• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS JURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM DALAM BENTUK KOMPENSASI BAGI KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT DARI PERSPEKTIF UU NO 26 TAHUN 2000 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS JURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM DALAM BENTUK KOMPENSASI BAGI KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT DARI PERSPEKTIF UU NO 26 TAHUN 2000 SKRIPSI"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS JURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM DALAM BENTUK KOMPENSASI BAGI KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT DARI PERSPEKTIF UU NO 26

TAHUN 2000 SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakulltas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

AHMAD SAYADI NIM: 160200002

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

Abstrak Ahmad Sayadi*

Edpi Yunara**

Jelly Leviza***

Hak Asasi Manusia (HAM) perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh, karena mempunyai dimensi pengaruh yang sangat besar yaitu meliputi kehidupan masyarakat nasional maupun internasional. Dalam hukum positif Indonesia, pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di jeaskan mengenai perngertian Hak Asasi Manusia yaitu ;“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Sedangkan perbuatan pelanggaran HAM diataur di dalam pasal 1 angka 6 yaitu: “Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku” dalam pasal 7 UU nomor 26 tahun 2000 menyebutkan bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah pendekatan kualitatif berupa analisis data yang tidak menggunakan angka tetapi berdasarkan aturan Perundang-Undangan, literatur-literatur sehingga dapat menjawab permasalahan yang di tulis, yaitu metode analisis yang memberikan penilaian terhadap obyek di tulis.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa persoalan pemenuhan ganti rugi dalam bentuk kompensasi terhadap pelanggaran HAM berat belum sepenuhnya berjalan sebagaimana yang seharusnya berdasarkan tuntutan ganti kerugian bagi korban yang telah diatur dalam peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, namun sampai saat ini belum terlihat adanya implementasi nyata.

*Mahasiwa fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Uta

***Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahwataala yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, serta solawat dan salam Penulis ucapkan keharibaan Nabi Muhammad Sallallahualaihi Wasallam sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Juridis Perlindungan Hukum Dalam Bentuk Kompensasi Bagi Korban Pelanggaran HAM Berat Dari Persefektif UU No 26 Tahun 2000” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (Strata-1) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, Penulis banyak mendapatkan bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof.Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Bapak Prof.Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

3. Bapak Prof. Dr. OK.Saidin, SH, M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

4. Ibu Puspa Melati, SH,M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum., selaku Wakil dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan dan juga selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan ilmunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi ini.

6. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Sumatera Utara, Medan.

(5)

7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumater Utara, Medan.

8. Bapak Dr. Edi Yunara SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan ilmunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi ini.

9. Seluruh dosen dan staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

10. Teristimewa untuk kedua orang tua tersayang ayah Abdul Hadi Batubara dan Salbiah Nasution selaku ibu yang telah berjuang sebisa mungkin untuk memnyekolahkan penulis sehingga sampai dititik sekarang ini selaku penyemangat hidup serta doa-doanya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

11. Untuk saudara penulis abang Abdul Yahda, Ahamad Ridoan serta kakak penulis Asnawiayah dan Afso Maharani, yang telah menjadi motivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Terimakasih kepada bapak keapala sekolah SMA Negeri 1 Panyabungan bapak Muhammad Nuh s.p.d, selaku sosok yang memberikan dukungan dalam bentuk moral dan materil selama masa sekolah penulis sampai saat sekerang ini.sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

13. Ucapan terimakasih kepada Dr.Geeta yang memberikan dukungan penuh baik dalam bentuk materil maupun dalam bentuk dukungan moril,sehingga penulis mendapat kemudahan dalam mempasilitasi diri selama masa perkuliahan dan menyelesaikan skripsi ini.

14. Untuk teman-teman seperjuangan di kampus tercinta Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Yaitu, Ahmad Azis Nasution, Kanishka Bhuller, dan Iwan

(6)

Lamganda Manalu sebagai pihak yang selalu memberikan dukungan penuh terhadap penulis serta bersedia memberikan waktu luang sebagai penghibur di kala Penulis membutuhkan, serta masukan-masukan dalam pembuatan skripsi ini.

15. Untuk adik kos penulis, Samil Ali Zamzami yang selalu siap sedia membantu, dan menjadi teman begadang dalam mengerjakan skripdi ini, serta senantiasa memberikan dukungan di saat penulis membutuhkannya.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dan diharapkan oleh Penulis skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan, terkhusus kepada Penulis sendiri dan para pengajar dibidang hukum sebagai bahan pertimbangan dalam penerapan dan pengembangan Ilmu Hukum di Indonesia.

Medan, 1 januari 2020 Penulis

Ahmad Sayadi

(7)

DAFTARISI

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... vi

BAB I : PENDAHULUAN………... 1

A Latar Belakang Masalah... 1

B Rumusan Masalah... 13

C Tujuan Penulisan... 14

D Manfaat Penulisan………. 14

E Keaslian Penulisan... 15

F Tinjauan Kepustakaan... 17

1. Pengertian Korban……… 17

2. Pengertian Kompensasi... 20

3. Pengertian HAM berat... 24

G. Metode Penulisan... 27

H. Sistematika Penulisan……… 29

BAB II : PENGATURAN HUKUM TENTANG KOMPENSASI TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A Sejarah Penegakan Hukum Tentang Pelanggaran Ham Berat…….. 31

1. Sejarah Penegakan Hukum Ruang Lingkup Nasional………….. 31

2. Sejarah Penegakan Hukum Ruang Lingkup Internasional……... 35

B Korban Pelanggaran HAM berat……….. 39

C Pengaturan Hukum Tentang Kompensasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat Menurut Peratutan Perundang-Undangan di Indonesia……… 45

1. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM………... 45 2. UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 49 BAB III: BENTUK KOMPENSASI YANG DI BERIKAN TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA A Filosofi Kompensasi... 53

B Mekanisme Kompensasi... 56

C Kompensasi Terhadap Pelanggaran HAM berat di Indonesia... 61

1. Kasus Timur-timor………... 62

2. Kasus Tanjung Priok……… 66

(8)

3. Kasus Abepura………. 71

BAB IV: PERBANDINGAN HUKUM NASIONAL (UU NO 26 TAHUN 2000) DENGAN HUKUM INTERNASIONAL(STATUTA ROMA 1998) MENGENAI KOMPENSASI TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT A Pengertian Perbandingan Hukum………... 78

