ASPEK HISTORIS DAN JURIDIS DARI PENEGAKAN HAM BERAT DI INDONESIA
A. Sejarah Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran HAM Berat
2. Sejarah Penegakan HAM Berat Dalam Ruang Lingkup Nasional
Statuta Roma menjadi tonggak sejarah dalam penegakan pelanggaran HAM di berbagai negara akan tetapi Indonesia sebagai negara yang telah berkomitmen dalam penegakan pelanggaran HAM belum melakukan adopsi secara maksimal Statuta Roma padahal hal ini telah tercantum dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Ranhamnas) 2004 -- 200933 dan remhamnas 2009-201434, akan tetapi Ratifikasi masih belum di lakukan padahal Ratifikasi Statuta Roma menjadi hal sangat Urgen dalam penegakan HAM di Indonesia dalam menghapusankan berbagai praktek impunitas yang terjadi di Indonesia sebagai legitimasi rakyat untuk mecapai suatu keadilan padahal UUD 1945 telah jelas mengatur dan melindungi HAM rakyat Indonesia, dan dalam Pasal 28 I ayat 4 dinyatakan:35 "Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah." Dalam hal ini Negara harus berperan aktif dalam melindungi warga Negara dari pelanggaran HAM memang Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 26 tahun 2000
33Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2004.
34Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2011.
35Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Pasal 28 I ayat 4.
36 tentang Pengadilan HAM yang adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.36
Reformasi tahun 1998 di Indonesia yang diwarnai jatuhnya rezim orde baru menjadi momenpenting gerakan pro-demokrasi untuk menuntut perubahan instrumental yang dapat mendorong penegakan hukum dan penghormatan atas Hak Ssasi Manusia. Salah satu pencapaian monumental yang lahir pada masa ini adalah adanya instrumen perlindungan Hak Asasi Manusia dan mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia, yakni dengan diundangkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Disamping itu, peristiwa penting lainnya yang mempercepat lahirnya mekanisme perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia adalah adanya tuntutan dari masyarakat internasional melalui Komisi HAM PBB, agar pemerintah Indonesia segera membentuk suatu mekanisme pertanggungjawaban atas kemungkinan adanya pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum humaniter internasional di Timor-Timur sejak Januari 1999.
Tuntutan masyarakat internasional ini direspon pemerintah Indonesia di bawah Presiden Habibie untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM.
Dikeluarkannya Perpu ini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Pemerintah Indonesia mempunyai kemauan untuk
36Undang-undang No. 26 tahun 2000 pasal 1 angka 3.
37 membentuk mekanisme pertanggungjawaban terhadap apa yang terjadi diTimor-Timur.
Namun keberadaan Perpu ini ditolak oleh DPR RI pada sidang paripurna di bulan Maret 2000, dengan alasan “secara konstitusional tidak memiliki alasan kuat berkaitan dengan kegentingan yang memaksa”. Karena penolakan tersebut, pemerintah segera mengajukan Rancangan Undang-undang Pengadilan HAM.
Tekanan atas kemungkinan pembentukan pengadilan internasional memaksa pemerintah untuk mengajukan rancangan legislasi baru menggantikan ketentuan ini. Dalam tekanan kemungkinan dibentuknya tribunal internasional, pada November 2000, RUU Pengadilan HAM disahkan menjadi UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka ada 2 (dua) bentuk pengadilan yang dikenal dalam undang-undang ini. Pertama, untuk peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sebelum disahkannya Undang-Undang tersebut, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc (Pasal 43 ayat (1)) yang pembentukan pengadilannya memerlukan usulan dari parlemen (DPR RI) untuk kemudian diputuskan lewat Keputusan Presiden (Keppres). Kedua, untuk peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelahnya diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM permanen.
Pengadilan HAM ad hoc telah digelar dua kali, untuk memeriksa perkara pelanggaran HAM yang terjadi di Timor-Timur 1999, dan perkara pelanggaran
38 HAM berat yang terjadi di Tanjung Priok.37 Sedangkan untuk pengadilan HAM yang permanen untuk pertama kalinya digelar pada kasus pelangaran HAM berat di Abepura2000.38
Berdasarkan ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 45 UU No. 26 Tahun 2000, Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Kedudukannya di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Sedangkan daerah khusus ibu kota pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah pengadilan negeri yang bersangkutan. Pada saat undang-undang ini berlaku pertama kali, maka pengadilan HAM dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar.39
Pengadilan HAM berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat. Kewenangan untuk memutus dan memeriksa juga termasuk menyelesaikan perkara yang menyangkut permohonan kompensasi, restitusi (dan rehabilitasi) bagi korban pelanggaran HAM berat.40 Kewenangan untuk memutus tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini sesuai dengan Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dicantumkan dalam dalam amar putusan Pengadilan HAM.
37 Pengadilan HAM (ad hoc) Timor-Timur dan Pengadilan HAM (ad hoc) Tanjung Priok dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 96 tahun 2001. lihat, Progres Report #1 Pengadilan HAM Tanjung Priok, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 15 Oktober 2003, hal.4.
38 Pasal 4 jo pasal 45 ayat 1 UU No. 26 tahun 2000.Dan Pasal 45 ayat 1 UU No. 26 tahun 2000 39 Aturan Peralihan Pasal 45 UU No. 26 Tahun 2000.
