• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII PENUTUP

Photo 8. Tanaman Kentang yang Terkena Busuk Daun

94

Lampiran 5. Wawancara Strategi Nafkah

Rumahtangga Ibu IRS (20 tahun). Jumlah tanggungan rumahtangga Ibu IRS adalah 2 orang. Selain menjadi petani kentang, beliau menjadi pedagang pulsa dengan penghasilan rata-rata per hari adalah Rp 50.000,00. Menjadi pedagang pulsa baginya cukup menguntungkan sebab di Desa Karangtengah belum banyak yang melakukannya.

Rumahtangga Bapak HYN (32 tahun). Selain menjadi petani kentang di lahan warisan orang tuanya, istri Bapak ARM membuka warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari di rumahnya. Dalam satu bulan, penghasilan dari warung sekitar Rp 300.000,00. Biasanya uang tersebut diperuntukkan untuk uang saku anaknya yang sedang bersekolah di SMP.

Rumahtangga Bapak KMD (50 tahun). Bapak KMD merupakan petani yang tidak memiliki lahan. Beliau mengelola sepetak lahan yang statusnya sewa. Jumlah keluarga Bapak KMD adalah 5 orang. Bapak KMD menjadi buruh ngebor tanah di salah satu Perusahaan yang bergerak di bidang Geothermal. Dalam satu bulan biasanya dia memperoleh pendapatan Rp 200.000,00 dari pekerjaannya. Pada saat dia bekerja untuk mengebor tanah, istri dan anaknya bertugas mengurus pertanian kentang.

Rumahtangga Bapak ADR (50 tahun). Selain menggarap lahan yang ditanami kentang, setiap hari minggu atau hari libur Bapak ADR bekerja sebagai kusir dokar di lokasi wisata Telaga Warna, Dieng. Dalam satu hari biasanya dia bisa mendapatkan Rp 25.000,00. Satu bulan rata-rata Bapak ADR menarik dokar sebanyak 5 kali.

Rumahtangga Bapak JN (26 tahun). Bapak JN menggarap lahan yang diwarisi oleh orangtuanya. Bapak JN murni menggarap lahan pertaniannya, kemudian istrinya menjadi penjahit dan pedagang pakaian untuk menambah penghasilan. Pendapatan istrinya dalam satu bulan sekitar Rp 150.000,00.

Rumahtangga Bapak SYA (40 tahun). Bapak SYA menanggung 5 anggota rumahtangga lainnya dengan penghasilan dari bertani kentang. Untuk menambah penghasilan, istrinya menjadi pedagang makanan. Pendapatan dari berdagang ini rata-rata Rp 150.000,00. Meskipun sedikit tapi lumayan untuk membeli kebutuhan dapur.

Rumahtangga Bapak RYT (45 tahun). Istri dari Bapak RYT membuka warung di rumahnya yang menjual berbagai macam kebutuhan pokok dan sehari-hari. Dari berjualan, rumahtangga ini mendapat tambahan sekitar Rp 300.000,00 dalam jangka

waktu satu bulan. Pada pagi hari setiap dua hari sekali istri Bapak RYT membantu suaminya merawat tanaman kentang, setelah itu beliau menjaga warungnya sambil mengurus pekerjaan domestik.

Rumahtangga Bapak AHR (35 tahun). Selain menjadi petani kentang di atas lahan miliknya, Bapak AHR mencari penghasilan lain melalui berdagang. Beliau menjadi pedagang pengumpul sayuran (koncang, kobis, seledri, wortel) dari petani ke distributor selanjutnya. Rata-rata dalam 1 bulan Bapak AHR bisa memperoleh pendapatan sebesar Rp 500.000,00.

Rumahtangga Bapak SYD (45 tahun). Bapak SYD mengelola lahannya sendiri dan ditanami kentang, selain itu beliau berprofesi sebagai pengumpul kentang dari petani. Istrinya juga membuka warung di rumahnya untuk menjajakan gorengan. Penghasilan yang diperoleh Bapak SYD dari menjadi pengumpul kentang sekitar 500.000,00 per bulan, dan istrinya bisa mendapatkan sekitar Rp 150.000,000 per bulan.

