• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI KEADAAN BAHASA DI SEKUBANG KECAMATAN SEPAUK, KABUPATEN SINTANG, KALIMANTAN BARAT

2.2 Sejarah Kabupaten Sintang

Banyak cerita orang Sintang mengenai asal usul Sintang. Ada yang mengatakan kota Sintang pada zaman dahulu merupakan bekas sebuah kerajaan Islam dengan sebuah istana. Istana tersebut bernama Al-Mukaramah yang terletak di tepi Sungai Kapuas. Al-Mukaramah dibangun pada tahun 1839. Al-Mukaramah hingga kini masih berdiri kokoh yang kerap dijadikan objek wisata. Al-mukaramah adalah kerajaan Hindu yang beralih menjadi kerajaan Islam (Syahzaman & Hasanuddin, 2003: 15).

Tokoh utama di balik berdirinya Kerajaan Sintang adalah Aji Melayu. Pada abad ke-4 Masehi, Aji Melayu pergi ke daerah Kujau, yakni Tanah Baalang di Semenanjung Melaka. Semenanjung Melaka merupakan pusat Kerajaan Hindu. Dari Kujau, Aji Melayu pindah ke desa Tebelian, Nanga Sepauk. Di desa itu, Aji Melayu menikahi seorang wanita yang bernama Putung Kempat. Kemudian mereka dikaruniai anak yang bernama Dayang Lengkong (Syahzaman & Hasanuddin, 2003: 15).

16

Kepulangan Aji Melayu dari perantauan membawa ajaran Hindu. Sejak itulah berdiri kerajaan Hindu di Sepauk. Bukti sejarah berdirinya kerajaan Hindu dapat dilihat dari benda peninggalan sejarah yaitu patung yang terbuat dari perunggu berbentuk dewa bertangan empat. Patung tersebut diyakini sebagai patung Dewa Syiwa (Dewa agama Hindu) di Desa Temiang Empakan, Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang. Pada abad ke-22, raja Sintang dijabat oleh Demang Irawan memindahkan dari Sepauk ke Senentang. Demong Irawan kemudian memilih lokasi di persimpangan antara Sungai Melawi dan Sungai Kapuas yang diberi nama Senentang. Senentang yaitu kerajaan yang diapit oleh beberapa sungai. Lambat laun, penyebutan Senentang berubah menjadi Sintang. Setelah berdirinya kerajaan, Demong Irawan memakai gelar Jubair Irawan I menanamkan sebuah batu yang menyerupai buah kundur. Batu tersebut berada di halaman istana Sintang diyakini masyarakat setempat sebagai batu keramat yang memiliki tuah. Kekuasaannya pada masa itu mencakup Sepauk dan Tempunak (Syahzaman & Hasanuddin, 2003: 19).

Aji Melayu diperkirakan nenek moyang raja-raja atau sultan-sultan di Kerajaan Sintang. Tidak banyak data yang mengungkap tentang asal-usul siapa sebenarnya Aji Melayu. Ada sumber yang menyebutkan bahwa ia merupakan penyebar agama Hindu dari Tanah Balang (Semenanjung Malaka) ke Sepauk. Awalnya Aji Melayu menetap di Kujau, dan kemudian pindah ke Sepauk hingga akhir hayatnya. Setelah meninggal Aji Melayu dimakamkan di Tanah Tanjung daerah muara Sungai Sepauk. Sepeninggal Aji Melayu, berturut-turut penguasa di Nanga Sepauk, yakni Dayang Lengkong, Dayang Randung, Abang Panjang, Demang Karang (berkuasa sekitar Abad ke-7 M), Demong Kara, Demong Minyak (Macak) kemudian Demong Irawan. Pada masa Demong Irawan berkuasa, Kerajaan Sintang resmi berdiri sekitar abad ke-13 (1262 M) (Syahzaman & Hasanuddin, 2003: 19).

17

Sebelum mendirikan kerajaan Sintang, Demong Irawan melakukan pengembaraan dengan menyusuri Sungai Kapuas sampai ke daerah pertemuan antara Sungai Kapuas dan Melawi yang disebut daerah Nanga Lawai. Kemudian di daerah Nanga Lawai didirikan permukiman yang berkembang menjadi sebuah kerajaan yang dikenal sebagai kerajaan Sintang. Berkembangnya permukiman di Nanga Lawai menarik perhatian Patih Logender dari kerajaan Singasari. Kedatangan Patih Logender beserta pengikutnya disambut baik oleh Jubair Demong Irawan 1. Bahkan Patih Logender diizinkan untuk tinggal di Kerajaan Sintang. Patih Logender diangkat menjadi penasihat dan dinikahkan dengan putri Jubair Demong Irawan 1 yang bernama Dara Juanti. Setelah Jubair Demong Irawan 1 meninggal pada tahun 1291 M, Dara Juanti naik tahta menjadi ratu di Kerajaan Sintang, sedangkan Patih Logender tetap dijadikan penasihat ratu (Syahzaman & Hasanuddin, 2003: 26).

