• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELANGGARAN HAM BERAT dan HUKUM ACARANYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PELANGGARAN HAM BERAT dan HUKUM ACARANYA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS HUKUM ACARA PIDANA LANJUT PELANGGARAN HAM BERAT

KELAS E Disusun Oleh :

1. Reyno Yabri Renel ( 11010114140619 ) 2. Candrika Nanda Sasmita ( 11010114170001 )

3. Ida Hafni ( 11010115120006 )

4. Heni Ristiana ( 11010115120027 ) 5. Beta Avisa ( 110101151200.... ) 6. Dwi Resti Prabandari ( 11010115120040 )

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI FAKULTAS HUKUM

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak asasi manusia adalah pokok atau hak dasar yang di bawa manusia sejak lahir yang secara kodrat melekat pada setiap manusia dan tidak dapat di ganggu gugat karena merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia banyak terjadi meskipun sudah adanya peraturan tentang perlindungan terhadap hak asasi manusia, pelanggaran itu terjadi baik berupa pelanggaran hak asasi manusia berat maupun ringan.

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yakni kejahatan yang meliputi kejahatn genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Banyak sekali kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia baik kasus tersebut sudah ditangani maupun belum dan perlu diketahui dari setiap pelanggaran hak asasi manusia tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia biasa atau pelanggaran hak asasi manusia berat sebab penanganan dari masing-masing tersebut berebeda.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat ? 2. Bagaimanakah mekanisme peradilan dalam penanganan kasus pelanggaran hak

(3)

BAB II PEMBAHASAN

PELANGGARAN HAM BERAT Peraturan

Sumber Hukum Nasional Pelanggaran HAM berat yakni berdasar pada Statuta Roma 1998, UU.No 39 tahun 1999 dan UU. No. 26 tahun 2000.

Pengertian

Untuk mengetahui suatu peristiwa merupakan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian dari pelanggaran hak asasi manusia berat yang selanjutnya akan disebut pelanggaran HAM berat.

Dalam sumber hukum yang terdapat diatas dapat ditemui pengertian mengenai Pelanggaran HAM berat yakni dalam Statuta Roma 1998 yang istilahnya The Most Serious Crime, Rome Statute Art. 5: the most serious crimes of concern to the international community as a whole: This Statute with respect to the following crimes: (i) The crime of genocide; (ii) Crimes against humanity; (iii) War crimes; (iv) The crime of aggression.

Dalam penjelasan pasal 104 UU No.39 tahun 1999 menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat adalah :

“Pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination)

Dalam pasal 1 ayat (2) UU. No.26 tahun 2000

“Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan.”

(4)

pelanggaran HAM berat, dalam Statuta Roma, pelanggaran HAM berat terdiri dari Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Sedangkan, dalam UU. No. 26 tahun 2000 jenis kejahatan terhadap kemanusiaan adalah Kejahatan Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pasal 8 UU.No. 26 tahun 2000, Kejahatan genosida yakni setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk mengahancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama, dengan cara :

a. Membunuh anggota kelompok

b. Menagkibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok

c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian

d. Memaksakan tindakan tindakan yang bertujuan memaksakan kelahiran didalam kelompok dan

e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah menurut pasal 9 Undang Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia : “ salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistemik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:

a. Pembunuhan b. Pemusnahan c. Perbudakan

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan secara fisik lain secara sewenang-wenang melanggar asas ketentuan pokok hukum internasinal

f. Penyiksaan

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaann kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik,ras, kebangsaan, etnis,budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secarauniversal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.

(5)

j. Kejahatan apartheid .”