96

Lampiran 6. Analisis Usahatani Kentang dengan Luas Lahan 0,5 ha/Musim Hujan

No Uraian Satuan Fisik Pengeluaran

Satuan Jumlah

I Biaya tenaga kerja

Borongan Rp 1.200.000,- Pengolahan tanah Penanaman bibit Pemupukan

Pengendalian hama dan

penyakit Pemanenan Rp 400.000,- Pengangkutan 105 pikul Rp 3.500,00 Rp 367.500,- Jumlah I Rp 1.967.500,- II Sarana Produksi Bibit/benih 30 keranjang Rp 200.000,- Rp 6.000.000,- Pupuk kimia: Urea 3 kuintal Rp 170.000,- Rp 510.000,-

Pupuk kandang 2 rit Rp 800.000,- Rp 1.600.000,-

Pebasmi hama: Mantep 15 kg Rp 60.000,- Rp 900.000,- Dakonil 5 kg Rp 140.000,- Rp 700.000,- Buldog 2 botol Rp 40.000,- Rp 80.000,- Korset 15 kg Rp 140.000,- Rp 2.100.000,- Pitora 10 botol Rp 88.000,- Rp 880.000,- Jumlah II Rp 12.770.000,- III Lain-lain Pajak tanah Rp 25.000,- Rp 25.000,-

Biaya tak terduga (10%) Rp 833.750,-

Jumlah III Rp 883.750,-

Total biaya produksi (C)=I+II+III Rp 15.520.750,-

Pendapatan Kotor (R) Rp 32.826.106,-

ii

ABSTRACT

TURASIH. Livelihood System of Potato Farmers Household in Dieng Plateu (Case in Village of Karangtengah, District Batur, Banjarnegara Regency, Central Java)

(Supervised by: SOERYO ADIWIBOWO)

This research was conducted and located in the village of Karangtengah, District Batur, Banjarnegara Regency, Central Java for one month from 25 March to 25 April 2011. The purpose of this study was to determine the household livelihood strategy of potato farmers in the village of Karangtengah, Dieng plateau associated with the history of potato farming in the village. In addition, to find out how far potato farming can build sustainable livelihood systems for farmers households. This study uses a quantitative approach that is supported by qualitative data. Quantitative data obtained through a questionnaire to 31 households of farmers who were respondents in this study. While the qualitative approach is done through observation, depth interviews, and search related documents or literary study. Basically, agriculture has become the main source of income for potato farmers households in the village of Karangtengah. This is due to the farm that has been inherited into the identity of them from generation to the generation. However, limitations of resources, especially land as a place of production led to nine respondents in this study applying multiple livelihoods both of on farm and non farm strategie. During its development, potato farming is increasingly drained on resources. Although still becoming the leading sectors, but the threat to livelihood activities has been gradually happening for example the environmental degradation caused by agricultural activity that promotes the high production so that they use the excessive of chemical inputs.

Keywords: Livelihood system, Potato farmers household, Sustainable agriculture, and Dieng Plateau.

BAB II

PENDEKATAN TEORETIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Konsep Nafkah (Livelihood)

Nafkah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai cara hidup, definisi ini biasanya disejajarkan dengan konsep livelihood (mata pencaharian). Sebenarnya konsep livelihood mencakup pemahaman yang lebih luas bukan hanya sekedar bagaimana memperoleh pemasukan. Secara sederhana livelihood didefinisikan sebagai cara dimana orang memenuhi kebutuhan mereka atau peningkatan hidup (Chamber et al dalam Dharmawan, 2001). Dalam pandangan yang sangat sederhana livelihood terlihat sebagai “aliran pendapatan” berupa uang atau sumberdaya yang dapat digunakan oleh seseorang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Definisi lain dinyatakan oleh Ellis (2000) bahwa livelihood mencakup pendapatan “cash” (berupa uang) dan “in kind” (pembayaran dengan barang atau hasil bumi) maupun dalam bentuk lainnya seperti institusi (saudara, kerabat, tetangga, desa), relasi jender, dan hak milik yang dibutuhkan untuk mendukung dan untuk keberlangsungan standar hidup yang sudah ada. Lebih lanjut livelihood juga mencakup akses terhadap, dan keuntungan yang berasal dari pelayanan publik dan sosial yang disediakan oleh negara.

