• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertapaan Bang Lanpir sangat erat hubungannya dengan kerajaan Mataram. Tokoh yang menjadi intisari dan titik awal pertapaan Bang Lanpir adalah pendiri Kerajaan Mataram Islam. Untuk lebih memperdalam asal-usul pertapaan Bang Lanpir, maka akan diuraikan secara singkat sejarah dinasti Mataram Islam, sejarah Bumi Mentaok, cerita perjalanan Ki Ageng Pemanahan Menuju Wahyuning Kraton atau Wahyuning Ratu yang didapat dari Wahyu Kelapadan sejarah nama Bang Lanpir.

2. 2 Sejarah Singkat Dinasti Mataram Islam

Bukti keberadaan Keraton Mataram itu masih dapat disaksikan peninggalannya hingga saat ini. Bahkan keberadaan makam dari Panembahan Senapati beserta keluarganya di Makam Raja-raja di Kota Gede. Dahulu makam ini dikenal dengan “Makam 81 Tokoh Penting Mataram”. Pada kelompok makam itu, antara lain dapat dijumpai makam Sultan Hadiwijaya-Pajang dan Kyai Ageng Pemanahan. Makam lainya adalah penerus Panembahan Senapati, seperti prabu Hanyakrawati dan keluarganya. Selain itu, juga makam keluarga Paku Alam-Yogyakarta pada periode awal yang bersumber atas leluhurnya melalui P. Natakusuma dan P. Adipati Pringgalaya Mataram. Perlu pula dicatat, bahwa Kyai Ageng Sela (ayah Kyai Ageng Pemanahan) tidak dimakamkan di kelompok makam Kota Gede. Karena telah dimakamkan sebelumya di daerah Sesela, Grobogan, Jawa Tengah. (Hadisiswaya, 2009: 58).

Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia yang bersifat maritim, kerajaan Mataram bersifat agraris. Kerajaan yang beribu kota di pedalaman Jawa ini banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu baik pada lingkungan keluarga raja maupun pada golongan rakyat jelata. Pemerintahan kerajaan ini ditandai dengan perebutan tahta dan perselisihan antaranggota keluarga karena gangguan campur tangan Belanda. Kebijaksanaan politik pendahulunya sering tidak diteruskan oleh pengganti-penggantinya. Walaupun demikian, kerajaan Mataram merupakan pengembang kebudayaan Jawa yang berpusat di lingkungan keraton Mataram. Kebudayaan tersebut merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu-Budha, dan Islam (Sjafii, 1978: 9).

Banyak versi mengenai masa awal berdirinya kerajaan Mataram berdasarkan mitos dan legenda. Pada umumnya versi-versi tersebut mengaitkannya dengan kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Demak dan Pajang. Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukotanya dipindahkan ke Pajang dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur dan juga terlibat konflik keluarga dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah berhasil menaklukkan Aryo Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang memberikan hadiah kepada 2 orang yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati (Sjafii, 1978: 11).

Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing

dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar (Sjafii, 1978: 12 ). Sutawijaya kemudian berhasil memberontak pada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede. Senapati bertahta sampai wafatnya pada tahun 1601 (Tuti, 2009: 53).

Selama pemerintahannya saya menyimpulkan terjadi terus-menerus perang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senapati dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.

Senapati digantikan oleh putranya, Mas Jolang, yang bertahta tahun 1601 1613. Mas Jolang lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Seda Krapyak. Pada masa pemerintahannya, dibangun taman Danalaya di sebelah barat kraton. Panembahan Seda Krapyak hanya memerintah selama 12 tahun Ia meninggal ketika sedang berburu di Hutan Krapyak (Moedjanto, 1994: 11).

Kemudian bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma, putra dari Panembahan seda Krapyak. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura ditaklukkan supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Ia pun merupakan penguasa lokal

pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan

dengan Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost

Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir

seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur (Sudarjanto, 2003: 2).