Kejahatan perang sebagaimana telah ditentukan dalam Konvensi Jenewa yang telah diratifikasi sejak tahun 1958, telah dicoba diakomodir dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2004, yang substansinya dirumuskan mulai dari Pasal 392 sampai dengan Pasal 395.1

Oleh karena itu kalau RUU KUHP disahkan, maka peradilan nasional dapat mengadili setiap perbuatan yang dilarang oleh hukum internasional. Dengan kata lain, apabila setiap perbuatan kejahatan perang tersebut dilakukan oleh warga negara Indonesia atau terjadi di Indonesia tidak perlu menunggu peradilan pidana internasional mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat seperti yang diatur dalam Statut Roma.2

Kemudian mengenai kejahatan agresi tidak disebutkan pengertian atau batas-batasannya dalam Statuta Roma 1998, karena ketika perumusan Statuta Roma 1998 dilaksanakan telah terjadi perdebatan mengenai batas pengertiannya dan elemen-elemen kejahatan agresi, dan ketika itu berkembang pandangan berupa: thec crimes aggression” adalah the mother of crimes, karena dengan dilakukannya agresi menimbulkan kejahatan-kejahatan lain yang mengikutinya3 oleh karena itu setelah 7 (tujuh) tahun kemungkinan dapat

dilakukan amandemen, dengan syarat harus mendapat persetujuan dua pertiga dari anggota majelis negara pihak.4

Hal tersebutlah yang menjadikan Indonesia hanya menganut 2 jenis pelanggaran HAM berat, posisi Indonesia yang hanya sekedar mengadopsi statuta roma bukan meratifikasi membuat Indonesia tidak terikat pada ICC dalam menangani pelanggaran HAM berat. Pengertian mengenai kejahatan genosida dankejahatan terhdap kemanusiaan merupakan pengadopsian dari kejahatan yang merupakan yurisdikasi Internasional Criminal Court (ICC) yang diatur dalam pasal 6 dan 7 Statuta Roma. Dalam statuta Roma terdapat Rule of procedure and Evidence yang merupakan hukum acaranya serta terdapat Element of Crimes yang mnejelaskan unsur unsur kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC namun, dalam UU. No.26 tahun 200 tidak menngadopsi Element Of Crimes sehingga sedikit membingungkan dalam menafsirkan suatu delik yang merupakan pelanggaran HAM berat.

Beberapa contoh Kasus Pelanggarang HAM berat di Indonesia

 Peristiwa Talangsari 1989

1 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, (2004), hal. 95-99.

2 Rina Rusman, Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya Dalam Hukum Pidana Nasional, Jurnal Hukum Humaniter, Juli 2005, vol. 1, No. 1, hal. 100.

3H. Suwardi Martowinoto, Ulasan Hukum Mengenai International Criminal Court, Varia Peradilan, Jakarta, April, 2000, Edisi XV No. 175, hal. 109.

(6)

 Tanjung Priok 1984

 Kasus Orang Hilang 1997-1998

 Peristiwa Kerusuhan Mei 1998

 Peristiwa Trisakti 1998

 Peristiwa Semanggi 1998 (Semanggi I)

 Semanggi 1999 (Semanggi II)

 peristiwa Timor Timur 1999

 peristiwa Abepura 2000

 peristiwa Wasior 2001-2002

 peristiwa Wamena 20035

dalam makalah ini akan dijelaskan hanya beberapa kasus pelanggaran HAM berat yakni :

1. Kasus Tanjung Priok 1984

Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka.Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat.

Latar Belakang, Pada tanggal 10 September 1984, Sersan Hermanu, seorang anggota Bintara Pembina Desa tiba di Masjid As Saadah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan mengatakan kepada pengurusnya, Amir Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk yang mengkritik pemerintah.Biki menolak permintaan ini, lantas Hermanu memindahkannya sendiri; Saat melakukannya, dia dilaporkan memasuki area sholat masjid tanpa melepas sepatunya (sebuah pelanggaran serius terhadap etiket masjid).

Sebagai tanggapan, warga setempat, yang dipimpin oleh pengurus masjid Syarifuddin Rambe dan Sofwan Sulaeman, membakar motornya dan menyerang Hermanu saat dia sedang berbicara dengan petugas lain.Keduanya kemudian menangkap Rambe dan Sulaeman, serta pengurus lain, Achmad Sahi, dan seorang pria pengangguran bernama Muhamad Noor....6

2. Kasus Trisakti

Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta,Indonesia serta puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di dalam

5 Catatatan kuliah hukum acara pidana lanjut, 26 September 2017

(7)

kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.