Setelah Dara Juanti meninggal, tidak ada kejelasan mengenai raja/ratu penganti. Namun, sekitar tahun 1640 M terdapat raja bernama Abang Samad yang memerintah kerajaan Sintang. Setelah Abang Samad turun tahta, berturut-turut posisi raja ditempati oleh Jubair II, Abang Suruh, Abang Tembilang, Pangeran Agung (1640-1715 M), Pangeran Tunggal (1715-1725), dan Raden Putra.

Proses masuknya budaya Islam ke Kalimantan Barat, termasuk ke Kerajaan Sintang, diyakini melalui aliran Sungai Sambas, kemudian menyebar ke Singkawang, Mempawah, dan Pontianak dengan menyusuri Sungai Kapuas. Selanjutnya, penyebaran dilakukan melalui Sungai Landak, masuk ke daerah Tayan, Sintang, dan Nanga Pinoh. Dari daerah Sintang, dakwah Islam menyusuri Sungai Kapuas sampai daerah Putusibau. Penyebaran ini berlangsung tahun 1500-1800 M. Pengaruh Islam mulai masuk ke Kerajaan Sintang ketika kerajaan ini dipimpin oleh Raden Purba. Kota Sintang zaman dahulu tidak pernah lepas dari pengaruh-pengaruh kerajaan

18

yang ada. Raja Abang Tembilang atau Abang Pencin yang bergelar Pengeran Agung. Raja Abang Pencin merupakan penguasa paling akhir Kerajaan Sintang. Kerajaan Sintang yang menganut agama Hindu dan Aninisme, kemudian berduyun-duyun memeluk agama Islam (Syahzaman & Hasanuddin, 2003: 30).

Sejak itu pemeluk agama Islam mulai memimpin Kesultanan Sintang. Setelah Raja Abang Pencin wafat, putranya yang bernama Pengeran Tunggal dinobatkan sebagai Raja di Kesultanan Sintang yang ke-28. Setelah wafatnya Pangeran Tunggal digantikan oleh Raden Purba. Sebelum Raden Purba Meninggal, disebutkan bahwa Raden Purba telah memeluk agama Islam. Raden Purba memerintah di Kerajaan Sintang sampai sekitar abad ke-18 bersamaan dengan masuknya pengaruh Islam ke Kerajaan Sintang dan Kapus Hulu. Setelah Raden Purba Meninggal, Tahta Kesultanan Sintang dipimpin oleh Adi Nata bergelar Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa‟adul Khairiwaddin. Sultan Nata merupakan putra dari Mangku Malik dan Nyai Cilik (adik Pangeran Tunggal) (Syahzaman & Hasanuddin, 2003: 30).

Pemerintahan Sultan Nata ditandai dengan berbagai macam perubahan yang sifatnya mendasar. Pertama kali, mulai dibangunnya masjid yang terletak di ibu kota Kesultanan dengan kapasitas 50 orang. Pada masa itu pula, wilayah kekuasaan Sintang Meluas hingga ke daerah Ketungau Hilir dan Ketungau Hulu, daerah perbatasan Serawak, Kalimantan Tengah dan Melawi. Perubahan paling signifikan adalah bergantinya bentuk kerajaan menjadi Kesultanan dan penyusunan Undang-Undang Kesultanan. Undang-Undang Kesultanan Sintang tersebut membuat tata kehidupan masyarakat Sintang dan adat istiadatnya berubah baik. Pergantian Raja, kekalahan, dan kemenangan dalam perang juga ikut merangkai perjalanan sejarah panjang kota Sintang (Syahzaman & Hasanuddin, 2003: 30).