Dalam Sosiologi Nafkah, Dharmawan (2006) memberikan penjelasan bahwa livelihood memiliki pegertian yang lebih luas daripada sekedar means of living yang bermakna sempit mata pencaharian. Dalam sosiologi nafkah, pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of living strategy (strategi cara hidup). Pengertian livelihood strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia), sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada

sekedar “aktivitas mencari nafkah” belaka. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah bisa berarti cara bertahan hidup atau memperbaiki status kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka

7

mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku.

Pilihan strategi nafkah sangat ditentukan oleh kesediaan akan sumberdaya dan kemampuan mengakses sumber-sumber nafkah tersebut. Dharmawan (2001) menjelaskan, sumber nafkah rumah tangga sangat beragam (multiple source of livelihood), karena rumah tangga tidak tergantung hanya pada satu pekerjaan dan satu sumber nafkah tidak dapat memenuhi semua kebutuhan rumah tangga. Secara konseptual menurut Chambers dan Conway dalam Ellis (2000), terdapat lima tipe modal yang dapat dimiliki/dikuasai rumah tangga untuk pencapaian nafkahnya yaitu:

1. Modal manusia yang meliputi jumlah (populasi manusia), tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki dan kesehatannya.

2. Modal alam yang meliputi segala sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan manusia untuk keberlangsungan hidupnya. Wujudnya adalah air, tanah, hewan, udara, pepohonan dan sumber lainnya.

3. Modal sosial yaitu modal yang berupa jaringan sosial dan lembaga dimana seorang berpartisipasi dan memperoleh dukungan untuk kelangsungan hidupnya.

4. Modal finansial yang berupa kredit dan persediaan uang tunai yang bisa diakses untuk keperluan produksi dan konsumsi.

5. Modal fisik yaitu berbagai benda yang dibutuhkan saat proses produksi, meliputi mesin, alat-alat, instrumen dan berbagai benda fisik lainnya.

Livelihood berasal dari berbagai sumberdaya dan aktivitas yang bervariasi sepanjang waktu. Fleksibilitas livelihood menentukan tipe-tipe strategi rumah tangga yang diadopsi rumah tangga pedesaan maupun perkotaan dan bagaimana merespon perubahan. Terkait dengan livelihood, Herbon dalam Dharmawan (2001) mendeskripsikan tiga tingkatan untuk mengatasi ketidaktentuan ekonomi yaitu:

1. Tahap mengantisipasi krisis, merupakan semua usaha yang dibuat dengan memanfaatkan berbagai tindakan yang aman dan usaha perlindungan terhadap berbagai macam resiko dengan membangun

hubungan (jaringan sosial), memproduksi apa saja yang mungkin dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mengumpulkan kelebihan (menabung), membangun jaringan sosial dan ekonomi yang kompleks dan menyeluruh yang mempertukarkan hubungan dengan penyediaan jaminan materil dan immateril, penguasaan sumberdaya dari masyarakat dan negara.

2. Tahap mengatasi kondisi krisis, meliputi semua tindakan seperti memanfaatkan tabungan, eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya yang dimiliki (sumberdaya alam atau sumberdaya sosial), mengurangi konsumsi individu, reaksi massa (contohnya pemberontakan bersama). 3. Tahap pemulihan dari krisis, terdiri dari semua tindakan untuk

memperbaiki kehancuran dan mendapat kembali akses untuk memperoleh sumberdaya.

Menurut Crow dalam Dharmawan (2001), terdapat aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dalam penerapan strategi nafkah, yaitu:

1. Harus ada pilihan yang dapat dipilih oleh seseorang sebagai tindakan alternatif.

2. Kemampuan melatih “kekuatan”. Mengikuti suatu pilihan berarti memberikan perhatian pada pilihan tersebut. Dengan demikian, memberikan perhatian pada suatu pilihan akan mengurangi perhatian pada pilihan yang lain. Dalam konteks komunitas, seseorang yang memiliki lebih banyak kontrol (aset) akan lebih mempunyai kekuatan untuk dapat memaksakan kehendaknya. Oleh karena itu strategi nafkah dapat dipandang sebagai suatu kompetisi untuk mendapatkan aset-aset yang ingin dikuasai.

