Tanah garapan di Desa Lemahduhur awalnya merupakan perkebunan teh Belanda. Setelah kemerdekaan RI perkebunan ini kemudian diambil alih (dinasionalisasi) oleh Pemerintah Indonesia. Pada tahun 1964, lewat PTPN XI, tanaman teh perkebunan diganti dengan tanaman karet. Penguasaan PTPN XI terhadap perkebunan ini hanya berlangsung sampai tahun 1982, karena berakhirnya Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan.
Aparat desa Lemahduhur menganjurkan kepada masyarakat agar membuat permohonan kepada pemerintah (menurut masyarakat; kepada pemerintah propinsi Jawa Barat dan pemerintah kabupaten Bogor) untuk memanfaatkan lahan eks perkebunan ini. Permohonan inipun diajukan kepada pemerintah. Pemerintah lewat pemerintah desa Lemahduhur mendata dan menentukan seluruh masyarakat yang berhak untuk menerima lahan eks perkebunan PTPN XI tersebut. Namun, ketika akan dibagikan, aparat desa (dengan paksaan dan intimidasi) mengharuskan masyarakat untuk membayar tanah tersebut dengan besaran Rp. 50.000/bidang tanah per calon penerima. Masyarakat banyak yang merasa tidak mampu untuk menyiapkan dana sebesar Rp. 50.000 karena pada saat itu upah mereka hanya Rp. 350.-/per hari. Karena masyarakat tidak mampu membayarnya, tanah-tanah tersebut kemudian dijual kepada orang-orang di luar desa (yang kebanyakan berasal dari Bogor dan Jakarta). Masyarakat (calon penerima) dipaksa untuk menandatangani surat yang masyarakat sendiri tidak tahu isi surat tersebut (karena sebagian besar masyarakat pada waktu itu tidak bisa membaca dan menulis/buta huruf) serta hanya diberikan uang sebagai kompensasi yang juga jumlahnya bervariasi. Ada yang mendapatkan uang sebanyak Rp. 10.000, Rp. 7.000, dan Rp. 4.000, bahkan ada masyarakat yang hanya diberikan uang Rp. 2.500 saja.
Ironisnya, lahan-lahan yang dikuasai sejak 1982 oleh orang-orang di luar desa ini, telah banyak berpindahtangan atau dijual kembali kepada orang lain (bahkan praktek jual beli tanah terjadi sampai hari ini). Lahan-lahan ini kemudian disewakan lagi kepada petani yang menggarapnya. Dengan besaran sewa yang bermacam-macam jumlahnya, tergantung luasan lahan tersebut. Salah satu bentuk sewa lahan yang ada saat ini yaitu, Pajak Bumi dan Bangunan(PBB) dari lahan-
43 menggarapnya. Menurut informasi yang diperoleh dari Ketua Kelompok Tani Puspa Mandiri yang bertugas untuk mengumpulkan dan membayarkan PBB dari tanah-tanah ini ke BRI dari petani di kampung Leuwisapi desa Lemahduhur, jumlah petani pembayar pajak yang dikoordinirnya sebanyak 20 orang.
Berbicara mengenai hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya menurut Broomley (1989:2000), Mc. Cay dan Achenson (1990) diacu dalam Lynch dan Harwell (2002) mengemukakan bahwa hak kepemilikan merupakan faktor penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. Lebih lanjut Lynch dan Harwell (2002) menyebutkan bahwa hak kepemilikan tidak didasari pada pemberian oleh negara atau dokumentasi formal. Berdasarkan statement tersebut dan dikaitkan dengan kondisi lahan yang ada di desa Lemahduhur Kecamatan Caringin terlihat bahwa kejelasan hak kepemilikan lahan merupakan hal penting dalam pengelolaan hutan rakyat dan tanaman hortikultura. Warga masyarakat desa Lemahduhur merasa bahwa lahan tersebut dahulu adalah lahan milik mereka dan suatu saat pun harus kembali ke tangan mereka. Hanya saja mereka tidak mengetahui bagaimana caranya agar lahan mereka kembali. Yang mereka inginkan saat ini adalah adanya penyuluhan dan sosialisasi mengenai kejelasan status lahan oleh pihak yang berkompeten dalam hal ini seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN). Adanya ketidakjelasan status lahan ini menjadi penyebabnya warga masyarakat (petani) enggan untuk menanam tanaman keras karena ada rasa khawatir pada suatu saat lahan garapan akan diambil oleh pemiliknya, apalagi apabila hal ini benar terjadi pada saat mendekati masa tebang, masyarakat tidak akan mendapatkan apa-apa dan tidak dapat berbuat apa-apa.