Latar belakang dan kejadian, Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia sepanjang 1997 - 1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.

Akhirnya, pada pukul 5.15 sore hari, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras. Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Steyr, dan SS-1.

Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.7

3. Peristiwa Wamena, 4 April 2003 pukul 01.00 WP. Sekelompok massa tak dikenal membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Penyerangan ini menewaskankan 2 anggota Kodim yaitu Lettu TNI AD Napitupulu dan Parajurit Ruben Kana (Penjaga gudang senjata) dan 1 orang luka berat. Kelompok penyerang diduga membawa lari sejumlah pujuk senjata dan amunisi. Dalam rangka pengejaran terhadap pelaku, aparat TNI-Polri telah melakukan penyisiran, penangkapan, penyiksaan, perampasan secara paksa menimbukan korban jiwa dan pengungsian penduduk secara paksa. Tempat-tempat yang menjadi titik penyisiran yakni: Desa Wamena Kota, Desa Sinakma, Bilume-Assologaima, Woma, Kampung Honai lama, Napua, Walaik, Moragame-Pyamid, Ibele, Ilekma, Kwiyawage –Tiom, Hilume desa Okilik, Kikumo, Walesi Kecamatan Assologaima dan beberapa kampung di sebelah Kwiyawage yaitu: Luarem, Wupaga, Nenggeyagin, Gegeya, Mume dan Timine.8

Pada beberapa contoh pelanggaran Hak asasi Manusia yang telah diuraikan diatas yakni kasus Tanjung Priok, Kasus Trisakti, Peristiwa Wamena, masing-masing peristiwa tersebut menimbulkan korban terhadap penduduk sipil, tidak hanya satu atau dua orang saja penduduk sipil yang terluka atau menjadi korban namun sampai dengan angka puluhan yang dilakukan dengan pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan dll. Sehingga

7 https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti , diakses tgl 22 Oktober 2017

(8)

dapatlah peristiwa tersebut dimauskan kedalam kategori pelanggaran HAM berat yakni kejahatan terhadap kemanusiaan karena peristiwa tersebut memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 9 Undan-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Kasus tanjung priok, Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka.Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat. Dari hal itu diketahui terdapat unsur pembunuhan, penyiksaan terhadap beberao penduduk sipil hingga mengakibatkan korban tewas.

Kasus Trisakti, terdapatnya aksi oleh mahasiswa yang menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya yang dilandasi dari faktor krisis ekonomi tahun 1998, terjadi pemberontakan secara besar-besaran hingga aparat keamanan melakukan penembakan untuk menghentikan aksi itu dan penembakan itupun berhujung pada kematian terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta,Indonesia serta puluhan lainnya luka.

Peristiwa Wamena tahun 2003 masuk kedalam kasus pelanggaran hak asasi manusia berat sebab terdapatnya unsur penangkapan, penyiksaan, perampasan secara paksa menimbukan korban jiwa dan pengungsian penduduk secara paksa yang terjadi karena aparat TNI-Polri yang melakukan pengejaran terhadap pelaku yang membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena hingga menewaskankan 2 anggota Kodim yaitu Lettu TNI AD Napitupulu dan Parajurit Ruben Kana (Penjaga gudang senjata) dan 1 orang luka berat.

MEKANISME PENGADILAN PELANGGARAN HAM BERAT.

