• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN PERANCANGAN

B. Keadaan Umum Pasar Klithikan Notoharjo

1. Sejarah Pasar Klithikan Notoharjo

a. Tumbuhnya Belantara PKL di kawasan Monumen ’45 Banjarsari

Kawasan yang sekarang dikenal sebagai Kawasan Monumen ’45 Banjarsari dulunya adalah kawasan elite, tempat hunian para bangsawan Belanda, yang kesohor sebagai Villa Park. Di wilayah ini terdapat pula sebidang tanah lapang, yang kerapkali dimanfaatkan oleh para prajurit Mangkunegaran untuk berlatih perang dan ketrampilan berkuda (Badan Informasi dan Komunikasi, 2007:16).

Pada saat perjuangan merebut kemerdekaan, tempat ini digunakan sebagai ajang pengaturan siasat pertahanan kota oleh Overste Slamet Riyadi, menjelang masuknya (kembali) pasukan Belanda ke Kota Solo. Di sinilah kemudian meletus peristiwa legendaris yang dikenal dengan Pertempuran Empat Hari di Solo.

Untuk mengenang heroismenya perjuangan rakyat Solo pada peristiwa tersebut, Pemkot Surakarta membangun monumen di tempat itu pada 31 Oktober 1973. sedangkan peresmiannya dilakukan pada 10 November 1976 oleh Gubernur Jawa Tengah (kala itu), Soepardjo Roestam.

Pembangunan Monumen’45 Banjarsari disamping bertujuan agar semangat perjuangan para pelaku pertempuran itu bisa diwarisi dan diteruskan oleh generasi mendatang juga sekaligus difungsikan sebagai ruang publik, tempat rekreasi yang asri dan bersih teduh lantaran dinaungi rimbunnya dedaunan dan deretan pohon-pohon besar yang tumbuh di sekitarnya sebagai ruang terbuka hijau, menjadi paru-paru kota membuat Solo lebih sejuk, sekaligus sebagai wilayah resapan air.

Sampai menjelang tahun 1998, kawasan Monumen Banjarsari sudah menjadi salah satu tempat favorit yang didatangi warga Solo untuk bersantai, berolahraga bermain anak-anak maupun sekadar melepaskan penat, juga sekolah-sekolah yang berada di sekitar menggunakannya untuk berolahraga bagi siswa-siswanya.

Saat itu sebenarnya sudah ada pedagang kaki lima, tetapi jumlahnya masih sedikit hanya berupa gerobak dan beberapa lainnya tenda bongkar pasang (knock down), namun pasca kerusuhan Mei 1998 di kawasan Monumen ’45 Banjarsari

commit to user

jumlah PKL mengalami pertambahan yang besar. Sejak itu keasrian dan kebersihan kawasan tersebut seakan tergerus dengan cepat, berganti dengan kekumuhan yang tak sedap dipandang, seperti tenggelam terlantar dalam belantara PKL.

Perkembangan PKL yang tak terkendali juga menimbulkan dampak samping lainnya, yakni terjadinya kesemrawutan lalu-lintas di kawasan tersebut dan menurunnya kualitas lingkungan, yang dampaknya tidak hanya dirasakan warga sekitar kawasan, tetapi juga seluruh warga kota. Sebagai ruang terbuka hijau, kawasan Monumen ’45 Banjarsari mestinya bisa menjadi paru-paru kota, sehingga dapat membuat Solo lebih sejuk, sekaligus sebagai wilayah resapan air.

Berdasarkan hasil pendataan Kantor Pengelolaan Pedagang Kaki Lima (KP PKL) Kota Surakarta per Desember 2005, setidak-tidaknya terdapat 989 pedagang yang terdaftar disana. Mereka tergabung dalam 10 paguyuban.

Tabel 8. Jumlah PKL Monumen Banjarsari Berdasarkan Dagangannya

(Sumber : Arsip, 2007)

Jumlah & Komposisi PKL MonjariBerdasarkan Dagangannya 1. Alat mobil : 100 2. Alat motor : 222 3. Aki : 9 4. Ban : 20 5. Sandal/sepatu : 78 6. Helm : 25 7. Elektronik : 148 8. Makanan/minuman : 66 9. Alat pertanian/diesel : 15 10. Pakaian : 81 11. Handphone : 20 12. Alat bangunan : 35 13. Barang antic : 11 14. Las : 11 15. Cat : 8 16. Barang bekas : 64 17. Kaset CD : 29 18. Lain-lain : 47 Jumlah : 989

commit to user

Tabel 9. Daftar Paguyuban Jumlah PKL Monumen Banjarsari

(Sumber : Arsip, 2007)

Warga Kota Solo umumnya merindukan kebahagian ketika dahulu dapat menikmati kawasan Monumen Banjarsari sebagai ruang publik, tempat olahraga, rekreasi yang bersih, asri, dan nyaman sehingga meminta Pemerintah Solo untuk mengembalikan kawasan Monumen Banjarsari seperti fungsi peruntukan semula.