Pada tahun 1645 Sultan Agung meninggal dengan meninggalkan Mataram dalam keadaan yang kokoh, aman, dan makmur. Ia diganti oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengan banyak pembunuhan/kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke Kerta yaitu sebuah kota di daerah Bantul yang sekarang disebut Pleret (Sudarjanto, 2003: 2).

. Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri juga memberontak melawan Amangkurat I. Ibukota Kerta jatuh dan Amangkurat I melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. sesampainya di Tegalarum, sebuah kota di dekat Tegal, Jawa Tengah Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya wafat. Suksesi di kerajaan pun terjadi dan bertahtalah putra mahkota yang mendukung kebijakan Amangkurat I dan bergelar Amangkurat II atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC, dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki

perjanjian yang berisi Mataram harus menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang (Sudarjanto, 2003: 3).

Hubungan Amangkurat II dengan VOC menjadi tegang dan semakin memuncak setelah Amangkurat II mangkat (1703) dan digantikan oleh putranya, Sunan Mas dan bergelar Amangkurat III yang juga menentang VOC. Pihak VOC mengetahui rasa permusuhan yang ditunjukkan raja baru tersebut, maka VOC tidak setuju dengan penobatannya. Pihak VOC lantas mengakui Pangeran Puger sebagai raja Mataram dengan gelar Paku Buwana I. Hal ini menyebabkan terjadinya perang saudara atau dikenal dengan sebutan Perang Perebutan Mahkota I (1704-1708). Akhirnya Amangkurat III menyerah dan ia dibuang oleh VOC. Namun Paku Buwana I harus membayar ongkos perang dengan menyerahkan Priangan, Cirebon, dan Madura bagian timur kepada VOC (Sudarjanto, 2003: 4).

Paku Buwana I meninggal tahun 1719 dan digantikan oleh Amangkurat IV (1719-1727) atau dikenal dengan sebutan Sunan Prabu. , dalam pemerintahannya dipenuhi dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya, dan seperti bisaa VOC turut andil pada konflik ini, sehinggga konflik membesar dan terjadilah Perang Perebutan Mahkota II (1719-1723). VOC berpihak pada Sunan Prabu sehingga para pemberontak berhasil ditaklukkan dan dibuang VOC ke Sri Langka dan Afrika Selatan. Sunan Prabu meninggal tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap VOC (Santosa: 1970: 246)

Hubungan manis Paku Buwana II dengan VOC menyebabkan rasa tidak suka golongan bangsawan. Dengan dipimpin Raden Mas Said terjadilah

pemberontakan terhadap raja. Paku Buwana II menugaskan adiknya, Pangeran Mangkubumi, untuk membasmi kaum pemberontak dengan janji akan memberikan hadiah tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Usaha Mangkubumi berhasil. Tetapi Paku Buwana II mengingkari janjinya, sehingga Mangkubumi berdamai dengan Raden Mas Said dan melakukan pemberontakan bersama-sama. Mulailah terjadi Perang Perebutan Mahkota III (Santosa: 1970: 245)

Paku Buwana II dan VOC tak mampu menghadapi Pangeran Mangkubumi dan Mas Said. Karena tekanan yang cukup kuat akhirnya Paku Buwana II jatuh sakit dan wafat pada tahun1749. Menurut pengakuan VOC Semarang, saat sakratul maut Paku Buwana II menyerahkan tahtanya kepada VOC. Sejak saat itulah VOC merasa berdaulat atas Mataram. Atas inisiatif VOC, putra mahkota dinobatkan menjadi Paku Buwana III (1749). Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia bernama Sayid dengan penyamaran lengkap menggunakan sorban untuk mengajak Mangkubumi berdamai (Nitinegoro: 1983: 51)