B Perbandingan Hukum Nasional (UU NO 26 Tahun 2000) Dengan Hukum Nasional (Statuta Roma)... 79

a. Perbedaan ……….. 80

b. Persamaan ………. 99

c. Manfaat……….. 102

BAB V: Kesimpulan dan Saran A Kesimpulan... 104

B Saran... 111

(9)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum, hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dasar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan negara Indonesia adalah negara hukum.1 Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepetingan manusia akan terlindungi.2

Sehubungan dengan hal tersebut, Hak Asasi Manusia (HAM) perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh, karena mempunyai dimensi pengaruh yang sangat besar yaitu meliputi kehidupan masyarakat nasional maupun internasional. Dalam ruang lingkup nasional, hukum positif Indonesia yang mengatur tentang HAM diatur dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di jeaskan mengenai perngertian Hak Asasi Manusia yaitu ;

“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi

1 Undang-Undang Dasar 1945 Pascaamandemen

2 Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hal 77.

(10)

2 kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Kemudian mengenai pelanggaran HAM juga di jelakan dalam Pasal 1 angka 6 yaitu:

“Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”3

Selain dari itu, kecenderungan atau issu internasional yang sangat menonjol pada dekade terakhir ini adalah juga masalah hak asasi manusia (HAM). Salah satunya adalah Statuta Roma (Statute International Criminal Court), yang disyahkan pada tanggal 17 Juli 1998 dan secara formal telah resmi beroperasi sejak bulan Juli 2002, setelah diratifikasi oleh minimal 60 negara.4

Indonesia sebagai bagian dari komunitas negara-negara di dunia, sekalipun telah ikut menyetujui statuta ini, sampai sekarang belum melakukan ratifikasi dalam hukum nasionalnya, sekalipun sekarang ini telah memiliki Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Itu artinya, belum ada harmonisasi instrument hukum internasional

3 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No 39 Tahun 1999

4Eddy Djunaedi Karnasudirdja, 2003, Dari Pengadilan Internasional Nuremberg ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia,

(11)

3 pada sistem hukum nasionalnya terkait dengan ICC, walaupun diakui di dalam UU tersebut bahwa muatan materinya sebagian berkiblat pada Statuta Roma.

Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 7 UU nomor 26 tahun 2000 yang menyebutkan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.5 dalam ketentuan ini sesuai dengan Pasal 7 merupakan adopsi dari Statuta Roma (International Criminal Court) yang menggolongkan pelanggran HAM berat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma, menentukan Kejahatan Pelanggaran HAM berat berdasarkan Juridiksi Mahkamah terbatas pada kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan, dan Mahkamah mempunyai juridiksi sesuai dengan Statuta berkenaan dengan kejahatan-kejahatan sebagai berikut6 :

1) kejahatan genosida(the crime of genocide);

Berarti setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan, seperti misalnya:

a) Membunuh anggota kelompok tersebut;

b) Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok tersebut;

c) Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok

5 Pasal 7 Undang-Undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM 6 Statuta Roma 1998

(12)

4 tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian;

d) Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut;

e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain.

2) kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity);

Berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu:

a) Pembunuhan;

b) Pemusnahan;

c) Perbudakan;

d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;

e) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;

f) Penyiksaan;

g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;

h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal

(13)

5 diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah;

i) Penghilangan paksa;

j) Kejahatan apartheid;

k) Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.

3) kejahatan perang (war crimes);

a) Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hak-milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa.

b) Pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang dapat diterapkan dalam sengketa bersenjata internasional, dalam rangka hukum internasional yang ditetapkan.

c) Dalam hal suatu sengketa bersenjata yang bukan merupakan suatu persoalan internasional, pelanggaran serius terhadap pasal 3 yang umum bagi empat Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu, salah satu dari perbuatan berikut ini yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak ambil bagian aktif dalam pertikaian, termasuk para anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata mereka dan orang- orang yang ditempatkan di luar pertempuran karena menderita sakit, luka, ditahan atau suatu sebab lain.

(14)

6 d) Ayat 2 (c) berlaku bagi sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi keadaan-keadaan kekacauan dan ketegangan dalamnegeri, seperti misalnya huru-hara, tindakan kekerasan secara terpisah dan sporadis atau perbuatan-perbuatan lain yang sama sifatnya di atur dalam Statuta Roma

e) Pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, dalam rangka hukum internasional yang ditetapkan.

f) Ayat 2(e) berlaku untuk sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi situasi-situasi kekacauan dan ketegangan dalam negeri, seperti misalnya huru-hara, tindakan kekerasan secara terpisah dan sporadis atau perbuatan-perbuatan lain dengan sifat yang sama. Ayat ini berlaku terhadap sengketa bersenjata yang berlangung dalam wilayah suatu Negara apabila terjadi sengketa bersenjata yang berkelanjutan antara para pejabat pemerintah dan kelompok bersenjata terorganisasi atau antara kelompok- kelompok yang di tentukan.

4) kejahatan agresi (the crime of aggression).

Segala sesuatu prilaku yang di lakukan terhadap mahluk lain dengan tujuan untuk melukainya tersebut berusaha menghindarinya.

Dalam hal ini pengadopsian dan lahirnya UU No 26 Tahun 2000 ini didasari dan memiliki landasan hukum dalam konstitusi negara, deklarasi

(15)

7 universal tentang HAM, Ketetapan MPR RI nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang- Undang nomor: 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan falsafah negara Pancasila

UU nomor 26 tahun 2000 dapat di katakana sebagai suatu bentuk penegasan terhadap perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia yang telah di atur di dalam Undang- Undang nomor: 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia , akan tetapi dalam hal ini lebih terkhususnya terhadap pelanggaran HAM berat yang merupakan produk kebijakan criminal ”model kompromi”

sebab tidak semua ketentuan dalam UU tersebut persis sama dengan ketentuan yang diatur oleh Statuta Roma.

Persoalan ini yang kemudian memunculkan banyak kritik terutama dari para aktivis dan penggiat HAM seperti yang dilakukan oleh Amnesty Internasional dalam laporannya pada bulan Pebruari 2001, antara lain memunculkan kekhawatiran terdapatnya pasal-pasal dalam UU Pengadilan HAM yang tidak cocok atau tidak sesuai dengan definisi menurut hukum internasional.