3. Dengan merencanakan strategi yang mantap, ketidakpastian (posisi) yang dihadapi seseorang dapat diminimalisir.

4. Strategi dibangun sebagai respon terhadap tekanan yang hebat yang menerpa seseorang.

5. Harus ada sumberdaya dan pengetahuan sehingga seseorang bisa membentuk dan mengikuti berbagai strategi yang berbeda.

9

6. Strategi biasanya merupakan keluaran dan konflik yang terjadi dalam rumah tangga.

Selanjutnya, Dharmawan (2001) menyebutkan bahwa secara umum strategi nafkah dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yaitu strategi nafkah normatif dan strategi nafkah yang ilegal. Strategi nafkah normatif berbasiskan pada kegiatan sosial ekonomi yang tergolong ke dalam kegiatan positif seperti kegiatan produksi, sistem pertukaran, migrasi, maupun strategi sosial dengan

membangun jaringan sosial. Strategi ini disebut „peaceful ways‟ atau sah dalam melaksanakan strategi nafkah. Sedangkan strategi nafkah ilegal di dalamnya termasuk tindakan sosial ekonomi yang melanggar hukum dan ilegal. Seperti penipuan, perampokan, pelacuran, dan sebagainya. Kategori ini disebut sebagai

non peaceful‟, karena cara yang ditempuh biasanya menggunakan cara kekerasan atau kriminal.

Merujuk pada Scoones (1998), dalam penerapan strategi nafkah, rumah tangga petani memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya untuk dapat bertahan hidup. Scoones membagi tiga klasifikasi strategi nafkah (livelihood strategy) yang mungkin dilakukan oleh rumah tangga petani, yaitu: (1) Rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi); (2) Pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan. Atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja – selain pertanian- dan mamperoleh pendapatan; (3) Rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan.

2.1.2 Konsep Nafkah Berkelanjutan

Meikle, Ramasut dan Walker (2001) menggambarkan bahwa inti untuk memahami konsep nafkah berkelanjutan adalah apresiasi bahwa kemiskinan

bukanlah kondisi stabil, permanen dan statis. Terkait dengan gambaran tersebut, maka gambaran dari nafkah berkelanjutan oleh ketiga ahli tersebut adalah sebagai berikut:

1. Memberikan kemampuan, aset (materi dan sosial) dan aktivitas yang dapat diakses oleh laki-laki dan perempuan miskin yang hidup bersama. Banyaknya kesempatan yang ada berbeda menurut orang yang hidup dan atau memiliki akses kepada sumberdaya di kampung, sub-urban, dan kota. Nafkah dapat termasuk pekerjaan yang dibayar, tetapi hanya satu elemen dan bukan yang paling penting dari hubungan jaringan fungsional yang bersama untuk hidup. Elemen lain termasuk jaringan sosial dan bermacam institusi yang menyediakan hubungan rumahtangga dan akses terhadap sumberdaya.

2. Dinamis dan mudah diadaptasi. Nafkah berkelanjutan memiliki kemampuan untuk merespons perubahan dan secara berlanjut diperbaharukan melalui pengembangan dari strategi adaptif kemudian, dapat bangkit dari tekanan dan kejutan, stabil dan berlanjut dalam jangka panjang.

3. Berhubungan ke prioritas, interpretasi dan kemampuan masyarakat miskin. Masyarakat di pusat kerangka nafkah dianggap sebagai aktor yang mampu, bukan korban yang tidak berdaya. Nafkah menggambarkan kemakmuran, pengetahuan, strategi adaptif dan orang miskin. Ketika nafkah berkelanjutan mencerminkan prioritas dari masyarakat miskin, perlu dicatat bahwa terdapat perbedaan diantara jangka pendek, prioritas pragmatis yang mengarah kepada bertahan hidup, yang bertujuan untuk pembangunan dari nafkah berkelanjutan. Contohnya, prioritas jangka pendek untuk mengurangi pengeluaran rumahtangga dapat membuat anak putus sekolah atau mengurangi biaya kesehatan, namun ini bukan berarti sikap rumahtangga tidak menghargai investasi pada kesehatan dan pendidikan pada jangka panjang.