Pangeran Mangkubumi menerima tawaran yang disampaikan oleh Sayid dengan beberapa syarat yaitu pertama, Mangkubumi harus menjadi raja yang diangkat oleh rakyatnya dan bukan diangkat oleh VOC, yang kedua adalah meminta agar Sunan Paku buwana III tetap menjadi raja di Surakarta, yang ketiga Mangkubumi meminta agar pusaka peninggalan nenek moyang Mataram harus dibagi menjadi dua, permintaan keempat sekaligus permintaan

terakhir adalah menuntut Gubernur Jendral di Belanda harus diganti karena terlalu bersikap egois dan tidak berpihak kepada rakyatnya. Setelah semua dipenuhi, terjadilah apa yang sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Inti dari perjanjian tersebut adalah bahwa Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi

yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana, Senapati Ing Ngalaga, Ngabul

Rahman Sayidin Kalipatolah Ingkang Jumeneng Kaping I dan mendirikan

kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku Buwana III. Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III (Nitinegoro: 1983: 63)

2. 3 Sejarah Bumi Mentaok

Sejarah yang akan terpapar di bawah ini adalah penuturan dari juru

kunci Pertapaan Bang Lanpir. Pada tanggal 11 Maret 2009 penulis berhasil

melakukan wawancara kepada juru kunci kepala Pertapaan Bang Lanpir yaitu bapak Sarjono. Pada saat itu pak Sarjono menceritakan tentang asal usul Bumi Mentaok dan bagaimana Bumi Mentaok bisa menjadi tanah yang dipakai Ki Ageng Pemanahan dan Panembahan Senapati untuk wilayah Mataram Islam yang Pertama kali.

Bumi mentaok berasal dari kata talok. Kata talok diambil pada saat

Sultan Hadiwijoyo (Sultan Pajang) melakukan tapa Brata di tanah Banyu

Sumurup. Sultan Hadiwijoyo tiba-tiba membuka matanya di saat ia melakukan tapa brata. Di depan matanya berdiri pohon talok. Sultan Hadiwijoyo merasa bahwa pohon itu harus ditebang. Rasa itu muncul semata-mata hanya ia ingin melepaskan emosinya sebelum bertapa. Ditebanglah pohon itu sampai tiga kali

dan ternyata talok itu tak juga patah ataupun tumbang. Sultan Hadiwijoyo heran akan hal itu. Pada saat itu juga emosinya sudah lepas. Sultan merasa bahwa ia telah diberi tanda hasil dari pertapaannya. Tanda itu ialah bahwa ia dan miliknya harus kuat seperti pohon talok itu. Meskipun terlihat kecil, tetapi pohon itu ternyata kokoh maka tanah tempat ia bertapa itu dinamai Bumi Mentaok dengan harapan agar tempat itu menjadi kuat.

Bumi Mentaok bisa menjadi tanah yang digunakan Ki ageng Pemanahan dan Panembahan Senapati sebagai wilayah kerajaan Mataram Islam awal mulanya adalah dari kerajaan Pajang membuka sayembara, siapa yg bisa mengalahkan Arya Penangsang akan diberikan hadiah berupa Bumi mentaok yaitu daerah dari gunung kidul hingga Kotagedhe. Kemudian diadakan perundingan besar untuk merencanakan bagaimana mengalahkan arya penangsang. Mereka lalu mencari orang yang bisa diandalkan untuk melawan Arya Penangsang. Ditunjuklah Danang Sutawijaya (nama Panembahan Senapati). Danang Sutawijaya ditunjuk menjadi utusan karena dialah anak tertua dari Panembahan Senapati yang bernama R. Bagus Srubut atau R. Sutawijaya atau disebut R. Ngabehi Loring Pasar. Disebut demikian, karena berdasarkan atas tempat tinggal yang terletak di utara Pasar Gede (Kota Gede, sekarang).

Dari saat itu Danang Sutawijaya digembleng oleh Ki Juru Martani untuk mengolah keberanian. Sutawijaya yang sudah beranjak dewasa itu mengabdi sebagai Prajurit Tamtama kepada Sultan Hadiwijaya-Pajang hingga dikukuhkan menjadi Raja, bahkan kemudian menjadi menantu dari Sultan Pajang itu. Kelak R. Sutawijaya (putra Kyai Ageng Pemanahan) ini bergelar

Panembahan Senapati, sekaligus menjadi penerus Sultan Hadiwijaya-Pajang sebagai Raja Jawa.

