• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN BOYOLALI DAN

B. Sejarah Pengging

Menurut buku Pustaka Raja, hasil karya pujangga besar Ranggawarsito III yang hidup pada tahun 1802 – 1875 dalam buku menyebutkan adanya suatu yang bernama Pengging, dan didirikan oleh Prabu Kusumo Wicitro pada awal tahun Surya 902/1026 Masehi. Negara tersebut bernama Negara Witaraga. Karena cerita-cerita dalam buku ini (buku Pustaka Raja) belum dikenal masyarakat luas pada waktu itu.

Dalam cerita rakyat terdapat pula nama Pengging, misalnya cerita tentang Candi Prambanan, yang menceritakan candi tersebut ciptaan seorang anak Raja Pengging yang bernama Bandung Bondowoso. Meskipun cerita ini hanya merupakan dongeng sebelum bobok atau tidur anak – anak kecil, tetapi cerita ini membuktikan bahwa Negara Pengging dahulu benar-benar ada.

commit to user

Pengging mulai tercantum dalam sejarah baru semenjak negara Majapahit mengalami kemunduran dan akhirnya tenggelam sama sekali. Kemunduran ini akibat masuknya Islam pada waktu itu, yang dibawa oleh kaum pedagang. Dan Islam masuk Majapahit begitu pesat dan penyebarannya mulai dari pedesaan sampai ke kota raja.

Pada waktu itu Pengging termasuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit yang dikepalai oleh seorang Adipati. Daerah Kabupaten kurang lebih hanya seluas karesidenan di Jawa sekarang sedang wewenang seorang Adipati jauh lebih luas dari pada seorang Gubernur sekarang ini. Adipati Pengging pada waktu itu adalah Hadayaningrat ke VIII, isteri beliau putra Prabu Brawijaya V Raja Majapahit yang bernama Ratu Pembayun.

Dalam masa jayanya Adipati Hadayaningrat ke VIII, bersama Adipati Ponorogo Batara Katong mengadakan musyawarah untuk mengatasi keadaan tentang datangnya tamu-tamu asing yang mengganggu ketentraman masyarakat dan untuk menyerang Demak dengan maksud mendahuluinya, sebelum menyerang Majapahit.

Perlu diketahui Bahwa Adipati Demak dan Adipati Ponorogo Batara Katong masih bersaudara kakak dan adik adalah putra Prabu Brawijaya V Majapahit.

Rencana penyerangan ini ternyata diketahui oleh Prabu Brawijaya V dan mengutus kedua prajurit untuk datang ke Pengging dengan membawa surat yang bermaksud agar rencana penyerangan ke Demak dibatalkan. Setelah membaca surat yang dibawa kedua prajurit Majapahit dan tahu maksudnya, maka Adipati

commit to user

Ponorogo batara katong kembali ke Ponorogo, sedang situasi masih dalam keadaan yang pergolakan Adipati Handayaningrat VIII wafat dan jenazahnya dimakamkan di Dukuh Malangan, Kalurahan Dukuh Kecamatan Banyudono sekarang. Dan merupkan seorang Adipati Pengging yang pertama kali memeluk agama Islam, sedang para adipati sebelumnya memeluk agama Hindu, maka dukuh Malangan merupakan satu-satunya makam Adipati Pengging yang beraga Islam.

Adipati Handayaningrat mempunyai dua putra yaitu Raden Kebokenongo dan Kebokanigo. Raden Kebokenongo inilah yang menggantikan Adipati Handayaningrat ke VIII, dan gelarnya Handayaningrat ke XI, tetapi ia terkenal dengan sebutan Kyai Kebokenongo.

Setelah kerajaan Majapahit jatuh, kedaulatan dipegang oleh Adipati Demak (Raden Patah) yang kemudian bergelar dengan sebutan Sultan Syah Akbar. Tetapi Adipati Pengging tidak mau mengakui berdirinya Kasultanan Demak Bintoro. Menurut riwayat dan cerita yang ada Kyai Kebokenongo atau Handayaningrat XI, diminta meninggalkan Pengging dan dilaporkan kepada Sultan Demak Bintoro, bahwa Kyai Kebokenongo telah meninggal, sedangkan makamnya berada di Dukuh Gedong yang sekarang termasuk wilayah Kalurahan Jembungan Kecamatan Banyudono.