Sesuai dengan ketentuan umumnya, dinyatakan bahwa undang- undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang diundangkan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 23 November tahun 2000, merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, yang kedudukannya berada di lingkungan

(16)

8 peradilan umum.

Menurut UU No 26 Tahun 2000 ini, pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 7).

Dalam Pasal 8 di Undang-Undang No 26 Tahun 2000 di jelaskan lebih lanjut, ditentukan tentang pengertian kejahatan genosida yaitu :

“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara-cara :

1) membunuh anggota kelompok;

2) mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok;

3) menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;

4) memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau

5) memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.7

Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, ditentukan bahwa

7Pasal 8 Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

(17)

9

kejahatan terhadap kemanusiaan adalah

“Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:

1) pembunuhan;

2) pemusnahan;

3) perbudakan;

4) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

5) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

6) penyiksaan;

7) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

8) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum;

9) penghilangan orang secara paksa, atau

(18)

10 10) kejahatan apartheid.8

Dengan demikian, kelahiran UU Pengadilan HAM di Indonesia, telah melahirkan kriminalisasi baru dalam bentuk pelanggaran HAM berat dalam konteks penyelenggaran sistem peradilan pidana, baik pada tataran materil maupun formilnya, bersanding dengan ketentuan hukum pidana materil dan pidana formil yang sudah ada sebelumnya.

Ujian terhadap pelaksanaan UU Pengadilan HAM di Indonesia masih terbentang luas terkait dengan berbagai kasus pelanggaran HAM berat.

Sebagaimana ditulis oleh Inggrid Silitonga, terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM berat, diantaranya:

1) Pembunuhan massal DOM di Aceh 1965-1967

2) pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer terbatas di Aceh dan Irian Jaya (1976-1983), pembunuhan misterius (1983-1986), 3) penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan para aktifis politik Islam

Tanjung Priok pasca penerapan asas tunggal Pancasila (1985- 1988), 4) pembantaian di Talangsari – Lampung (Februari 1989),

5) pembantaian petani Nipah – Madura (1993) dan Kerusuhan Mei 19989 6) Pengeboman di timor-timur (1975)

8Pasal 9 Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

9www.eslam.or.id diakses” Inggrid Silitonga, Pengakan Keadilan atas Pelanggaran Berat HAM menurut UU nomor 26 tahun 2000, Skenario Indonesia versus Standard Internasional, diakses dari pada tanggl 10 Januari 2015.

(19)

11 Oleh Sebab itu, Statuta Roma dapat dikatakan menjadi tonggak sejarah dalam penegakan pelanggaran HAM di berbagai negara akan tetapi Indonesia sebagai negara yang telah berkomitmen dalam penegakan pelanggaran HAM belum melakukan adopsi secara maksimal Statuta Roma padahal hal ini telah tercantum dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Ranhamnas) 2004 – 200910 dan remhamnas 2009-201411, akan tetapi Ratifikasi masih belum di lakukan padahal Ratifikasi Statuta Roma menjadi hal sangat Urgen dalam penegakan HAM di Indonesia dalam menghapusankan berbagai praktek impunitas yang terjadi di Indonesia sebagai legitimasi rakyat untuk mecapai suatu keadilan padahal UUD 1945 telah jelas mengatur dan melindungi HAM rakyat Indonesia, dan dalam Pasal 28 I ayat 4 dinyatakan: "12

Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah." Dalam hal ini Negara harus berperan aktif dalam melindungi warga Negara dari pelanggaran HAM memang Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.13

Persoalan lain yang timbul terkait Pelanggaran Ham berat yaitu penindakan terhadap pelaku, karena perkembangan pemikiran hukum pidana dewasa ini lebih berkembang ke arah pembinaan terhadap pelaku tindak pidana,

10Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2004 11Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2011.

12Undang-undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 42 Ayat 1.

13Undang-undang No. 26 tahun 2000 pasal 1 angka 3.

(20)

12 termasuk perhatian terhadap hak-hak pelaku dalam menjalani proses hukum dan pemidanaannya.14

Keberpihakan hukum terhadap pelaku, tidak seimbang dengan keberpihakan hukum terhadap Korban. Hal ini terlihat dalam beberapa peraturan yang lebih banyak memberikan hak-hak istimewa kepada tersangka maupun terdakwa. KUHAP sebagai landasan untuk beracara dalan perkara pidana cenderung lebih banyak memberikan porsi perlindungan kepada terdakwa dan tersangka dari pada kepada korban.

Mereka tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka terima sebagai korban, misalnya tidak mendapatkan hak-hak pemulihan bagi dirinya maupun keluarganya.15 tetapi obyek perhatian ternyata masih lebih terfokus kepada bagaimana memberikan hukuman kepada sipelaku tindak pidana, dan hal itu masih melekat pada fenomena pembalasan belaka.

Akan tetapi, terlepas dari alasan itu memang harus diakui pula bahwa mekanisme kompensasi dalam proses peradilan pidana belum diatur secara jelas dan korban dibiarkan berjalan sendiri, yang tentunya melemahkan pihak korban dalam memperjuangkan hak-haknya tersebut.

Oleh karena itu, penting untuk melakukan kajian yang mendalam tentang konsep kompensasi dan restusi dalam peraturan perundang-undangan

14Mardjono Reksodiputro Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007a), hal. 76 15Supriyadi Widodo Eddyono, et.al., ed., “Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat”, Seri Kampanye RUU Perlindungan Saksi # 2, (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)), hal. 2. <http://www.elsam.or.id>.

(21)

13 di Indonesia dan praktik-praktik pemenuhan hak atas kompensasi dan restitusi selama ini.Utamanya terhadap Pelanggaran HAM berat.

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini mengangkat judul karena alasan-alasan sebagai berikut:

1) Bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia yang harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun, dan juga merupakan salah satu yang menjadi yang mendapat pengakuan dalam ruang lingkup masyarakat Nasional maupun Internasional yang harus di junjung tinggi dan di tegakkan.