(9)

kasus pelanggaran HAM berat lalu setelah itu Presiden mengeluarkan Kepres yang berisi penetapan bahwa kasus tersebut merupakan kasus pelangaran HAM berat (Pasal 43 ayat [2] UU 26/2000), lalu dibentuk pengadilan HAM Ad hoc (Apabila kasus tersebut terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 diundangkan ) atau diadili di Pengadilan HAM (apabila kasus tersebut terjadi sesudah Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 diundangkan), apabila Pengadilan Nasional tersebut unable/unwilling dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat tersebut maka Mahkamah Pidana Internasional akan mengambil alih kasus tersebut. Namun terhadap pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 ketentuan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc melalui usul DPR pernah dimohonkan pengujian materi kepada Mahkamah Konstitusi oleh Eurico Guterres. Hasilnya, melalui Putusan MK No. 18/PUU-V/2007 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 sepanjang mengenai kata “dugaan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Jadi, dengan adanya putusan MK tersebut dimaksudkan agar DPR tidak boleh serta merta menduga sendiri bahwa peristiwa tersebut merupakan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

(10)

Pasal 10 UU. No.26 tahun 2000

“ Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggran hak asasi manusia yang berat dilaksanakan dengan ketentuan hukum acara pidana”.

Beberapa aturan beracara baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan mengecualikan aturan yang sama dalam KUHAP, diantaranya:

a. pembentukan penyelidik ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc dan hakim ad hoc.

b. penyelidik hanya dilakukan oleh komnas HAM sedangkan penyidik tidak diperkenankan menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHAP

c. diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan

d. ketentuan mengenai korban dan saksi9

Disini akan diuraikan mengenai proses hukum dalam hal terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang dimulai dari penyelidikan yakni serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. Yang bertindak sebagai penyelidik dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia berat adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau yang disebut dengan KOMNAS HAM. Berdasarkan pasal 19 Undang-Undang No.26 Tahun 2000 KOMNAS HAM berwenang:

1. melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

2. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti;

3. memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya

4. memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;

5. meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;

6. memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya;

(11)

atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: -pemeriksaan surat;

-penggeledahan dan penyitaan;

-pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan;

-bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu; -mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.

Selama dilakukan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memberitahukan kepada Jaksa Agung sebagai penyidik bahwa sedang dilakukan penyelidikan, lalu apabila KOMNAS HAM telah mempunyai cukup bukti dalam waktu paling lambat 7 hari setelah kesimpulan, KOMNAS HAM menyerahkan hasil penyelidikan kepada Penyidik, namun apabila ada hal yang masih kurang lengkap Penyidik harus segera mengembalikan hasil penyelidikan dengan disertai petunjuk untuk dilengkapi DAN dalam waktu 30 hari penyelidik harus melengkapi atau yang disebut dengan proses Pra-Penyidikan,

Setelah proses penyelidikan dilanjutkan dengan proses penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa Agung.

Penyidikan dilakukan oleh Jaksa Agung Penyidikan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Jangka waktu tsb dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Dalam hal jangka waktu tsb habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Apabila dalam total jangka waktu dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung. Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan. Dalam hal penghentian penyidikan tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.10

Proses Penuntutan, proses ini merupakan kelanjutan dari proses penyidikan. Proses penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung mengenai hal-hal yang dituntut terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi.

Setelah proses penuntutan dilanjutkan dengan tahap pemeriksaan perkara atau pemeriksaan sidang . Pemerikasaan perkara dilakukan oleh Majelis Hakin yang terdiri dari 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir yang deketuai oleh Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam waktu paling lama 180 hari11. Penetapan Hakim karir ini dipilih 10 Pasal 21-22 UU No.26 tahun 2000

(12)

berdasarkan kewenangan dari Mahkamah Agung. Dan penetapan hakim ad hoc berdasarkan pasal 28 ayat (1) hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala negara atas usul Ketua Mahkamah Agung.

Mahkamah Pidana Internasional mempunyai kewenangan untuk menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia berat, namun apabila suatu kasus tersebut belum atau masih dijalankan dalam ditingkat nasional Mahkamah Pidana Internasional tidak berwenang menanganinya, jadi apabila dalam proses nasional suatu negara tidak mampu atau tidak dapat menangani masalah pelanggaran HAM berat yang terjadi, maka Mahkamah Pidana Internasional baru akan mengambil alih kasus tersebut dan mengadilinya berdasarkan aturan yang ada pada Statuta Roma 1998.

