasuk para pemungut zakat.

c. Pembayarnan gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muadzin, dan pejabat negara lainnya.

d. Pembayaran upah para sukarelawan. e. Pembayaran utang negara.

f. Bantuan untuk musafir.

g. Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah. h. Hiburan untuk para delegasi keagamaan.

i. Hiburan untuk para utusan suku dan negera serta perjalanan mereka. j. Hadiah untuk pemerintah negara lain.

k. Pembayaran untuk pembebasan kaum muslim yang menjadi budak.

Dalam dokumen MODUL PENGANTAR EKONOMI ISLAM (Halaman 34-88)

Dokumen terkait