2) Bahwa keberpihakan hukum terhadap pelaku tindak pidana tidak seimbang dengan keberpihakan hukum terhadap korban karena perkembangan hukum pidana saat ini lebih ke arah pembinaan terhadap pelaku tindak pidana termasuk sistem pemidanannya yang lebih berfokus kepada bagaimana pemberian hukuman kepada sipelaku tindak pidana, seingga korban tindak pidana luput dari perhatian dan tidak mendapat hak-hak yang seharusnya mereka terima sebagai korban tindak pidana.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, Maka rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut :

(22)

14 1. Bagaimanakah pengaturan tentang kompensasi terhadap korban pelanggaran HAM berat menurut peraturan Perundang-Undangan di Indonesia?

2. Bagaimanakah kompensasi yang di berikan terhadap korban pelanggaran HAM berat di indonesia ?

3. Bagaimanakah perbandingan hukum nasional (Undang-Undang No 26 Tahun 2000) dengan hukum internasionalnya (Statuta Roma 1998) mengenai kompensasi terhadap pelanggaran HAM berat ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan pokok yang telah penulis uraikan di atas, Maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk memberikan Pengetahuan terdap pembaca mengenai pengaturan tentang kompensasi terhadap korban pelanggaran HAM berat menurut peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia.

2. Untuk mengetahi bentuk kompensasi yang di berikan terhadap korban pelanggaran HAM berat di Indonesia.

3. Untuk mengetahui perbandingan hukum nasional (Undang-Undang No 26 Tahun 2000) dengan hukum internasionalnya (Statuta Roma 1998) mengenai Kompensasi terhadap pelanggaran HAM berat.

D. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teritis

(23)

15 Secara teoritis, Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi baru dalam bidang keilmuan hukum pidana, khususnya mengenai Perlindungan hukum dalam bentuk kompensasi bagi korban pelanggaran HAM berat.

2. Manfaat Praktis

Secara Praktis, Penulisan ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dan masukan bagi penegak hukum, khususnya hakim agar dapat mewujudkan keadilan yang seadil-adilnya berdasarkan hukum yang di berlaku dalam memutus suatu perkara hukum.

E. Keaslian Penulisan

Adapun judul penulisan dalam skripsi ini yakni mengenai “Analisis Juridis Perlindungan Hukum Dalam Bentuk Kompensasi Bagi Korban Pelanggaran HAM Berat Dari Persefektif UU No 26 Tahun 2000” Merupakan hasil pemikiran yanng ide dan penulisannya murni hasil karya penulis sepenuhnya di tambah dengan literatur-literatur lain baik buku-buku, jurnal maupun sumber lain dari Internet, serta belum pernah di bahas sebelumnya oleh orang lain.

Apabila ada skripsi dengan topik pembahasan yang sama, tentu dapat di lihat dari perbedaan pembahasannya. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa karya ilmiah ini adalah asli karya penelitian sendiri sesuai dengan asas-asas keilmuan jujur, rasional, obyektif dan terbuka.

(24)

16 Berdasarkan penelusuran yang telah di lakukan di perpustakaan fakultas hukum Universitas Sumatera Utara, dan di tambah Universitas lain yang dapat mendukung dalam membuat skripsi ini menjadi lebih baik. Sehigga menunjukkan bahwa penulisan dengan judul skripsi yang berhubungan dengan judul topik dalam skripsi ini adalah :

1) Fitritani, Nomor Induk Masasiswa 050200167, Mahasiswa Hukum Pidana, Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat” dengan latar belakang masalah yang di bahas :

a) Bagaimana Ruang Lingkup Pelanggaran HAM Berat ?

b) Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat ?

2) Diana Rezky, Nomor Induk Mahasiswa 0504000666, Mahasiswa Hukum Acara, Universitas Indonesia, dengan judul skripsi “Mekanisme Pemberian Kompensasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat; Suatu Tinjauan Menurut Undang-Undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM dan Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban”

dengan latar belakang masalah yang di bahas :

a) Bagaimana Mekanisme Pemberian Kompensasi Bagi Korban Pelanggaran Ham Berat Menurut Undang-Undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM Berikut PP No 3 Tahun 2002 dan Menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan

(25)

17 Korban Dalam Hubungannya Dengan di Keluarkannya PP No 44 Tahun 2008 ?

b) Bagaimana Pelaksanaan Pemberian Kompensas Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat Dalam Kasus Pelanggaran HAM Berat Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap ?

3) Adi Tyas Tamtomo, Nomor Induk Mahasiswa E0013013, Mahasiswa Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret, dengan judul skripsi “ Kompensasi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia” dengan latar Belakang masalah yang di bahas :

a) Bagaimana Pengaturan Kompensasi Bagi Korban Pelanggaran HAM Berat Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia ?

b) Bagaimana Pemberian Kompensasi Bagi Korban Pelanggaran HAM Berat di Indonesia ?

Dari judul penulisan tersebut tidak ada kesamaan dengan penulisan skripsi ini, dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga penulisan ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Korban

Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,

(26)

18 dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.16Korban suatu kejahatan tidak selalu harus berupa individu, atau orang perorangan, tetapi bisa juga badan hukum.Bahkan pada kejahatan tertentu, korban bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya seperti tumbuh-tumbuhan, hewan atau ekosistem.Korban semacam ini lazim kita temui dalam kejahatan terhadap lingkungan.17Namun dalam pembahasan ini korban sebagaimana dimaksud terakhir tidak termasuk di dalamnya.

Dalam perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana lazimnya pengertian “korban kejahatan” merupakan terminologi disiplin ilmu kriminologi dan victimologi yang kemudian dikembangkan dalam sistem peradilan pidana. Berdasarkan perspektif ilmu victimologi, pengertian korban dapat diklasifikasikan secara luas dan sempit.Dalam pengertian luas korban diartikan sebagai orang yang menderita atau dirugikan akibat pelanggaran baik bersifat pelanggaran hukum pidana (penal) mupun diluar hukum pidana (non penal) atau dapat juga termasuk korban penyalahgunaan kekuasaan (victim abuse of power).Sedangkan pengertian korban dalam artian sempit dapat diartikan sebagai victim of crime yaitu korban kejahatan yang diatur dalam ketentuan hukum pidana.18

Berdasarkan perspektif Victimologi tersebut di atas, korban dapat

16 Pasal 1 ayat (2) UU R.I. No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

17Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta:

PT RajaGrafindo, 2007), hal.45-46.