4. Rumahtangga dan komunitas terpusat pada alokasi sensitif. Anggota rumahtangga berkontribusi pada berbagai cara tergantung peran, tanggungjawab dan kemampuan. Rumahtangga memiliki modal sosial dan

11

hutang. Mereka terintegrasi kepada bahan sosial yang lebih luas, dan menggambarkan kepada hubungan dengan bermacam individu dan kelompok dalam komunitas seperti kesempatan pada bisnis lokal dan pemerintahan. Hal ini juga dapat dicatat bahwa sebagian strategi nafkah mungkin berdasarkan kepada individu daripada aktivitas rumahtangga dan lainnya dapat melihat dari hubungan diantara anggota rumahtangga yang tidak hidup bersama.

5. Meraih komponen yang disebutkan di atas tanpa merongrong dasar sumber daya alam.

2.1.3 Karakteristik Rumahtangga Petani

Wolf (1985) dalam Lestari (2005) mendefinisikan petani sebagai pencocok tanam pedesaan yang surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa melalui mekanisme sistematis seperti upeti, pajak, atau pasar bebas. Menurut Shanin seperti dikutip oleh Subali (2005), terdapat empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua, selaku petani mereka menggantungkan hidup mereka pada lahan. Bagi petani lahan pertanian adalah segalanya yakni sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta solidaritas sosial mereka kental. Keempat, cenderung sebagai pihak selalu kalah (tertindas) namun tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka.

Rumah tangga petani menurut Sensus Pertanian 1993 adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan di kolam, karamba maupun tambak, menjadi nelayan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak/unggas, atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual guna memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko sendiri.

Menurut BPS (2000) secara umum rumahtangga diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau sensus dan umumnya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Yang dimaksud dengan satu dapur adalah bahwa pembiayaan keperluan juga pengurusan kebutuhan sehari-hari dikelola bersama-sama. Adapun White (1978) mengemukakan bahwa rumahtangga pedesaan Jawa merangkap fungsi-fungsi sebagai unit produksi, unit konsumsi, unit reproduksi, dan unit interaksi sosial ekonomi dan politik, dimana keberlangsungan beragam fungsi tersebut dilandasi prinsip safety first. Prinsip ini mendahulukan selamat yang berimplikasi kepada kondisi dimana keputusan rumahtangga bertujuan utama lebih kepada untuk menghindari kemungkinan gagal daripada mencari keuntungan sebanyak- banyaknya. Prinsip ini juga berimbas kepada kebiasaan dalam perilaku rumahtangga miskin di pedesaan dalam penerimaan mereka terhadap teknik- teknik pertanian, pranata-pranata sosial dan cara merespon terhadap proyek- proyek pembangunan.

Sebagai unit ekonomi yang merangkap banyak fungsi, menurut White (1978), rumahtangga pedesaan Jawa harus mengalokasikan curahan waktu mereka diantara berbagai jenis kegiatan, yang mencakup: (a) pekerjaan yang tidak semuanya menghasilkan pendapatan secara langsung, khususnya pekerjaan- pekerjaan pemeliharaan rumahtangga, seperti mengurus rumahtangga, mengasuh anak, memasak, mencuci, mengambil air, mencari kayu bakar, dan memperbaiki rumah, (b) pekerjaan yang merupakan kewajiban sebagai anggota masyarakat seperti kerja bakti, gotong royong, dan sambutan, serta, (c) pekerjaan yang langsung menghasilkan pendapatan.

2.1.4 Karakteristik Dataran Tinggi 2.1.4.1Ekologi Dataran Tinggi

Hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun biasanya disebut sebagai lahan kering. Sedangkan yang dimaksud lahan kering dataran tinggi adalah hamparan lahan kering yang terletak pada ketinggian lebih dari 700 mdpl (700-2500 mdpl). Departemen pertanian (2006) dalam Sabiham et al (2008) bahkan mendefinisikan

13

wilayah dengan elevasi minimal 350 mdpl dan/atau memiliki tingkat kemiringan lereng minimal 15 persen sudah termasuk lahan pegunungan. Kegiatan pertanian yang dilakukan pada lahan kering dataran tinggi memiliki ciri khas tidak didukung oleh irigasi teknis yang memadai, sehingga kebutuhan air bergantung pada curah hujan atau mata air yang ada di sekitar areal pertanian. Lebih lanjut dijelaskan dalam Sabiham et al (2008), lahan dataran tinggi di Indonesia berdasarkan tipe agroklimatnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Di daerah beriklim basah alternatif jenis usaha yang dapat dilakukan oleh petani lebih beragam dibandingkan daerah yang beriklim kering.