40 Dalam penjelasan Pasal 4 UU No. 26 Tahun 2000
39 B. Korban Pelanggaran HAM Berat.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia dikatagorikan atas dua macam yaitu pelanggaran biasa (isolated crime), dan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat (gross violation of human rights) atau sering disebut extra ordinary crimes.41 Pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia dapat dikatagorikan dalam tiga katagori yakni pemerintah, kelompok dan individu.42 Berdasarkan dari segi hubungan hukum dan Hak Asasi Manusia, maka pada prinsipnya pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah pelanggaran hukum, akan tetapi dalam pembasan ini akan lebih terfokus terhadap korban pelanggaran HAM berat.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai korban pelanggaran HAM berat terlebih dahulu perludiketahui pengertian dari korban. Merujuk terhadap Pasal 1 ayat 2 UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban bahwa yang dimaksud dengan korban adalah :
“Seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”
Definisi lain tentang korban dapat juga merujuk terhadap Pasal 1 butir ke-3 PP No.3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehahbilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat , yang dimaksud dengan korban adalah sebagai berikut:
“Orang perseorangan atau kelompok yang mengalami penderitaan baik fisik,
41Andrey Sujatmoko, 2015, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 23-24
42M. Budiari Itjehar, 2003, HAM Versus Kapitalisme, Insist Press, Yogyakarta, hlm. 128-129.
40 mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.”43
Selain itu pengertian mengenai korban dapat ditemukan dalam Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of BasicPrinciples of Justice for Victims of Crimes and Abuse of Power) yang diadopsi berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No.40/34 tertanggal 29 November 1985, yaitu berbunyi sebagai berikut.
“Victim means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative with Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power.
(Korban adalah orang yang secara individu atau kolektif, telah menderita kerugian , termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakan yang substansial atas hak dasarnya, lewat tindakan atau pembiaran yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku di negara-negara anggota, termasuk hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan yang bisa dikenai pidana.)”44
43 Pasal 1 butuir ke 3 PP No 3 tahun 2002
44Deklarasi Prinsip-prinsip DasarKeadilanbagiKorbanKejahatandanPenyalahgunaanKekuasaan [Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuse of Power], Section A,article.
41 Dengan demikian, konsep korban sangat luas pengertiannya, tidak hanya seseorang yang mengalami langsung akibat dari suatu kejahatan pelanggaran HAM, tetapi juga keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.
Setalah mengetahui definisi dari korban, definisi pelanggaran berat HAM, kita dapat merujuk pada dua ketentuan, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kedua Undang-Undang ini menggunakan istilah “pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat”.
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Penjelasan Pasal 104 ayat (1), menentukan bahwa: “pelanggaran Hak Asasi Manusia berat adalah pembunuhan massal atau genocide, pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitrary/extrajudicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimation)”.
Sedangkan menurut ketentuan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat meliputi:
dikutip dari<http://www.unhcr.ch/html/menu3/b/h_comp49>.
42 a. Kejahatan genosida
b. Kejahatan terhadap kemanusiaan
Berdasarkan Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000, menentukan bahwa:
“Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a) Membunuh anggota kelompok;
b) Mengakibat penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota- anggota kelompok;
c) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e) Memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke kelompok lain.”
Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000, menentukan bahwa:
“Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a) Pembunuhan;
b) Pemusnahan;
43 c) Perbudakan;
d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f) Penyiksaan;
g) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa, atau bentuk- bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i) Penghilangan orang secara paksa;
j) Kejahatan apartheid.”
Dengan demikian Perlindungan korban pelanggaran yang berat terhadap HAM telah dijamin oleh Negara. Sebagaimana yang diatur dalam berbagai peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta yang tertuang dalam berbagai instrumen hukum Internasional, yaitu salah satunya Statuta Roma yang menjadi tonggah sejarah dalam penegakan hukum pelanggaran HAM berat di Indonesia merupakan suatu bentuk penegasan terhada perlindungan terhadap HAM.
Dengan diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang diundangkan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
44 pada tanggal 23 November tahun 2000, merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, yang kedudukannya berada di lingkungan peradilan umum. Indonesia mempunyai mekanisme untuk melakukan penuntutan kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida.
Berikut beberapa contoh pelanggaran HAM yang pernah terjadi pada masa Orde Baru dan Masa Reformasi yaitu pembantaian sesama anak bangsa yang terjadi sebelum dan sesudah pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) dengan jumlah korban sekitar 75 ribu-1,5 juta orang, penembakan misterius atau Petrus 1982-1985 dengan jumlah korban sekitar 1.678 orang, kasus di Timor Timur pasca Referendum 1999 dengan korban 97 orang, juga kasus-kasus di Aceh pra Daerah Operasi Militer (DOM) 1976-1989 dengan korban ribuan orang.45
Selain itu, masih ada pula Kasus Tanjung Priok 1984 dengan korban 74 orang, kasus-kasus di Papua 1966-2007 dengan korban ribuan orang, kasus Dukun Santet Banyuwangi 1998 dengan korban puluhan orang, kasus Marsinah 1995, kasus hilangnya Wiji Thukul, kasus Bulukumba 2003 dengan 2 korban tewas dan puluhan luka-luka, Talangsari Lampung pada tahun 1989, dengan korban 803 orang, kasus 27 Juli 1996 dengan jumlah korban 1.317 orang, Penembakan Mahasiswa Trisakti 1998 dengan korban 31 orang, Kerusuhan Mei 1998 dengan jumlah korban 1.308 orang, kasus Semanggi I 1998 dengan korban
45Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), “Penantian Panjang Korban Pelanggaran HAM”, http://www.komnasham.go.id/pemantauan-dan-penyelidikan-profil/penantian-panjang-korban- pelanggaran-ham, diunduh 17 April 2016
45 473 orang, Semanggi II 1999 dengan korban 231 orang, serta Penculikan Aktivis 1998 dengan korban 23 orang.46
C. Pengaturan Hukum Tentang Kompensasi Terhadap Pelanggaran HAM