18 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan Pidana (Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem Peradilan dan Kebijakan Hukum Pidana, Filsafat Pemidanaan serta Upaya Hukum Peninjauan kembali oleh Korban Kejahatan), (Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 2010), hal.1-2.

(27)

19 diklasifikasi secara global menjadi:

1. Korban kejahatan (victims of crime) sebagaimana termasuk dalam ketentuan hukum pidana sehingga pelaku (offender) diancam dengan penerapan sanksi pidana. Pada konteks ini maka korban diartikan sebagai penal victimology dimana ruang lingkup kejahatan meliputi kejahatan tradisional, kejahatan kerah putih (white collar crime), serta victimless crimes yaitu viktimasasi dalam korelasinya dengan penegak hukum, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan,

2. Korban akibat penyalagunaan kekuasaan (victims abuse of power).

Pada konteks ini maka lazim disebutkan dengan terminologi political victimology dengan ruang lingkup abuse of power, Hak Asasi Manusia (HAM) danterorisme,

3. Korban akibat pelanggaran hukum yang bersifat administratif atau yang bersifat non penal sehingga ancaman sanksinya adalah sanksi yang bersifat administratif bagi pelakunya. Pada konteks ini lazimnya ruang lingkupnya bersifat economic victimology,dan

4. Korban akibat pelanggaran kaedah sosial dalam tata pergaulan bermasyarakat yang tidak diatur dalam ketentuan hukum sehingga sanksinya bersifat sanksi sosial atau sanksimoral.19

Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas

19Ibid.,hal. 2-3.

(28)

20 mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya adalah sebagai berikut:

Arif Gosita, menurutnya korban diartikan sebagai, “mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”.20

Berikut yang dimaksud “mereka” oleh Arif Gosita disini adalah:

1. Korban orang perorangan atau korban invidual (viktimasasiprimair), 2. Korban yang bukan perorangan, misalnya, suatu badan, organisasi,

lembaga. Pihak korban adalah impersonal, komersial, kolektif (viktimisasi sekunder) adalah keterlibatan umum, keserasian sosial dan pelaksanaan perintah, misalnya pada pelanggaran peraturan dan ketentuan-ketentuan negara (viktimisasitersier).21

Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan- perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk didalamnya adalah keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi

20Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2004), hal. 96.

21Ibid., hal. 101

(29)

21 2. Pengertian Kompensasi

Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.22Dalam hal kompensasi dan atau rehabilitasi menyangkut pembiayaan dan perhitungan keuangan negara, pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan.23 Selain itu Pemberian kompensasi dan restitusi juga dapat kita lihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2002 tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat;

dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang pemberian kompensasi, restitusi, bantuan. Menurut ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban menentukan bahwa perlindungan dan hak korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang – Undang.24

Kompensasi, diberikan untuk setiap kerusakan yang secara ekonomis dapat diperkirakan nilaianya, yang timbul dari pelanggaran hak asasi manusia, seperti:

1) kerusakan fisik dan mental;

2) kesakitan, penderitaan dan tekanan batin;

3) kesempatan yang hilang, termasuk pendidikan;

4) hilangnya mata pencaharian dan kemampuan mencari nafkah;

22 PP Pasal 1 ayat 4 No 3 tahun 2002 23 PP pasal 3 ayat 2 UU no 3 tahun 2002 24Pasal 8 UU No 13 Tahun 2006

(30)

22 5) biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang masuk akal, termasuk

keuntungan yang hilang;

6) kerugian terhadap reputasi dan martabat;

7) biaya dan bayaran yang masuk akal untuk bantuan hukum atau keahlian untuk memperoleh suatu pemulihan;

8) kerugian terhadap hak milik usaha, termasuk keuntungan yang hilang.

Akan tetapi Kompensasi itu sendiri bersifat keperdataan (civil character).Kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat/negara (the responsibility of the society). Dasar kompensasi dari negara adalah secara fundamental bahwa setiap warga negara seharusnya memiliki bentuk jaminan terhadap setiap resiko kejahatan, sebagai bentuk solidaritas sosial. Kompensasi diberikan karena seseorang menderita kerugian materil dan kerugian yang bersifat immateril.25

Perumusan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut memunculkan konsekuensi para korban sulit untuk mendapatkan hak-haknya.

Pertama,kompensasi yang merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, mempunyai konsekuensi yuridis yakni kompensasi selalu dikaitkan dengan adanya kesalahan dan tanggungjawab pelaku.

25Jo-Anne Wemmer, Victims and Criminal Justice Sistem, (Amsterdam: Kugler Publication, 1996), hal.35.

(31)

23 Kompensasi yang merupakan ganti kerugian yang diberikan negara mensyaratkan adanya pelaku yang dinyatakan bersalah dan oleh karenanya pelaku tersebut dibebani kewajiban untuk membayar restitusi.26 Negara hanya akan memberikan kompensasi jika pelaku tidak mampu membayar ganti kerugian atau restitusi, atau berdasarkan pada adanya keputusan pengadilan tentang pelanggaran HAM yang berat dan pelaku dinyatakan bersalah.

Kedua, putusan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi harus dicantumkan dalam amar putusan.Pemberian kompensasi seharusnya tidak menggantungkan pada kemampuan pelaku untuk membayar ganti kerugian kepada korban, karena juga akan berkonsekuwensi pada jangka waktu diberikannya kompensasi setelah adanya putusan yang berkekuatan tetap, dan melihat apakah pelaku tetap dinyatakan bersalah di pengadilan yang lebih tinggi.

Pengaturan yang demikian ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) PP No. 3/2002, bahwa syarat pelaksanaan pemberian kompensasi oleh instansi pemerintah berdasarkan atas keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Artinya, setelah ada putusan kasasi baru pelaksanaan kompensasi kepada korban akan dilakukan. Dengan demikian, substansi kompensasi selalu mendasarkan pada aspek bersalahnya pelaku dan bukan oleh karena terjadinya peristiwa yang menjadi tanggungjawab negara. Seharusnya ketika suatu peristiwa telah diakui oleh pengadilan bahwa peristiwa tersebut adalah pelanggaran HAM yang berat dan terdapat korban, maka putusan mengenai kompensasi tersebut harus dapat dilaksanakan sesegara mungkin. Namun dalam perkembangannya

26 UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

(32)

24 berdasarkan UU No 31 Tahun 2014 tentang revisi UU No 13 tahun 2006, dinyatakan Pasal 1 yakni Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya kepada korban atau keluarganya”.