19

Setelah bertahun-tahun lamanya Kesultanan Sintang berjalan damai sampai pada masa Sultan Ade Noh. Pada Juli 1822 M, Kesultanan Sintang kedatangan rombongan dari Belanda yang dipimpin oleh J.H. Tobias, yaitu seorang komisaris dari Kust Van Borneo. Sejarah Sintang pun mulai bersentuhan dengan pihak Belanda. Maksud tujuan rombongan Belanda tersebut adalah untuk mengatakan kerja sama dengan Kesultanan Sintang. Namun Sultan Ade Noh tidak bersedia menemuai Tobias. Kemudian rombongan Belanda tersebut hanya ditemui oleh pejabat Kesultanan yang bernama Mangkubumi. Pada misi pertama Belanda terhadap Kota Sintang pun dikatakan gagal (Syahzaman & Hasanuddin, 2003: 88).

Setelah Sultan Ade Noh meninggal, posisinya digantikan oleh Gusti Muhammad Yasin dengan gelar Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin. Di masa kekuasaan Pangeran Adipati inilah datang rombongan Belanda yang kedua pada November 1822 yang dipimpin oleh Dj. Van Dugen Gronovius dan Cf. Golman, serta Syarif Ahmad Alkadrie sebagai juru bicara (Syahzaman & Hasanuddin, 2003: 88).

Pada misi kedua, kedatangan rombongan Belanda ini sukses menghasilkan beberapa kesepakatan yang banyak menguntungkan pihak Belanda. Sehingga tidak heran jika dikemudian hari Belanda leluasa melakukan berbagai intervensi terhadap Kesultanan Sintang. Kota Sintang perlahan dikuasai oleh pihak Belanda (Syahzaman & Hasanuddin, 2003: 100).

Daerah Sintang pada masa pemerintahan Belanda (tahun 1936) merupakan daerah Landschop di bawah naungan Pemerintahan Gouvernement. Daerah Landschop dipimpin oleh seorang Controleur atau Gesagkekber. Daerah Landschop ini terbagi menjadi empat onderafdeling. Empat onderafdeling tersebut, yakni Onderafdeling Sintang yang berkedudukan di Sintang, Onderafdeling Melawi berkedudukan di Nanga Pinoh, Onderafdeling Semitau

20

berkedudukan di Semitau, dan Onderafdeling Boven Kapuas berkedudukan di Putussibau (BPS Kabupaten Sintang 2016: 28)

Daerah Kerajaan Sintang yang didirikan oleh Demang Irawan (Jubair 1) dijadikan daerah Swapraja Sintang. Sementara Kerajaan Tanah Pinoh dijadikan Neo Swapraja Tanah Pinoh. Pemerintah Landshop ini berakhir pada tahun 1942. Sejak pemerintah Landshop berakhir Kesultanan Sintang terus dirongrong kewibawaannya oleh Belanda. Akan tetapi, Indonesia berhasil berdiri dan mengusir Belanda dari Sintang. Setelah Belanda keluar, datanglah Jepang untuk menguasai bumi pertiwi termasuk kota Sintang. Pemerintahan kota Sintang pun diambil alih oleh Jepang (BPS Kabupaten Sintang 2016: 28).

Pada masa pemerintahan Jepang, struktur pemerintahan yang berlaku tidak mengalami terlalu banyak perubahan. Perubahan yang terjadi hanyalah sebutan kepala pemerintahan yang disesuaikan dengan bahasa negara yang memerintah saat itu. Kepala pemerintah disebutkan Ken Karikan (semacam sebutan Bupati sekarang). Sementara wilayah disebut Bunken Karikan dan setiap kecamatan diangkat Gunco (Kepala Daerah) (BPS Kabupaten Sintang 2016: 29).

Setelah adanya pengakuan kedaulatan dari pihak Belanda kepada pihak Indonesia, kekuasaan pemerintahan Belanda yang disebut Afdeling Sintang diganti dengan Kabupaten Sintang. Sementara Onderafdeling diganti dengan Kewedanan. Distric diganti dengan Kecamatan. Demikian pula dengan jabatan Residen diganti dengan Bupati. Kepala Distric diganti dengan Camat. Sementara pada waktu itu yang menjadi Bupati Sintang adalah Bapak L. Toding (BPS Kabupaten Sintang 2016: 29).

Untuk merelisasikan pelaksanaan UU No. 3 Tahun 1953, UU No. 25 Tahun 1956, dan UU No. 4 Tahun 1956 tentang pembentukan DPRD dan DPR Peralihan, maka pada 27 Oktober 1956 dilaksanakan pelantikan Keanggotaan DPRD Peralihan Kabupaten Sintang. Selanjutnya,

Dokumen terkait