Ki Juru Martani telah mengetahui kelemahan dari Arya Penangsang. Setelah Danang Sutawijaya menyanggupi dan yakin untuk maju melawan

Arya Penangsang, maka dia dibekali pusaka berupa tombak Kyai Pleret. Ki

Juru Martani kemudian mengatur siasat dan persiapan menyerang. Suatu hari siasat sudah dilaksanakan dengan tertib. Perjalanan mereka tidak diceritakan, dengan cepat mereka tiba di tepi sebelah barat Bengawan Sore atau Bengawan Lanang. Mereka berhenti untuk sekedar melepas lelah dan berbuat seperti seolah bukan tentara yang hendak berperang. Segala senjata dan perlengkapan perang disembunyikan dengan sebaik-baiknya. Tempat mereka berhenti itu sudah dekat sekali dengan perkampungan Arya Penangsang, hanya terpisah oleh sungai itu. Ki Juru Martani telah membuat surat tantangan yang isinya sangat menghina Arya Penangsang. Bersama Ki Warantaka dan Waraseca, Ki Juru Martani mencari tukang rumput (gamel) Arya Penangsang.

Gamel itu lalu dipotong telinganya dan disuruh kembali kepada Arya

Penangsang dan membawa surat tantangan.

Pada saat Patih Jipang yang bernama Mentaun sedang hendak menghadap Arya Penangsang, ternyata sang Pangeran sedang makan, sehingga terpaksa menunggu di depan pendapa. Tiba-tiba datanglah si perumput dengan berlumuran darah. Ditahanlah dia oleh Mentaun. Mentaun menenangkan perumput itu dan menyuruh menunggu di luar. Patih masuk ke dalam dan bertemu dengan Arya Penangsang yang sedang makan. Setelah

Mentaun melapor, sang gamel pun meronta kesakitan dan memaksa ikut

marah terlebih saat sang gamel menunjukkan surat tantangan dari Ki Juru Martani. Menurut kepercayaan orang Jawa, pada saat makan tidak boleh marah. Arya Penangsang sudah kehilangan akal dan hanya emosi lalu mempersiapkan kuda jantannyanya bernama Gagak Rimang. Dengan bersenjatakan tombak ia melonpat ke atas kudanya yang lari bagaikan terbang ke arah Bengawan Sore.

Sementara itu ki Juru telah mempersiapkan sambutan yang hangat bagi Arya Penangsang. Ketika Arya Penangsang telah terlihat, bende becak pusaka dari sela dipukul dan berbunyi nyaring, tanda akan mendapat kemenangan. Ketika Arya penangsang telah tiba di tepi sungai sebelah timur, Danang Sutawijaya memperlihatkan diri dan mulai menantangnya. Arya Penangsang menjadi gelap mata dan hanya ada emosi tanpa perhitungan dan mengesampingkan kelemahannya bahwa Arya Penangsang tidak boleh menyeberang sungai Bengawan Sore. Arya Penangsang melewati sungai itu dalam hujan panah dan senjata lain yang dilontarkan oleh para prajurit. Sesampainya di seberang, Arya Penangsang segera mengamuk. Melihat pasukannya bubar, Danang Sutawijaya menyerang dengan bersenjatakan tombak Kyai Plered, waktu itu kebetulan ia naik kuda betina. Gagak Rimang menjadi gembira melihat kuda betina dan ia lari tak terkendalikan. Danang Sutawijaya cepat-cepat turun dari kudanya dan Arya Jipang sibuk mengendalikan si Gagak Rimang lalu Danang Sutawijaya menusuknya dengan tombak. Arya Penangsang Jatuh dan masih ingin membalas tetapi karena sudah lemas, Danang Sutawijaya melingkarkan usus Arya Penangsang yang sudah keluar dari perut itu ke ujung keris yang dipakai Arya Jipang. Arya

penangsang menghunus kerisnya dan tanpa sengaja memotong ususnya sendiri dan akhirnya dia tewas.