3. Pengertian Pelanggaran HAM Berat

Salah satu Pengertian Korban Pelanggaran HAM yang Berat, merujuk pada PP No. 3 Tahun 2002, adalah:

“Orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya”27

Selain dari itu definisi pelanggaran HAM berat, juga dapat merujuk pada terhadap ketentuan, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kedua undang-undang ini menggunakan istilah “pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat”.

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Penjelasan Pasal 104 ayat (1), menentukan bahwa: “pelanggaran hak asasi manusia berat adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitrary/extrajudicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimation)”.

27Pasal 1 angka 3 PP No. 3 Tahun 2002.

(33)

25 Sedangkan menurut ketentuan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:

a. Kejahatan Genosida

b. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Berdasarkan Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000, menentukan bahwa:

“Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:

a) Membunuh anggota kelompok;

b) Mengakibat penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota- anggota kelompok;

c) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

d) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok;atau

e) Memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke kelompok lain

Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000, menentukan bahwa:

“Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis yang diketahuinya

(34)

26 bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a) Pembunuhan;

b) Pemusnahan;

c) Perbudakan;

d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

e) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

f) Penyiksaan;

g) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa, atau bentuk- bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

i) Penghilangan orang secara paksa;

j) Kejahatan apartheid.”

Berdasarkan pengertian tersebut, korban pelanggaran HAM yang berat adalah seseorang/individu atau kelompok orang, termasuk ahli warisnya. Para

(35)

27 korban adalah pihak-pihak yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Untuk membedakan antara korban pelanggaran HAM yang berat dengan korban kejahatan lainnya, penting juga memahami maksud dari pelanggaran HAM yang berat. Berdasarkan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM yang berat mencakup kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Artinya, maksud dari korban pelanggaran HAM yang berat adalah para korban yang mengalami dampak akibat dari terjadinya dua kejahatan yang termasuk dalam kategori pelanggaran HAM yang berat, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

G. Metode Penulisan

Adapun metode penulisan yang di gunakan dalam penulisan skripsi ini ialah sebagai berikut :

1. Jenis Penulisan

Jenis penulisan hukum yang di gunakan dalam penulisan ini ialah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yan di lakukan dengam cara meneliti bahan putaka atau data skunder belaka. Penelitian hukum normatif atau kepustaan tersebut mencakup.28

28Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: suatu tinjauan singkat, PT.

Raja Grafindo Persada Jakarta,1995. Hal 13-14

(36)

28 a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;

b. Penelitian terhadap sistematika hukum;

c. Penelitian terhadap sinkronoisasi vertical dan horizontal.

d. Perbandingan hukum;

e. Sejarah hukum.

2. Data dan Sumber Data

Penelitian hukum normatif memerlukan bahan hukum yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier dan bahan hukum nonhukum.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang mendasari dan berkaitan dengan penulisan ini, atara lain;

1) Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia,

2) Undang-undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadian HAM

3) Peraturan Pemerintah No 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat.

4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, 5) Undang-undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi ,

6) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Bantuan, Kepada Saksi dan Korban,

7) Undang-Undang No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

(37)

29 b. Bahan hukum sekunder yaitu kajian teoritis yang berupa pendapat hukum, ajaran atau doktrin dan teori hukum sebagai penunjang bahan hukum primer yang diproleh dari hasil, buku teks, jurnal ilmiah serta penelusuran penulis mengenai hal- hal yang berjaitan dengan penulisan karya ini diinternet.

c. Bahan hukum tersier dan atau bahan non hukum yaitu bahan penulisan yang dapat menjelaskan bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, yaitu berupa kamus dan bahan nonhukum lainnya.

3. Tekhnik Pengambilan Data

Tehnik pengambilan data yang di lakukan dalam penulisan ini di peroleh dengan cara penelitian kepustakaan terhadap bahan penelitian.

4. Analisi Data

metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah pendekatan kualitatif berupa analisis data yang tidak menggunakan angka tetapi berdasarkan aturan Perundang-Undangan, literatur-literatur sehingga dapat menjawab permasalahan yang di tulis, yaitu metode analisis yang memberikan penilaian terhadap obyek di tulis oleh penulis. Dengan menggunakan metode ini di harapkan nantinya dapat memberikan gambaran mengenai teori berdasarkan peratuan perundang-undangan yang berlaku serta penerapannya dalam prakek persidanagan sehingga disparitas dalam pertimbangan hakim itu dapat di terima masyarakat.

(38)

30 H. Sistematika Penulisan

Bab I merupakan bab pendahuluan, bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II menjelaskan mengenaiaturan hukum yang ,mengatur tentang kompensasi terhadap korban pelanggaran HAM berat menurut peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.

Bab III menjelasakan tentang bentuk kompensasi yang di berikan terhadap korban pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Bab IV menjelaskan tentang perbandingan hukum nasional (Undang- Undang No 26 Tahun 2000) dengan hukum internasionalnya (Statuta Roma 1998) mengenai Kompensasi terhadap pelanggaran HAM berat.

Bab V berisikan tentang kesimpulan-kesimpulan dari bab terdahulu serta saran atas rumusan masalah.

(39)

31 BAB II

ASPEK HISTORIS DAN JURIDIS DARI PENEGAKAN HAM BERAT DI INDONESIA

A. Sejarah Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran HAM Berat.

1. Sejarah Penegakan HAM Berat Dalam Ruang Lingkup Internasional.

Pelanggaran HAM berat berupa Kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi adalah kejahatan- kejahatan yang di definiskan dalam Statuta Roma sebagai kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan (the most serious crimes of concern to the international community as a whole).29

Kejahatan-kejahatan tersebut dikategorikan paling serius atau merupakan kejahatan yang paling buruk (worst crime) karena dalam sejarahnya kejahatan ini telah menggoncangkan nurani umat manusia (shocking consciousness of humanity) dan para pelakunya adalah state officials. Kekejaman tentara Jepang pada perang dunia II, dan dalam abad modern ini adalah pembantaian di bekas Yugoslavia dan Rwanda menunjukkan potret kelam dalam peradaban manusia.

bukan saja jumlah korban yang mencapai ribuan, tetapi dilakukan secara sistematis dengan kebijakan politik tertentu.