Kyai Ageng Kebokenongo hanya meninggalkan seorang putra yang masih kecil bernama Mas Karebet. Satu-satunya orang yang berhak menggantikan sebagai Adipati Pengging ialah Kyai Kebokenongo, tetapi beliau sudah dahulu meninggalkan tempat/daerah Pengging. Sehingga Pengging terpaksa kosong tidak

commit to user

mempunyai Adipati. Sepeninggalnya Kyai ageng Kebokenongo, Mas Karebet diasuh oleh Nyai Ageng Hadipurwo di desa Tingkir. Setelah dewasa, ia berguru kepada Syech Abdurrachman di Sala. Setelah merasa cukup ilmunya ia pergi ke Demak melamar pekerjaan menjadi seorang prajurit, yang akhirnya diangkat menjadi Senopati ( Disparbud Kabupaten Boyolali : Selayang Pandang Boyolali. 1997 ).

2. Nama Pengging Dilupakan Oleh Masyarakat

Semenjak ibu kota Kadipaten Pengging pindah ke Pajang meskipun resminya masih derah Pengging. Pada umumnya orang menyebut daerah Pajang, sehinnga nama Pengging sudah Lazim , sehingga nama Pengging sudah lazim apabila dilupakan orang dan disebut – sebut lagi dalam percaturan hanya sebagai daerah biasa atau daerah perdikan. Dengan tenggelamnya nama Pengging dari percaturan masyarakat luas, mengakibatkan banyak orang hanya mengakui adanya hanya Kasultanan Pajang di bawah pemerintah Sukltan Hadiwijaya setelah dirinya dapat mengalahkan Arya Penangsang dan menghapus Kasultanan Bintara. Kemudian Pajang dinyatakan menjadi Kasultanan.

Semua pusaka yang ada di Bintara yang berasal dari Majapahit sewaktu kalah perang dengan Demak Bimtara. Sementara Demak Bintara sendiri dikembalikan menjadi daerah Kadipaten Prawata. Selama dalam kancah perang saudara ini nama Pengging benar – benar ditelan keadaan.

Ketika Sultan Pajang mengalahkan Adipati Jipang Arya Penegsang mendapat bantuan sepenuhnya dari Kyai Ageng Pemanahan dan Puteranya Bagus

commit to user

Danar atau Raden Sutawijaya. Untuk membalas jasanya, Kyai Ageng Pamanahan diangkat menjadi Adipati Mataram, sedangkan Bagus Danar atau Raden Sutawijaya sendiri diangkat menjadi panglima merangkap perdana mentri atau Patih, karena waktu itu rumah Patih terletak di sebelah utara pasar dan memang sudah manjadi tradisi sampai sekarang, maka Mas Ngabei Sutawijaya terkenal dengan nama mas Ngabei Loring Pasar. Tak lama kemudian Kyai Ageng Pamanahan menyerahkan kekuasaannya kepada anaknya Raden Sutawijaya, setelah menjabat Adipati menggantikan ayahnya dan terkenal dengan sebutan Panembahan Senopati Ing Ngalaga.

Sejak Panembahan Senopati Menjabat sebagai Adipati Mataram, berkeinginan memisahkan diri dari Kasultanan Pajang. Secara perlahan – lahan mengadakan penyerangan dengan cara halus, sehingga tindakannya tidak terlalu menyolok di mata Sultan Hadiwijaya, tetapi maksud ini diketahui oleh Sultan Pajang ketika Panembahan Senopati menggagalkan hukuman patian Senopati. Melihat kejadian ini Sultan Pajang mengambil tindakn tegas terhadap Panembahan Senopati, ternyata tentara Mantaram lebih kuat dari pada tentara Pajang. Masih dalam pergolakan Sultan Hadiwijaya wafat, kedudukan digantikan oleh puteranya yang bernama Pangeran Benawa yang merasa sudah tidak sanggup mempertahankan kedudukannya, menyerah kedaulatan kepada Panembahan Senopati.

Penyeraha benda – benda upacara dan pusaka diterima, tetapi Pangeran Benawa diminta tetap menjadi Sultan Pajang. Langkah berikutnya yahg diambil Panembahan Senopati yaitu mengalahkan Demak , dengan berbagai cara akhirnya

commit to user

Demak Bintarapun dapat dikalahkan. Dengan kemenangan tersebut nama Mataram dan Panembahan Senopati semakin terkenal, sekaligus merubah kasultana Pajang dikembalikan menjadi daerah Kadipaten. Semasa jayanya Panembahan senopati manambah patalnya nama Pengging atau kadipaten Pengging dalam percaturan raja dan masyarakan luas.