Kondisi yang ada di desa Lemahduhur pada saat ini adalah terjadinya klaim-klaim terhadap sumberdaya. Adanya klaim-klaim terhadap sumberdaya
melahirkan konsep property regime. Property regime merupakan sekumpulan
aturan (hukum, kebijakan,kebisaan) yang menentukan property rights (Buck,
1998 dalam Satria 2009). Property right (hak pemilikan) adalah sebuah klaim
terhadap aliran manfaat (benefit stream) (Gibbs dan Bromley, 1989).
Pemilik lahan di desa Lemahduhur merupakan orang-orang luar desa yang kebanyakan tinggal di Jakarta dan Bogor menetapkan peraturan bahwa lahan boleh digarap tetapi pajak dibayarkan oleh penggarap, ada juga pemilik lahan
yang menerapkan aturan sewa lahan per tahun. Sebagian masyarakat siap menyatakan perang apabila lahan yang sebenarnya milik mereka tidak dapat kembali kepada tangan mereka. Masyarakat merasa dibodohi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Gambaran masyarakat desa Lemahduhur saat ini, merupakan suatu bagian dari konflik agraria nasional, terutama berupa konflik penguasaan tanah. Wiradi (2000) mendefinisikan konflik agraria sebagai proses interaksi antara dua atau lebih orang atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas objek yang sama, yaitu tanah dan benda- benda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air, tanaman, tambang, dan juga udara yang berada diatas tanah bersangkutan. Sumber utama konflik tersebut adalah karena pemerintah Orde Baru kurang memberi perhatian kepada masalah agrarian khususnya tentang system hukum (Tjondronegoro, 1999).
Kepastian hukum merupakan aspek pokok yang menentukan hubungan antara orang dengan tanah, terutama tentang pemilikan dan penguasaan, yang keduanya kemudian menjadi bagian pokok dalam membentuk struktur social ekonomi masyarakat yang berbasiskan pertanian. Ketimpangan penguasaan tanah akan menghasilkan ketimpangan pendapatan (Hayami dan Kikuchi, 1987).
Berdasarkan pembagian 4 (empat) tipe rejim penguasaan sumberdaya alam
milik bersama (common property) yang dikemukakan oleh Feeny et al (1990)
nampak bahwa lahan di desa Lemahduhur kecamatan Caringin merupakan milik
pribadi (private property) dimana sumberdaya dimiliki oleh individu atau dimiliki
oleh suatu organisasi. Ada aturan yang mengatur hak-hak pemilik dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Manfaat dan biaya ditanggung sendiri oleh pemilik. Hak pemilikan dapat dipindahtangankan.
Dengan mengacu pada pernyataan tersebut diatas terlihat bahwa lahan di desa Lemahduhur kepemilikannya dapat dipindahtangankan apabila sudah ada kejelasan status lahan. Lahan yang digarap adalah lahan milik perorangan atau orang-orang mampu yang tinggal di luar desa Lemahduhur yang dikelola oleh kelompok tani. Aturan-aturan untuk mengelola lahan garapan diatur oleh kelompok tani dan pemilik lahan terutama menyangkut pembayaran pajak.
45 Untuk lahan hutan rakyat pada umumnya penguasaan lahan ada yang berdasarkan status kepemilikan dan sewa tahunan atau pajak dibayar oleh penggarap. Proses pengalihan hak milik/penguasaan atas tanah di desa Lemahduhur biasanya dilaksanakan sebagai berikut : 1). Untuk warisan, pengurusannya dilakukan oleh perangkat desa apabila terjadi bagi waris dalam suatu keluarga. Proses pembagian warisan telah selesai apabila sudah ada perubahan nama wajib pajak dari SPPT nama pewaris menjadi SPPT atas nama ahli waris. 2) Untuk jual beli , antara penjual dan pembeli menandatangani perjanjian jual beli diatas kertas bermaterai yang disaksikan oleh perangkat desa dengan diketahui oleh kepala desa. Pada beberapa kasus pembelian tanah, dimana antara penjual dan pembeli masih ada hubungan kekerabatan, maka tidak menandatanagani perjanjian diatas kertas bermaterai, hanya bermodalkan saling percaya saja. 3) Untuk sewa menyewa, biasanya hanya kesepakatan tidak resmi mengenai PBB yang harus dibayar oleh petani penggarap.
Dari 27 kepala keluarga yang dijadikan responden dalam penelitian ini ternyata hanya 25 % merupakan milik sendiri, sedangkan sisanya milik keluarga 25% dan hanya 50% yang melakukan sewa. Kepemilikan masih sedikit sekali yang memiliki sertifikat tanah dan lebih dari25 % hanya berupa SPPT. Luas lahan garapan yang dijadikan obyek penelitian berkisar antara 5000 m2.