Sejumlah pengadilan digelar untuk mengadili kejahatan-kejahatan serius tersebut. Penghukuman atas kejahatan-kejahatan tersebut telah dilakukan sejak adanya Pengadilan Nurenberg dan Pengadilan Tokyo pada tahun 1948.

29 Lihat Pasal 5 Statuta Roma

(40)

32 Selanjutnya, pada tahun 1993 digelar Pengadilan Pidana International ad hoc untuk mengadili pelaku berbagai pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional di negara bekas Yugoslavia. Pada tahun 1994 juga dibentuk Pengadilan Pidana Internasional ad hoc untuk mengadili kejahatan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Rwanda. Sejumlah regulasi juga disiapkan untuk menuntut para pelakunya.30

Berawal dari Piagam Nurenberg, istilah kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang muncul dan untuk pertama kalinya dan juga mengakui dan menetapkan bahwa kejahatan tersebut harus diadili. Sementara, genosida pun merupakan kejahatan serius yang pada saat itu dimasukkan kedalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Berdasarkan piagam ini, Pengadilan Militer Nurenberg diadakan, dan selanjutnya diikuti dengan penyelenggaraan Mahkamah Pidana untuk Timur Jauh (International Military Tribunal for Far East) di Tokyo.

Kemudian Konvensi Genosida tahun 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman bagi Kejahatan Genosida. Konvensi ini tidak hanya melarang kejahatan genosida, namun juga melarang segala bentuk tindakan yang “mengarahkan dan menghasut publik untuk melakukan genosida”.

Selanjutnya, keberadaan Konvensi Jenewa (I-IV) 1949, secara spesifik merumuskan pelanggaran berat, pelanggaran serius dan pelanggaran lainnya yang terjadi dalam konteks peperangan, menguatkan apa yang sudah dipraktikkan dalam Piagam Nurenberg dan pengadilan militernya. maka istilah kejahatan

30 Sriwiyanti Eddyono & Zainal Abidin, Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP, (Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Cetakan Pertama, 2007), hal. 7-8.

(41)

33 perang kembali dimunculkan. Rumusan formal kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan genosida kemudian muncul kembali dalam statuta untuk Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas Negara Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR).

Abad ke-20 Empat Pengadilan Pidana Ad hoc Internasional telah dibentuk yakni: International Military at Nuremberg, Tokyo Tribunal, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Kelebihan dan kekurangan dari keempat Mahkamah ini secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pendirian dari Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court yang selanjutnya disebut sebagai ICC). Khususnya dalam Draft International Law Commission (ILC) tahun 1994 tentang ICC, mendapat pengaruh yang sangat besar dari Statuta ICTY.

Dalam perkembangannya, pengaturan yang lebih baru tentang kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanuisaan dan kejahatan perang diatur dalam Statuta Roma 1998 dengan disahkannya dokumen dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).

Statuta ini merupakan rujukan paling akhir dalam mendefinisikan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan genosida, kejahatan perang dan agresi. Terlebih, dalam statuta tersebut juga telah diatur secara detail tentang unsur-unsur kejahatan (element of crimes) dan hukum acara dan pembuktiannya.

Selanjutnya fungsi ICC bukanlah untuk menggantikan fungsi sistem hukum nasional suatu Negara, namun ICC merupakan mekanisme pelengkap bagi negara

(42)

34 ketika negara tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) untuk menghukum pelaku kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC.

Ketentuan mengenai pemberian kompensasi bagi korban pelanggaran HAM Dalam ruang lingkup Internasional, dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 75International Criminal Court (ICC) yang menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Dalam Pasal tersebut menyebutkan sebagai berikut :

“Bahwa mahkamah harus menetapkan prinsip-prinsip yang berkenaan dengan ganti rugi kepada atau berkenaan dengan korban, termasuk restitusi, kompensasi dan rehabilitasi kompensasi.”31

Selain dari kentetuan yang terdapat dalam Pasal tersebut, dalam persidangan International Criminal Court (ICC) juga dikenal adanya suatu Trust Fund yang dibentuk dengan keputusan negara peserta untuk meringankan beban para korban kejahatan yurisdiksi ICC dan keluarga para korban tersebut. ICC dapat memerintahkan berupa uang dan kekayaan lain yang terkumpul lewat denda atau penebusan untuk ditransfer atasperintahICCkepadatrustfund.Trustfundini dikelola dengan kriteria yang ditetapkan oleh negara peserta.32

Oleh sebab itu, kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan tak dihukum dan bahwa penuntutan terhadap pelaku kejahatan tersebut secara efektif harus dijamin dengan mengambil langkah-langkah di tingkat nasional dan dengan memajukan kerjasama internasional. Sehingga pada akhirnya kejahatan-kejahatan seperti itu

31 Lihat ketentuan Pasal 75 International Criminal Court (ICC).

32Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), cet.I, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hal. 169.

(43)

35 dapat dicegah dan tidak akan terulang di kemudian hari. Karena pada hakikatnya, keadilan yang tertunda akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed can be justice denied).

2. Sejarah Penegakan HAM Berat Dalam Ruang Lingkup Nasional.

Statuta Roma menjadi tonggak sejarah dalam penegakan pelanggaran HAM di berbagai negara akan tetapi Indonesia sebagai negara yang telah berkomitmen dalam penegakan pelanggaran HAM belum melakukan adopsi secara maksimal Statuta Roma padahal hal ini telah tercantum dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Ranhamnas) 2004 -- 200933 dan remhamnas 2009-201434, akan tetapi Ratifikasi masih belum di lakukan padahal Ratifikasi Statuta Roma menjadi hal sangat Urgen dalam penegakan HAM di Indonesia dalam menghapusankan berbagai praktek impunitas yang terjadi di Indonesia sebagai legitimasi rakyat untuk mecapai suatu keadilan padahal UUD 1945 telah jelas mengatur dan melindungi HAM rakyat Indonesia, dan dalam Pasal 28 I ayat 4 dinyatakan:35 "Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah." Dalam hal ini Negara harus berperan aktif dalam melindungi warga Negara dari pelanggaran HAM memang Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 26 tahun 2000

33Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2004.

34Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2011.

35Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Pasal 28 I ayat 4.

