• Tidak ada hasil yang ditemukan

Richard Stallman

SEJARAH OPEN SOURCE DI INDONESIA

Bagian ini akan mengkaji rangkaian peristiwa yang pernah terjadi milenium yang lalu di Indonesia. Banyak kejadian pada saat tersebut yang tidak terdokumensi secara sistematis, sehingga tulisan ini diharapkan sudah cukup untuk memberikan gambaran perihal rangkaian kejadian pada saat tersebut.

Hingga 1970-an, perangkat keras komputer berbentuk

main

frame

atau

mini

yang dikelola oleh sebuah tim yang eksklusif di dalam sebuah "ruang kaca" yang steril. Populasi komputer secara keseluruhan sangat sedikit berhubung harganya sangat mahal. Pemeliharaan instalasi komputer dipercayakan kepada agen pemasok (

supplier

), sehingga

supervisi

kepemilikan perangkat lunak dapat dilakukan secara relatif ketat. Walau pun demikian, terkandang para pemasok tersebut meminjamkan perangkat lunak tanpa seizin pemilik lisensi.

Tahun 1980-an ditandai dengan kemunculan komputer Apple II berbasis 6502 /1 MHz dengan opsi tambahan prosesor Zilog Z80/ 2 MHz.

Komputer ini menggunakan media penyimpanan disket yang mudah digandakan, sehingga memudahkan pendistribusian perangkat lunak

Public Domain

(PD) maupun

Shareware

. Namun, media disket ini pun menyebabkan kehadiran perangkat

lunak tanpa lisensi yang sering diberi istilah perangkat lunak

bajakan

.

Pola penggunaan perangkat lunak tersebut dilanjutkan pada saat kehadiran PC berbasis Intel 8088 (16 bit / 4.77 MHz / PC / MS-DOS), serta

work-station

Unix berbasis Motorola 68k (32 bit). Jika sebelumnya bentuk pendistribusian dalam bentuk biner, pada sistem berbasis unix juga disertakan

source code

dari program tersebut.

Selain dengan media magnetik, pendistribusian juga mulai dilakukan melalui jaringan secara

online

(ARPAnet), atau secara

batch

(

usenet

) dengan

newsgroup

seperti comp.source.unix, alt.source, dll. Penyertaan source code dan pendistribusian melalui jaringan ini merupakan cikal bakal tradisi Open Source Software.

Tema penelitian bidang ilmu komputer pada 1980-an ini mencakup pemodifikasian dan pem-porting-an perangkat lunak jenis Public Domain. Motivasi penggunaan Public Domain ini tersebut

bukan

berdasarkan moral, melainkan kepraktisan belaka yaitu meneruskan/mengikuti trend penelitian di luar negeri. Beberapa perangkat lunak yang digunakan pada waktu itu seperti GCC Compiler untuk Unix, UUCP, CNEWS 2.11, X.400 EAN, Silicon Compiler, Cross Compiler (Modula 2, Pascal), UIUC Notes, dan lain sebagainya.

Menjelang akhir 1980-an dan awal 1990-an, hadir perangkat PC yang cukup canggih (i486) yang dilengkapi sistem operasi seperti

SCO Xenix

dan

SCO Unix

. Selain stabil, sistem operasi tersebut mendukung berbagai jenis perangkat keras dan perangkat aplikasi bisnis. Namun kekurangan dari sistem tersebut diantaranya lisensi yang mahal sehingga kembali menjadi sasaran "

pembajakan

". Selain itu, tanpa penyertaan

source-code

berakibat sistem operasi tersebut sulit dimodifikasi/

fine tuning

.

Pada tahun 1991, Linus Torvalds memperkenalkan kernel Linux melalui

newsgroup

"comp.os.minix" yang disambut secara antusias oleh komunitas programer. Namun tidaklah demikian sambutan dari kalangan dunia usaha, berhubung kernel tersebut masih kurang stabil serta tidak didukung oleh perangkat asesoris yang memadai. Setahun kemudian, Paulus Suryono Adisoemarta dari Texas, memperkenalkan distribusi SLS dengan kernel versi 0.9 kepada masyarakat Indonesia.

Sayang sekali, versi tersebut pada saat itu masih memiliki beberapa kelemahan, terutama dalam mendukung perangkat keras seperti

ethernet board

dan

serial board

. Pada tahun 1994, diperkenalkan distribusi Slackware dengan kernel versi 1.0.8 kepada masyarakat akademika di Universitas Indonesia. Distribusi ini sudah mendukung TCP/IP serta X11R4. Slackware menjadi populer di kalangan para mahasiswa UI, karena pada waktu itu merupakan satu-satunya distribusi yang ada. Secara bersamaan, Linux mulai digunakan pada salah satu mesin operasional IPTEKnet, yaitu MIMO.

Bersamaan dengan pengenalan distribusi ini, Internet komersial mulai hadir di Indonesia. Sustainable Development Network Indonesia dapat dikatakan merupakan merupakan proyek pertama (1994) yang menggunakan Linux di luar komunitas riset/ pendidikan. Distribusi yang digunakan ialah Slackware (kernel 1.0.9) pada mesin 486 33Mhz, 16 Mbyte RAM, 1 Gbyte disk, serta

leased-line ethernet

10 Mbps ke IndoInternet. Setahun kemudian (1995), IndoInternet berhasil diyakinkan untuk mulai mengadaptasi sistem Linux. Sistem pertama yang digunakan untuk operasional merupakan router dengan tiga

ethernet board

(kakitiga.indo.net.id) yang digunakan untuk men-segmentasi intranet mereka. Selain itu, sistem pendaftaran domain ".ID" pun sudah menggunakan mesin Linux.