Panembahan Senopati semasa jayanya secara terus – menerusn malakuan atau berperang melawan Adipati yang dulu tunduk kepada Pajang , kebanyakan masih keturunan Sultan Trenggana, sehingga mereka tidak mau begitu saja tunduk kepada Panembahan Senopati yang bukan keturunan Sultan Demak. Namun demikian tentara Mataram setiap berperang selalu mendapat kemenangan, hal bbelum selesai. Oleh karena itu beliau belum pernah menyatakan sebagai raja besar atau sebagai Sultan, baru setelah sampai pada cucu beliau yang bernama Raden Masrangsang menggunakan nama yang bergelar Sultan Agung Anyokrokusumo.

Kasultana Pajang dihapus dan dikembaliakan kedudukanya sebagai Kadipaten, dan dalam waktu yang singkat berangsur – angsur Kadipaten Pajang dihapus oleh Mataram. Dengan terhapusnya Pajang dari percaturan raja ( Kerajaan ), nama Pengging mulai dikenal lagi ( Disparbud Kab. Boyolali : Selayang Pandang Boyolali. 1997 ).

3. Nama Pengging di Kenal Lagi oleh Masyarakat Sekitar.

Pengging dikenal lagi pada awal abad ke XVIII ( 18 ), lewat kepndaian puttera – puteranya di bidang kasusasteraan. semua ini dikarenakan adanya

commit to user

pemindahan ibu kota Mataram ke Kartosuro, sedangkan di Penging telah berdiri Pondok Pesantren yang diasuh oleh Kyai Kalifah Syarif dari Begelen. Di pondok tersebut terdapat santri dari Palembang bernama Zainal Abidin. Berkat ketekunan dalam beribadat dan kesabarannya dalam melakukan sesuatu yang sangat penting demi kepentingan orang banyak, melihat kepribadiannya Kyai Syarif sangat tertarik dan akhirnya dikawinkan dengan puterinya yang bernama Siti Maryam.

Pada suatu ketika pemerintah kraton Kartosuro menerima pengaduan soal perdata, semua hakim kraton tidak dapat member keputusan, terpaksa kraton mengadakan sayembara untuk mendapatkan hakim yang dapat menyelesaikan atau member keputusan soal perdata yang ada. Dari sekian banyak peserta yang mengikuti salah seorang adalah Zainal Abidin dan ternyata dapat menyelesaikan dengan baik. Sebagai hadiahnya Zainal Abidin dijadikan pegawai Kraton Kartosuro ( Disparbud Kabupaten Boyolali : Selayang Pandang Boyolali. 1997 ).

Lama kelamaan latar belakang Zainal Abidin diketahui oleh pihak kraton , bahwa sesungguhnya Kyai Zainal Abidin adalah Bupati Pekalongan bernama Tumenggung Padmonegoro yang telah lama hilang dalam peperangan. Oleh karena iti Kyai Zainal Abidin diagkat menjadi Bupati Jaksa di Kartosuro bernama Tumenggung Padmonegoro yang berdarah keturunan Sultan Hadiwijaya, dan juga keturunan Susuhuna Mangkurat di Mataram yang di makamkan di Tegal Arum. Maka dari itu setelah wafat Kyai ZainalAbidin atau Tumenggung Padmonegoro dimakamkan di desa Gedong berdekatan dengan makam Kyai Kebokenongo.

Almarhum Tumenggung Padmonegoro mempunyai dua orang putera yaitu Raden Ngabei Yosodipuro I dan Yosodipuron II, kemudian berganti nama

commit to user

menjadi Raden Tumenggung Padmonegoro II. Kakak adik ini adalah sarjana dalam bidang kesusasteraan Jawa, dan telah berjasa menyusun buku – buku berbahasa Jawa dengan sajak atau tembang yang tersusun indah dalam bahas Jawa. Karena penyusunnya dalam waktu yang besamaan, gaya bahasanya sama, sehingga sangat sulit untuk membedakan buku ciptaan Raden Ngabei Yosodipuro I dan Yosodipuron II. Selain menulis peristiwa – peristiwa yang sedang terjadi sebagai dokumentasi seperti dalam bukunya yang diberi judul : Babad Giyanti, Babad Prayut, Babad Pakepung dan masih banyak lagi hasil karyannya, mereka juga berhasil menterjemahkan buku – buku berbahas Melayu misalnya : Hikayat Amir Hamsyah, Kitab Mahkota Raja. Kita wajib berterima kasih atas jasa –

jasanya, dan dapat mengetahui maksud dan isi dari buku – buku tersebut. Tetapi yang lebih penting kita dapat menambah pengetahuan mengenal keindahan bahasa yang ada.