(44)

36 tentang Pengadilan HAM yang adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.36

Reformasi tahun 1998 di Indonesia yang diwarnai jatuhnya rezim orde baru menjadi momenpenting gerakan pro-demokrasi untuk menuntut perubahan instrumental yang dapat mendorong penegakan hukum dan penghormatan atas Hak Ssasi Manusia. Salah satu pencapaian monumental yang lahir pada masa ini adalah adanya instrumen perlindungan Hak Asasi Manusia dan mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia, yakni dengan diundangkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Disamping itu, peristiwa penting lainnya yang mempercepat lahirnya mekanisme perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia adalah adanya tuntutan dari masyarakat internasional melalui Komisi HAM PBB, agar pemerintah Indonesia segera membentuk suatu mekanisme pertanggungjawaban atas kemungkinan adanya pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum humaniter internasional di Timor-Timur sejak Januari 1999.

Tuntutan masyarakat internasional ini direspon pemerintah Indonesia di bawah Presiden Habibie untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM.

Dikeluarkannya Perpu ini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Pemerintah Indonesia mempunyai kemauan untuk

36Undang-undang No. 26 tahun 2000 pasal 1 angka 3.

(45)

37 membentuk mekanisme pertanggungjawaban terhadap apa yang terjadi diTimor- Timur.

Namun keberadaan Perpu ini ditolak oleh DPR RI pada sidang paripurna di bulan Maret 2000, dengan alasan “secara konstitusional tidak memiliki alasan kuat berkaitan dengan kegentingan yang memaksa”. Karena penolakan tersebut, pemerintah segera mengajukan Rancangan Undang-undang Pengadilan HAM.

Tekanan atas kemungkinan pembentukan pengadilan internasional memaksa pemerintah untuk mengajukan rancangan legislasi baru menggantikan ketentuan ini. Dalam tekanan kemungkinan dibentuknya tribunal internasional, pada November 2000, RUU Pengadilan HAM disahkan menjadi UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka ada 2 (dua) bentuk pengadilan yang dikenal dalam undang-undang ini. Pertama, untuk peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sebelum disahkannya Undang-Undang tersebut, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc (Pasal 43 ayat (1)) yang pembentukan pengadilannya memerlukan usulan dari parlemen (DPR RI) untuk kemudian diputuskan lewat Keputusan Presiden (Keppres). Kedua, untuk peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelahnya diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM permanen.

Pengadilan HAM ad hoc telah digelar dua kali, untuk memeriksa perkara pelanggaran HAM yang terjadi di Timor-Timur 1999, dan perkara pelanggaran

(46)

38 HAM berat yang terjadi di Tanjung Priok.37 Sedangkan untuk pengadilan HAM yang permanen untuk pertama kalinya digelar pada kasus pelangaran HAM berat di Abepura2000.38

Berdasarkan ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 45 UU No. 26 Tahun 2000, Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Kedudukannya di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Sedangkan daerah khusus ibu kota pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah pengadilan negeri yang bersangkutan. Pada saat undang-undang ini berlaku pertama kali, maka pengadilan HAM dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar.39

Pengadilan HAM berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat. Kewenangan untuk memutus dan memeriksa juga termasuk menyelesaikan perkara yang menyangkut permohonan kompensasi, restitusi (dan rehabilitasi) bagi korban pelanggaran HAM berat.40 Kewenangan untuk memutus tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini sesuai dengan Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dicantumkan dalam dalam amar putusan Pengadilan HAM.

37 Pengadilan HAM (ad hoc) Timor-Timur dan Pengadilan HAM (ad hoc) Tanjung Priok dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 96 tahun 2001. lihat, Progres Report #1 Pengadilan HAM Tanjung Priok, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 15 Oktober 2003, hal.4.

38 Pasal 4 jo pasal 45 ayat 1 UU No. 26 tahun 2000.Dan Pasal 45 ayat 1 UU No. 26 tahun 2000 39 Aturan Peralihan Pasal 45 UU No. 26 Tahun 2000.

40 Dalam penjelasan Pasal 4 UU No. 26 Tahun 2000

(47)

39 B. Korban Pelanggaran HAM Berat.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia dikatagorikan atas dua macam yaitu pelanggaran biasa (isolated crime), dan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat (gross violation of human rights) atau sering disebut extra ordinary crimes.41 Pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia dapat dikatagorikan dalam tiga katagori yakni pemerintah, kelompok dan individu.42 Berdasarkan dari segi hubungan hukum dan Hak Asasi Manusia, maka pada prinsipnya pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah pelanggaran hukum, akan tetapi dalam pembasan ini akan lebih terfokus terhadap korban pelanggaran HAM berat.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai korban pelanggaran HAM berat terlebih dahulu perludiketahui pengertian dari korban. Merujuk terhadap Pasal 1 ayat 2 UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban bahwa yang dimaksud dengan korban adalah :

“Seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”

Definisi lain tentang korban dapat juga merujuk terhadap Pasal 1 butir ke-3 PP No.3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehahbilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat , yang dimaksud dengan korban adalah sebagai berikut:

“Orang perseorangan atau kelompok yang mengalami penderitaan baik fisik,

41Andrey Sujatmoko, 2015, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 23-24

42M. Budiari Itjehar, 2003, HAM Versus Kapitalisme, Insist Press, Yogyakarta, hlm. 128-129.

Gambar

Tabel Perbedaan Hukum Nasional (UU No 26 Tahun 2000 tentang  Pengadilan HAM) dengan Hukum Internasional (Statuta Roma)

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya dalam Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat Hak yang melekat pada hakekat

1) Secara umum hukum pidana telah memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan yang menjadi korban kejahatan, tetapi secara khusus tentang hak-hak perempuan yang

Banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia namun belum semuanya diproses secara tuntas, dengan adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang

Perlindungan hukum terhadap korban KDRT sebagai bentuk perlindungan hak asasi manusia khususnya kaum perempuan, telah diatur dalam bentuk undang- undang yaitu

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU39/1999), pelanggaran HAM diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP SUKU ANAK DALAM SEBAGAI KAUM INDIGENOUS DI INDONESIA A. Pengaturan Hukum Dalam Deklarasi

Apabila diperinci ketentuan-ketentuan mengenai proses pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang secara khusus ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 26 tahun

Pengaturan tata cara pemberian bantuan terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 ini misalnya diatur