Selain itu, penataan PKL memang menjadi salah satu program prioritas Walikota-Wakil Walikota, Jokowi-Rudy, dalam upaya untuk membuat Kota Solo kembali Bersih, Sehat, Rapi dan Indah (Berseri). PKL disamping ditata dan ditertibkan juga diberdayakan sebagai ekonomi kerakyatan yang dapat berkembang dengan baik di Kota Solo.

Pemkot mempunyai dasar kuat untuk membersihkan Kawasan Monumen’45 Banjarsari dan PKL, karena keberadaan mereka tidak sesuai dengan peruntukan tata ruang kota. Kawasan tersebut sebagai sebuah “situs” sejarah dan ruang publik, serta merupakan wilayah resapan air dan ruang terbuka hijau, sehingga terganggunya fungsi-fungsi tersebut juga akan menimbulkan persoalan lingkungan yang berdampak luas bagi masyarakat dan Kota Solo.

Daftar Paguyuban & Jumlah PKL Kawsan Monumen ’45 Banjarsari

No Nama Paguyuban Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Masyarakat Mandiri Masyarakat Mandiri Jl. Bali Pengin Maju Roda-2 PKL 2000 PKL Sumber Urip PKL Sumber Rejeki PKL Guyub Rukun A PKL Guyub Rukun B PKL Non Paguyuban 319 27 50 77 90 160 90 60 16 100 Jumlah : 989

commit to user

Relokasi PKL ketempat lain dirasa Walikota Jokowi sebagai jalan terbaik. Hal itu sama sekali bukan dimaksudkan umuk meminggirkan para PKL,namun justru ingin memberikan kepastian dan kelangsungan usaha sekaligus rasa aman bagi PKL. Apalagi di tempat yang baru nanti juga disediakan fasilitas usaha yang sangat layak, sehingga diharapkan bisa meningkatkan usaha mereka.

b. Lintas Masa Kepemimpinan 3 Walikota

Wacana soal relokasi PKL Monumen Banjarsari sebenarnya sudah berlangsung lama, dimulai dan masa kepemimpinan Walikota Imam Sutopo, Walikota-Wakil Walikota Slamet Suryanto - J Soeprapto, hingga akhirnya ke masa kepemimpinan Walikota-Wakil Walikota saat ini, Joko Widodo (Jokowi) - FX Hadi Rudyatmo (Rudy) di penghujung tahun 2005 mengangkat kembali wacana relokasi PKL Monumen’45 Banjarsari. Namun sebagian PKL menolak rencana Pemkot tersebut. Bahkan sempat tercetus rencana untuk turun ke jalan. (Badan Informasi dan Komunikasi, 2007:36).

Musyawarah untuk mewujudkan rencana relokasi antara pemkot dengan PKL dilakukan berulang-ulang hingga sebagian besar PKL menyetujui untuk direlokasi ke kawasan Semanggi. Walikota menegaskan relokasi justru akan menjamin kepastian dan kelangsungan usaha mereka, sesuai konsep relokasi PKL Monumen’45 didasari pemikiran bahwa PKL merupakan salah satu potensi ekonomi yang dipunyai Kota Solo, yang keberadaannya tetap dipertahankan tanpa harus mengabaikan aturan-aturan hukum yang ada serta kepentingan seluruh warga Kota Solo.

Setelah melalui serangkaian pertemuan dan pembicaraan, menunjukkan hal yang menggembirakan. Dari waktu ke waktu makin banyak PKL yang menyetujui program relokasi. Bahkan Kepala Kantor Pengeloiaan PKL Kota Surakarta, Bambang Santosa Wiyono, SH. MM, kepada wartawan, pada 12 Januari 2006, mengatakan seluruh PKL Monumen’45 Banjarsari yang berjumlah 989 pedagang telah mendaftarkan diri untuk direlokasi ke Semanggi.

commit to user

c. Pembangunan Pasar Klithikan

Pemkot telah menyiapkan lahan di Semanggi seluas 11.950 m2, untuk pembangunan pasar Klithikan sebagai tempat relokasi PKL Monumen ’45 Banjarsari. Pasar dibangun dengan kios sebanvak 1.018 buah dengan tempat parkir mobil, parkir sepeda motor, koridor, kantor pengelola, mushola dan lavatori (kamar mandi & toilet umum) (Badan Informasi dan Komunikasi, 2007:42).

Pemilihan Semanggi bukannya tanpa pertimbangan seksama, karena wilayah ini ditunjang beberapa potensi, di antaranya sarana transportasi cukup lengkap, adanya pusat-pusat kegiatan sebagai pemacu pertumbuhan kawasan, berupa pasar besi, pasar ayam, pasar klithikan, pasar rakyat, rumah toko (ruko), subterminal dan bongkar muat, perumahan, penginapan, hotel dan restoran, rumah sakit, serta tempat ibadah. Di samping itu, Semanggi juga berada di kawasan pertumbuhan wilavah perbatasan.