Lahan kering memiliki karakteristik kemampuan tertentu yang ditentukan oleh jenis, letak, kemiringan, dan berbagai faktor lainnya. Secara implisit hal itu mengindikasikan bahwa untuk setiap jenis penggunaan atau peruntukan lahan diperlukan perlakuan dan teknologi tertentu agar lahan tersebut memberikan manfaat yang optimal dan lestari. Pola pemanfaatan lahan kering yang dimanfaatkan penduduk selama ini bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya yang banyak tergantung pada tingkat kemampuan, keterampilan, dan peluang serta prospek yang terdapat pada setiap daerah. Sebagian besar jenis tanah lahan kering adalah tanah podsolik merah kuning yang sangat peka terhadap erosi. Pori aerasi tanah rendah, terutama di lapisan bawah sehingga tanahnya memadat, akibatnya infiltrasi air lambat dan erosi permukaan bertambah besar. Akibat lebih jauh adalah usaha tani pada lahan ini sering kekeringan meskipun intensitas hujan cukup tinggi (Rasahan et al, 1999).

Dataran tinggi memiliki fungsi utama sebagai daerah tangkapan air (catchment area). Fungsi tersebut diyakini hanya dapat berlangsung jika vegetasi yang tumbuh di atas permukaannya adalah tanaman tahunan. Perakaran tanaman tahunan yang dalam memiliki kemampuan untuk meresapkan air ke dalam tanah dan menahan tanah dari erosi permukaan. Namun, kenyataannya luasan kawasan lindung di dataran tinggi terus berkurang, berubah menjadi kawasan budidaya untuk pemanfaatan pertanian dan pemukiman. Masyarakat cenderung mengabaikan resiko kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat perlakuan tersebut (Sabiham et al, 2008). Lahan dataran tinggi pada batasan-batasan

tertentu, dan jika dikelola berdasarkan prinsip-prinsip berkelanjutan, memiliki potensi yang sangat besar sebagai penghasil pangan nasional. Harus diakui bahwa dimasa mendatang ketergantungan produksi pangan dari kawasan tersebut akan terus meningkat seiring dengan konversi lahan pertanian produktif di dataran rendah yang sulit dicegah lagi.

Namun demikian, sedikitnya terdapat empat hal sama yang mencerminkan kondisi pertanian lahan dataran tinggi pada saat ini yaitu: pertama, usahatani semakin tidak menguntungkan bagi petani sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Kedua, menurunnya daya dukung lingkungan yang ditunjukkan oleh meningkatnya kerusakan lingkungan dan rendahnya produktivitas lahan. Ketiga, meningkatnya volume hujan akibat anomali iklim yang memicu terjadinya ledakan serangan hama penyakit tanaman sehingga mengakibatkan gagal panen dan kerugian materi yang tidak sedikit (Anyamba et al, 2006 dalam Sabiham et al, 2008). Keempat, hilangnya kemampuan masyarakat untuk membangun modal sosial (social capital) sehingga mereka tidak mampu mengendalikan terjadinya kerusakan lingkungan dan sangat tergantung kepada modal usaha yang berasal dari luar.

2.1.4.2Masyarakat Dataran Tinggi

Tekanan penduduk dan pemenuhan pangan mengharuskan sebagian besar dataran tinggi di Indonesia, terutama di Pulau Jawa dimanfaatkan juga untuk lahan pertanian. Petani di daerah dengan curah hujan tinggi biasanya mengembangkan sayuran, sedangkan petani daerah kering yang memiliki curah hujan sedikit akan memilih menanami lahannya dengan tanaman yang lebih tahan kekeringan seperti ubi kayu, jagung, atau pepaya (Sabiham et al, 2008). Penyebab yang sama disampaikan oleh Rasahan et al (1999) bahwa akibat tekanan penduduk dan lapar lahan, lahan kering yang diusahakan sering melebihi batas kemiringan lereng yang relatif aman untuk usaha tani tanaman pangan. Sebagai akibatnya produktivitas lahan cepat menurun jika dalam pengusahaannya tidak

Dokumen terkait