Dalam Mukadimah Statuta Roma maupun Pasal 1-nya, disebutkan bahwa ICC merupakan pelengkap dari yurisdiksi pidana di tingkat nasional. Artinya, ICC tidak akan memberlakukan jurisdiksinya apabila proses peradilan di tingkat nasional belum atau sedang dijalankan. Hal ini juga untuk menepis kekhawatiran bahwa kedaulatan suatu negara atas wilayah dan penduduknya sendiri menjadi terlanggar dengan campur tangannya ICC.12

(13)

BAB III

PENUTUP A. Kesimpulan

Pelanggaran Hak asasi manusia terdapat dua macam yakni pelanggaran asasi manusia yang ringan dan yang berat. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang proses acaranya diatur secara khusus didalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 sebab pelanggaran hak asasi manusia yang berat termasuk kedalam extra ordinary crimes sehingga perlu pengaturan khusus.

Dalam proses beracara kasus pelanggaran hak asasi manusia berat menyimpang ketentuan ketentuan yang ada di KUHP, sebab Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak asasi manusia bersifat Lex Specialis. Beberapa bentuk penyimpangannya seperti berlakunya asas retroaktif yang dapat menjerat kasus yang terjadi sebelum Undang-Undang tersebut diundangkan serta tidak dikenal adanya daluarsa.

Proses hukum dalam penanganan kasus pelangggaran hak asasi manusia berat dimulai dari tahap penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasioanal Hak Asasi Manusia kemudian tahap penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa Agung, dilanjutkan dengan proses penuntutan oleh Jaksa Agung dan kemudian perkaranya diperiksa di Pengadilan Hak Asasi Manusia oleh oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Majelis hakim diketuai oleh hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan.

B. Saran

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2004

Fowler,Jerry. 2000 Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana

Internasional: KeadilanBagi Generasi Mendatang, Dalam Statuta Roma. Jakarta :Elsam K.M Smit, Rhona. 2008. Hukum dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia.

Martowinoto , H. Suwardi, 2000. Ulasan Hukum Mengenai International Criminal Court Edisi XV. Jakarta: Varia Peradilan.

Rusman, Rina. 2005. Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya Dalam Hukum Pidana Nasional : Jurnal Hukum Humaniter.

Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 21-Pasal 22

Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 27

Catatatan kuliah hukum acara pidana lanjut, 26 September 2017

https://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Tanjung_Priok , diakses tgl 22 Oktober 2017

https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti , diakses tgl 22 Oktober 2017

https://www.kontras.org/home/index.php?module=pers&id=1033, diakses tgl 23 Oktober

2017

Referensi

Dokumen terkait

At the same time, Bank Indonesia shared that it may maintain the benchmark rate at 7.5%, this would trigger more selling activity as market will start to

n -heksana, kloroform, dan metanol biji pepaya selama 20 hari (Tabel 2) Pada penelitian sebelumnya disebutkan bahwa fraksi benzen biji pepaya yang diberikan secara oral

Lebih dari setengah pelaku rawat informal meng- gunakan koping adaptif selama melakukan perawatan kepada klien dengan diabetes dan sebagian pelaku rawat informal

Kurangnya persiapan dari panitia Seminar Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang Tahun 2012 sehingga dalam pelaksanaannya kurang

Hasil-hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa (1)Penerapan ketentuan pidana materil terhadap kasus tindak pidana pemerkosaan oleh Bapak terhadap Anak Tiri,

Upaya memperoleh prestasi yang optimal dalam setiap cabang olahraga merupakan suatu bentuk usaha yang senantiasa dilakukan oleh berbagai pihak terkait terutama

Pihak pertama berjanji akan mewujudkan target kinerja yang seharusnya sesuai lampiran perjanjian ini, dalam rangka mencapai target kinerja jangka menengah seperti

Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol Laos putih memiliki aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri Escericia coli mulai konsentrasi