Jualan para PKL di tempat yang baru nantinya diyakini akan kerap laku karena beberapa hal, yaitu citra usaha PKL (eks) Monumen’45 Banjarsari yang telah terbentuk, harga yang lebih murah dibandingkan dengan di toko-roko, sarana angkatan yang memadai (Angkutan, bus kota dan bus antar wilayah), sarana kawasan memadai (jalan, sub terminal, penunjuk arah dan pusat kegiatan lainnya), serta kenyamanan pembeli pun akan lehih baik ketimbang saat masih di Banjarsari.

d. Pengundian Kios Memberikan Keadilan Bagi Para PKL

Undian kios dilaksanakan pada tanggal 13 Juli 2006 di Pendapa Gede komplek Balaikota Surakarta. Para PKL menempati kios sesuai zoning dan hasil undiannya yang dilakukan oleh paguyuban pedagang, difasilitasi oleh Pemkot, rnenggunakan metode dan ketentuan yang telah disepakati bersama. Seusai tahap pelaksanaan undian, pedagang “diikat“ sebuah perjanjian tertulis agar mematuhi pembagian zoning, hasil undian dan ketentuan lainnya yang berlaku mengenai pasar. Salah satu hal penting dalam perjanjian itu adalah komitmen untuk tidak menjual atau

commit to user

mengalihkan hak penempatan kios yang menjadi jatahnya. (Badan Informasi dan Komunikasi, 2007:61-62).

PKL Monumen ’45 yang direlokasi ke Pasar Klithikan NotoharjoSemanggi oleh Pemkot diberi kemudahan mendapatkan Surat Hak Penempatan (SHP), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) tanpa membayar alias gratis.

e. Boyongan dengan Kirab Budaya

Tanggal 23 Juli 2006 Kota Solo digelar prosesi kirab budaya boyongan pedagang kaki lima (PKL) dari Kawasan Monurnen ’45 Banjarsari menuju lokasi yang baru di Semanggi, Pasar Kliwon, yang diberi nama “Klithikan Notoharjo”. Rombongan kirab dilepas oleh Wakil Walikota Hadi Rudyatmo dengan upacara sederhana dari Monumen ’45 Banjarsari.

Kirab Budaya Boyongan 989 PKL dari Kawasan Monumen ‘45 Banjarsari menuju pasar Klithikan Notoharjo dilakukan dengan nuansa Jawa. Sebagian besar peserta kirab berpakaian adat Jawa termasuk: Walikota dan Wakil Walikota, dan hadirnya kereta kuda serta barisan prajurit dari Keraton Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran dan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Kirab terasa meriah, karena selain diikuti oleh para PKL, juga oleh rombongan para pejabat di lingkungan Pemerintah Kora Surakarta, anggota DPRD Kota Surakarta, pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka), dan beberapa elemen masyarakat (Badan Informasi dan Komunikasi, 2007:65-66).

Boyongan PKL tersebut menandai akhir sebuah upaya panjang yang tidak saja membutuhkan keuletan, kerja keras dan kesabaran yang luar biasa, tetapi juga penuh lika-liku, karena sempat diwarnai penolakan para PKL dan tarik-ulur berbagai kepentingan lainnya.

Setelah menjalani rute yang relah ditentukan, peserta kirab disambut dan diresmikan oleh Gubernur Jawa Tengah H. Mardiyanto di Pasar Klithikan Notoharjo Semanggi. Pada kesempatan tersebut juga dilakukan penyeraban surat

commit to user

kelengkapan izin usaha dan kunci secara simbolik oleh Walikota Jokowi kepada perwakilan PKL.

Peristiwa yang langka itu, karena baru kali pertama ini ada “bedhol desa” PKL yang melibatkan pedagang kaki lima dalam jumlah begitu banyak, yakni mencapai 989 pedagang yang dilakukan secara damai tanpa kekerasan, sehingga peristiwa tersebut berhasil tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Penghargaan dari Muri tensebut disampaikan kepada Walikota Jokowi (sebagai pemrakarsa pemindahan PKL dengan Jumlah terbanyak yang dilakulakukan dengan kirab budaya) dan Wakil Walikota Rudy (yang mewakili Pemkot Solo sebagai penyelenggara pemindahan PKL dengan jumlah terbanyak yang dilakukan dengan kirab budaya) (Badan Informasi dan Komunikasi, 2007:75).

f. Pengoperasian Pasar Klithikan Notoharjo Semanggi

Pada awal pengoprasian pasar, para pedagang belum menghasilkan pemasukan yang setara dengan di tempat lama, karena kedua belah pihak, baik pembeIi maupun penjual sama-sama masih menyesuaikan diri, terutama karena adanya perpindahan lokasi berjualan, tetapi harapan untuk menuju hidup yang lebih baik mulai terlihat.

Pedagang lebih tenang, tak perlu lagi khawatir lagi digusur dan kehujanan, status mereka pun naik, tidak lagi seorang pedagang kaki lima. Mereka sudah menjadi pedagang pasar. Dalam istilah Walikota Solo Jokowi, para PKL eks Monumen’45 Banjarsari kini telah menjadi saudagar-saudagar (Badan Informasi dan Komunikasi, 2007:109).

Dokumen terkait