• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETAN

5.2 Sejarah Pertanian Kentang di Dataran Tinggi Dieng

Kentang (Solanum tuberosum L.) termasuk jenis tanaman sayuran semusim, berumur pendek, dan berbentuk perdu atau semak. Kentang termasuk tanaman semusim karena hanya satu kali berproduksi dan setelah itu mati. Umurnya relatif pendek, hanya 90-180 hari. Spesies Solanum tuberosum L. mempunyai banyak varietas. Umur tanaman kentang bervariasi menurut varietasnya. Kentang varietas genjah berumur 90-120 hari, varietas medium berumur 120-150 hari, dan varietas dalam berumur 150-180 hari. Tanaman kentang dapat tumbuh tegak mencapai ketinggian 0,5-1,2 meter, tergantung varietasnya (Samadi, 2007).

Sejak dekade 80-an, tepatnya sekitar tahun 1983, masyarakat di sekitar Dataran Tinggi Dieng mulai mengusahakan tanaman sayur-mayur dan beralih dari tanaman tembakau yang semula menjadi komoditas utama petani daerah tersebut.

Sekitar tahun 1985 kentang diperkenalkan oleh petani dari daerah Pangalengan, Bandung, yang membawa bibit untuk ditanam di wilayah Dataran Tinggi Dieng. Masuknya komoditi kentang di Dataran Tinggi Dieng menyebabkan perubahan arah pertanian masyarakat yang sebelumnya menanam palawija dan tembakau. Sebagai tanaman yang memiliki umur lebih pendek, komoditi ini dirasakan lebih menguntungkan oleh masyarakat setempat. Kentang masuk ke Desa Karangtengah bersamaan dengan demam kentang yang merambah seluruh kawasan Dataran Tinggi Dieng. Menurut keterangan yang diberikan penduduk, tokoh yang menjadi pionir saat itu adalah Kepala Desa yang memiliki lahan pertanian luas. Transfer pengetahuan mengenai budidaya tanaman kentang ini diperoleh dari para petani Pengalengan.

Pada tahun 1987, di Desa Karangtengah mulai masuk bibit baru selain bibit dari Pangalengan, yaitu bibit yang berasal dari Jerman. Memasuki tahun 1990, muncul lagi bibit kultur jaringan yang berasal dari Tlidung sebuah wilayah di Kabupaten Temanggung. Sejak saat itu masyarakat mulai membuat kultur jaringan sendiri. Sama halnya dengan di dataran tinggi Dieng secara umum, masuknya komoditi kentang di lokasi penelitian juga memiliki sejarah yang sama. Dalam perkembangannya, masyarakat di desa Karangtengah mulai kreatif dengan menciptakan varietas kentang sendiri. Misalnya kentang jenis MZ yang diciptakan oleh penduduk setempat.

Kentang jenis MZ, diciptakan oleh penduduk asli yang bernama Muhzoto. Awalnya kentang jenis MZ ini hanya ditanam oleh keluarga Bpk. Muhzoto, kemudian kelamaan diadopsi oleh penduduk setempat. Sebenarnya dari pihak Bpk. Muhzoto tidak pernah memberikan nama varietas kentang yang ditemukannya. Namun, saat ada penduduk lain membeli bibit kentang tersebut,

mereka melihat tulisan „MZ‟ tertera di keranjang tempat bibit tersebut. Oleh

karena itu variaetas hasil kultur jaringan ini kemudian populer dengan varietas MZ. Varietas ini tergolong yang paling banyak diminati untuk ditanam oleh petani dengan beberapa alasan yaitu: 1) umbi yang dihasilkan lebih besar; 2) tanaman lebih tahan terhadap hama; 3) batang tanaman lebih kuat sehingga tidak mudah goyah; dan 4) dihargai lebih mahal sebab umbinya yang besar.

39

Jenis kentang lain yang banyak ditanam oleh masyarakat adalah jenis Vega. Jenis ini baru ditemukan sekitar tahun 2010 oleh warga setempat. Nama Vega diambil dari nama anaknya yang masih berumur 10 tahun. Kentang yang disilangkan adalah kentang yang secara tidak sengaja ditemukan di pembuangan sampah. Namun karena bentuknya yang besar, ada warga yang mencoba untuk menyilangkannya, dan jadilah bibit kentang Vega. Dibanding dengan varietas MZ, jenis ini memiliki umbi yang lebih kecil namun hasilnya lebih banyak.

Sebelum penduduk berusahatani kentang, tanaman utama yang menjadi sumber penghasilan adalah tembakau dan jagung. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh petani, proses pengolahan lahan, penanaman, hingga pemanenan tembakau memiliki rentang waktu yang terlalu lama. Dalam satu tahun mereka hanya mampu panen satu kali, belum lagi ditambah dengan waktu pengolahan, selain itu tenaga yang dikeluarkan juga lebih berat. Hal ini diungkapkan oleh Bapak BDR (51 tahun):

“Ngrumat mbako iki kaya ngrumat bayi, nek ora sabar-sabar ya ora mangan hasile. Janjane kentang ya pada bae, nanging hasile lewih bisa makmuraken, tenagane ya ora remek banget. Biyen pas jamane nandur mbako, mangan iki egun susah, ngenteni jatah gedang mentah sekang pemerintah. Jaman-jamane wong pada dodolan seng umah kanggo mangan.”

(Merawat tembakau itu seperti merawat bayi, kalau tidak sabar tidak akan mendapatkan hasilnya. Sebenarnya kentang juga sama, tetapi hasilnya lebih memakmurkan petani, tenaga yang dikeluarkan juga tidak terlalu banyak. Dulu pada era tanam tembakau, makan masih susah, harus nunggu

jatah „pisang mentah‟ dulu dari pemerintah. Zaman dimana orang banyak yang menjual seng (atap rumah) untuk makan).

Penuturan Bapak BDR (51 tahun) tersebut memberikan gambaran bahwa

pada „Era Tembakau‟, kehidupan petani masih sulit. Kondisi ekonomi warga Desa Karangtengah ketika masih bergantung pada tanaman tembakau sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan pertama, tanaman tembakau sebagai komoditas utama yang menjadi tempat bergantungnya perekonomian penduduk hanya dapat dipanen sebanyak satu kali dalam setahun. Kondisi ini lebih diperparah oleh kenyataan bahwa modal pengusahaan tanaman tembakau diperoleh dari dana pinjaman pada tengkulak. Hasil panen mereka serahkan pada tengkulak dengan harga jual yang rendah. Kedua, dari segi pengelolaan, tanaman

tembakau membutuhkan waktu dan tenaga yang ekstra sehingga petani tidak dapat menyisihkan waktu mereka untuk mengerjakan aktifitas produktif lainnya.

Kentang telah memberikan dampak bagi kondisi perekonomian penduduk Desa Karangtengah. Dengan nilai ekonomis yang jauh lebih menguntungkan, proses pengerjaan yang relatif lebih mudah dan sederhana, serta masa panen yang setahun bisa mencapai tiga kali membuat petani beralih pada kentang sebagai komoditas utama menggantikan tembakau. Petani juga memiliki waktu luang yang banyak untuk tinggal di rumah dibanding saat mengolah tembakau yang hampir seluruh waktunya tercurah di ladang.

5.3 Keterkaitan Sejarah Pertanian Kentang dengan Strategi Nafkah

Dokumen terkait