Kembali pada perjanjian awal dari kraton Pajang. Siapa yang bisa membunuh Arya Penangsang, akan dianugrahi Bumi Mentaok yaitu tanah dari Kota Gedhe hingga Gunung Kidul. Ki Penjawi dan Pemanahan dipanggil Sultan Hadiwijaya untuk menerima ucapan terima kasih dan hadiah berupa Bumi Mentaok.

2. 4 Bang Lanpir sebagai Tempat Diterimanya Wahyu Kelapa versi JuruKunci

Juru kunci menceritakan bagaimana Bang Lanpir bisa menjadi tempat

diterimanya Wahyu Kelapa atau wahyu degan oleh Ki Ageng Pemanahan.

Cerita dari juru kunci ini didapat dari wawancara pribadi penulis dan bapak Suraksa Cempakasari pada tanggal 7 Maret 2011. Cerita wahyu kelapa yang dituturkan oleh juru kunci hanyalah sepenggal kisah ringkas seperti berikut.

Pencarian wahyu Keraton Mataram itu konon merupakan petunjuk Sunan Kalijaga kepada Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Giring disuruh menanam sepet (sabut kelapa kering), yang kemudian tumbuh

menjadi pohon kelapa yang menghasilkan degan (buah kelapa muda).

Sedangkan Ki Ageng Pemanahan melakukan tirakat di Kembang Semampir (Bang Lanpir), Panggang, Gunung Kidul.

Menurut wisik 'bisikan gaib' yang didapat, air degan milik Ki Ageng

Giring itu harus diminum saendhegan (sekaligus habis) agar kelak dapat

menurunkan raja. Ki Ageng Giring berjalan-jalan ke ladang terlebih dulu agar kehausan sehingga dengan demikian ia bisa menghabiskan air degan tersebut

dengan sekali minum. Namun sayang, ketika Ki Ageng Giring sedang di ladang, Ki Ageng Pemanahan yang baru pulang dari bertapa di Bang Lanpir singgah di rumahnya, dalam keadaan haus ia meminum air kelapa muda itu sampai habis dengan sekali minum.

Betapa kecewa perasaan Ki Ageng Giring melihat kenyataan itu sehingga dia hanya bisa pasrah, namun ia menyampaikan maksud kepada Ki Ageng Pemanahan agar salah seorang anak keturunannya kelak bisa turut menjadi raja di Mataram. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kesempatan menjadi raja Mataram pupus sudah, tinggal harapan panjang yang barangkali bisa dinikmati pada generasi ke tujuh.

Rupanya Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan terlibat dalam pembicaraan penting mengenai Wahyu. Mereka mencari Petunjuk dengan melakukan tirakat, berpuasa dan berdoa memohonkan petunjuk serta arahan dari Sang Pencipta Jagad. . Ki Ageng Giring tirakat untuk memperoleh Wahyu Mataram di Kali Gowang. Istilah gowang konon berasal dari suasana batin

yang kecewa (gowang) karena gagal meminum air degan oleh karena telah

didahului oleh Ki Ageng Pemanahan. Sedangkan Ki ageng Pemanahan melakukan tirakat di luar rumah Ki ageng Giring. Cukup menyita banyak waktu hingga menjelang malam hari itu keduanya berkesepakat menyebut nama wahyu yang diperoleh mereka dengan “Wahyu Kelapa”.

Mereka melanjutkan pembicaraan mengenai berbagai kisah,

cerita-cerita masa lalu, cariyos-cariyos, dan pengetahuan tentang Wahyu dari

kerajaan-kerajaan sebelumnya juga menjadi topik pembicaraan. Berlanjut kepada keberadaan Sejarah Kerajaan sejak zaman Hindu, Budha, masuknya

agama Islam dan seterusnya hingga zaman Kerajaan Pajang saat itu yang silih berganti serta turun-temurun.