Setelah wafat kedua – duanya dimakamkan di Ngaliyan sekarang termasuk wilayah kalurahan Bendan, Kecamatan Banyudono. Hingga sekarang ini makm tersebut selalu ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah, terutama pada malam Jumat Pahing. Sebab hari tersebut adalah hari kelahiran almarhum Raden Ngabei Yosodipuro I ( Disparbud Kabupaten Boyolali : Selayang Pandang Boyolali. 1997).

Sil – silah Kyai Yosodipiro 1. Kyai Kholifan Syarif.

2. Siti Maryam kawin dengan Zaenal Abidin ( Pradata Kartosuro ). 3. Bagus Subuh ( R. Ng. Yosodipuro I ) Pujangga Surakarta.

commit to user

4. R.T. Sastronegoro ( R. Ng. Yosodipiro II ) Pujangga Surakarta. 5. R. Ng. Atmowarsito.

6. Bagus Burhan ( R. Ng. Ronggowarsito ) Pujagga Surakarta. ( Disparbud Kab. Boyolali : Sejarah Pengging. 2001 ).

4. Pembangunan Kembali Pesanggrahan Pengging oleh Sri Pakubuwana ke IX. Pada abad ke XIX, Sri Pakubuwana ke IX sering berkunjung ke Pengging. Kedatangan beliau ke Pengging untuk berziarah dan beristirahat. Selama di Pengging beliau bermalam di rumah orang Belanda yang bernama Van Zaaten, seorang pimpinan perusahaan perkebunan yang berkedudukan di Pengging.

Hal sermacam itu diraskan merepotkan tuan rumah, maka Sri Pakubuwana

IX mambangun pasangrahan yang diberi nama “Pesanggrahan Ngeksi Purna”,

letaknya di sebelah selatan masjid. Untuk melengkapi Pengging sebagai tempat rekreasi dan peristirahatan oleh Sri Pakubuwana IX dibagun pula masjid Karangduwet, menurut cerita didirika oleh almarhum Raden Tumenggung Padmonegoro pada waktu masih bernama Kyai Zainal Abidin. Pembangunan masjid ini baru dapat diselesaikan pada tahun 1908 dan diberi nama masjid Ciptomulyo. Pada waktu peresmiannya Sri Pakubuwana IX berkenan menghadiri dan mengikuti sholat Jumat tujuh kali berturut – turut.

Makam Ngaliyan yang terletak di belakang masjid Ciptomulyo adalah makamnya Raden Ngabei Yosodipuro , Raden Tumenggung Hamongprojo dan pejabat maupun para bengsawan. Tempat makam tersebut juga dibangun dan diberi nama Astana Luhur. Di muka masjid didirikan sebuah madrasah yang

commit to user

diberi nama Nambaul Ulum, sekarang telah diurusi Dinas Pendidikan Agama dirubah menjadi Madrassh Ibtidaiyah.

Pasar Pengging yang terletak di Desa Taman, kemudian dipindahkan di muka pesanggrahan sebelah selatan Madrasah. Di sebelah selatan pesanggrahan dibangun kolam atau pemandian. Satu kolam untuk keluarga Sri Pakubuwana dan yang lainnya untuk pemandian umum. Disekitar kolam dibangun taman yang sangat indah dan diberi beberapa binatang yang dipelihara oleh pengikut Sri Pakubuwana pada waktu itu.

Demikianlah usaha – usaha yang dirintis Sri Pakubuwana ke IX pada awal abad ke XX di Pengging yang sekarang dilanjutkan pembangunannya oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Boyolali . Tempat – tempat pemandian yang ada dipugar kembali menjadi lebih bagus ( Disparbud Kabupaten Boyolali : Selayang Pandang Boyolali.1997 ).

commit to user

Dokumen terkait