Tanda-tanda aktivitas Linux pun mulai bermunculan serentak di mana-mana pada tahun 1995 tersebut. Bambang Nurcahyo

Prastowo memperkenalkan distribusi S.u.S.E 4.4.1 (kernel 2.0.29) pada masyarakat Yogyakarta. Sebuah milis Linux pernah dirintis pada tahun 1996, namun gagal karena kekurangan inersia. Setahun berikutnya, dapat dikatakan sebagai tahun kebangkitan Linux Indonesia. Sebuah milis kembali terbentuk, yang diikuti oleh berbagai InstallFest, lokakarya, seminar, serta publikasi berturut-turut di media KompuTek, Mikrodata, dan InfoKomputer. Kelompok Pengguna Linux Indonesia (KPLI) pun menjamur di berbagai kota di Indonesia.

Kesuksesan Linux di Indonesia merupakan sinergi dari sekurangnya 4 (empat) faktor yang akan diungkapkan dalam tulisan berikut ini.

Pertama

, diperlukan provokator yang bertugas memperkenalkan sistem Linux melalui milis, seminar, dst. Yang bersangkutan ini tidak harus seorang pakar Linux ataupun terlibat langsung di lapangan. Provokasi ini akan berpengaruh positif terhadap opini masyarakat. Sebaliknya, sifat kepriyayian ─seperti asyik bermain sendiri di menara gading─ berpotensi sebagai faktor penghambat penyebaran Linux.

Kedua

, pendekatan tidak cukup satu arah

bottom up

ataupun

top down

, namun harus ada timbal balik antara keduanya. Provokasi sehebat apapun tidak akan bermanfaat, jika tidak ada "

bahan bakar

" (dukungan) yang cukup. Harus juga disadari bahwa tidak semua gagasan akan sukses, dan tidak semua kejadian dapat diprediksi secara presisi sejak awal.

Ketiga

, harus ada motivasi jelas dan kuat, dan bukan hanya sekedar retorika serta semboyan kosong. Linux menawarkan solusi murah meriah, yang mendapatkan sambutan positif dari para kelompok generasi muda yang pragmatis.

Terakhir

, suasana dan event yang mendukung. Linux mulai marak pada tahun 1997 seiring dengan peningkatan kepopuleran internet di Indonesia (pra krismon). Inersia yang

cukup akan membangkitkan reaksi rantai.

Semakin banyak yang menggunakan Linux berarti semakin sedikit yang tidak menggunakan. Populasi pengguna linux yang banyak akan menarik pengguna yang lebih banyak lagi. KPLI yang muncuk dibentuk di sebuah kota dapat mendorong proses pembentukan KPLI di kota berikutnya. Selain itu, pengembangan Linux ini mendapat dukungan teknis secara gotong royong melalu milis.

Pada periode 1991 - 1994, kegiatan penyebaran Linux kurang mendapatkan sambutan. Dalam kondisi demikian, provokasi secanggih apa pun tidak akan banyak berpengaruh. Baru mulai 1994, motivasi penggunaan Linux meningkat sebagai alternatif terminal X11 yang murah meriah. Setahun kemudian, Linux bahkan mulai digunakan secara operasional di sebuah penyelenggara Internet komersial. Selama periode 1994 - 1997 ini, momentum penggunaan Linux dalam keadaan sangat kritis yaitu: memiliki peluang sama untuk sukses ataupun gagal. Dukungan institusional (top down) dari Universitas Indonesia membantu menstabilkan momentum ini, namun tidak sampai menjadi faktor utama kesuksesan Linux di Indonesia! Justru, motor dari kesuksesan Linux ialah para profesional muda yang terjun ke bidang Internet pasca 1997. Sayang sekali, gerakan Open Source Software sementara ini baru berhasil di lingkungan

teknis

, sementara lingkungan bisnis masih belum tertarik untuk menggunakan Open Source Software. Diperlukan usaha ekstra untuk memajukan sektor

office automation

ini. Masalah ini tidak dapat hanya diatasi secara

bottom-up

. Dukungan pimpinan dibutuhkan untuk mendorong pengurangan secara bertahap penggunaan perangkat lunak yang dianggap tanpa lisensi sah.

Dukungan

top-down

ini perlu ditunjukkan dengan mengangkat CIO (

Chief Information Officer

) yang memiliki komitmen

terhadap Open Source Software. Tidak dapat dipungkiri, bahwa usaha ini membutuhkan pengalokasian sumber daya manusia dan biaya yang tidak sedikit. Diperlukan pula unsur kolaborasi karena banyak hal yang tidak bisa dikerjakan sendiri. Dukungan secara

grass-root

/

bottom-up

akan membantu terbentuknya Masyarakat Digital Gotong Royong (MDGR) yang bersifat informal.

Jika negara-negara yang sedang berkembang ini memanfaatkan Open Source Software, dengan sendirinya berarti tidak menggunakan perangkat lunak yang berlisensi. Menurut I Made Wiryana, inisiatif penggunaan Open Source Software dapat dimulai oleh para pendidik bidang teknologi informasi.