Dalam diskusi mengenai Wahyu tersebut kemudian diakhiri oleh

permintaan dari Ki Ageng Giring agar diberikan jatah, kewenangan untuk

saling mengisi harapan kemuliaan di masa mendatang tentang Tumuruning

Wahyu kepada keturunan dari Kyai Ageng Giring. Diusulkan agar Ki Ageng

Pemanahan akan memberikan kemuliaan secara bergantian kepada Ki Ageng Giring. Rupanya Ki Ageng Pemanahan tidak menyetujuinya. Beberapa kali Ki Ageng Giring meyakinkan tindakan untuk membagi kemuliaan bersama Pemanahan dalam hitungan kedua, yaitu akan jatuh bergantian setelah berselang hingga generasi kedua. Akan tetapi, Pemanahan masih tetap berpendirian sama. Demikian seterunya desakan Ki Ageng Giring memohon kembali agar untuk generasi keenam dan generasi ketujuh dalam pergantian kemuliaan itu cukup memberikan alasan atas semua peristiwa.

Untuk permohonan terakhir itu, Ki Ageng Pemanahan dapat memahami perjuangan Ki Ageng Giring. Penghargaan itu kemudian menjadi kesepakatan dari mereka bahwa salah satu ketentuan bahwa setelah enam generasi pemangku keraton dipegang oleh keturunan dari Ki Ageng Pemanahan, barulah diberikan kepada pemangku keraton yang masih keturunan langsung dari Ki Ageng Giring. Demikian seterusnya, hingga akhirnya selalu terjadi pengulangan kembali Pemangku Adat Jawa, yang bersumber atas keturunan kedua Ki Ageng tersebut.

Pembagian kekuasaan antara keturunan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring bisa dilihat dari urutan penguasa Mataram. Dapat dilihat bahwa Raja-raja Mataram mempunyai kaitan langsung sebagai beritkut :

1. Panembahan Senapati, putra Ki Ageng Pemanahan atau Kyai Ageng Mataram,

2. Digantikan oleh Susuhunan Adi-Prabu Hanyakrawati, putra

Panembahan Senapati,

3. Digantikan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, putra Adi-Prabu

Hanyakrakusuma,

4. Dilanjutkan oleh Hamangkurat Agung (Tegal-Arum), putra Sultan

Agung Hanyakrakusuma,

5. Dikukuhkannya Hamangkurat Amral, putra Hamangkurat

Agung/Tegal-Arum,

6. Pangeran Puger bergelar Paku Buwana I (adik Hamangkurat Amral),

putra Hamangkurat Agung/Tegal-Arum.

Nama urutan yang disebut terakhir merupakan nama istilah baru bagi penerus Mataram yang tidak lagi mengikuti pola “ayah-anak” secara langsung. Jika diteliti lebih lanjut, ternyata Paku Buwana I tersebut juga masih keturunan dari Kyai Ageng Giring yang diambil menurut garis ibu (Jawa: pancer puteri). Silsilah dan asal-usul dari Pangeran Puger itu baru diketahui setelah beliau bertahta sebagai Paku Buwana I-Mataram. Tinjauan silsilah Raja-raja Mataram sejak pembentukannya, ternyata menjadi catatan yang tidak terlupakan, sekaligus menjadi cerita dari sekalian krandhah (kerabat, saudara,

dan keturunan/trah) Mataram agar selalu mengenang adanya Wahyu Kelapa

2. 5 Sejarah Bangunan Bang Lanpir

Pertapaan Bang Lanpir dahulunya sempat tidak diketahui di mana

letaknya. Pihak Kraton hanya mengetahui letak desanya saja tanpa mengetahui letak pertapaan secara pasti. Melalui laku mistik dan memohon petunjuk kepada Tuhan, Sri Sultan HB IX memerintahkan penasihat spiritualnya yaitu Ki Mataram dan murid-muridnya untuk membantu pencarian jejak pertapaan. Pertapaan Bang Lanpir dibangun kembali pada

Dokumen terkait